Part 11. Perdebatan

1203 Kata
“ Dia hanya takut kamu akan jatuh cinta padaku.” Kalimat yang Alle ucapkan membuat Sila mencebik. Pikiran macam apa itu. Ia sudah jatuh cinta pada Hesa tidak hanya sekali, tapi berkali-kali. Sekalipun Alle memiliki wajah persis seperti Hesa, tapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Bagi Sila hanya sosok Hesa yang bisa membuatnya jatuh cinta berkali-kali. “ Aku tidak mungkin jatuh cinta padamu.” Balas Sila yang tanpa ia tahu membuat satu sudut hati Alle terasa tertusuk pisau tajam. Sila mengalihkan tatapan matanya saat melihat perubahan raut wajah Alle. Apa dia sudah keterlaluan dengan berkata seperti itu ? mungkinkah pria itu tersinggung ? “ Pulanglah. Sudah malam. Aku mau istirahat.” Usir halus Alle. Sila yang paham, langsung beranjak. Alle melempar kunci mobil ke atas meja setelah sebelumnya Sila kembalikan. “ Bawa saja mobilku. Aku akan mengambilnya kapan-kapan.” Setelah berkata seperti itu, Alle beranjak, kemudian tanpa menoleh lagi meninggalkan Sila dengan rasa menyesal. Tangan Sila bergerak mengambil kunci mobil milik Alle. Ia mendesah. Alle sudah tidak terlihat. Pria itu sudah memasuki kamarnya. Dan setelah 3 hari, mobil Alle masih terparkir di depan rumah Sila. Pria itu belum mengambilnya, pun belum menghubunginya kembali. Flashback off Cengkeraman di tangan membuat Sila meringis. “ Sil .. kenapa tambah sakit ya.” Mila meringis, lalu mencoba mengatur nafasnya kembali. Tak berapa lama Sila melihat Mila lagi-lagi meringis. “ Apa—sudah—mau—keluar-- ya Sil ?” tanya Mila terbata-bata sembari menahan rasa sakit. Keringat sudah kembali membasahi tubuhnya. Sila menepuk punggung tangan sang sahabat. “ Aku panggil perawat dulu. Biar di cek bukaan nya.” Dia bukan Dokter kandungan, dan dia juga belum pernah merasakan hamil. Apa lagi melahirkan. Jadi, dia tidak bisa menjawab pertanyaan Mila. Ia segera beranjak, kemudian berjalan cepat ke luar, tempat perawat berjaga. Setelah meminta perawat memeriksa Mila, Sila mendekati suami sang sahabat. “ Mas Alif masuk aja. Temenin Mila. Aku nggak tega dia kesakitan sendirian.” Tante Mala berjalan mendekati Sila. “ Biar tante aja Sila.” Pinta tante Mala yang mendapat gelengan kepala dari Sila. Dia ingin Alif yang ikut merasakan kesakitan sang istri. Memang begitu kan seharusnya. Lagian ia bisa menebak, sahabatnya itu pasti akan semakin brutal dengan semakin bertambahnya bukaan. Yang ia dengar, semakin bertambah bukaan, rasa sakit akan berlipat. Tempo datangnya rasa sakit juga semakin cepat. Meskipun ia tidak tahu akan sesakit apa, tapi dia tidak bisa membiarkan tante Mala dianiaya Mila. Tante Mala mendesah, sebelum akhirnya memangguk kepada sang menantu. Alif dengan segera bergegas masuk ke dalam ruang bersalin. Sila menghela nafas lega, memandang punggung kokoh suami sang sahabat yang sudah tertelan pintu. Ia sangat bersyukur Mila mendapatkan sosok seperti Alif. Pria yang mengerti agama, serta bisa menuntun Mila menjadi wanita yang jauh lebih baik. Ia juga bisa melihat sebesar apa cinta pria itu kepada sang sahabat. Tante Mala mengusap bahu Sila. “ Kita tunggu di sana … “ Tante Mala menunjuk bangku yang di duduki sang suami, Om Robi. Pria paruh baya itu masih terlihat berzikir dengan tasbih di tangan. Sila mengangguk, lalu berjalan menuju kursi besi yang disediakan pihak rumah sakit. Sila melihat jam di tangannya. Sudah lebih dari 3 jam, dan Mila masih belum juga melahirkan. Terakhir ia bertanya pada perawat yang berjaga, bukaan baru bertambah 3 dari saat ia datang. Perutnya kembali mulas. Membayangkan Mila kesakitan selama itu. Dokter juga belum terlihat. Tentu saja. Sang Dokter baru akan datang setelah bukaan 9 atau bahkan setelah bukaan penuh. Memang seperti itu kan ? seorang Dokter memiliki tanggung jawab pada banyak pasien. Dia tidak bisa menunggui seseorang yang belum siap melahirkan, lalu mengabaikan pasien yang lain. Kedua mertua Mila sudah datang dari satu jam lalu. Menurut cerita, keduanya sedang berada di Bogor ketika mendapat kabar dari sang anak bahwa menantunya akan melahirkan. Sila membuka ponsel ketika bunyi notifikasi WA terdengar. Ulin, sang sahabat tak hentinya menanyakan kondisi Mila. Pria itu masih berada di Banjarmasin hingga tidak bisa ikut menunggui Mila. Jari-jarinya segera bergerak membalas pesan, memberi kabar kondiri terbaru Mila. Ia mendesah, menggulir ruang percakapannya dengan Alle. Terakhir 4 hari sebelumnya ketika ia menanyakan kondisi pria itu. Setelah itu belum ada lagi percakapan diantara mereka. Ia mengerjap saat melihat status pria itu sedang online. Mata Sila memicing ketika melihat pria itu sedang menulis. Ia menunggu, namun hingga beberapa saat tidak ada pesan yang masuk. Justru status pria itu kembali offline. Ia yang kesal akhirnya memutuskan untuk menghubungi pria itu. Ia beranjak dari tempat duduk, menjauh dari dua pasang orang tua yang masih harap-harap cemas menunggu kelahiran cucu mereka. “ Halo …” “ Kamu mau ambil mobil kamu kapan ?” tanya Sila dengan nada ketus. Alle terdiam di tempatnya. Sebenarnya ia sudah akan menghubungi Sila sebelum justru mendapati panggilan masuk dari wanita itu. Sudah tiga hari dia sengaja tidak menghubungi Sila. Pertemuan mereka berakhir kurang mengenakkan, dan itu karena tingkahnya yang kekanakan. Dia tidak seharusnya marah pada wanita itu karena sudah mengatakan penolakan padanya. Itu hak dia. “ Alle …!!” Nada suara Sila meninggi. Ia segera mengamati sekitar, lalu meminta maaf pada beberapa orang yang terlihat mengamatinya. Tidak seharusnya ia berteriak di rumah sakit. Alle berdecak. “ Nggak rela banget nampung mobilku. Baru juga beberapa hari.” Keluh Alle yang membuat Sila melotot di tempatnya. Kalau saja pria itu ada di depannya, mungkin sudah ia tendang kakinya yang retak itu. Bukannya ia tidak rela, tapi garasi di rumahnya tidak bisa menampung dua mobil. Dia bahkan sudah merelakan mobilnya yang berada di luar garasi mengingat mobil Alle bukan mobil pasaran. Dan setelah semua itu, Alle justru masih mengeluh. Ia benar-benar kesal. “ Kamu tahu nggak sih Al ? garasi di rumah cuma muat buat nampung satu mobil. Dan gara-gara mobil kamu, aku harus relain si hijau kehujanan semalaman.” Jelas Sila dengan hati dongkol luar biasa. Kalau saja mobil Alle hanya mobil pasaran seperti miliknya, ia tidak akan peduli mobil itu kepanasan, kehujanan, atau bahkan digondol maling sekalipun. Sila menghela nafas panjang. “ Jadi sekarang aku harus berterima kasih nih ?” Sila melongo di tempatnya. Tak lama kepala gadis itu menggeleng. Tak habis pikir dengan tanggapan ringan lelaki di seberang sana. Sementara itu Alle mengulum bibirnya menahan senyum. Ia bisa membayangkan wajah kesal Sila. Telinganya menangkap decakan wanita tersebut. “ Oke .. oke … maaf sebelumnya. Aku akan ke rumahmu sekarang.” “ What ?” Sila memekik, kemudian dalam sekejap ia meringis sembari menganggukkan kepala kearah beberapa orang. Lagi-lagi ia membuat kegaduhan di tempat yang tidak semestinya. Dan semua itu gara-gara pria menyebalkan yang sayangnya memiliki rupa yang sama seperti Hesa nya. “ Kamu pikir sekarang jam berapa ? aku bukan pengangguran kalau kamu mau tahu.” “ Ya … ya … aku tahu kamu orang sibuk. Nggak seperti aku yang tidak punya pekerjaan.” Di tempatnya berdiri, Sila menahan geraman. Ia tidak bermaksud sombong karena pekerjaan yang ia miliki. Hanya saja ia kesal karena pria itu seperti tidak memahami dirinya. Dia tahu Sila bekerja di dua tempat, jadi sudah seharusnya pria itu mengerti jam berapa Sila berada di rumah. Ya .. meskipun sebenarnya saat ini dia juga sedang tidak bekerja. “ Kenapa sih tiap kali ngomong sama kamu selalu berakhir dengan tidak enak.” Sila menghela nafas berat. “ Beda banget kalau ngomong sama Hesa.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN