Sila berjalan tergesa memasuki sebuah rumah sakit Ibu dan anak. Alif, suami Mila mengabarkan kondisi sang istri yang sudah masuk rumah sakit karena akan melahirkan. Sayangnya Sila masih bertugas di rumah sakit satu jam yang lalu saat Alif meneleponnya. Begitu tugasnya selesai, ia segera melesatkan mobil menuju rumah sakit tempat Mila akan melahirkan. Mengedarkan matanya, lalu kembali bergegas ketika melihat tempat lift berada. Sahabatnya itu berada di lantai 5, begitu informasi yang ia dapat dari Alif. Ia mengetuk-ngetukkan ujung heels dengan tidak sabar saat pintu kotak besi itu masih belum juga terbuka. Ulin sedang ada di luar kota sehingga pria itu tidak bisa datang ke rumah sakit untuk menemani sang sahabat. Sila menghela nafas lega begitu pintu lift perlahan terbuka. Segera saja ia masuk ke dalam lift. Beberapa orang yang sudah berada di dalam lift menggeser tubuh mereka untuk memberi tempat kepada mereka yang baru memasuki lift. Sila kembali mengetuk-ngetuk ujung heels nya setelah pintu tertutup. Entah kenapa dia ikut merasa tidak tenang. Rasanya gelisah. Tidak hanya itu … perutnya juga sempat merasa mulas. Padahal bukan dia yang akan melahirkan. Ia menghembuskan nafas panjang berkali-kali. Sedikit tersentak ketika bunyi lift terbuka membuyarkan pikirannya. Ia segera melangkah keluar. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari ruang bersalin. Langkah kakinya semakin cepat setelah menemukan arah yang ia cari. Sila berlari kecil begitu melihat suami dan kedua orang tua Mila.
“ Gimana … udah lahir ?” tanya Sila begitu sampai di dekat mereka. Wajah cemas masih tampak pada ketiga orang yang dikenalnya baik. Alif menggeleng.
“ Belum. Masih bukanan dua dari sejam yang lalu.” Sila mengerjap.
“ Yang nemenin dia di dalam siapa ?” tanya Mila heran. Ia memang tidak melihat kedua orang tua Alif, tapi tidak mungkin juga mereka yang menemani Mila di dalam ruang bersalin. Alif mendesah panjang.
“ Mila nggak mau di temani.” Jawab Alif yang justru membuat Sila terperangah. Mulutnya terbuka lebar. Merasa aneh dengan sahabatnya itu. Di mana-mana, seorang istri kalau melahirkan ingin di dampingi sang suami. Ia melongok untuk melihat kedua orang tua Mila yang tampak begitu cemas. Ia melangkah mendekat, kemudian menyalami keduanya. Meskipun jarang bertemu, namun Sila mengenal baik kedua pasutri tersebut. Pintu ruangan terbuka, seorang perawat keluar. Sila bergegas mendekat.
“ Sus … boleh masuk untuk melihat pasien ?” sang perawat berhenti melangkah, mengamati wanita dihadapannya sebelum mengangguk.
“ Silahkan … tapi satu orang saja ya.” Jawabnya sembari melihat ketiga orang lainnya. Sila mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih sebelum mendekat kembali kepada Alif dan orang tua Mila.
“ Sila lihat Mila dulu.” Pamit Sila yang diangguki ketiganya.
“ Coba kamu bujuk dia biar tante bisa menemani dia di dalam. Tante tidak tenang.” Pinta tante Mala, Mama Mila. Sila mengangguk sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruang bersalin. Di sana, di sebuah ranjang, dilihatnya sang sahabat sedang setengah berbaring sambil meringis menahan sakit. Sila ikut meringis melihat sang sahabat meringis. Perutnya kembali terasa mulas. Ia berjalan mendekat. Matanya bertemu tatap dengan sang sahabat. Wajah wanita diatas ranjang rumah sakit itu pucat.
“ Heiii … “ sapa Sila. Mila berusaha tersenyum, meski senyum itu berubah menjadi ringisan hanya dalam waktu sekian detik. Sila menggeser kursi mendekat ke ranjang, lalu duduk dan segera meraih sebelah tangan sang sahabat untuk ia genggam. Berharap bisa memberi suntikan semangat untuk sahabatnya itu. Mila kembali meringis hingga membuat Sila merasa mulas kembali.
“ Mau ditemani Mama, atau Mas Alif ?” tanya Sila pelan-pelan sembari meringis. Kepala Mila menggeleng. Sila menghela nafas panjang. Tidak sampai hati melihat sang sahabat berjuang sendirian. Akan lebih baik jika ada yang menemani wanita itu.
“ Kamu bisa meremas, atau mencubit Mas Alif saat merasa sakit. Kalian harus berbagi rasa sakit. Kapan lagi kamu bisa menganiaya Mas Alif coba.” Sila terkekeh setelah menyelesaikan kalimat absurb nya. Mila pasti sudah mengetok kepalanya kalau saja wanita itu tidak sedang kesakitan. Mila sudah akan tertawa ketika mendengar ucapan ngawur sang sahabat, namun rasa sakit kembali menderanya.
“ Aduhh … “ keluh Sila begitu merasakan cubitan di tangannya. Ia menatap tak percaya sang sabahat yang tersenyum kecil. Mila mengambil nafas panjang, kemudian menyemburkannya perlahan. Cara itu bisa sedikit mengurangi rasa sakit. Ia mengulanginya beberapa kali.
“ Kamu aja yang menemin aku ya Sil.” Sila langsung menatap horor sang sahabat. Belum apa-apa saja ia sudah mulas, apalagi kalau harus melihat Mila mengejan. Ia tidak bisa membayangkan. Ia memang seorang Dokter. Melihat pasien kesakitan bukan lagi pemandangan baru. Tapi masalahnya, kali ini yang dihadapi adalah Mila, sahabatnya. Itu yang membuat Sila tidak tahan. Ia bahkan berpikir seandainya saja bisa membantu mengurangi rasa sakit yang dirasakan sang sahabat. Sila mengambil tisu diatas nakas sebelah pembaringan Mila, kemudian mengusap keringat di kening sang sahabat.
“ Lihat kamu kesakitan aku udah mulas Mil.” Jelas Sila sembari kembali duduk. Ia menatap sang sahabat yang sedang mengatur pernafasannya. d**a Mila naik turun cukup cepat. Mulut wanita itu mengerucut ketika mengeluarkan nafas secara perlahan.
“ Entar kamu juga akan ngerasain seperti ini Sila.” Sila mengangguk. Dia memang ingin menjadi seorang ibu suatu saat nanti. Entah kapan saat hati bahkan belum bisa melupakan mantan terindah dalam hidupnya. Entah apakah ia akan bisa kembali jatuh cinta seperti saat ia berkali-kali jatuh cinta pada satu pria yang sama. Sekelebat bayangan wajah yang dihapalnya memenuhi benak. Namun tanpa kaca mata tebal yang menutup netra berwarna hazel itu. Sila mengerjap saat menyadari bayangan yang sekebat datang itu adalah bayangan Alle, bukan Hesa. Ia menggelengkan kepala, berusaha mengusir bayang pria yang terakhir kali dilihatnya 3 hari lalu, ketika ia mengantar pria itu pulang ke appartemennya. Sila yang ketika itu tidak tega melihat Alle yang berjalan tertatih dengan tongkat, akhirnya memapah pria itu hingga masuk ke dalam unitnya. Ia mendesah ketika mengingat pembicaraan mereka sebelum Sila memutuskan pulang.
Flash back
“ Alva pasti sedih kalau melihatmu masih terus berduka kerena kepergiannya.” Kata Alle sembari mendudukkan tubuh di sofa ruang tamu. Pria itu tidak mengalihkan tatapan mata dari sosok gadis yang berjalan pelan kemudian duduk di sofa single sebelahnya. Bibir gadis itu tersenyum kecil.
“ He’s my first real love.” Sila mengangkat kepala untuk bisa menatap wajah identik Hesa. Ia akan selalu mengingat Hesa tiap kali melihat wajah itu. Tanpa melihat jelmaan wajah Hesa saja dia tidak mampu melupakan kekasih hatinya, apalagi dengan selalu melihat wajah itu. Bagaimana bisa dia mengenyahkan perasaannya.
“ Aku tidak tahu. Mungkin memang aku belum bisa sepenuhnya mengikhlaskan kepergian Hesa. Tapi … aku berusaha. Menerima, dan juga mengikhlaskan dia.” Sila mendesah panjang. Pandangannya menyisir ruangan yang sudah menjadi familier di matanya setelah beberapa kali datang ke tempat itu. Tatapan mata itu berhenti pada sebuah pigura yang di gantung di atas layar LED 40 inci yang masih menggelap. Tiga orang anak yang tertawa bahagia. Dua orang anak laki-laki dengan wajah serupa, dan seorang anak perempuan cantik ditengah keduanya. Bibirnya tertarik ke samping. Ketiga orang dalam photo itu terlihat begitu bahagia.
“ Photo itu diambil sewaktu ulang tahun Nora yang ke -10.” Jelas Alle saat melihat kemana sepasang mata cantik itu menatap. Sila mengangguk mendengar penjelasan Alle. Tatapan ke photo itu berubah sendu. Dua orang sudah tak lagi ada. Nora … dan juga Hesa. Hanya tersisa sosok Alle yang sekarang sedang duduk bersamanya. Seandainya mereka berdua masih ada, mungkinkah Sila akan berada di tempat ini ? mungkin tidak.
“ Malam itu … kamu kan ?” Sila menoleh ke arah Alle. Kening Alle berlipat. Ia tidak memahami pertanyaan Sila.
“ Malam itu … penggerebekan balapan liar. Rafid.” Tatapan mata Sila menajam. Mata Alle mengerjap beberapa kali sebelum menegakkan duduknya. Ia membalas tatapan tajam Sila. Seperti yang ia duga, Alva tidak menceritakan yang sebenarnya kepada Sila. Perlahan kepalanya mengangguk. Sila langsung mendesah. Setelah bertahun-tahun dia baru tahu bahwa pria yang sempat menyelamatkan dirinya dari polisi, kemudian mengantarkan pulang bukanlah Hesa. Ia masih belum bisa mengerti kenapa Hesa justru mengambil alih posisi Alle, dengan mengakui dia lah yang bertanggung jawab pada penggerebekan malam itu. Dia bahkan harus babak belur dihajar oleh Rafid.
“ Alva … tidak mengatakannya padamu ?” Alle tahu Sila akan mengangguk. Dia hanya ingin memastikan saja bahwa benar Alva tidak menceritakan kejadian sebenarnya malam itu. Lalu ia tertawa kecil.
“ Dia terlalu mencintai kamu.” Alle masih tertawa kecil. Bayangan wajah kakak kembarnya ketika cemburu seketika berkelebat. Padahal sebenarnya tidak ada yang perlu Alva takutkan. Semua yang mengenal mereka berdua pasti akan lebih dulu jatuh cinta pada Alva. Terlalu banyak kelebihan yang dimiliki seorang Alvaro Mahesa, dibandingkan dengan Allegra Mahesa.
“ Dia hanya takut kamu akan jatuh cinta padaku.”