Part 17. Obrolan

1376 Kata
Sila menarik nafas panjang sebelum melangkahkan kembali kakinya memasuki sebuah resto. Tempat ia janji bertemu dengan Raya, Mama Hesa serta Alle. Sudah beberapa hari ia tidak bertemu putra wanita paruh baya tersebut. Terakhir kali adalah ketika Alle datang untuk mengambil mobilnya. Ketika itu mereka juga tidak banyak bicara. Sila hanya memberikan kunci mobil Alle, kemudian mengatakan ada urusan lain hingga Alle tidak punya alasan untuk tinggal lebih lama di rumah Sila. Pria itu hanya mengucap terima kasih, kemudian membawa pulang si hitam mahal miliknya. *** Lambaian tangan, serta senyum seorang wanita membuat pencarian Sila berakhir. Ia segera melangkah mendekati meja di mana Raya duduk. “ Apa kabar sayang ?” Raya menarik tubuh Sila, kemudian mendekapnya. Memberi beberapa kali tepukan di punggung Dokter muda tersebut. Dengan canggung Sila menerima, kemudian membalas pelukan Raya. Sila sebenarnya merasa aneh karena Raya terkesan seperti sudah lama mengenal dirinya. Padahal mereka baru bertemu beberapa bulan belakangan. Raya melepaskan pelukan, kemudian meminta Sila untuk duduk di sebelahnya. Setelah itu Raya memanggil pelayan, meminta Sila untuk memesan. Sementara dia sendiri sudah memesan minuman dan juga makanan ringan. “ Terima kasih Sila mau meluangkan waktu untuk menemui Tante.” Buka Raya. Wanita itu sudah memiringkan duduknya untuk bisa menghadap Sila, lalu meraih telapak tangan Dokter muda itu. Raya menggenggam erat tangan Sila. Tatapan penuh sayang dari sepasang mata berwarna coklat itu mengingatkan Sila kepada sang Mama yang sudah pergi. Seperti itulah sang Mama menatap Sila. Penuh kasih sayang. Dan sekarang Sila mendapatkannya dari Mama Hesa. Sila mengangguk, merasa tidak sama sekali keberatan untuk menemui wanita di hadapannya. “ Engga apa-apa kok Tante. Kebetulan Sila masih punya waktu sebelum ke klinik.” Sila tersenyum menenangkan lawan bicaranya. Raya terlihat menarik nafas panjang. Tatapan mata wanita itu masih belum beralih. Mengamati wajah cantik yang mampu membuat kedua putranya jatuh cinta dengan mudah. “ Alva … “ Raya menghentikan ucapannya. Mengamati perubahan raut wajah Sila yang begitu kentara. Wajah Dokter muda di depannya berubah sendu begitu ia menyebut nama putra pertamanya. “ Tante mohon … ikhlaskan dia supaya bisa tenang di tempatnya sekarang.” Raya meremas tangan Sila. Ia memohon melalui tatapan matanya. Sebagai seoarang Ibu, ia bersyukur karena sang putra dicintai begitu dalam oleh sang kekasih. Tapi ia tidak bisa membiarkan Sila larut dengan kesedihannya lebih lama lagi. 6 tahun sudah lebih dari cukup untuk wanita itu meratapi kepergian putranya. Dia ingin Sila kembali mendapatkan cinta, dan juga kembali mencintai pria lain. Meskipun dalam hati ia berharap besar bahwa pria beruntung itu adalah putra ke dua nya. Tidak perlu bertanya, Raya tahu sang putra ke dua juga jatuh hati pada wanita di hadapannya. Meskipun Alle terus menyangkal bahwa perasaan yang dia miliki untuk wanita itu adalah perasaan Alva yang tertinggal padanya. Perlahan kedua bola mata Sila menghangat, lalu beberapa detik setelahnya genangan air melapisi kedua bola matanya. Selalu saja begitu setiap kali dia mengingat Hesa. Tentu saja Sila berusaha mengiklaskan kepergian pria itu. meski rasanya sangat berat. “ Saya sudah mengikhlaskan kepergian Hesa Tante.” Ucap Sila dengan kepala menunduk. Sila menarik sebelah tangan yang masih di genggam Raya. Ia harus segera mengusap air mata yang sudah mendesak ingin keluar. Raya mengangguk. “ Kalau begitu … kamu harus mulai membuka hatimu lagi. Tante yakin, yang Alva inginkan adalah melihatmu bahagia. Maka kamu harus berbahagia.” Dengan menahan isak, Sila tersenyum. Ia angkat kepala untuk memperlihatkan senyum. Senyum yang terasa begitu berat ia kembangkan. Tapi ia tidak ingin membuat wanita paruh baya di hadapannya khawatir. Sila harus memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja, dan bahagia tentu saja. Raya tersenyum. Mengusap pipi kekasih sang putra. “ Satu hal yang kamu harus ingat. Alva sangat mencintai kamu. Dia memang belum terlalu banyak bercerita. Kamu pasti tahu kalau Alva itu … sedikit tertutup.” Sila mengangguk menyetujui penilaian Raya. “ Tapi tentang kamu … dia bilang ingin mengenalkan kamu pada Tante. Tante bisa melihat cinta di mata anak tante saat mengatakannya.” Akhirnya Sila tidak bisa lagi menahan air mata. Cairan bening itu lolos begitu saja. “ Menangislah untuk terakhir kalinya ketika kamu mengenang Alva. Setelah ini … kamu hanya boleh tersenyum ketika mengenang semua hal tentang putra Tante. Dengan begitu Tante yakin, Alva akan tenang di tempatnya berada sekarang.” Jelas Raya ketika melihat Sila masih terus terisak. Ia raih tubuh itu untuk ia dekap kembali. Memberikan ketenangan yang Sila butuhkan. Sila tergugu di pundak Mama Hesa. Wanita yang telah melahirkan Hesa itu semakin erat mendekap. Tangannya menyapu punggung Sila naik turun membuat Sila merasakan kenyamanan. Setelah merasa sudah bisa mengontrol kembali emosi yang meluap-luap beberapa saat lalu, Sila merenggangkan pelukan. Rasanya terlalu malu untuk menatap wanita paruh baya di hadapannya. Bagaimana bisa dia menangis tergugu hingga membasahi baju yang dikenakan Mama Hesa. Sila menarik nafas panjang sembari tangannya sibuk membersihkan sisa air mata. Entah sudah semerah apa kedua matanya sekarang. “ Maaf Tante … Sila mengotori baju Tante.” Ucap Sila dengan kepala yang masih tertunduk. Bukannya marah, Raya justru tertawa. Tidak menyangka wanita muda dihadapannya malah memikirkan bajunya yang tidak seberapa penting. Perlahan Sila mengangkat wajah, mendapati tawa yang mirip dengan tawa milik Hesa. Ternyata mantan kekasihnya mewarisi tawa dari sang Mama. Tawa Raya terhenti ketika seorang pelayan datang dengan membawa pesanan mereka. Raya mengajak Sila menikmati hidangan sembari berbincang ringan. Raya menceritakan bagaimana kedua putra kembarnya sewaktu mereka masih kecil. Seperti apa Alva, dan seperti apa Alle. Sila mendengarkan, dan sesekali tertawa ketika cerita Raya menggelitik perutnya. “ Alle itu bandelnya minta ampun. Entah sudah berapa kali Tante di panggil ke sekolah karena dia berkelahi. Tapi satu yang bikin Tante bangga sama dia.” Raya menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ceritanya. “ Anak itu sangat menyayangi saudara-saudaranya. Dia akan berdiri di depan ketika salah satu dari mereka mendapat masalah.” Lalu Raya terkekeh. “ Tentu saja masalah yang berhubungan dengan adu otot.” Mata raya berbinar ketika menceritakannya. Sila tersenyum membayangkan apa yang diceritakan oleh Raya. “ Kalau Alva bisa menghasilkan banyak uang dari dunia pendidikan. Menang lomba ini lah, itu lah, maka berbeda dengan Alle. Dia itu sebenarnya jenius, hanya saja memang tidak tertarik dengan dunia pendidikan. Dia hanya menyukai komputer. Dan dari situ dia juga bisa menghasilkan uang yang berlimpah. Kedua putra Tante tidak pernah merepotkan kami sebagai orang tua. Mereka berdua mandiri secara finansial sejak …” kening raya berkerut. Wanita itu mencoba mengingat lebih kuat. “ um … SMP kalau enggak salah. Alva pertama mendapat uang dari lompa olympiade matematika itu SMP kelas 2.” Kepala raya mengangguk-angguk, membenarkan ingatannya. “ iya benar. Tante ingat. Dia kasih semua uang itu ke Tante. Lalu, karena Tante merasa tidak berhak atas uang itu, Tante bukain Alva rekening bank. Mulai saat itu semua uang yang dia dapat masuk ke rekening itu.” “ Hesa … eh Alva … dia memang jenius. Dia yang bantu Sila belajar Metematika, dan Fisika Tante.” Sila tersenyum malu. “ Tadinya nilai Sila untuk dua mata pelajaran itu tidak pernah bisa lewat dari angka tiga.” Sila meringis ketika menyebut nilai nya sembari melirik respon Raya yang justru malah terkekeh. Wanita paruh baya tersebut mengangguk. “ Alva cerita soal itu. bebek terbang kan ?” tanya Raya sembari menggoda Sila. Sila terbelalak. Tidak menyangka kalau Hesa ternyata menceritakan hal itu kepada sang Mama. Dia jadi penasaran, sebanyak apa yang sudah Hesa ceritakan kepada wanita paruh baya di hadapannya. Pipinya mendadak terasa panas. Ia khawatir jika Hesa juga menceritakan sejauh apa hubungan mereka. Rasanya Sila benar-benar tidak punya muka untuk berhadapan dengan wanita yang masih memasang senyum lebar sembari menatapnya, jika benar Hesa menceritakannya. “ Kalau Alle ?” tanya Sila berusaha mengalihkan pembicaraan. Dia terperangah melihat binar di mata Mama pria tersebut. Alis Sila berkerut bingung. Apa yang membuat wanita itu terlihat begitu senang ? padahal ia hanya mengajukan pertanyaan biasa, berharap pembahasan tentang Hesa berhenti karena ia takut mengetahui sejauh apa wanita itu tahu tentang hubungan mereka. Sebenarnya lebih kepada rasa malu andai apa yang ia pikirkan benar. “ Alle … “ wanita itu mulai membuka mulut. “ Dia berbeda dengan Alva. Jadi, bisakah Sila melihatnya sebagai Alle ? bukan Alva ?” tanya Raya. Wanita itu sudah kembali meraih kedua telapak tangan Sila untuk ia genggam erat. “ Anak itu terlihat kuat di luar, tapi sebenarnya … “ mata Raya memerah. “ Dia sangat rapuh di dalam.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN