Part 15. Kemunculan Mona

1267 Kata
“ Al … kamu nggak punya jus ?” tanya Sila sembari melongok ke dalam lemari pendingin di dapur apartemen Alle. Lemari pending besar dua pintu itu hampir kosong. Hanya ada beberapa botol air mineral, empat buah apel merah, dan tiga buah pisang sunrise yang masih tertutup wrapping plastic dengan rapi. Alle yang baru saja duduk, menoleh ke arah dapur. “ Enggak. Mama belum isi kulkas lagi.” Sang Mama yang biasa mengisi lemari pendinginnya selama dia sakit memang sudah 3 hari tidak datang ke apartement. Untuk makan Alle memesan jasa antar selama sang Mama berada di Singapura. Sila berdecak, kemudian mengambil dua botol air mineral sedang. Membawanya ke ruang tamu. Ia meletakkan satu botol di depan Alle, kemudian duduk di sebelah pria itu. Alle menggelengkan kepala. Siapa sebenarnya pemilik apartemen. Kenapa malah dia yang terlihat seperti tamu ? “ Harusnya tadi kamu ngomong jadi kita bisa mampir untuk membeli isi kulkas kamu yang sudah kosong melompong.” Sila menggerutu sembari meraih remot, kemudian menyalakan televisi. Dia tidak akan keberatan menemani pria itu berbelanja. Melihat isi kulkas yang hampir kosong membuat Sila merasa kasihan. Bagaimana kalau tengah malam pria itu kelaparan. “ Kamu nggak pulang?” Tanya Alle yang merasa heran melihat Sila sibuk mencari channel yang dia suka. Bukankah wanita itu hanya perlu mengantarnya ke apartemen, lalu pulang ke rumahnya sendiri ? tapi kenapa Sila justru terlihat ingin berlama-lama di apartemennya ? Sila menoleh dengan tatapan kesal yang tidak ia tutup-tutupi. “ Kamu ngusir ??” Sila meletakkan remot tv dengan kasar ke meja. Alle mengerjap. Dia tidak bermaksud mengusir. Dia hanya bertanya. Apa salah ? kenapa Sila malah marah ? tangan kanannya bergerak menggosok telinga. “ Bukan … aku cuma tanya.” Sila mendengus. Dia hanya ingin memperbaiki hubungannya dengan Alle. Saat dalam perjalanan pulang dari kedai nasi goreng, pria itu memang bilang sudah memaafkannya, tapi dia merasa suasana diantara mereka masih canggung. Dia tidak suka itu. Sila beranjak dari tempat duduk. Ia akan pulang karena sepertinya Alle tidak suka ia berlama-lama di apartemen pria itu. cekalan di tangan kiri membuat Sila menoleh. Tatapannya bertemu dengan sepasang bola mata berwarna hazel yang pernah begitu mudah menenggelamkannya. Kali ini mata hazel yang sedang menatapnya bukan milik orang yang sama, tapi memiliki efek yang sama pada hatinya. Suara bunyi pasword pintu yang ditekan membuat Sila dan Alle mengalihkan tatapan ke arah pintu. Masih dengan tangan Alle memegang pergelangan tangan Sila. “ Siapa ?” Tanya Sila tanpa repot-repot menatap Alle. Tatapan matanya masih lurus ke arah letak daun pintu yang masih tertutup rapat. Alle mengernyit. Sang Mama masih berada di Singapura. Lalu siapa yang datang malam-malam ke apartemennya ? seseorang yang sudah tahu password pintu apartemen. Seingatnya hanya sang Mama, dan … Alle segera beranjak ketika mengingat kemungkinan yang datang ke apartemen miliknya adalah seseorang dari masa lalu. Gerakan tubuh yang mendadak membuat kaki kanannya kembali terasa sakit. Ia segera bertumpu pada bahu Sila sembari meringis ketika merasa kaki kiri tak lagi sanggup menahan beban tubuh. Sila bergerak cepat melingkarkan tangan di pinggang pria tersebut begitu merasakan pergerakan Alle yang kesusahan. “ Al –” Sila segera menoleh ketika mendengar suara lembut seorang perempuan memanggil nama Alle, pria yang masih ditopangnya agar bisa berdiri tegak. Sila hanya bisa mengerjapkan mata melihat seorang gadis yang tampak terkejut melihat mereka berdua. Gadis itu cantik, bahkan bisa Sila kategorikan sangat cantik. Rambut coklat panjang bergelombang. Kulit putih bening, memperlihatkan hasil perawatan salon yang pastinya sangat mahal. Tinggi sekitar 170 cm dengan berat yang pasti ideal. Mata bulat sempurna dengan tulang hidung tinggi serta bibir tipis berpoles lipstik merah menawan. Gadis yang memakai blouse kuning, dan celana skinny jeans warna abu itu masih terlihat kaget. Sila segera sadar, lalu membimbing Alle agar kembali duduk di sofa. Dengan begitu ia tidak perlu lagi menopang tubuh pria yang tidak kecil tersebut. Sila kembali menegakkan tubuh, lalu memaksakan senyum kearah perempuan dengan dua plastik besar di kedua tangan. Sepertinya wanita itu membawa belanjaan. Ah … mungkin Alle memang sedang menunggu gadis itu datang. Itu sebabnya ia memintanya pulang. Dia saja yang tidak peka dengan permintaan Alle dan malah merasa kesal. Mendadak hatinya berdesir nyeri saat menyadari dia yang terlalu percaya diri, merasa diperlukan oleh sosok Alle. Alle mengeluarkan hela nafas kasar berkali-kali. Suasana mendadak hening. Sila masih berdiri menatap seseorang yang baru saja masuk ke dalam apartemen dengan menekan sendiri password pintu apartemennya. Ia bisa menduga apa yang sedang Sila pikirkan ketika melihat Mona. Teman masa kecil, juga mantan kekasihnya. Ia tidak tahu kenapa Mona datang malam-malam dengan belanjaan begitu banyak. “ Ada apa ?” tanya Alle memecah keheningan. Ia menatap lurus Mona. Mantan kekasihnya itu masih terlihat cantik seperti setahun lalu ketika terakhir mereka bertemu. Juga terakhir kali mereka berstatus sebagai kekasih. Setelah itu, yang ia tahu, wanita itu pergi ke Paris. Berkecimpung dengan dunia modeling yang ia suka. Lalu sekarang, setelah satu tahun, wanita itu muncul kembali. Di dalam apartemennya. Benar-benar kejadian yang tidak bisa ia percaya setelah semua yang sudah terjadi. Jantung Mona berdetak semakin kencang. Ia tidak menyangka akan menemukan mantan kekasihnya bersama perempuan lain di dalam apartemen. Perempuan itu tidak lebih cantik darinya, tapi tetap saja dia merasa gusar seketika. Selama satu tahun ia mengejar mimpinya di dunia modeling. Melepaskan pria yang menjadi kekasihnya. Namun perasaannya tidak tenang. Setelah tak lagi bersama, dia merasakan kehilangan dan berniat untuk memperbaiki hubungan mereka. “ Kenapa nggak nelepon dulu kalau mau datang ke sini ?” tanya Alle lagi. Mona mengalihkan tatapan ke arah Sila, kemudian beranjak masuk. “ Kata tante kamu sakit. Aku bawain belanjaan buat kamu. Tante bilang dia masih di Singapura, jadi aku pikir kamu pasti butuh stok makanan.” Tanpa menyapa wanita yang masih menatapnya penuh rasa ingin tahu, Mona melanjutkan langkah menuju dapur. Tanpa rasa sungkan ia segera membuka lemari pendingin, kemudian mendesah. Benar perkiraannya bahwa Alle membutuhkan stok makanan. “ Kamu mau makan apa biar aku masakin.” Teriak Mona dari dapur. Kedua tangan wanita itu masih sibuk menata bahan-bahan makanan ke dalam kulkas. Sementara itu, Sila yang merasa kehadirannya tak lebih hanya akan mengganggu mereka berdua, segera meraih kunci mobil di atas meja. Namun lagi-lagi sebuah tangan mencekalnya. Ia menoleh, kembali mendapati sepasang mata hazel yang langsung menenggelamkannya hingga ke dasar. Sila tak yakin akan bisa kembali keluar kalau tidak segera mengalihkan tatapannya. Namun Alle tidak membiarkannya lari begitu saja. Ia mengunci tatapan mata segelap malam milik Faisila. Entah mengapa ia merasa harus menjelaskan kepada Sila bahwa wanita yang sedang berada di dalam dapur itu bukanlah siapa-siapa untuknya. Hanya sosok teman. “ Dia … temanku. Teman masa kecilku.” Sila mendengarkan. Dalam hati merasa sedikit lega. Ia kira wanita cantik itu kekasih Alle karena tidak mungkin mereka tidak mempunyai hubungan dekat. Ingat … wanita itu bahkan tahu password pintu apartemen Alle. Jadi tidak mungkin wanita itu hanya sembarang orang di dalam hidup pria itu. “ Rumah kami tetanggaan, jadi dia juga sudah mengenal Mama dari kecil.” Alle masih melanjutkan penjelasannya. Tidak ingin Sila salah paham. “ Dia juga kenal Alva … Nora … Papa.” Alle masih menatap lekat mata Sila yang masih terdiam. Bibirnya masih tertutup rapat. Dari ekspresi wajah, Alle melihat ada sebersit … kecemburuan ? benarkah ? otaknya berpikir keras. Berharap apa yang dia lihat benar adanya. Seulas senyum terlepas begitu saja. Aneh memang, tapi dia merasa senang mendapati kenyataan bahwa Sila cemburu pada mantan kekasihnya. “ Sayang … aku bikinin spageti mau ?” Dan sebaris kalimat tanya yang terdengar dari dapur yang tak terlalu jauh dari tempat mereka berada seketika membuyarkan semuanya. Sila segera menarik paksa tangan yang masih ada dalam genggaman Alle, lalu berjalan cepat menuju pintu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN