Save Me 36

1568 Kata
Setelah aku masuk rumah. Alfa dipersilakan untuk duduk oleh Papa. Lalu, Papa meminta Mama untuk membuatkan minum. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Setelah aku cuci muka, rasanya penasaran. Akhirnya aku pindah ke ruang tengah untuk menguping percakapan antara Papa dan Alfa. Pasalnya, sudah hampir dua jam, mereka belum juga berhenti. Ini sudah mau jam sembilan, dia kapan pulang? Aku mendengar dengan samar lelaki itu kembali berbicara setelah sebelumnya saling diam. "Sebelum pulang, Alfa mau menyampaikan sesuatu, Pa. Jika diizinkan, saya ingin meminang putri Papa. Saya ingin meminta Septi untuk menjadi istri saya." Aku terkejut dengan kalimat Alfa. Rasanya ingin datang ke ruang tamu dan marah-marah padanya. Sayangnya di sana ada Papa. Aku tidak mau membuat Papa kesal dan Alfa merasa dipermalukan. "Papa nggak bisa jawab iya atau tidak sekarang, Fa. Septi sendiri harus tahu dengan hal ini. Papa perlu bicara dengan Septi, mama dan juga kakaknya." "Iya, Pa, nggak apa-apa, Alfa akan tunggu. Terima kasih sebelumnya." "Iya, Fa... maaf, ya." "Ya sudah, Pa, ini udah malam. Saya pamit pulang dulu." "Salam buat ibu dan bapak di rumah, ya." Aku melihat Alfa mulai mencium punggung Papa. Aku segera berjalan menuju ruang tamu. "Pa, aku aja yang antar Alfa keluar. Papa di sini aja. Atau masuk ke dalam sebentar. Aku mau ngomong sama Alfa." Alfa terlihat bingung. Mungkin, tak biasanya ia melihatku ingin berbicara dengannya. Setelah Papa masuk, aku tak membuntuti Alfa. Aku tak sabar ingin memarahi dia. Pintu rumah kututup dan aku mulai mengeluarkan kekesalan. "Alfa! Kamu kenapa ngelamar aku?  Heh... melamar itu bukan permainan!" "Aku sedang tidak main-main, Septi! Aku juga udah minta restu sama ibu dan ayahku tadi. Sebelum mandi, aku minta Mama untuk temani kamu. Aku bilang kalau aku kan lamar kamu malam ini." "Kenapa kamu nggak bilang ke aku? Kamu itu mau jadi teman aku! Kenapa malah ngelamar?" "Kalau aku bilang, kamu pasti nggak akan certia sama papa dan mama kamu. Udah pasti kamu nolak! Aku mau jadi teman kamu Septi. Aku mau kamu jadi teman hidupku." Aku terdiam seraya menarik napas panjang. "Aku nggak mau, Alfa! Aku tahu, kamu melamarku cuma karena ibah! Maaf, aku nggak bisa terima lamaran kamu!" "Nggak apa-apa Septi, aku akan tunggu sampai kamu mau! Aku pulang, assalamu'alaikum." Pria itu berlalu ke dalam mobil dan meninggalkan aku. Aku benar-benar dibuat bingung oleh lelaki berwajah oppa-oppa Korea itu! *** Ditolak tak membuat Alfa lantas menyerah begitu saja. Ia terus datang menjengukku, mengajak untuk ngobrol, memberi motivasi, atau sekadar menghibur dengan lelucon garingnya.  Keberadaan Alfa sedikit  menghangatkan hatiku. Lambat laun rasa putus asa yang hampir menguasai jiwaku pun pergi terkikis. Aku kembali memiliki semangat untuk terus berjuang menyembuhkan penyakit Meningitis dengan mengikuti arahan dokter. Dari kontrol kesehatan rutin setiap minggu, konsumsi vitamin herbal hingga pengobatan tradisional bersama tabib. Bahkan, aku juga sempat mengikuti ruqyah demi menghilangkan aura negatif atau gangguan jin yang ada pada tubuhku. Beruntungnya aku, sekarang minum obat pun tak seribet dulu. Sebelumnya, aku harus mengonsumsi enam sampai delapan obat sekali teguk. Tetapi kini cukup tiga sampai empat saja. Hari ini genap empat bulan terhitung sejak dokter mendiagnosa penyakitku. Entah kali ini kontrol ke berapa, yang kuingat... hari ini adalah hari ulang tahunku. Walau aku harus bergantung dengan obat, tetapi selama empat bulan terkahir, perkembangan kesehatanku cukup membaik. Namun, meski obat adalah perantaranya, bukan berarti aku tidak melibatkan Allah. Dalam setiap urusan, terutama cara berikhtiar untuk penyembuhan meningitis ini, baik Papa, Mama ataupun aku selalu melibatkan Allah. Selain kontrol setiap minggu di rumah sakit, kami menggunakan pengobatan herbal dari tabib, resep tradisional, bahkan ruqiyah demi tercapainya kesembuhan. Karena hal tersebutlah penyembuhan ini tidak memakan waktu yang singkat. Masih di rumah sakit dan poliklinik yang sama. Aku mengantre cukup lama. "Septi...." Dokter memanggil namaku untuk diperiksa. Setelah selesai diperiksa, kuberikan berkas-berkas berupa catatan kesehatan dan resep dari dokter kepada perawat yang bertugas. Lalu, aku pun kembali duduk. Sembari menunggu, aku mendengar obrolan antara perawat dan seorang TNI. "Iya, Bu... saya baru sembuh. Setelah koma dua bulan," ujar seorang TNI. "Ya Allah, bersyukur, ya, Allah masih kasih kesembuhan. Tapi sekarang harus mulai dinas lagi? Jaga kesehatan, ya. Emang kemarin sakit apa?" tanya perawat. Aku dan Mama terus memperhatikan obrolan tersebut. Lalu, TNI itu berkata, "Saya sakit Meningitis." Mama terkejut, dan kami saling memandang. "Ya Allah... tuh, dia aja TNI yang kuat bisa kena Meningitis, Teh." Mama berbisik. "Iya, Mah, kasian, malah harus dines lagi. Seharusnya istirahat aja, ya." "Katanya koma sampai dua bulan. Kita harus banyak bersyukur, untung kamu nggak sampai begitu," ungkap Mama. Aku sangat bersyukur karena Allah masih memberikan kesempatan hidup padaku. Setelah urusan di ruang pemeriksaan selesai, selanjutnya kami harus menunggu obat. Aku dan Mama sudah cukup lama berada di rumah sakit, tepatnya sejak pagi hingga sekarang pukul tiga sore. Tubuhku sudah tidak bisa bertahan, rasanya sangat lemas. "Mah, kok dingin semua, ya. Badanku lemas," ungkapku. "Kenapa?" tanya Mama. "Nggak tahu, Mah, pusing." Hanya itu yang kuingat, setelah itu aku tak sadarkan diri. Setelah terbangun, aku sudah berada di IGD dengan selang oksigen yang menempel di hidung. "Sudah sadar... Mbak... bangun...." Seorang perawat menepuk-nepuk lenganku. Aku berhasil membuka mata dan Mama duduk di depanku bersama Om Yanto yang kebetulan bekerja di rumah sakit tersebut. "Berapa itu tensinya?" tanya Om Yanto pada perawat. "Tujuh puluh per empat puluh, Pak." "Astaghfirullah, ngedrop banget, udah buruan infus." Tegas Om Yanto. "Udah Mbak, kabarin papanya. Neng Septi dirawat aja," ungkap beliau pada Mama. Papa sedang ada di Jakarta. Sedangkan Teh Widi masih bekerja, terpaksa Mama meminta Alfa untuk datang ke rumah sakit karena aku dirawat. Hari ini... 30 Oktober 2016 tepat hari ulang tahun ke 20, aku kembali dirawat di ruangan seperti empat bulan lalu di rumah sakit yang sama. *** Malam ini aku hanya ditemani Mama saat di rumah sakit. Papa masih di Jakarta, sedangkan Kakak tidak bisa ikut bermalam di sini. "Perasaan tuh kayak sedih," ujarku. "Sedih kenapa?" tanya Mama. "Nggak ada yang jagain Septi di sini." Tak terasa mataku berkaca-kaca. "Jangan gitu, kan, ada Mama. Papa juga lagi ke sini, sabar... kamu yang nurut, jaga kesehatan." "Iya, Ma, Septi udah ikhtiar. Dari obat kimia, herbal, periksa ke dokter, ke tabib, bahkan diruqiyah pun pernah, semua itu salah satu bentuk kesabaran. Septi sekarang ngerasa sehat, Mah, nggak mau dirawat." "Nunggu keputusan dari dokter, dulu. Kalau harus dirawat, artinya kamu nggak sehat." Malam itu aku benar-benar sedih ketika mendengar ucapan salah satu keluarga yang mengeluhkan penyakitku. Aku melihat dia mengirimiku pesan singkat: Nggak sayang sama orang tua! seharusnya kesehatan itu dijaga! Bukan malah menjalani pola hidup yang nggak sehat. Kalau kayak gini, kamu itu nyusahin banyak orang! Walau sedih dan sakit hati, tetapi aku tidak bisa menceritakan hal tersebut pada Mama. Pukul 10 malam, datanglah dua pemuda yang tak asing. Dia Alfa dan Mas Irfan. Aku tak paham, kenapa mereka berdua bisa datang bersamaan? "Assalamu'alaikum," ucar Mas Irfan. Aku dan Mama merasa terkejut dengan kedatangan mereka. "Tenang, Mah... malam ini Mama tidur aja, biar aku sama Alfa yang jagain Septi," ujar Mas Irfan. "Hei, kalian kenapa bisa bareng?" tanyaku. "Kamu nggak tahu, Septi, kalau aku udah lama dekat sama Irfan. Dia emang seangkatan sama kamu. Tapi dia sepantaran sama aku. Teman main futsal bareng." Aku semakin terkejut. "Sejak kapan kamu deket sama Alfa, Mas?" "Sejak kamu pingsan di sawah waktu tahun lalu, orang yang bawa motor kamu, kan, si Alfa." Aku semakin heran. "Hah, gimana maksudnya?" "Waktu kita mau ke dokter, tuh, pas wajah kamu miring. Aku kan ketemu temen dulu tuh di sawah? Tapi kamu pingsan. Akhirnya banyak orang yang datang. Salah satunya Alfa sama Vino yang kebetulan lagi lewat." "Terus?" "Aku sama temenku bawa kamu pakai motor dia. Terus si Alfa bawa motor kamu yang waktu itu kita pakai." Aku benar-benar terkejut mendengar penjelasan tersebut. Kejadian itu udah lebih dari satu tahun. Setelah Mama tertidur, barulah aku menceritakan tentang pesan singkat dari salah satu keluarga pada Mas Irfan. Alfa juga memberi semangat padaku, lelaki itu tak mau melihat aku bersedih. Aku tak kuat menahan air mata, hingga isak tangisku terdengar oleh mama yang sedang tidur. Mama tiba-tiba bangun dan menatapku. "Kenapa?" Terpaksa aku pun menjawab pertanyaan Mama dengan jujur. "Aku baca pesan dari Teh Widi, katanya aku nggak sayang orang tua, aku cuma bisa nyusain keluarga aja. Mah... aku nggak minta dirawat, sekarang udah ngerasa sehat, kok. Tadi sore pingsan itu karena kecapean sama belum makan siang aja, makanya tensinya rendah." "Udah jangan dengerin... kalau mikirin omongan dia mulu kamu nggak sayang Mama berarti. Sekarang tidur aja, yang penting, kan, Mama tetap jagain kamu," turur Mama. Teh Widi memang sangat menyayangi aku. Namun, sifat lainnya beliau sangat keras. Terkadang ucapannya sering membuatku sakit hati. Malam ini aku tak bisa tidur nyenyak. Mama, Mas Irfan dan Alfa sudah tertidur, sedangkan aku masih memikirkan perkataan di pesan singkat itu. "'Ya Allah, jangan jadikan aku manusia tak berguna. Jadikanlah hamba manusia yang bermanfaat untuk orang lain," lirihku seraya memandangi ponsel. Untuk menghibur diri, aku membuka akun i********:. Terlihat ada postingan tentang lomba menulis. 'Lomba menulis cerpen dengan Tema Dear Allah' Entah mengapa, hati ini tergerak untuk mengikuti lomba tersebut. Sejak duduk di bangku sekolah dasar, aku sudah suka menulis. Tapi kegiatan menulis kuhentikan karena sibuk dengan dunia perkuliahan. Saat itu aku berpikir untuk mengikuti lomba tersebut. Apa lagi ketika melihat hadiah utamanya. Tulisan pemenang akan diterbitkan oleh penerbit mayor. Hal itu membuatku semakin semangat. Keterbatasan sekarang hanya satu, yaitu laptop. Aku tidak bisa membawa benda tersebut ke sini. Akhirnya, aku mencoba untuk mengunduh aplikasi catatan agar bisa menuangkan ide cerita. ***        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN