Save Me 22

2253 Kata
Diagnosis penyakit demam berdarah akan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan fisik dan wawancara medis. Selain itu pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan darah di laboratorium juga harus dilakukan. Sebaiknya, setelah merasakan ada gejala-gejala demam berdarah, segera konsultasi dokter di Halodoc atau langsung kunjungi rumah sakit terdekat, agar bisa langsung dilakukan diagnosis. Saat demam berdarah terlambat untuk ditangani, maka komplikasi akan terjadi. Komplikasi demam berdara atau dengue shock syndrome (DSS) memiliki beberapa gejala dan tanda, yaitu: Tanda perdarahan, seperti mimisan, gusi berdarah, perdarahan di bawah kulit, muntah hitam, batuk darah, maupun buang air besar dengan feses kehitaman. Tekanan darah menurun. Kulit basah dan terasa dingin. Denyut nadi melemah. Frekuensi buang air kecil menurun dan jumlah urine yang keluar sedikit. Mulut kering. Sesak nafas atau pola napas tidak beraturan. Penanganan yang tepat dan cepat harus dilakukan ketika pengidap sudah mengalami DSS. Jika tidak segera dilakukan penanganan, maka bisa mengakibatkan gangguan fungsi organ tubuh yang berujung pada kematian. Pengobatan yang spesifik untuk mengobati demam berdarah saat ini belum ada. Pengobatan bertujuan untuk mengatasi gejala dan mencegah infeksi virus semakin memberat. Beberapa upaya yang dianjurkan dokter, yaitu: Banyak minum cairan agar terhindar dari dehidrasi. Cukup istirahat. Konsumsi obat penurun panas yang relatif aman dan dianjurkan dokter. Menghindari konsumsi obat-obatan pereda nyeri. Hal ini dikarenakan obat-obatan tersebut dapat menimbulkan komplikasi perdarahan. Pantau frekuensi buang air kecil dan jumlah urine yang keluar. Terdapat berbagai upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah demam berdarah, yaitu: Anak usia 9-16 tahun seharusnya divaksinasi dengue, sebanyak 3 kali dengan jarak 6 bulan. Memberantas sarang nyamuk yang dilakukan dalam dua kali pengasapan insektisida atau fogging dengan jarak 1 minggu. Menguras tempat penampungan air, seperti bak mandi, minimal setiap minggu. Menutup rapat tempat penampungan air. Melakukan daur ulang barang yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk Aedes aegypti. Mengatur cahaya yang cukup di dalam rumah. Memasang kawat anti nyamuk di ventilasi rumah. Menaburkan bubuk larvasida (abate) pada penampungan air yang sulit dikuras. Menggunakan kelambu saat tidur. Menanam tumbuhan pengusir nyamuk. Menghentikan kebiasaan menggantung pakaian. Menghindari wilayah daerah yang rentan terjadi infeksi. Mengenakan pakaian yang longgar. Dan menggunakan krim anti-nyamuk yang mengandung N-diethylmetatoluamide (DEET), tetapi jangan gunakan DEET pada anak di bawah 2 tahun. Jika sudah melakukan pencegahan, tetapi demam berdarah masih menyerang dan mengganggu aktivitas sehari-hari, segera kunjungi dokter untuk meminta saran. Penanganan sedini mungkin akan membantu mencegah munculnya masalah-masalah yang lebih parah lagi. Dokter di klinik saat itu mengatakan, untuk saja aku segera dibawa ke sana. Jika saja terlambat sebentar saja, maka berakibat fatal. Lalu, besoknya aku malah dirawat ke rumah sakit. Karena, dokter di klinik bilang, jika demamku tak kunjung turun segera bahwa ke Unit Gawat Darurat. Saat itu aku dirawat di Rumah Sakit MP Bakti Raya Bandung. Tanpa menggunakan asuransi dan menghabiskan biaya lebih dari lima juta. Tadi malam aku ditolak dirawat di sana dengan berbagai alasan. Ada-ada saja! ***   Sudah dua hari aku berbaring di atas ranjang dengan selang infus yang menempel di tangan kiri. Sejak hari Jum'at sampai Minggu siang ini ada saja kerabat dekat dan jauh yang datang menjengukku. Mereka semua ikut mendoakan untuk kesembuhanku. Di hari yang sama pun beberapa dokter datang memeriksa keadaan tubuh ini. Katanya, sistem pencernaanku bermasalah. Sakit atau nyeri yang kurasakan beberapa hari terakhir ini diakibatkan dari dispepsia. Dispepsia merupakan suatu kondisi yang bisa menyebabkan rasa tidak nyaman pada perut bagian atas karena penyakit asam lambung atau maag. Meski begitu, dispepsia bukanlah sebuah penyakit, tapi tanda atau gejala dari suatu penyakit pencernaan yang dialami seseorang. Hal yang perlu diwaspadai, dispepsia yang dibiarkan bisa berkembang menjadi lebih serius. Ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko seseorang mengalami dispepsia, misalnya: Merokok. Konsumsi obat-obatan tertentu. Sering mengonsumsi makanan pedas dan berlemak dan minuman soda atau berkafein. Dispepsia dapat diakibatkan oleh banyak hal. Sering kali hal ini dikaitkan dengan gaya hidup dan dapat dipengaruhi oleh konsumsi makanan dan minuman atau efek samping dari obat-obatan. Contohnya: Makan terlalu banyak atau makan terlalu cepat. Konsumsi makanan yang terlalu berlemak, berminyak, dan pedas. Konsumsi terlalu banyak kafein, alkohol, cokelat, dan minuman bersoda Merokok. Rasa cemas. Beberapa antibiotik dan obat penghilang rasa nyeri. Terkadang dispepsia dapat menjadi suatu tanda dari penyakit pencernaan lainnya, seperti: Gastritis. Ulkus peptikum. Penyakit celiac. Batu empedu. Pankreatitis. Keganasan lambung. Seseorang yang mengidap dispepsia bisa mengalami berbagai gejala dalam tubuh, contohnya: Rasa cepat kenyang saat makan. Kembung dan begah setelah makan. Timbulnya rasa tak nyaman di bagian ulu hati, bisa pula disertai rasa sakit dan perih. Rasa terbakar atau panas di ulu hati. Kadang-kadang rasa terbakar ini bisa menjalar dari ulu hati hingga ke tenggorokan. Mual dan kadang-kadang dapat disertai dengan muntah meskipun hal ini jarang terjadi. Untuk mendiagnosis dispepsia, dokter akan melakukan wawancara medis seputar gejala yang dirasakan hingga riwayat kesehatan pasien. Setelah itu, dokter juga akan melakukan pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan penunjang ini akan dilakukan ketika dokter mencurigai dispepsia merupakan tanda dari penyakit pencernaan. Pemeriksaan penunjang yang umumnya dilakukan, antara lain: Laboratorium darah. Pemeriksaan napas. Pemeriksaan feses. Ultrasonografi abdomen. Endoskopi. Pemeriksaan pencitraan (X-ray atau CT Scan). Meski gangguan pencernaan seperti dispepsia biasanya tak menyebabkan komplikasi serius, tapi kondisi ini bisa memengaruhi kualitas hidup pengidapnya. Sebab, dispepsia yang tak diobati akan terus menimbulkan rasa tidak nyaman di bagian, berkurangnya nafsu makan, hingga kesulitan menelan. Penanganan dapat dilakukan secara primer dan sekunder. Secara primer modifikasi gaya hidup sangat penting untuk dilakukan, contohnya: Membatasi konsumsi makanan yang dapat menyebabkan terjadinya dispepsia. Makan dalam porsi yang kecil, tetapi sering dan dianjurkan untuk makan 5-6 kali sehari. Membatasi konsumsi kafein dan alkohol. Menghindari penggunaan atau konsumsi anti nyeri seperti aspirin dan ibuprofen. Gunakan anti nyeri lain yang lebih aman bagi lambung seperti parasetamol. Namun, jika dispepsia sudah menimbulkan rasa nyeri yang amat hebat, mungkin dokter akan memberikan obat-obatan untuk membantu mengurangi rasa nyeri tersebut. Berikut obat-obatan yang mungkin akan diberikan. Antasida. Proton Pump Inhibitors (PPI). Obat golongan ini dapat mengurangi produksi asam lambung. H-2 receptor antagonists (H2RAs) untuk mengurangi produksi asam lambung. Prokinetik dapat membantu proses pengosongan lambung. Antibiotik, pemberiaannya dilakukan jika dispepsia disebabkan oleh infeksi. Anti-depressants atau anti-anxiety dapat digunakan juga untuk menghilangkan rasa tidak nyaman yang diakibatkan dispepsia dengan menurunkan sensasi nyeri yang dialami. Pencegahan dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup, seperti: Makan dengan porsi kecil, tetapi sering. Makanan harus dikunyah perlahan sebelum ditelan. Cobalah hindari hal-hal yang bisa memicu dispepsia. Contohnya makanan pedas dan berlemak atau minuman bersoda, alkohol, atau yang mengandung kafein. Berhenti atau tidak merokok. Menjaga berat badan agar tetap ideal. Olahraga secara teratur dapat membantu menghilangkan berat badan berlebih dan menjaga agar berat badan tetap ideal. Mengatasi stres dan rasa cemas. Caranya bisa dengan olahraga seperti yoga hingga memastikan tercukupinya waktu tidur. Bila ada alternatif lain, ganti obat-obatan yang bisa mengiritasi lambung. Namun, jika tidak ada, pastikan bahwa konsumsi obat selalu dilakukan setelah makan (tidak dalam keadaan perut kosong). *** Selepas waktu zuhur tubuh dan mata ini ingin beristirahat. Aku berharap Senin besok bisa pulang karena sepertinya tidak ada masalah apa-apa dalam tubuhku. Menjelang waktu asar, Papa membuatku terbangun karena ada seseorang yang datang menjengukku. "Itu lihat ada siapa," ucap Mama. Aku berusaha membuka kedua mata yang masih amat lengket karena rasa ngantuk. Kedua alisku saling bertautan untuk memfokuskan pandangan di depan sana. Seorang pemuda dengan kemeja lengkap dengan dasi pun tersenyum padaku. "Alfarisqi...." Suaraku sangat pelan agar tidak didengar siapa-siapa. "Ada Alfa, tuh," ujar Papa. Lelaki itu adalah teman kerjaku dulu ketika masih mengajar sebagai guru madrasah. Aku tahu betul bahwa Alfa sangat menyukai aku. Pemuda itu sangat tampan, pintar dan terbilang sangat sempurna. Bujangan yang baru saja resmi menjadi Pegawai Negeri Sipil itu pantas menjabat sebagai menantu idaman. Ketika aku lulus SMA, Alfa sudah dua tahun mengabdi di madrasah sambil menyelesaikan skripsinya. Setelah lulus, keberuntungan menghampirinya. Kira-kira enam bulan yang lalu ia baru saja diangkat menjadi guru PNS di Sekolah Dasar Negeri Lembang. Namun, aku tahu lelaki itu masih sering datang ke madrasah untuk menjadi guru bantu di sana. Pasalnya, setiap kali ada kuliah siang aku selalu lihat motor Alfa berdiri di depan bangunan madrasah Diniyah milik Abi. Sejujurnya jantungku bergetar ketika melihat Alfa menatapku. Bibir ini refleks membalas senyumannya. "Ya udah, Alfa duduk aja. Makasih udah datang, ya." "Iya, Septi... ini aku bawa buah. Maaf, ya, aku cuma bisa bawa ini." Alfa meletakkan bingkisan di dekat Papa dan Mama. "Alfa, kok, pakai seragam? Dari Maan? Bukannya ini hari Minggu?" tanya Mama. "Oh, iya, Bu... Alfa kuliah lagi, ambil kelas karyawan. Hari ini kebetulan lagi UTS," jelas pemuda tersebut. Tak dipungkiri, Alfa memang sangat tampan. Hidungnya mancung, alisnya tebal dan ketika tersenyum ada bias warna merah muda di pipinya. Seperti istri Rasulullah saja, berpipi kemerahan. Namun, yang kulihat sekarang seorang lelaki. Jadi, semua orang bisa menilai betapa tampannya Alfarisqi ini. Wajar saja bila pemuda itu memiliki paras demikian. Pasalnya, ibunya masih ada garis keturunan dengan orang-orang Arab, kulitnya lebih putih dari penduduk Indonesia para umumnya. Walau begitu, entah kenapa aku tidak menaruh rasa pada Alfa. Apakah aku mati rasa? Tidak peka dengan lelaki? Atau aku terlalu sibuk memikirkan tanggung jawab di dalam organisasi yang selama ini kujalani? Entahlah! Aku melihat Alfa mulai duduk dan mengobrol dengan Papa dan Mama. "Kuliah di mana? Ambil jurusan apa?" tanya Mama. "Kuliah di samping kampusnya Septi, Fakultas Ilmu Tarbiyah ambil jurusan Magister Pendidikan Agama Islam." "Ma syaa Allah... semoga sukses, ya, Nak." Papa menganggukan kepala seraya mengelus punggung Alfa. "Ngomong-ngomong Alfa tahu dari mana Septi sakit?" "Dari temen-temen lain yang udah pada jenguk, Bu. Sebenernya udah tahu sejak hari Jum'at, cuma Alfa sengaja ke sini hari Minggu saja kalau ujian sudah selesai." "Iya, nggak apa-apa. Kami sangat berterima kasih karena Alfa mau jenguk Septi." "Oh, iya, Pa... Bu... jika diizinkan Alfa ingin setiap hari datang ke sini jenguk Septi, apakah boleh?" tanya pemuda itu. Aku terkejut mendengar ucapan Alfa. Mau apa lelaki itu datang ke sini setiap hari? "Hah, ngapain?" tanyaku seraya menatap Alfa. "Hus... Septi! Nggak boleh kayak gitu." Mama seperti tidak suka dengan sikapku. "Kalau tidak merepotkan, silakan saja, Nak. Tapi jika dirasa itu merepotkan, lebih baik jangan," tutur Papa. "Sebelumnya makasih banyak. Tapi lebih baik jangan, Al... mending di rumah aja. Kalau mau doain aku kan bisa sama anak-anak remaja masjid. Di rumah aja." "Insya Allah aku juga akan selalu doakan kamu di rumah. Tapi aku cuma mau tahu keadaan kamu aja, kok. Insya Allah tidak akan merepotkan juga, aku akan ke sini sepulang mengajar." "Ya sudah, Alfa... silakan saya izinkan." Papa terdiam sejenak. "Sudah asar, lebih baik kita salat dulu saja." Alfa pun mengangguk, pemuda itu menitipkan tas pada Mama dan pergi ke masjid bersama Papa. Sesaat kemudian, aku mendengar suara riuh orang-orang di pintu kamar inap ini. Ternyata, rombongan ibu-ibu jamaah Abi datang ke sini untuk menjengukku. Beberapa tetangga pun ikut serta bersama mereka. Jika dihitung mungkin sekitar dua RT yang saat ini datang ke sini. "Ya Allah, Neng Septi... cepat sembuh, ya... biar bisa ramein masjid lagi," ujar salah seorang di antara mereka. Aku melihat di antara mereka ada ibu-ibu yang masih jadi bagian keluarga Alfa. Jantungku berdegup begitu kencang ketika mengetahui ada beliau. Wanita itu datang mendekat dan memelukku. "Cepat sembuh, ya, Neng... jangan lama-lama di rumah sakitnya. Tidur di sini, kan, nggak enak." Wajar jika adik dari ayah Alfarisqi datang, pasalnya beliau juga salah satu jamaah Abi. Saat ini aku hanya berharap dan berdoa agar Papa dan Alfa tidak kembali sampai ibu-ibu jamaah pulang. "Ma, Septi pengen beli burger," ujarku pada Mama. "Ya udah kalau gitu nanti nungguin Papa." "Aku telefon Papa aja sekarang, ya." "Atau minta ke Teh Widi aja, biar pulang kerja dibawain." "Aku maunya sekarang, Ma." Niatku adalah, agar Alfa mendengar permintaan aku. Diri ini sangat yakin, jika Alfa tahu bahwa aku menginginkan burger, pemuda itu pasti akan segera membelikan. Karena, ketika masih mengajar di madrasah, Alfa begitu perhatian padaku. Lelaki itu tak akan membiarkan aku kelaparan walau hanya semenit. "Ya udah, bentar telepon Papa dulu." Beberapa ibu-ibu jamaah pun terkekeh karena mengetahui permintaan aku adalah burger. "Atuh kayak orang-orang bule, ya, Neng... makanannya burger." Salah satu di antara mereka yang usianya cukup sepuh pun berkata, "Ari burger, teh, naon?" (Burger, tuh, apa?" Kami semua terkekeh. "Mak... burger, teh, makanan. Tapi cuma roti tumpuk, isinya ada daging sapi, sayuran sama saus yang warna putih. Naon era teh, namina...." (Apa, tuh, namanya?) "Mayones, Bu," sahutku. "Tah... itu tuh maksudnya." "Rasanya kayak gimana?" tanya Mbah Uni yang berkerja sebagai tukang pijit di kampungku. "Nggak bakal doyan, Mak!" jawab anaknya yang jadi bagian jamaah Abi. "Septi, ini Papa baru angkat telepon. Katanya baru selesai salat. Kamu aja yang ngomong." Mama memberikan ponselnya padaku. "Assalamu'alaikum, Pa." "Wa'alaikumussalam." Suara Papa terdengar dari sambungan telepon. "Septi mau burger, ya, Pa." "Hah, burger? Beli di mana? Nitip sama Teh Widi aja, ya." "Tapi Septi maunya sekarang. Udah laper banget ini. Papa tanya ke siapa gitu beli burger di mana. Atau nanya sama orang di samping Papa." Lalu, Papa pun mengikuti ucapanku. Beliau bertanya pada Alfa yang aku yakin ada di sampingnya. "Beli burger, teh, di mana yang dekat dari sini?" tanya Papa. Alfa pun menjawab. "Buat siapa, Pa?" "Itu... si Septi minta burger katanya udah lapar banget." "Kalau gitu biar Alfa aja yang beli, Pa. Papa duluan aja ke ruangan." "Jangan atuh, sok kalau Alfa mau beli Papa tunggu di sini. Takutnya jam besuk udah habis, nanti Alfa nggak bisa masuk." "Oh, ya udah kalau gitu. Alda berangkat dulu." Aku masih mendengar percakapan kedua orang di sambungan telepon ini. "Eh, ini uanganya," ujar Papa. "Nggak usah, Pa. Nanti pakai uang Alfa aja." Aku pun tersenyum. Perasaan ini sangat lega. Akhirnya usaha untuk menjauhkan Alfa dari pandangan ibu-ibu jamaah berhasil. Aku takut jika mereka sampai melihat Alfa di sini, gosip pasti menyebar begitu pesat. Ah, menakutkan! *** Bersambung ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN