Save Me 8

1225 Kata
Setelah sadar, aku sudah berada di rumah. Kedua indra penglihatan ini kubuka secara perlahan, tampak dengan samar banyak kerabat yang berdatangan. Beberapa dari mereka menunjuk ke arahku. "Itu... itu... sadar," ucap salah seorang memberitahu Mama. Mengingat apa yang telah terjadi pada diri ini, bahwa wajahku miring, butiran bening pun keluar begitu saja dari sudut mataku. "Kamu kenapa?" tanya Mama. "Kepala aku sakit." Aku benar-benar tak bisa membendung lagi butiran bening yang mengalir. "Tadi habis pergi ke mana sama Irfan?" tanya Mama. "Tadinya mau ke dokter gara-gara lihat wajah aku udah miring. Pas ngeludah juga miring, nggak kayak biasanya. Rencananya nanti aja bilang ke Mama kalau udah ada diagnosa dari dokter." "Kamu ini kebiasaan! Kalau sakit nggak pernah mau cerita ke orang tua." Mama terdengar kesal. Padahal, saat itu aku ingin menjawab. Bahwa aku takut menyampaikan hal itu. Aku tidak mau melihat Mama sedih dan merasa khawatir. Setelah hatiku cukup tenang dan beberapa warga sekitar kembali ke rumah masing-masing. Papa pun datang. Beliau baru saja sampai dan melihat keadaanku. "Ini ada apa?" tanya Papa yang masih berdiri di ruang tamu. Sedangkan aku duduk di matras yang ada di ruang keluarga. Maklum, Papa berkata demikian karena di sini masih ada beberapa kerabat dekat yang menjenguk. "Si Septi pingsan di jalan sama Irfan! Habis magrib nanti bawa ke dokter, ya, Pa," pinta Mama. Akhirnya, malam ini Papa pun membawaku ke dokter. Namun, klinik yang aku datangi ini bukan spesialis penanganan syaraf. Tetapi tidak apa-apa, setidaknya aku bisa tahu apa yang terjadi dalam wajah ini. Dokter perempuan itu melakukan pemeriksaan seperti biasa. Stetoskop itu ditempelkan di atas d**a kiri. Lalunia berkata, "Tarik napasnya..." Aku pun menuruti instruksi beliau. "Buang secara perlagan, ya," imbuh sang dokter. Setelah itu, ia memindahkan stetoskop ke arah perut dan kembali meletakkan benda pendeteksi suara jantung, paru-paru dan bising usus itu ke tempat semula. Lalu, ia mengeluarkan benda panjang seperti bolpoin, pen light namanya. Dokter meminta aku untuk membuka mata secara lebar dan mendengarkan ucapannya. "Ikuti arah cahaya, ya." Pen light itu digerakan ke kanan dan kiri. Lalu, kedua bolat hitamku pun mengikuti dengan sempruna. Setelah pemeriksaan, ia bertanya mengenai kronologis kejadian dan sejak kapan wajah ini miring. "Sering berkendara?" tanya dokter. Aku mengangguk. "Nggak suka pakai helm, ya?" imbuhnya merasa sangat tahu. "Suka, kok, Dok. Tapi sebulan ini, setiap kali berangkat tugas di rumah sakit emang nggak pakai helm. Karena jaraknya cukup dekat." Dokter hanya mengangguk-angguk dan menuliskan sesuatu yang aku sendiri tidak tahu apa isinya  "Jadi, saya sakit apa, Dok?" tanyaku penasaran. Setelah melakukan anamesia, dokter mengatakan bahwa aku terkena Bell's Palsy. Bell’s palsy adalah kelumpuhan pada otot wajah yang menyebabkan salah satu sisi wajah tampak melorot. Kondisi ini dapat muncul secara tiba-tiba, namun biasanya tidak bersifat permanen. Banyak orang menganggap Bell’s palsy sebagai stroke karena gejalanya serupa, yaitu kelumpuhan. Padahal, kedua penyakit tersebut sebenarnya berbeda. Gejala Bell’s palsy hanya terbatas pada otot wajah dan sebagian besar penderita dapat pulih sepenuhnya dalam waktu 6 bulan. Gejala Bell’s Palsy adalah kelumpuhan pada salah satu sisi wajah. Kelumpuhan tersebut ditunjukkan dengan perubahan bentuk wajah sehingga penderita sulit tersenyum dengan simetris atau tidak bisa menutup mata di sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan pada satu sisi wajah, gejala yang juga dapat muncul antara lain adalah mata berair, ngeces dan idak bisa berkumur-kumur secara sempurna karena otot bibir tidak bisa mengunci dengan maksimal. Penderita Bell’s palsy akan mengalami peradangan pada saraf wajah, sehingga otot wajah menjadi lemah dan bentuk wajah menjadi berbeda. Kondisi ini diduga terkait dengan infeksi virus atau beberapa penyakit, seperti infeksi telinga bagian tengah dan penyakit diabetes. Wajar saja bila aku terkena penyakit tersebut. Mungkin, telingaku terinfeksi. Saat duduk di bangku sekolah pun aku sering mengeluarkan darah dari telinga. Bell’s palsy juga dapat dialami oleh siapapun, namun lebih sering terjadi pada orang-orang berusia 15 hingga 60 tahun. Dan sekarang usiaku sudah masuk 18 tahun. Untuk mendiagnosis Bell's palsy, dibutuhkan wawancara dokter dengan pasien. Dokter akan menanyakan riwayat penyakit pasien maupun keluarga, seperti diabetes melitus, hipertensi, gangguan telinga, riwayat stroke, gangguan fungsi ginjal, dan sebagainya. Selain itu, dokter akan memastikan apakah lumpuh pada sebelah wajah tidak diikuti oleh kelumpuhan badan yang lain. Jika terdapat kelumpuhan, maka kemungkinan penderita terkena stroke. *** Setelah seminggu menghabiskan obat dari dokter umum, tetapi belum juga ada perubahan. Semakin hari, mata kiriku nyaris tak bisa menutup. Sulit berkumur, bahkan bibir sebelah kiri pun sulit digerakan. Sebagian wajah ini seperti lumpuh. Dan, memang benar-benar lumpuh tapi aku sulit mempercayai. Kenapa hal itu terjadi padaku? Mengetahui hal tersebut, Papa pun membawaku berobat ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Dokter di rumah sakit menyarankan aku untuk melakulan terapi. Pengobatan Bell's palsy dapat berupa obat-obatan, fisioterapi, dan latihan mandiri. Jika pasien memiliki diabetes dan tekanan darah tinggi, dosisnya akan lebih ketat dan disertai kontrol untuk kedua penyakit tersebut. Antivirus dapat diberikan jika tidak ada gangguan fungsi ginjal. Bila mata pasien tidak bisa menutup, diperlukan tetes air mata untuk mencegah kerusakan mata. Pasien juga dapat menutup sendiri matanya setiap beberapa saat, agar mata tidak terlalu kering. Selain itu, sebagai pasien, aku dapat melakukan terapi sendiri di rumah. Misalnya, menghadap ke cermin dan berlatih mengucapkan huruf A-I-U-E-O dengan otot-otot mulut bergerak secara maksimal.  Dokter juga meminta aku, setiap kali tidur, wajah sebela kiri harus ditarik ke atas menggunakan alat khusus. Tak lupa harus rutin kompres dengan air hangat agar peredaran darah lancar dan otot-otot syaraf sekitar wajah pun lebih rileks. Sampai saat ini aku belum tahu apa penyebab pasti penyakit ini. Katanya terkena angin malam. Sebagai mahasiswi kebidanan, aku iya-iya saja saat itu. Tidak ingin tahu lebih dalam. Terpenting, aku bisa sembuh seperti dulu lagi. *** Setelah melakukan pemeriksaan di Rumah Sakit Umum Daerah Badung, dokter menyarankan agar aku melakukan fisioterapi setiap hari Senin malam Selasa. Seperti biasa, jika Papa ke luar kota, maka Mas Irfan yang mengantarkan aku. Sebenarnya aku akan pergi dengan Mbak Widi. Tapi beliau sibuk kerja dan mendadak ada lembur. Karena hal itulah aku berangkat ke rumah sakit menggunakan motor bersama Mas Irfan. Saat itu Mas Irfan yang mendaftar di bagian resepsionis. Aku berdiri di dekatnya dan langsung dpat nomor antrean. "Langung ke ruang terapi aja, ya, Kak," ucap petugas rumah sakit. "Ruangannya di mana?" "Kakak bisa lurus ke arah kanan, di sana ada lir, naik ke lantai dua dan bisa langsung berhadapan dengan ruang fisioterapi." "Baik, terima kasih," ujar Mas Irfan dan langung berjalan ke kanan mendahului. Aku pun membuntuti pemuda itu. "Mas, aku dapat antrean nomor berapa?" tanyaku. "Nomor dua, Mbak. Tapi kata petugasnya kamu boleh langsung masuk aja. Nih nomornya, nanti kasih aja ke orang yang jaga di ruangan," tutur Mas Irfan. Aku dan Mas Irfan masuk ke lif dan menekan tombol 2, menandakan bahwa kami akan pergi ke lantai dua. Benar saja, saat pintu lif terbuka, aku dihadapkan dengan ruangan fisioterapi. "Aku di sini aja, Mbak," ujar Mas Irfan. "Ya udah, Mas. Jangan pergi sampai aku selesai, ya," pintaku. "Tenang aja. Paling kalau aku tidur tinggal bangunin aja." Mas Irfan dua tahun lebih tua dariku, tapi kami satu angkatan di sekolah. Maklum dia pernah tidak naik kelas, makanya jadi akrab denganku. Alasan dia memanggil aku dengan sebutan Mbak, karena ibunya adalah anak adik sepupunya Mama. Jadi, walau dia lebih dewasa, di sini wajib memanggil Mbak. Walau di Bandung, aku lebih suka memanggil dengan sebutan Mbak atau Mas. Soalnya, biar beda dari yang lain. *** Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN