2. Pulang Ke Rumah Orang Tua

1391 Kata
Aku segera melangkah meninggalkan mereka, membawa Maisa pergi dari rumah yang sudah kutempati selama lima tahun ini. Hardikan Mas Reksa yang menahan agar aku tidak pergi, tidak kupedulikan. Untuk apa bertahan di sini, jika yang kuterima hanya luka. "Satu langkah lagi kamu beranjak, aku akan menceraikanmu, Kemala!" ujar Mas Reksa berang. Memangnya aku peduli? Ancaman yang ia lontarkan justru terdengar konyol untukku saat ini! Bahkan lima tahun kuabdikan diri pada keluarganya--melayaninya yang nyaris tidak pernah bersikap hangat, merawat Bapak Hermawan yang menderita stroke setahun sebelum kepergiannya, dan kini merawat ibu mertua yang juga sudah mulai sering sakit-sakitan--hanya pengkhianatan yang aku dapatkan. Selama ini aku bertahan, karena mengira ini merupakan surgaku. Seberapa pahit dan getir kehidupan, akan aku jalani selama aku adalah satu-satunya. Akan tetapi, jika hati telah terbagi, maka tidak ada pilihan lain kecuali pergi. Untuk apa takut diceraikan jika ternyata yang dia lakukan lebih menyakitkan. "Kemala!" serunya gusar ketika aku terus melangkah dan tidak menggubris sama sekali apa yang dia ucapkan. Aku juga tidak menoleh sedikit pun ketika ia bicara, apalagi untuk menyahut. "Berhenti, Kemala! Jika kamu tetap pergi, aku akan membuangmu tanpa memberimu sepeser pun uangku! Jangan harap ada nafkah dan harta gono gini dariku!" Mas Reksa terus mencicit. Akan tetapi, ancaman yang itu pun tidak mempan untuk menahan langkahku. Hatiku terlalu sakit. Aku terus melangkah menuju di mana sepeda motorku terparkir. Ia semakin berang sebab tidak sepatah kata pun kalimatnya kubalas. "Jangan cari masalah, Kemala! Cukuplah aku menafkahimu dan memenuhi semua kebutuhanmu! Jangan menuntut lebih! Berkacalah! Kau tak secantik dan semenarik Devia. Sudah syukur aku ingat jasamu dan tidak membuangmu sejak dulu." Rentetan kalimat terakhirnya cukup memancing emosi. Akhirnya aku menghentikan langkah, lalu membalikkan badan, menghunjamkan tatapan tajam padanya. "Aku tidak pernah menuntut kamu mempertahankanku, Mas! Meskipun dengan alasan utang budi. Jika kamu sadar aku tidak secantik Devia, akan lebih baik kamu lepaskan aku daripada membohongi dan mengkhianatiku hingga lima tahun lamanya! Aku juga punya perasaan!" pekikku lantang. Begitu emosi, suaraku sampai bergetar. "Harusnya kau berterima kasih aku tidak menceraikanmu!" balasnya tidak kalah emosi. "Aku tidak harus berterima kasih untuk sebuah pengkhianatan yang menyakitkan, Mas!" "Tapi aku juga butuh bahagia bersama orang yang aku cintai." "Raihlah bahagiamu, Mas! Tapi tidak dengan menyakitiku lebih dalam. Lakukan apa saja yang ingin kamu lakukan. Aku tidak akan menghalangimu. Jadi, kamu pun tidak perlu menghalangiku untuk pergi." "Kamu tidak bisa pergi dalam kondisi seperti ini, Kemala!" "Kenapa?" "Aku tidak mau reputasiku buruk di mata keluargamu." "Heh!" Aku tertawa sinis. "Kamu memang seburuk itu, Mas! Kamu laki-laki tidak tahu malu, tidak tahu diri, dan tidak tahu berterima kasih!" "Kemala!" Mas Reksa menggeram. Suaranya menggelegar. Ia tampak tidak terima dengan apa yang aku katakan. "Jangan berteriak, Mas! Karena kalau berteriak, sama saja kamu mengumumkan keburukanmu kepada semua orang!" "Kamu akan menyesal jika berpisah denganku, Kemala! Kamu tidak akan bisa hidup tanpa nafkah dariku! Kamu tidak bekerja, mau kamu beri makan apa anakmu itu?" Aku tersenyum miris, bahkan anak yang merupakan darah dagingnya sendiri, ia sebut hanya sebagai anakku. "Allah Maha Kaya, Mas. DIA yang memberiku rezeki, bukan kamu! Bahkan uang yang kamu banggakan itu, akan dengan mudah lenyap jika DIA ingin mengambilnya." Setelah mengucapkan kalimat itu, aku benar-benar tidak lagi menggubris perkataannya. Aku segera men-starter sepeda motor lalu melajukannya menuju rumah kedua orang tuaku. Mas Reksa mengelola salah satu usaha yang diwariskan Ayah Hermawan. Memasuki usia 50 tahun, Ayah Hermawan mulai menyerahkan semua usahanya kepada anak-anaknya. Beliau termasuk salah satu pengusaha cukup sukses di kota kecil yang kami tempati. Ayah Hermawan memiliki sebuah mini market yang kemudian dikelola oleh Mas Rashad--kakak sulung Mas Reksa, sebuah toko bahan bangunan yang dikelola oleh Mas Reksa sendiri, dan sebuah toko pakaian yang dikelola putri bungsu mereka, Revalina. Di tangan Mas Reksa, toko bangunan yang diwariskan Ayah Hermawan berkembang cukup baik. Kehidupan kami selama ini memang terbilang terjamin walaupun aku harus mengurus seluruh rumah sendiri, tanpa bantuan tenaga ART. Mas Reksa tidak pernah menawarkan untuk mempekerjakan ART. Aku yang tidak bekerja pun tidak berani meminta. Mungkin karena terlalu sibuk di rumah, aku sampai tidak menyadari jika sudah lima tahun lamanya diselingkuhi. Ditambah lagi sifat Mas Reksa yang sejak awal terkesan dingin, membuatku tidak merasakan perubahan yang signifikan. Siapa mengira, jika sikap dinginnya bukan karena dia belum bisa menerimaku, melainkan memang tidak ingin untuk menerima sebab telah menikah dengan perempuan pujaannya. Devia memang cantik dan menarik. Hidungnya kecil dan mancung. Rambutnya hitam, tidak lurus melainkan bergelombang. Namun, justru membuatnya terlihat seksi. Kulit putih bersih, sangat sesuai untuk standar kecantikan orang Indonesia. Devia merupakan penyanyi lokal yang sering mengisi acara-acara baik resepsi pernikahan atau kegiatan yang diselenggarakan sebuah badan usaha atau organisasi. Sebagai penyanyi, penampilannya jelas terjaga, baik tubuh maupun pakaian. Akan tetapi, aku tidak menerima cantiknya Devia sebagai alasan Mas Reksa mengkhianatiku. Apalagi setelah apa yang perempuan itu lakukan dan apa yang telah aku korbankan. Lagi pula, meskipun tidak seksi, penampilan dan rupaku pun tidaklah buruk. Aku masih sanggup bersaing dengan Devia meskipun dalam versi yang berbeda. Dia terbuka, aku tertutup. "Kemala?" Ibu menyambut dengan raut terkejut ketika aku sampai di rumah. Beliau yang sudah hapal deru sepeda motorku lekas keluar sebelum aku mengetuk pintu. "Kenapa malam-malam ke sini?" Ibu langsung meraih Maisa yang masih terlelap dalam gendonganku. Beliau meraba-raba kaki dan tangan Maisa. Tadi saat pergi, aku tidak sempat memakaikannya jaket, sehingga kaki dan tangannya yang terbuka terasa sejuk terpapar angin malam. Di depan Ibu, aku tidak bisa menahan tangis yang sejak tadi tertahan oleh rasa sakit. Begitu saja kedua sudut mataku menghangat dan butiran-butiran bening itu meluncur deras dari sana. Aku sesenggukan. "Ada apa, Ke?" Seketika Ibu bertanya panik. "Kamu ada masalah? Mertuamu baik-baik saja 'kan?" Isakku semakin besar. Bahkan Ibu saja begitu baik pada keluarga Mas Reksa. Beliau begitu peduli dan khawatir pada ibu mertuaku yang sedang sakit. Sayangnya, orang yang beliau pedulikan ternyata tega diam-diam bersekongkol mengkhianati putrinya. "Ada apa, Bu?" Bapak yang sebelumnya berada di kamar, sepertinya terusik oleh kedatanganku, terlebih dengan isak tangis yang tidak dapat kutahan. "Kemala, Pak," sahut Ibu. "Kemala kenapa?" "Enggak tahu." "Ada apa, Kemala?" Kemudian Bapak mengalihkan pertanyaan padaku. "Bu Melisa sedang sakit. Apa terjadi sesuatu padanya, Pak?" Ibu bicara pada Bapak, menebak-nebak apa yang terjadi. Melisa merupakan nama dari ibu mertuaku. "Tidak boleh bicara seperti itu, Bu. Enggak baik. Terakhir bukannya kondisi Bu Melisa sudah mulai membaik?" "Terus apa kalau begitu?" "Nanti saja kita tunggu Kemala bercerita. Sekarang bawa dia masuk. Biarkan dia tenang dulu." "Iya. Ayo, Ke." Ibu kemudian merangkul pundakku, menggandengku dengan satu tangannya menuju ruang keluarga di mana dulu kami biasa berkumpul. Sementara tangan yang lain masih menggendongnm Maisa yang kepalanya tersampir di pundaknya. Di ruang keluarga, aku duduk di kursi sambil berulang kali mengembuskan napas untuk menenangkan diri. "Kemala mau pulang ke rumah ini. Boleh, ya, Bu, Pak." Akhirnya aku mampu bersuara. Ibu dan Bapak tidak langsung menjawab, keduanya saling pandang, lalu kembali mengarahkan perhatian padaku. "Sebenarnya boleh saja. Rumah ini sampai kapanpun masihlah menjadi rumahmu. Tapi, kalau boleh ibu bertanya, apa yang terjadi?" Aku kembali menghela napas dalam sebelum kemudian menjawab. "Kemala akan bercerai sama Mas Reksa." "Apa?" Kedua orang tuaku itu sama-sama terkejut. "Iya. Kemala akan bercerai sama Mas Reksa," ulangku mantap. "Jangan main-main dengan kata cerai, Kemala. Pikirkan anakmu," ucap Bapak terdengar tidak suka. Beliaulah orang pertama di keluarga kami yang bertanggung jawab atas pernikahanku dengan Mas Reksa. "Segala masalah bicarakan baik-baik, jangan kemudian sedikit-sedikit berkata cerai," lanjutnya. "Kami sudah menikah lima tahun, Pak. Adakah selama lima tahun ini Kemala pernah menyebut kata cerai?" Bapak menatapku lekat, "Apa yang terjadi di antara kalian?" Beliau bertanya serius. "Ternyata selama ini, Mas Reksa telah menikah dengan perempuan yang dulu meninggalkannya tepat di hari pernikahan mereka." Aku memulai ceritaku. "Mereka menikah hanya jeda satu bulan setelah kami menikah. Mas Reksa telah mengkhianati Kemala sepanjang usia pernikahan kami. Kemudian ketika satu minggu ini Kemala harus menjaga ibunya di rumah sakit, dia membawa perempuan itu pulang dan bermesraan di kamar kami. Hal yang lebih menyakitkan lagi, ternyata Ibu Melisa tahu perbuatan Mas Reksa sejak awal." "Kurang a jar!" Aku bisa mendengar gigi Bapak bergemeletuk. Rahangnya tampak mengeras. Laki-laki yang nyaris tidak pernah marah dan berkata kasar itu tidak bisa menahan emosinya. "Kamu tenang saja, Kemala. Bapak pastikan mereka akan membayar semua perbuatan mereka padamu. Tidak perlu menangis. Air matamu terlalu berharga untuk laki-laki tidak tahu diri seperti dia. Tenangkan dirimu, lalu bangkitlah. Tunjukkan bahwa kau lebih baik sehingga kelak, pada masanya, mereka akan menyesal telah menyia-nyiakanmu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN