Lima tahun menikah, lima tahun diselingkuhi, rasanya ... sakit sekali.
Ibarat setiap jengkal tubuhku diiris tipis-tipis dengan sembilu, lalu disiram dengan air garam dan cuka.
Perih.
Malam ini seharusnya aku menemani Ibu mertua di rumah sakit. Sudah seminggu beliau di rawat karena sakit gulanya.
Pukul sepuluh malam di saat Ibu sudah terlelap, suasana sepi dan aku tiba-tiba sangat merindukan Maisa, putri kecilku bersama Mas Reksa.
Selama aku menjaga Ibu di rumah sakit, Maisa tidur di rumah bersama papanya saat malam. Sementara saat siang, ia dititipkan ke ibu kandungku karena Mas Reksa harus bekerja.
Aku memutuskan pulang sebentar untuk melepas rindu, sekadar menciumi wajah gemas Maisa yang sejak seminggu terakhir hanya kutemui paling lama satu jam per hari. Kebetulan rumahku tidak terlalu jauh jaraknya dengan rumah sakit.
Jalan gang sudah sangat lengang. Rumah kami pun demikian sepi. Pagar juga telah dirapatkan sempurna.
Di depan pagar, aku menghentikan sepeda motor dan membiarkannya di sana.
Aku membuka pintu pagar perlahan, sebisa mungkin tidak menimbulkan bising yang bisa saja mengganggu tidur Maisa.
Akan tetapi, saat posisiku hanya berjarak sekitar satu meter dari pintu rumah, aku menghentikan langkah. Tubuhku seolah kaku, darahku seakan membeku.
Dari kamarku bersama Mas Reksa yang terletak tidak jauh dari ruang depan, terdengar suara tabu yang seharusnya di rumah ini hanya menjadi milikku dan suamiku.
Suara terengah, napas yang memburu, serta erangan-erangan kecil yang membuatku seketika ingin menangis.
Rumah ini hanya dihuni kami berempat, aku, Mas Reksa, Ibu mertua, dan Maisa. Bapak mertua telah wafat dua tahun lalu.
Lantas, milik siapa suara itu?
Pernikahanku dan Mas Reksa memang bukan atas dasar suka sama suka. Kami berdua sama-sama terpaksa pada awalnya.
Dia terpaksa menikah denganku, demi menutup malu keluarga. Sementara aku terpaksa demi memenuhi permintaan Bapak.
Calon istri Mas Reksa membatalkan pernikahan satu minggu menjelang hari H karena lebih memilih mengikuti audisi pencarian bakat, yang konon katanya cita-citanya sejak lama.
Semua persiapan sudah matang. Undangan telah disebar. Kemudian aku didaulat untuk menggantikan Devia, calon istrinya yang kabur itu.
Limbung, aku melanjutkan langkah. Air mata sudah jatuh satu per satu dan serta merta mengaburkan netra.
Menggunakan kunci cadangan yang kubawa, aku membuka pintu dengan sangat pelan dan hati-hati.
Suara itu semakin kentara saat pintu berhasil kubuka. Satu milik Mas Reksa, tentu saja aku sangat mengenalnya. Suara yang satunya, aku harus mencari tahu dengan siapa dia bermain.
Ku keluarkan ponsel dari dalam tas, lalu menyiagakan kamera. Setelah bersandar cukup lama di dinding luar kamar untuk mengumpulkan kekuatan, aku memutar handle pintu yang ternyata tidak dikunci.
Tidak ada orang dewasa di rumah ini, tentu saja mereka merasa aman. Sementara Maisa, dia lebih suka menangis di kamarnya ketika terbangun, dari pada keluar mencari orang tuanya.
Di bawah temaram lampu tidur, aku dapat melihat dua tubuh yang saling beradu terlonjak saat pintu terbuka. Kemudian saat kutekan saklar lampu utama, mereka kelimpungan menarik apa saja demi menutupi tubuh masing-masing.
"Kemala!" Mas Reksa berseru panik.
"Kamu pulang?" tanyanya.
Meski hati remuk, aku terus mengarahkan kamera beberapa lama pada mereka.
"Hentikan Kemala!" titah Mas Reksa. Ia melompat dari atas ranjang, mengenakan celana sport pendek miliknya yang sebelumnya tergeletak di lantai, lalu berniat hendak merebut ponselku.
Namun, aku lekas berkelit dan mengamankan benda itu ke dalam tas.
"Hapus! Berikan padaku!" bentaknya murka.
Terdengar rengekan dari kamar Maisa. Tidak memedulikan dua mahkluk laknat itu, aku menuju ke sana, meraih tubuh mungil itu ke dalam gendongan dan membawanya keluar.
Lima tahun menjalani rumah tangga bersama Mas Reksa tidaklah mudah. Kisah kami sama sekali tak manis, hambar, bahkan kerap kali terasa pahit.
Akan tetapi, aku memilih terus bertahan. Aku selalu berbaik sangka bahwa Mas Reksa masih butuh banyak waktu untuk bisa menerima pernikahan kami. Padahal, lima tahun itu tidak bisa dikatakan sedikit.
Bagiku sudah cukup usahanya untuk menjalankan peran sebagai kepala keluarga walaupun hanya sekadarnya.
Cukup bagiku dia memenuhi semua nafkah lahir, juga memberikan nafkah batin walau kadang terasa hanya sebagai formalitas.
Aku memaklumi semuanya hanya karena pernikahan kami hasil perjodohan. Aku tidak pernah menuntut lebih. Asal dia tidak pernah berlaku kasar.
Akan tetapi, tidak pernah kusangka ternyata dia masih menjalin hubungan dengan perempuan yang hampir saja membuat keluarga besarnya malu lima tahun lalu, jika aku tidak bersedia memenuhi permohonan ayahnya kala itu.
Sambil melangkah, aku memasang jarik untuk menggendong Maisa. Malam ini juga, aku akan pulang ke rumah Bapak dan Ibu.
"Kemala! Mau kemana?" Suara lantang Mas Reksa menahan langkahku. Maisa yang kugendong dengan kepala menyandar di pundak bergerak hendak menoleh, tetapi lekas kukepuk punggungnya agar tenang kembali.
Di belakang Mas Reksa, Devia berdiri dengan rupa berantakan. Aku tidak mau Maisa melihatnya.
Ya Tuhan. Apakah selama aku di rumah sakit, Mas Reksa membawa perempuan itu di depan Maisa?
"Pulang!" ketusku.
"Pulang kemana? Ini rumahmu!" Ia menatapku nyalang.
Ah, kenapa dia yang marah? Aku yang tersakiti di sini. Aku yang lebih berhak untuk marah.
"Berikan ponselmu!" Dia mengulurkan tangan sambil mencoba mendekat.
"Satu langkah lagi kamu datang, Mas, aku akan berteriak agar semua tetangga tahu," ancamku, "Kamu tidak punya hati. Tega berzina di dalam rumahku. Bahkan di atas tempat tidurku." Aku menatapnya murka.
"Kami tidak berzina, Kemala!"
"Lalu apa namanya?"
"Devia juga istriku!"
Tegas dan lantang suaranya menggema, menusuk, mencabik-cabik hatiku.
"Hah!"
Aku berdecak sakit, tersenyum perih. Sekuat hati menahan, air mata lolos juga dari persembunyiannya.
"Istri? Kamu bilang dia juga istrimu?" tanyaku serak tidak percaya.
"Ya."
"Sejak kapan?"
"Kami menikah hanya beda satu bulan setelah kita menikah."
Pengakuan yang lagi-lagi meremukkan perasaanku.
Aku menghapus air mata yang membanjir.
Kukorbankan impian demi menikah dengannya. Aku yang saat itu baru saja lulus sarjana, mengubur keinginan untuk mengejar karir, memenuhi permintaan Ayah Hermawan--mertua yang merupakan sahabat Bapak--untuk menyelamatkan reputasi keluarga mereka. Begitu besar pengorbananku, tetapi pengkhianatan balasannya.
Lima tahun! .
Sandiwara mereka sungguh sempurna selama lima tahun!
Ya Tuhan, bagaimana aku bisa begitu bodoh tertipu lima tahun lamanya, tidak bisa membaca pengkhianatan itu sedikit pun?
"Lima tahun? Hanya beda satu bulan?" ulangku dengan tulang terasa lunglai.
"Ya."
"Jadi, setelah dia dinyatakan gagal audisi saat itu, kalian langsung menikah?"
"Ya."
"Kamu masih mau menikahinya setelah dia meninggalkanmu di hari penting kalian?"
"Aku mencintainya. Sebesar apapun kesalahannya, tidak ada artinya."
"Heh!" Aku tertawa miris, "Selamat atas kesuksesan kalian membohongiku!"
Semula kupikir aku yang bodoh. Lima tahun mempertahankan pernikahan, sementara dia bersenang-senang dengan wanita pujaannya.
Akan tetapi, mendengar jawabannya, aku merasa dia jauh lebih bodoh. Mencintai wanita yang pernah mempermalukannya melebihi aku--wanita yang sudah memberinya anak keturunan.
"Mengapa tidak kamu lepaskan saja aku sejak saat itu? Kurasa akan lebih baik."
Laki-laki itu menggeleng, "Bagaimanapun, kami berhutang budi padamu."
Lagi, aku tertawa miris.
Jadi rumah tangga ini dipertahankan hanya karena utang budi?
"Apakah setiap malam ketika aku di rumah sakit, kamu selalu membawa dia ke sini?" Pertanyaan yang jawabannya bisa amat menyakitkan, tetapi entah kenapa aku sangat ingin tahu.
"Ya." Laki-laki itu menjawab lemah. Dan aku menahan perih.
"Bagaimana jika Ibu tahu kelakuanmu?"
"Ibu menyukai Devia. Dia mengetahui pernikahan kami sejak awal dan menyetujuinya."
Rasanya tulang-tulangku dilepaskan dari sendinya. Kalimat terakhirnya terasa lebih menyakitkan dari sekadar pengkhianatannya, Ibu mengetahui semua yang terjadi. Mereka bersekongkol, menipuku dengan begitu tega.
Selama satu Minggu aku begadang di rumah sakit menjaga Ibu, di sini Mas Reksa terlena dengan kehangatan Devia. Sungguh menyakitkan.
Walau perilaku Ibu padaku baik selama ini, tetapi tipu dayanya tidak bisa termaafkan.
"Selamat, Mas. Permainan kalian sangat luar biasa. Kalian berhasil menipuku secara berjamaah lima tahun lamanya. Silakan dilanjutkan selagi masih ada kesempatan. Mana tahu, mungkin dalam waktu dekat kesempatan itu tiba-tiba lenyap."