Part 46: Berita Buruk

2023 Kata
Part 46 "Lo kenapa sih diam aja ketika dibully? Ya kan diam aja?" tanya Balder saat mereka semua sudah masuk ke dalam mobil. "Karena Dipta mikirnya mereka anak-anak jadi bukan tandingnya." Anya membela Dipta dan menjawab lebih dulu. "Anak-anak kata lo? Mereka setahun lebih muda dari kita. Astaga malah dikira anak-anak." "Gue gak mau cari masalah tapi mereka sendiri sering cari masalah ke gue. Karena om gue temennya bokapnya jadi cari perhatian biar om gue marah ke bokapnya. Padahal apa yang mereka lakukan ke gue percuma karena gue males ngadu ke om gue," ujar Dipta menjelaskan. "Oh gitu, kenapa gak lo lawan aja?" "Dipta gak bisa berantem, malah lo suruh ngelawan." "Bukan gak bisa berantem, gue gak tega." Dipta melirik Anya sekilas. "Kenapa lo gak tega sama bocah yang bully lo?" Balder tertawa mendengar ucapan Dipta. "Dia cowok berhati lembut, gak kasar, tutur katanya juga halus dan dia gak kayak lo ya." Anya tak terima mengetahui Balder meledek Dipta. "Harusnya cowok bisa jadi tameng buat cewek, melindungi cewek, coba waktu itu gue sama Abra gak ketemu Jessi di pinggir jalan. Jessi gak ketolong juga." "Sudah, sudah jangan berantem terus. Gue yang salah." Dipta menengahi perdebatan ini. "Lo suka Jessi kah?" tanya Anya sebab Balder menyebut nama Jessi dengan nada khawatirnya. "Lo sama Dipta sama aja ngiranya gue suka Jessi. Aneh banget. Dekat bukan berarti punya rasa lebih juga kali." Balder menggelengkan kepalanya ketika semuanya menuduhnya suka pada Jessi. Padahal ia mengkhawatirkan Jessi karena Balder sendiri mempunyai adik perempuan jadi ia seperti membayangkan adiknya yang berdiri sendirian di malam hari dan tak terima jika ada seseorang yang menyakitinya. Anya tertegun mendengar ucapan Balder yang ada benarnya juga karena dirinya di posisi itu. Anya menoleh ke Dipta dan mengulang ucapan Balder di dalam hatinya. 'Dekat belum tentu ada rasa, sama kayak Dipta ke gue. Gue dan Dipta dekat dari kecil tapi Dipta cuman suka sama Jessi padahal mereka jarang berinteraksi karena Dipta yang pemalu' Balder pun merogoh ponselnya yang diletakkan di dalam tasnya. Ia mengetik pesan kepada kakeknya untuk menyiapkan semuanya. "Gue kira lo pakai mobil hitam, mobil bodyguard lo." "Ini sama aja mobil mewah harganya gak kalah mahalnya." Anya mencebikkan bibirnya sebal. "Ck, gue pernah naik mobil ini. Kemarin mobilnya Jessi. Sebenarnya gue pengen mobil yang kayak kemarin waktu nolongin Dipta. Menurut gue paling bagus." "Komen mulu lo, padahal sama-sama mewahnya mendingan lo beli sendiri deh atau kalau enggak cek aja di google. Merk mobil mewah dan beragam model bakal ditampilkan." "Gue gak ada duit buat beli. Beli rumah dulu lah baru mobil. Tapi entah kapan." Balder selalu mengutarakan apa adanya dan ia juga tak malu dengan kondisinya yang berbeda dari teman-temannya. Resiko bermain bersama anak yang berasal dari keluarga kaya raya pasti akan jauh berbeda dengan anak-anak yang nasibnya sama dengannya. "Tapi gue lulus langsung nikah sih." "Buset!" "Eh." Dipta mengerem mendadak membuat Anya dan Balder terkejut sekali. "Heh Dipta ngapain lo rem mendadak, orang gak ada apa-apanya di depan." Anya mengusap dadanya yang berdebar tak karuan gegara dua laki-laki ini. "Lo kaget denger kata nikah ya?" Balder tersenyum tanpa bersalah dan menahan bibirnya agar ketawanya tidak meledak. "Lagian lo bicara aneh banget, kita masih sekolah malah bahas nikah." Anya mendengus sebal dan Dipta melajukan kembali mobilnya. "Gue pengen nikah muda." "Emang lo ada pacar? Lo aja kelihatan belum mapan begitu kok pengen nikah muda. Angka perceraian paling tinggi alasannya karena ekonomi." "Makanya gue nikah pengennya sama cewek kaya raya, biar gue ada yang biayain hidup hihi." "Idih, cowok apaan lo numpang hidup ke cewek." "Nantinya gue bakal balikin hartanya ke istri gue kelak. Gue juga tanggung jawab kali." "Siapa juga yang mau nikah sama lo meski diganti duitnya." "Mungkin lo hehe, lo kan kaya. Hidupin gue nanti, gue bakal kasih lo kebahagiaan dan dijamin uang lo bakal balik ke diri lo." Balder tertawa puas sambil bertepuk tangan. "Ogah, suka sama lo aja kagak dan gue benci banget sama lo. Gue masih punya mimpi dan gue nikahnya setelah gue udah lulus s2. Gue anti nikah muda." "Kalau takdirnya nikah muda ya lo mau tak mau ya harus diterima." "Gak!" "Heh sudah dong, jangan berisik dong kalian. Gue mau nyetir jadi gak fokus." Dipta menghembuskan napasnya yang begitu berat sekali. Perdebatan yang tak masuk akal ini berhasil membuatnya tak fokus saat sedang menyopir mobil dan takutnya ia menabrak sesuatu. "Lo bawa mobil kayak siput gitu pelan amat." Balder menggurutu. "AAAA!" teriak Balder seketika merasakan dirinya melayang. Dipta pun menambahkan kecepatan mobilnya karena Balder sendiri yang mengatakan bahwa mobilnya lambat seperti siput sedangkan Anya tertawa melihat wajah Balder yang ketakutan. "Salah sendiri ngatain orang." ... Felix malam ini sangat sibuk sekali dan dia mengerjakan dua kali lipat tal seperti biasanya. Felix juga mengerjakan kerjaan Balder dan sungguh melelahkan sekali. Kurang setengah jam lagi pekerjaannya selesai kemudian ia akan pulang sedangkan Balder nanti lembur. Walau pekerjaannya sama dengan Balder tapi jam kerja Balder lebih banyak dibanding dirinya sebab Balder lebig handal mengerjakan apapun soal mesin. "Abra!" "Iya, Bang?" Felix menatap bingung pada teman kerjanya yang tiba-tiba datang menghampirinya dari luar dan wajahnya juga nampak panik. "Bapak lo." Teman kerjanya yang usianya jauh lebih tua dengannya sudah berdiri di hadapan Abra dengan napasnya yang tak beraturan sehabis berlarian. "Kenapa sama bapak gue?" "Ditabrak orang sama--" Belum melanjutkan ucapannya, Abra telah pergi berlari sekencangnya mendengar Seno ditabrak orang dan tak lupa membawa tas sekolahnya. "Belum aja gue jelasin, udah pergi duluan." Gumam temannnya Abra lalu ia mengirimkan pesan pada Abra dan memberitahukan dimana Seno dirawat sekarang. 'Semoga gak kenapa-napa'--Abra meyakinkan dirinya kalau Seno tidak kenapa-napa walau sangat panik sekarang. Abra berlari sekencangnya dan tak peduli penampilannya yang masih berantakkan. Sesampainya di rumah sakit setelah Abra juga membaca pesan dari teman kerjanya dan saat ini menuju ke ruang gawat darurat. "Abra." Seseorang memanggil namanya dan Abra yang tau si pemilik suara itu segera menatap dimana asal suara itu berada. "Bapak!" Abra melihat Seno terbaring lemas di atas brangkar rumah sakit dengan kaki kirinya yang diperban. "Bapam tidak apa." Seno tersenyum dan menyuruh putranya mengambil tempat duduk dan duduk dengan tenang meski Abra sendiri tidak bisa tenang melihat bapaknya terluka. "Tetap saja aku khawatir Pak." Luka sekecil apapun jika yang terluka adalah orang yang disayanginya pasti ikut merasakan sakitnya itu yang dirasakan Abra sekarang. "Gimana ini bisa terjadi Pak?" "Ada orang mengendarai mobil nabrak ke tempat bapak jualan terus mobil itu pergi. Untung saja tidak ada pembeli karena bapak udah mau tutup." "Aku akan mencari orang yang menabrak bapak." "Tidak usah, biarkan saja. Bapak tidak apa." "Tidak apa gimana, kaki bapak terluka dan bapak kesusahan berjalan. Bapak jangan terlalu baik sama orang, sudah jelas itu jahat. Kalau tanggung jawab bisa dimaafkan, lha ini pelakunya kabur pak." Abra beranjak berdiri dan berniat akan mencari tau siapa pelaku aksi tabrak lari tersebut. "Percuma, Nak. Kamu cari pelaku tabrak lari, mereka ketangkep pun juga bakal lolos Nak dan semuanya bisa dibeli sama uang." "Tetap saja aku tidak terima dan mereka harus ditangkap. Sekarang aku mau pergi ke tempat kerja bapak. Aku mau periksa." Abra tetap mencari si pelaku tabrak lari yang menyebabkan kaki bapaknya terluka dan untung saja luka itu tak terlalu parah. Namun bagaimana pun hukum tetaplah berlaku dan Abra ingin pelaku tersebut bertanggung jawab atas kesalahannya supaya jera. Ketika sudah sampai di tempat kejadian, Abra melihat banyak orang disini dan ia pun juga ikut melihat kondisi tempat ayahnya berdagang. Abra sakit hati sekali melihat gerobak bakso milik Seno hancur lumayan parah serta beberapa perabotan juga ikut hancur. Hanya beberapa saja barangnya yang masih bisa diselamatkan alias tidak hancur parah. Lelaki itu menghela napasnya saat ada polisi menghampirinya dan menyuruhnya untuk keluar dari TKP karena masih ada pemeriksaan lebih lanjut. Rasanya tubuh Abra lemas seketika dan ada warga yang sadar kehadirannya disini sehingga Abra dibawa ke tempat lebih nyaman untuk duduk di tempat tersebut. Bahkan Abra diberikan air mineral dan beberapa orang juga ada yang menanyakan kondisi Seno kepadanya. "Saya tadi gak sengaja lihat, kayaknya orang yang nabrak itu memang disengaja." Abra yang tak sengaja mendengar obrolan warga pun segera bergabung dan menatap seseorang yang diduga menjadi saksi kejadian tadi. "Bapak lihat orangnya siapa?" "Sekilas orangnya itu masih muda." "Apa disini ada CCTV?" tanya Abra lagi. "Ada, tapi di ujung sana. Semoga aja kerangkep kamera tersembunyi. Mungkin polisi yang akan mengurusnya karena ada warga lain yang mengalami kerugian dan melaporkan kecelakaan ini." "Terima kasih, Pak." Sekarang Abra telah berada di kantor polisi dan seorang polisi yang mengurus kecelakaan ayahnya sedang menjelaskan sesuatu tentang kecelakaan. "Untung saja plat mobil itu terlihat jelas dan kita masih menunggu hasil siapa pemilik mobil itu." Abra mengangguk mengerti dan tidak lama hasilnua telah keluar. Hal yang membuatnya terkejut, sosok yang menabrak ayahnya dan nampak disengaja ialah Asher. Abra mengepalkan kedua tangannya, urat-urat lehernya terlihat begitu jelas dan kemarahannya ini sudah tidak tertolong. "Sepertinya yang menabrak itu anaknya." "Kita akan periksa lagi lebih lanjut dan menangkap pelaku kecelakaan ini." Abra tak bisa berkata-kata lebih lanjut, ia benar-benar marah lalu pergi dari kantor polisi. ... "Katanya gak bisa dance, lo cepat hafal gerakannya tuh." Erma terkekeh pelan melihat Jessi yang begitu semangat berlatih dan sangat cepat menghafal gerakan dasar yang diajarkannya kepada gadis itu. "Hehe gue kayaknya terlalu bersemangat." Jessi masih terus melalukan dance berulang kali sedangkan Husna dan Rosita sudah rebahan di atas lantai. "Katanya juga lo gak bisa dance, badan lo lentur kayak gitu malah kayak udah profesional banget." Husna menggelengkan kepalanya dan ia akui tubuh Jessi begitu lentur menarikan tarian yang diperuntukan untuk pemula. "Mungkin karena dia suka olahraga jadi ngefek sama tubuhnya kalau nari," ucap Rosita. "Bener, gue juga gitu." Erma mengacungkan jempolnya karena ucapannya Rosita sangat benar sekali menurutnya. Bunyi ponsel Jessi membuat gadis itu menghentikan latihannya dan segera bergegas mengambil ponselnya yang diletakkan di atas meja. Ruangan kosong ini hanya ada meja saja itupun Jessi baru saja menyuruh pembantunya untuk menyediakan meja sementara disini. "Dipta." Gumam Jessi. Jessi menerima panggilan video dari Dipta dan ia melongo melihat Dipta yang tengah serius berlatih bela diri bersama seorang kakek tua. Bahkan Dipta sudah memiliki seragam bela diri dan di sebelahnya ada Balder yang ikut membantunya jika ada gerakannya yang salah. "Alo Jes." Kini terpampang dilayarnya wajah Anya sambil tangannya dilambaikan ke arahnya. "Alo Anya, gimana latihannya?" "Sebenernya kasian sama Dipta tapi dia lucu banget haha." Anya tertawa terbahak-bahak teringat betapa lucunya Dipta saat belajar bela diri. "Haha iya bener gue tadi lihat, tapi agak kasian juga sih. Gue denger suaranya dari sini." "Iya suaranya kencang banget biasanya dia gak pernah teriak-teriak. Ini pertama kalinya lihat dia teriak-teriak. Karena disuruh sama kakeknya bocah songong itu." "Kalian masih berantem kah?" tanya Jessi penasaran terhadap hubungan Anya dan Balder yang tak pernah akur. "Ogah gue kalau damai dia dan gue terpaksa nahan diri biar gak mencak-mencak disini. Ada kakeknya." Anya mencebikkan bibirnya. "Haha sabar, lagian kenapa sih gak akur aja kan lebih enak berteman." "Enak gundulmu, ya sudah gue mau matiin telepon dan lo lanjut berlatih gih. Fighting!" "Iya Anya makasih buat semangatnya." "Sama-sama." Di seberang sana, Anya memasukkan ponsel milik Dipta ke dalam tas temannya dan ia sengaja menelepon Jessi agar Jessi tau sendiri kalau Dipta sudah mulai belajar bela diri. "Napa?" tanya Anya dengan raut wajahnya yang malas saat Balder memasang wajah konyolnya sembari melangkah mendekatinya. "Katanya lo mau lihat gue bisa bela diri." "Enggak, kapan gue tanya gitu?" Anya menggeleng cepat dan sengaja berpura-pura lupa. Dilihat di rumahnya Balder yang banyak sekali laki-laki itu mendapatkan pialanya membuatnya mengurungkan niatnya meremehkan Balder. "Halah sok-sokan lupa lo." "Gue gak bilang kayak gitu ya." Anya kekeuh tak mau mengucapkan sejujurnya. Balder tersenyum lebar lalu menarik tangan Anya sehingga Anya relfek berdiri. "Eh ngapain lo narik tangan gue!" teriak Anya kesal. "Ayolah ikut gue! Salah sendiri remehin gue, kalau gue jago tanding sama orang. Traktir gue makan sepuasnya." Balder tetap memaksa gadis itu supaya ikut pergi dengannya ke ruangan yang lain. Ruangan ini dikhususkan untuk Dipta berlatih dan gurunya adalah kakeknya lalu ada beberapa orang lagi sebagai pendamping. "Balder, jangan berisik disini!" tegur kakeknya Balder. "Iya kek, ini mau keluar dulu ada urusan penting." "Cepat pergilah!" Anya menatap tajam pada Balder yang terus menarik tangannya dan gadis itu pun menyerah. Pasrah dibawa kemana oleh Balder. "Pendendam ya lo!" ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN