Part 47: Kebencian

2091 Kata
Part 47 Baru saja tiba di rumah si pelaku kecelakaan yang alamatnya didapatkan dari internet ternyata sudah keduluan oleh polisi. Terlihat disana ramai sekali antara polisi, bodyguard rumah dan pemilik rumah tengah membicarakan hal serius. Abra berlari dan mencoba menerobos kerumunan tersebut namun ditahan oleh para bodyguard rumah dan ada beberapa polisi yang tidak sengaja melihat kehadiran Abra disini. "Jangan membuat kerusuhan!" teriak mereka pada Abra. "Minggir! Gue mau lihat orang yang berani nabrak bokap gue!" Aura kemarahan besar terpancar didiri Abra bahkan meski ditahan orang banyak pun tak membuat Abra berhenti dan terus ingin menerobos. Tatapannya bertemu pandangan dengan mata Asher dan keduanya saling menatap tajam. "Mana tanggungjawab lo, jangan karena uang lo bisa seenaknya buat orang lain celaka! Gue ingin dia dihukum jera!" "Dia kenapa tiba-tiba datang dan emosi?" Tanya Asher pada salah satu polisi di depannya. "Karena salah satu korban kecelakaan ini adalah ayahnya." "Hadeh anakku ini cari gara-gara lagi bikin kepalaku pusing." Asher memijit keningnya dan ia menatap Abra lagi, ia mengenali bocah remaja itu seseorang yang tak sopan kepadanya waktu di acara ulang tahun karyawannya. "Bocah ini berisik sekali. " Asher mendekati Abra meski sebenarnya tidak diperbolehkan oleh para bodyguard karena bisa membahayakannya jika terjadi apa-apa kepadanya sebab Abra dalam keadaan emosi yang sudah tidak ditahan lagi. "Berhentilah berteriak, saya terganggu dengan teriakkanmu." Asher menegur Abra supaya diam namun Abra tetap saja ingin menemui anaknya. "Kau mau menghajar putraku hah! Dia tidak sengaja menabrak ayahmu dan dia memang lagi belajar menyetir mobil. Lagian ayahmu tidak mati kan." "Maksud Anda apa bilang seperti itu hah! Tetap saja salah sengaja ataupun tidak, harus dihukum dan diberi pelajaran supaya tidak lagi merugikan orang lain. Anda ayahnya harusnya berikan dia hukuman, jangan gunakan uang Anda menutupi fakta ini. Tindakan anak Anda merugikan banyak orang dan lagi masih banyak tempat untuk belajar mobil. Anda kaya raya harusnya memiliki tempat untuk belajar mobil dan ada seseorang yang mendampingi. Jangan banyak alasan demi menutupi fakta yang sebenarnya!" "Nanti saya yang akan ganti rugi. Pergilah kau dari sini!" Padahal Asher tak ingin lagi bertemu lagi dengan Abra. "Anak Anda cari gara-gara di sekolah, bisa jadi dia balas dendam sama saya. Kalau memang balas dendam, jangan sangkut pauti bapak saya!" "Oh kau satu sekolahan dengan putraku. Berarti kalau dia dendam sama kamu, kamu yang pukuli dia tadi kan? Ya sudah sama saja tingkah kalian." Asher semakin pusing saja bahkan asistennya menyuruhnya untuk tak terlalu mengurusi masalah yang menurutnya sangat sepele sekali dan mudah diselesaikan. "Diam tidak atau kalau kamu masih saja begini sama saja kamu mencari masalah juga. Kamu bisa dibawa ke kantor!" Salah satu seorang polisi menghampiri Abra dan menegur Abra yang membuat Abra seketika terdiam dan tak lagi memberontak. Abra terpaksa melakukan begitu karena tiba-tiba teringat ayahnya dan tak ingin membebani ayahnya lagi. Abra mengepalkan kedua tangannya, memejamkan matanya dan napasnya terdengar memburu. Di depannya ada ayahnya sendiri, ayah kandungnya yang menurutnya tak pantas menjadi ayah kandungnya dan sampai detik ini masih teringat perlakuan ayahnya dulu kepadanya. Ada rasa trauma mendalam yang ia coba menghadapinya walau sangat sulit rasanya. Tubuh Abra tak lagi dipegangi oleh orang-orang tadi dan selintas teringat masa kecilnya mendengar suara teriakan Asher yang memaksanya untuk bisa memahami materi yang telah pria itu berikan. "Silakan bawa bocah itu pergi dari rumahku, menganggu pemandangan aja." Asher merasa kesal melihat para bodyguardnya yang malah diam saja dan ia menyuruh para bodyguard segera membawa Abra pergi dari rumahnya. Belum sempat pula memegangi tubuh Abra, Abra tiba-tiba berteriak dan menutup telinganya. Ia mendengar teriakan yang membuat telinganya berdengung, bayangan masa kecilnya juga masih saja muncul dipikirannya dan gelagat aneh Abra itu mengundang perhatian orang-orang disini termasuk Asher. "Dia kenapa sih?" Semuanya menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan dari Asher. Abra menjatuhkan tubuhnya sambil memegangi kepalanya. "Argh kenapa masih keinget!" teriak Abra lagi. Teriakannya terdengar seperti ketakutan dan tubuhnya bergetar. "Pergi-pergi!" Abra memukuli kepalanya dan berusaha seperti mengusir pikirannya yang terbayang-bayangan kenangan masa kecilnya yang sangat menyakitkan. "Eh Nak, jangan memukuli tubuhmu sendiri." Salah satu polisi beranjak menyadarkan Abra dan menarik tangannya Abra supaya tidak memukuli kepalanya sendiri. "Tubuhnya panas." Gumam polisi itu dan ketika kedua tangan Abra dipegang oleh polisi itu, Abra mendongakkan wajahnya. Ia menatap nyalang pria yang berdiri di hadapannya. "Jaga tatapanmu itu ya! Tidak sopan sekali!" sentak Asher. Suara Asher itu sama persis sewaktu dirinya masih kecil dulu dimarahi habis-habisan oleh Asher karena salah menjawab pertanyaan dari Asher. Abra segera membuang pandangannya ke arah lain dan degup jantungnya sekarang berdebar tak karuan. Tampilannya pula begitu kacau sekali. Keadaan seperti inilah yang membuat Abra seringkali membenci dirinya sendiri dan mengapa harus dirinya yang mengalami hal sesulit ini. "Sudah tenang? Kamu kenapa, Nak?" Polisi itu membantu Abra berdiri. Bertepatan dengan itu Faisal datang bersama Luna. "Mas, Faisal sudah aku bujuk." Luna. Menghampiri suaminya dan Abra yang mengetahui itu, berjalan mundur beberapa langkah. Luna menyipitkan matanya, menatap bingung sosok laki-laki muda berdiri di depan suaminya. "Ikutlah pergi ke kantor polisi sama Faisal!" suruh Asher pada istrinya. "Iya," jawab Luna dan wanita itu masih menatap Abra. 'Dia kayak gak suka sama aku, sorotan matanya seperti menandakan kebencian yang sangat dalam'---pikir Luna. "Pada lihat apaan sih?" Faisal kebingungan melihat orang-orang di sekitarnya termasuk orang tuanya fokus menatap seseorang disana dan saat sudah tau orang yang diperhatikan oleh mereka tentu Faisal terkejut. "Dia kenapa disini?" Faisal melangkah mundur dan ia ditatapn tajam oleh Abra. Abra hanya menatap tajam pada ketiga orang di depannya dan kepalanya semakin memberat rasanya. Laki-laki itu masih memegangi kepalanya yang masih sakit akibat dipukul dirinya sendiri, sudah kebiasaannya ketika pikirannya sedang kalut selalu memukuli kepalanya sendiri. Lama-lama pandangannya menjadi menggelap dan tubuh lemas tak kuat lagi berdiri. ... "Gimana tadi? Gue hebat kan?" Balder tersenyum lebar dan menyombongkan dirinya di depan Anya setelah memenangkan pertandingan melawan temannya. "Biasa saja." Anya menatapnya sinis. Walau Anya sempat terpesona melihat bagaimana hebatnya sosok Balder melawan temannya sepadepokan itu dan Balder sudah dikatakan seorang seniman bela diri. Anya tetap saja menanggapi laki-laki itu biasa saja supaya Balder tak 'kepedean' alias terlalu percaya diri. "Eleh bilang aja lo langsung jatuh hati lihat penampilan gue tadi." Balder duduk di sebelah Anya setelah meneguk habis minumannya. "Jatuh hati sama lo? Idih ogah kali, lo bukan tipe gue ya. Jangan sok kepedean." Anya bergidik ngeri mendengar ucapan Balder yang mengatakan bahwa dirinya menyukai laki-laki itu. "Iya ya gue tau tipe lo kayak gimana." Balder merebahkan dirinya di atas lantai yang dingin dan keringatnya bercucuran diwajahnya. "Gak usah sok tau." Anya beranjak berdiri namun ucapan Balder selanjutnya membuatnya kembali duduk dan menatap laki-laki itu tak percaya. "Lo naksir Dipta ya." "Diam ya lo!" sentak Anya sambil matanya melirik sekitar dan takutnya Dipta ada di ruangan ini. "Kan bener dugaan gue." "Ck, gue suruh lo diam!" Anya memukul paha Balder dan Balder memekik sambil memegangi pahanya. Tubuhnya yang letih lalu dipukul terasa pula sakitnya. "Kasian cintanya bertepuk sebelah tangan." Balder tertawa meledek Anya meski begitu ia merasa iba pada gadis itu yang mencintai seseorang tapi orang yang dicintai malah mencintai orang lain. "Lama-lama gue sumpel mulut lo pakai sendal gue ya. Gue suruh diam ya diam!" Anya melotot dan benar-benar marah jika ada yang membahas hal itu. "Gue mau kasih kata-kata ke lo. Cinta itu imbal balik, kalau dia gak cinta bahkan ngelirik lo sebagai wanita bukan teman ya sudah hapus saja perasaan cinta lo ke dia." "Kenapa lo bisa menebak gue suka sama Dipta?" tanya Anya heran. "Lo pikir gue gak pernah gitu suka sama seseorang. Ya jelas gue tau lah, tatapan lo ke dia aja sudah membuktikan. Cuman temen lo yang terlalu bodoh apa polos banget sampai-sampai dia gak merasa kalau lo suka sama dia. Gue aja bisa nebak kalau ada cewek yang suka sama gue." Balder kembali duduk dan kini posisi duduknya memilih di depan Anya seraya menyilakan kedua kakinya. "Jangan hina dia!" Tegur Anya pada Balder. "Gue cuman gereget aja sama Dipta bukan maksud menghina. Ucapan gue ceplas-ceplos begini ya." "Entah dia tau apa enggak, tolong jangan salahin Dipta. Gue yang salah, salah menyimpan rasa ke temen sendiri." "Mencintai seseorang itu tidak salah dan wajar aja karena lo manusia, punya perasaan. Tapi yang salah itu kalau lo berharap dia cinta balik ke lo yang jelas-jelas dia cuman anggap lo teman doang." "Lo kayak pakar cinta ngurusin perasaan orang." "Gue gak ngurusin sih, gue kasih kata-kata doang." "Emang lo pernah mengalami cinta bertepuk sebelah tangan dan lo pikir mudah gitu menghapus perasaan suka ke orang." Anya mendengus sebal. "Bukan cinta bertepuk sebelah tanhan sih tapi sebuah cinta yang gak gue duga menyakiti diri gue sendiri." "Maksud lo gimana?" tanya Anya tak paham. "Gue gak mau cerita, karena itu aib." "Lo hamilin anak orang?" "Kagak woe!" teriak Balder panik dan teriakannya itu membuat orang-orang yang tengah latihan di ruangan ini terlonjak kaget. Balder pun meminta maaf kepada mereka karena telah mengganggu aktivitas mereka. "Gila ya suara lo bikin gendang telinga gue mau pecah." Anya mengusap telinganya. "Hehe sorry-sorry, habisnya lo kasih pertanyaan yang bikin gue kesel banget." "Soalnya lo bilang aib ya gue mikirnya ke sana lah." "Gue bukan tipe orang suka cerita seenaknya karena itu masalah pribadi gue dan gue sudah lupain itu semua karena sudah lama juga." Balder menghembuskan napasnya dan tak ingin membahas tentang percintaan masa lalunya. "Gak adil sih, gue udah jujur bilanh kalau cinta gue bertepuk sebelah tangan. Nah kalau lo gimana tuh? Gak usah dijelasin panjang lebar deh, gak papa." Entah kenapa Anya malah penasaran tentang percintaan Balder di masa lalunya. "Perselingkuhan." "Lo selingkuh dan menyesal sekarang?" tebak Anya. "Bukan gue yang selingkuh tapi mantan gue." "Oh pantesan lo diselingkuhi." Anya mengangguk paham. "Kenapa emang?" "Muka lo jelek, garang, kaku, sikap lo juga aneh, suka bicara kasar, kotor juga dan intinya banyak jeleknya." Anya menyebutkan semua tentang Balder menurutnya "Buruk banget gue di mata lo." "Iya banyak buruknya." "Iya gue emang buruk. Gue aja mantan anak berandalan." "Mantan apaan, sampai sekarang juga berandalan. Pakaian lo aja gak rapi, suka berantem." "Iya itu dulu suka berantem, kalau sekarang mah orangnya duluan yang cari gara-gara baru deh gue maju paling depan. Gue gak suka terlalu rapih jadi enak tampil swag men." "Swag apanya, norak kayak gitu." Anya beranjak berdiri dan akan ke ruangan tempat dimana Dipta sedang berlatih. Balder tentu segera mengikuti langkah gadis itu pergi. "Tiba-tiba pergi aja, gak sabar yang lihat doinya belajar bela diri." Balder terus menggoda Anya sehingga Anya merasa risih. "Sudah deh, jangan bicara kayak itu lagi. Gue gak mau Dipta denger ucapan lo." "Emang kenapa kalau Dipta tau lo suka sama dia? Apa dia bakalan benci sama lo? Kalau dia benci sama lo cuman karena lo menyimpan sebuah rasa berarti dia bukan cowok baik." "Kok bisa-bisanya lo bilang begitu?" tanya Anya seraya mengernyitkan dahinya heran. "Dia gak bakalan benci sama lo walau lo udah ungkapin rasa ke dia. Mungkin lo dijauhi alias dianya jaga jarak haha." Balder tertawa kecil. "Sama aja dodol!" Anya menepuk pundak Balder dan Balder berhasil menghindar lalu berlari supaya tak terkena pukulan dari Anya lagi. Anya yang tak terima pun berlari mengejar Balder sampai benar-benar berhasil memukul laki-laki itu. Akhirnya mereka terlihat saling kejar-kejaran seperti anak kecil dan mereka tidak sadar ada orang-orang di sekitar mereka melihat tingkah mereka. Mereka berdua berada di luar ruangan yang biasa digunakan latihan mungkin kalau masih di dalam ruangan pastinya akan ditegur. Tak lama Anya memutuskan menyerah mengejar Balder dan merasa lelah sekali. Anya melihat ada bangku kosong lalu segera didudukinya dan menjadikan tempat itu sebagai tempat istirahatnya sejenak. "Ck, ngeselin deh lo." Anya menggurutu dan melihat Balder berdiri di depannya dengan jarak lima langkah kaki orang dewasa. "Hehe capek ya?" Balder berkacak pinggang dan menertawakan gadis itu yang kelelahan. "Oh ya gue mau tanya. Gue kan tadi udah nyebutin tentang lo menurut gue sekarang gantian lo." "Emm kalau lo sih menurut gue juga jelek, galak, kasar, kalemnya cuman sama Dipta doang, sok lucu, mengerikan bahkan melebihi hantu." "Apa-apaan mengerikan melebihi hantu!" Sentak Anya tak terima. "Memang kenyataannya kok. Gue aja lebih memilih hantu daripada lo." "Bodo amat." Sedangkan di tempat lain... Sosok gadis cantik tengah mengeringkan rambutnya yang masih basah sehabis keramas dan tadinya selesai latihan langsung menuju ke kamar mandi kamarnya. Akna tetapi, sorotan mata gadis tak lepas dari ponselnya dan sepertinya sedang menunggu balasan dari seseorang yang ditunggunya. "Abra dari tadi tumben gak bales-bales chat gue." "Biasanya dia bales chat cepet kalau jam segini karena ini waktunya pulang kerja. Emm masak dia lagi bantu bokapnya?" "Gue udah kirim video waktu latihan nari tadi dan gue pengen minta pendapat dari dia kayak gimana tarian gue menurutnya." Jessi menggurutu kesal dan seketika semangatnya hilang karena sosok penyemangatnya belum muncul sama sekali. ...

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN