Part 32: Flashback

4467 Kata
Cerita singkat Felix dan Balder Beberapa tahun yang lalu... Seorang anak laki-laki berusia 7 tahunan tengah bermain bola di lapangan sekolahannya bersama teman-temannya yang berjumlah sekitar enam orang saja. Ia bermain begitu riang seolah tak pernah ada beban di wajahnya dan ketika berhasil mencetak gol, dirinya berteriak heboh begitu juga dengan teman timnya. "Aku udah menang, mana janjimu mau kasih aku bola?" "Kita tanding lah." "Kita udah dua kali tanding lho, maksud kamu apaan!" Bocah yang baru memenangkan pertandingan kecil ini tak terima mengetahui pertandingan akan diulang lagi padahal sesuai perjanjian pertandingan hanya dilakukan dua kali dan jika dirinya menang akan mendapatkan bola sepak dari merk brand terkenal. "Terserah gue dong, gue yang ngadain pertandingan." "Licik banget sih kamu!" Bocah itu mendorong lawan mainnya dengan kuat dan menendang kakinya. "Beraninya kamu sama aku hah!" "Iya berani, anak manja sepertimu gak bakal bikin aku takut." "Balder awas kamu!" Bocah laki-laki bernama Balder itu tersenyum miring sembari tangannya menarik kerah seragam lawan mainnya. "Lepas Balder!" teriak bocah itu yang merasakan sesak karena Balder makin mencekik lehernya. Teman-temannya yang berusaha menolongnya, ditendang kuat oleh Balder hingga tak ada yang berani memisahkan mereka lalu datanglah seorang guru yang akhirnya bisa memisahkan mereka. "Anak orang kaya sombong, egois dan jelek." Balder masih sempat-sempatnya tertawa disaat gurunya menarik telinganya dan bocah itu tak ada takutnya ditatap tajam oleh gurunya. Akibat dari ulahnya sendiri, Balder mendapat hukuman yaitu membersihkan lapangan sepak bola sekolahannya dalam waktu setengah jam diharuskan lapangan bola itu terlihat bersih. "Ngeselin memang anak itu, dia yang ngajak tanding bola giliran kalah, gak mau ngaku kalah." "Kurang puas gue nyiksa dia." Balder mendumel ketika sedang menjalankan hukumannya, pakaiannga berantakkan berserta rambutnya tapi Balder tak peduli itu semua. Setelah beres semuanya, selanjutnya Balder mengikuti pelajaran di jam sekarang. Ia meraih buku teman sebelahnya dan mulai menconteknya begitu mudahnya. "Sesekali kamu belajar sendiri lah, nyontek aku mulu." Teman sebangkunya itu tidak terima bukunya selalu dipinjam oleh Balder. "Berani sama aku?" Balder mendelik, menatap temannya dan temannya tak bisa apa-apa karena tau kelakuan Balder seperti apa di sekolah. Hari-hari seperti biasanya Balder melakukan aktivitasnya, terkadang ia tak memiliki teman karena sikap kasarnya dan Balder seringkali bergonta-ganti teman setiap harinya. Temannya tidak hanya sebayanya melainkan kakak kelasnya dan adik kelasnya juga. Baldet tak takut kepada siapapun karena keterampilan bela dirinya yang bisa mengalahkan banyak murid sewaktu dirinya dikeroyok. Salah satu bakatnya adalah menendang kaki lawan hingga susah berdiri. Ia juga sering membuat anak orang menangis kesakitan gegara kelakuannya. Orang tua Balder sering dipanggil oleh pihak sekolah namun tetap saja tak membuat Balder berubah justru kelakuannya semakin menjadi-jadi saja. Sekarang Balder sedang bergabung bersama teman-temannya yang tengah menikmati makanan dan minuman yang baru saja dibeli. Kecuali Balder yang tidak membeli jajan apapun dan hanya melihat teman-temannya saja yang sedang makan. Bukan sekali dua kali Balder jarang membeli jajan ke kantin tapi memang keadaannya yang menyuruhnya untuk menghemat dan memilih uangnya ditabung untuk membeli keperluan sekolahannya. Saat Balder sedang males mencari masalah ke seseorang, ia malah menemukan sosok murid baru di sekolahannya yang duduk sendirian di bawah pohon dekat depan ruang guru. "Itu murid baru kelas sebelah kan?" tanya Balder pada teman-temannya sambil menunjuk ke orang terserah. "Iya, dia anaknya Pak Seno. Kamu tau kan beliau siapa." "Pak Seno punya anak? Pak Seno yang baru balik dari luar kota kan?" tanya Balder terkejut. Pak Seno adalah seorang penjual es keliling di sekitar daerah rumahnya namun sudah lama tak pernah terlihat dan biasanya Pak Seno juga berjualan di depan pagar sekolahannya sejak istrinya dikabarkan meninggal. Pak Seno memilih tinggal di kota lain dan kebetulan sekota dengan rumah tantenya walau begitu Balder tak pernah bertemu Pak Seno sama sekali. "Iya, aku juga gak tau Pak Seno tiba-tiba punya anak terus balik tinggal disini. Anaknya kayaknya anak baik, Balder jangan ganggu dia deh." "Enggak, aku sukanya ganggu anak orang kaya sampai nangis soalnya ngeselin pamer mulu." Balder menggeleng. Tentu Balder tidak asal mengusili anak orang dan selalu pilih-pilih mana yang pantas dibuat nangis olehnya. "Setahuku Pak Seno tidak punya anak bahkan sampai istrinya meninggal deh dan setelah istrinya meninggal, Pak Seno pergi ke luar ke kota eh malah balik sama bawa anak." "Apa sengaja disembunyikan anaknya kah? Benar-benar membingungkan." "Sudahlah jangan terlalu dipikirin, itu urusan orang lain bukan kita. Aku mau ke sana." Balder beranjak berdiri. "Jangan merusuh lagi Bal." "Enggak!" Balder berlari menghampiri sosok yang baru diketahui kalau dia adalah anak dari penjual es keliling daerah rumahnya. "Eh kamu anak baru kan?" tanya Balder dan kini sudah duduk di samping bocah itu. "Iya." "Nama lo Abra?" Balder membaca name tag di seragam bocah itu. "Iya." "Singkat amat jawabanmu, lo bener-bener anaknya Pak Seno?" "Iya." "Yakin?" "Iya." "Iya, iya mulu jawabanmu." Balder menggaruk tekuknya yang tak gatal dan dia juga sedikit merasa kesal diabaikan oleh bocah bernama Abra. "Aneh sih, dua tahun Pak Seno gak kelihatan eh tiba-tiba bawa anak ke kota ini." "Umur kita sama, otomatis ibu kita sama-sama mengandung. Kamu masih ada di dalam perut dan aku pun sama. Mengapa kamu heran?" Abra memasang raut wajah datar ketika menatap laki-laki asing yang menurutnya mengganggunya sekali. "Eh iya ya, haduh aku terlalu bodoh hehe." "Pergilah, aku ingin sendiri!" Usir Abra. "Nama aku Balder, kita bisa berteman." Balder menjulurkan tangannya di depan Abra dan Abra tidak membalas ajakan jabatan tangan darinya. "Aku tidak mau berteman dengan siapapun." Abra menggelengkan kepalanya. "Enak tau punya teman banyak." "Aku cuman punya temen satu saja." "Siapa emangnya? Apakah sekolah disini?" "Dia jauh." "Oh gitu, namanya siapa?" "Jessi." "Temenmu cewek?" Balder tertawa meledek mengetahui Abra hanya memiliki satu teman dan itupun perempuan. "Dia baik." "Aku gak nanya ye." "Aku hanya menjelaskan dan tidak ada niat menjawab pertanyaan darimu sama sekali." "Mukamu aja beda jauh sama Pak Seno." Balder memincingkan matanya tatkala memandang wajah Abra dan mengingat pula wajahnya Pak Seno. "Sungguh mengganggu sekali kamu, aku ingin belajar dengan tenang." Abra menunjukkan buku paketnya yang sedang dibaca sekarang. Balder menggelengkan kepalanya sambil tertawa melihat Abra yang sangat serius belajarnya. ... "Balder." "Iya Bu." Balder yang sedang menyapu halaman rumahnya itu menoleh ke belakang saat mendengar suara ibunya yang memanggil namanya. "Ibu minta tolong bentar ke kamu." "Minta tolong apa, Bu?" "Cuci tanganmu dulu!" Suruh ibunya kepada Balder dan Balder bergegas membersihkan kedua tangannya lalu kembali lagi menghampiri ibunya yang sedang membawa sebuah nampan berisi beberapa kotak makanan. "Minta tolong apa, Bu?" tanya Balder. "Anter ke rumahnya Pak Seno di seberang sana ya!" "Pesenan ini, Bu?" "Iya, karena Pak Seno lagi di luar kota dan anakny disini sendirian. Oh ya, sesekali anaknya suruh main kesini. Ibu juga mau merawatnya sama seperti ibu merawatmu. Kasian, Nak." "Lho Pak Seno gak tinggal disini?" "Cuman anaknya saja yang tinggal disini, ibu juga diberi upah buat masakin makanan anaknya. Katanya cakep kan, dia satu sekolah denganmu." "Beda gedung, Bu. Tapi masih cakepan aku lah, kan aku anak ibu dan ibu syantik." "Haha bisa saja kamu ini, ya sudah gih kesana. Terus ajak dia main kesini kalau tidak mau bilang aja ini suruhan bapaknya." "Emang dia anaknya Pak Seno beneran kah Bu?" "Alah kamu ini bicara apa, ya jelas anaknya." Ibunya mendengus sebal mendengar ucapan anaknya yang tidak jelas menurutnya. "Iya ya, Bu. Ya sudah aku pamit ke rumahnya Pak Seno." "Iya, Nak. Hati-hati." Mengetahui putranya sudah menyeberan jalan, wanita itu menelepon seseorang yang berada di seberang sana. "Mas Seno, putraku berada di rumahmu sekarang dan aku juga menyuruhnya untuk menemani anakmu. Apakah dia benar anakmu?" tanya ibunya Balder yang merasa curiga sekali pada Seno. Sosok tetangganya yang tiba-tiba meminta bantuan kepadanya. "Aku mohon padamu, aku meminta bantuan untuk merawat dia di kota itu. Disini tidak aman." "Maksudnya tidak aman?" "Di kota ini sedang ada kekacauan jadi lebih baik dia ada di sana saja." "Dia siapa? Beneran itu anakmu?" "Bukan, Sri. Dia anak seorang pengusaha--nanti aku jelaskan lebih lanjut dan aku sekarang lagi jualan. Aku titip Felix sebentar disana. Bulan depan aku pulang lagi." Asri ialah nama ibunya Balder dan merasa kebingungan mendengar ucapan Seno seperti ada keganjalan. "Namanya bukan Abra?" tanya Asri seraya mengernyitkan dahinya. "Bukan, Felix adalah nama aslinya. Aku juga akan minta bantuan suamimu supaya identitas Felix tidak mudah terbongkar meski dan ini aku bener-bener minta tolong lagi." "Kamu nyulik anak orang kaya?" tebak Asri dan merasa deg-degan saja merawat seorang anak yang diketahui berasal dari keluarga bukan kalangan biasa. "Bukan, Sri. Sudahlah nanti dilanjut, aku telepon suamimu juga. Cuman kamu yang bisa aku percayai, jangan lupakan jasaku dulu membantumu supaya bisa sekolah." "Hadeh iya ya, aku ingat." Asri menghembuskan napasnya pelan lalu mematikan teleponnya. Di tempat lain... Sebelum masuk ke dalam rumah, Balder mengucapkan salamnya terlebih dahulu dan dijawab oleh sosok anak laki-laki berusia yang sama dengannya. "Halo kita bertemu lagi." Balder tersenyum dan melihat Abra yang tengah duduk di ruang tamu dan Balder meletakkan makanan di atas meja ruang tamu. Abra melirik Balder sekilas lalu fokus pada mainannya. "Wih main apaan itu? Oh mobil remot." "Rusak," ucap Abra sambil menunjukkan mainannya yang rusak dan ia membongkarnya dengan asal. "Rusak?" Balder meraih remot mobil itu dan mengeceknya. "Kamu ngasal banget benerin remotnya." Balder menggelengkan kepalanya lalu duduk di sebelah Abra. "Aku tidak asal-asalan dan aku berusaha memperbaikinya sebisaku." Abra merebut kembali remot mobilnya yang baru saja dipegang oleh Balder. "Malah direbut, aku bisa benerinnya." "Bohong, nanti makin rusak." "Sumpah aku gak bohong ya, soal beginian aku lebih pintar beda kalau pelajaran, aku bodoh sekali." Balder mengadahkan tangannya di depan Abra dan bermaksud meminjam sebentar remot mobil yang sedang dalam kondisi rusak. Abra menatap ragu pada Balder yang kini memegang remot mobilnya. "Ayo ke rumahku, kita benerin disana soalnya alatnya ada di rumah." Balder tiba-tiba beranjak berdiri. "Aku makan dulu." "Ah iya." Balder kembali duduk dan lupa kalau Abra belum memakan makanan yang disiapkan oleh ibunya. Setelah menunggu Abra selesai makan barulah Balder mengajak Abra ke rumahnya dan disana Abra disambut baik oleh keluarga Balder. "Belia gendut." Balder mencubit pipi adiknya yang sedang tertidur pulas di dalam gendongan Asri. "Haduh Balder, mulai deh tangannya nakal. Ibu sentil ini." Asri melototi Balder sambil mengusap pipi putrinya yang baru saja dicubit oleh Balder dan Balder malah menyengir lebar menatapnya. "Eh ini namanya Abra kan? Duh gantengnya." Asri mengusap kepala Abra dan Abra terdiam sembari memandangi Asri. 'Mommy tidak pernah usap kepalaku setulus ini'--ucap Abra di dalam hatinya. Ia merasakan kasih sayang yang begitu kuat di keluarga Balder dan itulah yang membuatnya langsung nyaman berada di rumah Balder. "Ibu, tempat buat benerin remot ginian dimana?" tanya Balder yang tidak kunjung menentukan peralatan yang biasa digunakan untuk memperbaiki benda-benda kecil seperti remot mobil yang dipegangnya sekarang. "Ada di kamar ibu," jawab Asri sambil tangannya menggandeng Abra dan menyuruh Abra di ruang tamu lalu meletakkan Belia yang masih tertidur pulas di kamarnya. "Udah nemu?" tanya Asri pada putranya yang masih berada di dalam kamarnya. "Udah." Balder mengangguk sambil membawa sebuah kotak perkakas keluar dari kamar orang tuanya sedangkan Asri membuatkan minuman untuk mereka. "Beneran kamu bisa memperbaikinya?" tanya Abra ragu pada Balder. "Bisalah, ginian doang." Balder mulai memperbaiki remot mobil milik Abra dan ekspresi wajah Balder berubah serius. Tak lama Asri kembali ke ruang tamu sambil membawa minuman dingin untuk mereka. "Kamu suka es s**u?" tanya Asri pada Abra. "Suka." Abra mengangguk tapi tak kunjung meraih minuman yang baru saja dibuatkan oleh Asri. Asri pun meraih salah satu gelas berisi es s**u cokelat dan membantu Abra meneguk s**u rasa cokelat tersebut. "Udah gede, minum s**u aja masih dibantuin." Balder meledek Abra sedangkan Abra tidak marah justru ingin dibantu meminum susunya hingga habis tak tersisa. Asri menatap sorotan mata Abra, mata bening dan bulat itu seperti menunjukkan anak ini ingin dimanja olehnya. Asri tersenyum sambil mengusap puncuk rambutnya. "Balder jangan bilang seperti itu, kamu sama Abra berbeda." Asri, seorang ibu dan mengerti perasaan seorang anak. "Iya, Bu." Balder mendengus sebal dan tetap fokus memperbaiki remot mobil milik Abra. "Eh kok nangis?" Asri panik melihat air mengalir dari mata Abra namun anak itu menangis tanpa ada suara. Balder pun menoleh, menatap Abra yang terlihat menangis. "Mereka jahat." "Mereka siapa?" tanya Asri bingung. "Cup cup jangan nangis ya Nak. Ada tante disini." Asri memeluk Abra dari samping sambil mengusap lengan Abra. Setelah Abra tenang dan kebetulan remot mobilnya sudah diperbaiki, Asri mencoba bertanya pelan-pelan pada Abra. "Kamu kenapa, Nak? Ceritalah dan tante bakal dengerin ceritamu." Asri menebak ada sebuah beban berat yang ditanggung Abra selama ini, terlihat dari raut wajah anak kecil itu yang sepertinya menyembunyikan sesuatu. Balder diam saja dan sibuk bermain mobil remot milik Abra. "Apa kalau aku cerita, tante bisa percaya?" "Bisa, ceritalah apa yang membuatmu menangis." Asri mengangguk dan menyakinkan Abra supaya mau bercerita. "Namaku Felix." "Wih namanya bagus." Balder tiba-tiba berhenti bermain mobil-mobilan dan sekarang memilih duduk di samping Abra alias Felix. "Balder diam, ada orang yang bercerita itu harus dihargai." Asri menegur putranya yang mulai nakal. "Iya, ibuku paling syantik." Balder terkekeh pelan. "Felix Gail Abraham." "Nama panjangmu?" "Iya, Tante." "Tante seperti pernah denger namamu di televisi." Asri mengernyitkan dahinya dan mulai berpikir keras sebab nama panjang Felix itu tidak asing lagi menurutnya. "Cari di internet." "Emang kamu artis?" tanya Balder bingung. "Balder." "Hehe iya, Bu." Asri pun merogoh saku celananya dan mulai mengetik nama panjang Felix di internet. Asri membulatkan matanya dan mulutnya terbuka lebar mengetahui siapa sosok Felix, anak yang duduk di sebelahnya. "Mana Bu pengen lihat." Balder meraih ponsel milik ibunya dan raut wajahnya berubah lalu menatap Felix. "Kamu anaknya pengusaha terkenal itu? Terus kenapa kamu ada disini dan ada berita baru juga kalau kamu menghilang. Kamu diculik sama Pak Seno kah?" Asri panik dan mengambil ponselnya ditangan Balder. "Enggak, aku kabur dari rumah seminggu yang lalu." 'Inikah alasan Mas Seno meminta tolong lagi supaya bisa menyembunyikan identitas Felix serapih mungkin. Karena proses pemalsuan data membutuhkan waktu yang lama dan sementara identitas sekolah dulu yang kemarin'--pikir Asri. "Kamu anak orang kaya ya, wah." Balder berdecam kagum. "Balder, kamu gak boleh cerita siapa-siapa ya. Nanti ibu jelaisn lagi dan untuk saat ini jaga bicaramu ke Felix." "Jaga bicara apaan Bu?" tanya Balder tidak paham. "Jangan ajari aneh-aneh, dia dari keluarga terpandang dan jangan jahat juga sama Felix." "Enggaklah." Balder bingung sendiri padahal ia hanya ingin membuat anak orang kaya menangis tapi ia tidak tega menatap Felix. Ia merasa Felix bukan anak yang sombong seperti teman-temannya yang berasal dari keluarga tajir. "Haduh takut tante ini dikira nyulik kamu sama warga sekitar kalau berita ini sampai ke kota ini." "Tidak akan, mereka tidak akan mengenaliku. Aku bisa jaga diri tapi aku mohon jangan sebarkan namaku saja." "Wajahmu ada dimana-mana, mereka pasti mengenalimu." "Enggak, akugak mau pulang." Felix menggeleng wajahnya cepat dan raut wajahnha menunjukkan betapa takutnya dirinya jika dipulangkan. "Tante akan suruh ayahnya Balder untuk segera melanjutkan memalsukan identitasmu sekarang." "Apakah bisa?" tanya Felix ragu. "Bisa, asal kamu cerita dulu ya alasan kamu kabur dari rumah karena ini resikonya besar." ... "Aku berhasil meretas data-data tentang Felix dan berita kehilangan anak itu tidak akan menyebar sampai ke kota ini. Orang biasa pun juga tidak bisa mengakses berita kota asalnya Felix jadi semoga aja aman sampai kedepannya," ujar Iqbal menjelaskan kepada Seno melalui saluran teleponnya. "Benarkah?" "Iya, benar jadi tidak akan ada yang tau. Data untuk sekolah yang kemarin juga aman-aman saja, nama Abra menjadi nama palsu Felix tapi untuk anak dari kalangan orang yang bukan biasa seperti entah bertahan sampai kapan." "Baik, baiklah terima kasih. Aku percaya padamu, Bal. Kamu bisa mengatasi ini semua." "Aku berusaha bisa karena mendengar cerita sedihnya, aku tersentuh dan ingin membantunya." "Terima kasih, Bal. Lalu sekarang bagaimana kondisi Felix?" "Dia sangat manja sekali pada Asri, dia banyak tersenyum dan tertawa padahal sebelumnya dia suka memperlihatkan ekspresinya yang sedih sekali. Mungkin karena tekanan orang tuanya yang membuatnya seperti itu. Kasian anak masih kecil dididik serba bisa, dituntut menjadi anak yang sempurna padahal anak masih usia seperti Felix itu butuh kebebasan, butuh main, otak terus diperas ya stress." Iqbal emosi teringat apa yang tadi diceritakan oleh Felix kepadanya. Selesai berbincang-bincang yang bersifat serius sekali, Iqbal duduk bersama Asri di ruang tamu dan mengobrol berdua tentang Felix. Mereka bersua yang merancang untuk kebaikan Felix kedepannya. Di sisi lain... "Kamu buat apa?" tanya Felix penasaran pada Balder yang duduk tenang sambil tangannya berkutat membuat sesuatu. "Mau buat robot dari kayu." "Emang bisa?" Felix menatap tak percaya pada Balder. "Bisa." Balder mengangguk. Felix mengambil posisi duduk di depan Balder dan melihat dengan jelas proses pembuatan robot kayu oleh Balder. "Kamu suka buat hal-hal ginian ya?" "Iya." "Apa itu disuruh sama orang tuamu?" tanya Felix hati-hati. "Enggaklah, orang tuaku santai orangnya dan bebasin aku asal mau bantu beres-beres rumah." "Enaknya, orang tua kamu baik-baik dan aku sungguh berterima kasih." "Padahal hidupmu enak lhoh, orang kaya kan bisa tinggal beli apapun yang dimau." "Sesuatu yang terlihat indah belum tentu di dalamnya juga indah." "Bicara apa sih?" "Kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan di rumah dan seandainya kamu tau pasti kamu akan begini." "Separah itu kah hidup kamu di rumahmu?" "Huum." "Emang kamu gak kaget, hidup dengan keadaan yang biasa saja dan jauh sekali seperti hidupmu sama orang tuamu itu?" tanya Balder penasaran. "Awalnya aku kaget terus aku mulai terbiasa," jawab Felix sambil tangannya memegangi peralatan milik Balder meski berakhir dihadiahi tepisan oleh tangan Balder. "Heleh pasti kamu pengen pulang besok." "Enggak, aku tetap disini." Tiga tahun kemudian... "Kenapa pindah ke kota lain sih, Bu?" tanya Balder heran pada kedua orang tuanya. "Rumah ini ibu jual, ada yang menawari kalau tanah ini akan apartemen." "Hadeh padahal aku sudah nyaman disini." "Sama, ibu dan ayah juga tapi mau gimana lagi kita butuh biaya. Ayahmu sering sakit-sakit dan kita akan tinggal di kota yang sudah direkomendasikan oleh Pak Seno, mungkin Felix juga akan ikut pindah. Berita kehilangan anak di kota itu juga sudah tidak dibahas lagi jadi aman-aman saja." "Beneran ikut pindah?" "Beneran." "Besok ayah akan ke sekolah mengurus kepindahan kalian, Seno baru saja mengirimku pesan kalau anaknya juga ikut pindah." "Terus rumahnya Pak Seno gimana itu? Jadi sepi." "Akan ditempati saudaranya." "Ah begitu, ya sudah aku mau main ke rumah Abra dulu." "Hati-hati, Nak." Setelah beberapa tahun lamanya... "Lo di DO?" "Ya gimana lagi, gue habis hajar anak kepsek dan sekarang koma." "Nyusahin emang lo ini." "Lo juga ikut pindah dong." "Ogah, pindah sekolah mulu. Capek gue." "Ayolah Bra, kita harus bareng-bareng terus." "Gimana kata bokap gue, emang bolehin? Gue gak mau bikin bokap emosi." "Tapi lo juga terlibat tawuran, wajah lo kena cctv sekolah dan bentar lagi bakal diproses ke BK. Sama aja kan lo bakal di DO, lo bawa benda tajam." "Ck." Abra mengacak-acak rambutnya asal. "Bulan depan bakal ada perang besar lagi, anak SMP sebelah mancing-mancing SMP kita melulu. Gue bakal ikut keknya buat kenang-kenangan terakhir kalinya di sekolah ini." "Gila ya lo." "Habisnya mereka ngejek kita, katanya anak kelas 10 lemah-lemah. Belum tau aja mereka kita ini siapa." Balder merenggangkan otot-ototnya yang kaku. Mereka berdua tengah berada di belakang sekolah dan memilih menghabiskan waktu istirahatnya disini. "Rokok." Pinta Balder pada Abra. "Ada cctv, gak usah aneh-aneh lo," ucap Abra tanpa menoleh ke Balder. "Aih sialan lo." Balder mendengus sebal. "Permen." Abra memberikan permen pada temannya itu supaya mulutnya berhenti berbicara. "Lo lihat apaan?" Balder menoleh, menatap apa yang sedang Abra lihat diponselnya. "Elah lo sudah gak dicari sama orang tua lo itu, ngapain nyari berita lo. Udah bener-bener lenyap." "Gue cuman memastikan doang, syukurlah mereka gak nyariin gue lagi. Gue jadi lebih nyaman aja dan kalau berita itu muncul lagi, gue bakal gak tenang." "Muka yang dipajang waktu umur lo masih kecil dan sekarang juga wajah lo gak sama persis kayak foto yang dipajang di berita-berita itu." "Iya sih beda." Abra mengangguk perlahan. "Hadeh, buat apa dikhawatirin. Santai aja sekarang. Eh btw gue contek PR kemarin, gue belum ngerjain sama sekali tugas Matematika." "Hmm jangan semua tapi!" Peringat Abra pada Balder. "Ye gue tau kali, kalau terlalu pintar bisa dipanggil di depan kelas dan bikin malu gue." "Emang lo malu-maluin dari dulu." "Anying lo." Mereka berdua pun saling tertawa. ... "Gue dibolehin pindah nanti kelas 2 dan gue bakal balik lagi ke kota ini waktu kita naik kelas 2 SMA jadi kita hidup berdua, mandiri, tanpa campur tangan orang tua selama tiga tahun." "Gue sanggup gak ya." "Sanggup, lo jangan cari gara-gara lagi deh waktu SMA. Gue capek anj." "Tenang setelah lulus SMP, gue gak berulah." "Jangan bikin anak orang koma." "Ye gue tau su." "Nanti uang sewa apartemen, kita cari kerjaan juga disana." "Ada gak ya yang nerima murid SMP kayak kita ini kerja." Balder memasang wajahnya lesu. "Ada, gue tinggal nanya bokap." "Perasaan gue nyusahin bokap lo mulu deh, apa-apa bokap lo mana orangnya gak pernah marah sama gue jadi bersalah deh." Balder menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Makanya jangan cadi gara-gara lagi, kasian bapak gue juga ngurusin ini itu." "Kenapa kita gak menetap aja di sana?" "Enggak, gue tetep pengen lulus SMAnya disini." "Karena tempat lahir lo di kota ini." "Tuh tau masih protes mulu, kalau lo pengennya menetap disana ya silakan." "Enggak deh, pokoknya kita harus bareng-bareng." Tolak Balder sambil menggeleng cepat. Selanjutnya mereka menjalani kehidupan masa-masa SMP tanpa tinggal bersama orang tua mereka masing-masing di kota lain. Walau berat rasanya, inilah hukuman Balder dari orang tuanya supaya Balder bisa belajar mandiri. Mereka tinggal dalam satu atap, Felix yang setiap harinya memasak makanannya dan untuk temannya juga. Balder bertugas membersihkan rumah kontrak mereka. Setahun bersekolah disini mereka tidak berbuat masalah yang hebat dan sewaktu lulus SMP kisah kelam mereka terjadi karena keduanya kepergok meneguk minum-minuman keras sewaktu nonton bola di dekat sekolahan mereka. Mereka pernah berada di penjara khusus anak sekolahan namun tidak lama dipulangkan dan kembali sekolah seperti biasanya. Balder dan Felix tidak takut dikucilkan atau berbagai cemooh dari murid lain karena mereka tidak berdua saja melainkan mereka masuk ke dalam sebuah geng preman sekolah. Saat masuk SMA pula, hal parah terulang kembali tapi kali ini bukan Balder yang mengalaminya melainkan Felix. "Gimana lo gak bisa ngontrol emosi lo? Biasanya lo paling bisa mengontrol emosi." Balder menarik kerah Felix yang baru saja hampir membuat nyawa seseorang anak calon kepala sekolah itu hampir meninggal dunia jika tidak ditangkap basah oleh Balder. Balder terpaksa harus menghubungi ambulan dan menyampaikan kejadian ini kepada seorang guru karena tempat yang digunakan pertempuran Felix dengan anak dari calon kepala sekolah itu berada di lapangan serta ditonton beberapa murid. "Gila sih ini gila." "Gue gak bisa kontrol emosi kalau ada orang yang berani menghina bokap gue." Balder tak bisa berkata apa-apa lagi sebab jika dia berada di posisi Felix pun akan melakukan hal yang sama. "Mana mulut dia tiap hari gak berhenti bicarain bokap, gue udah peringati berulang kali tapi dihiraukan." Felix duduk selonjoran ke bawah dan tak peduli seragamnya dalam kondisi kotor. "Cowok lembek kayak dia, bisa mati kalau digarap terus. Lo gepukin aja dia udah pingsan apalagi lo keluarin tenaga lo semuanya hajar dia. Hampir mati tadi dan kalau dia mati, masa depan lo bisa hancur," ujar Balder yang mengingatkan temannya. "Iya gue salah, gue terlalu gunain seluruh energi gue." "Sadar kan lo. Lo tadi lemahin berapa orang emang? Soalnya gue lihat di berita sekolah, lima orang pada pingsan dan satunya sekarat." "Ya mereka semua." "Banyak amat." Balder tidak tau apa-apa karena mereka berbeda kelas dan jika Balder tadi tidak disuruh oleh gurunya pasti dirinya tidak bisa menghentikan aksi kenekatan temannya bertarung dengan anak dari keluarga yang bukan sembarangan. "Sepuluh sebenarnya, tapi separuhnya cuman luka kecil doang." "Bentar lagi lo dipanggil guru, ini masih nunggu bokap lo datang." "Gue ngerasa nyusahin bokap gue." "Enggak, selama nilai lo masih bagus ya lo aman sedangkan gue?" Setelah menunggu Seno datang dan membicarakan permasalahan anaknya dengan pihak sekolah akhirnya Felix alias Abra resmi dikeluarkan oleh pihak sekolah. Seno tidak memarahi Felix sama sekali sejak di sekolah sampai di perjalanan menuju ke rumah. Sewaktu turun dari bus, Felix sesekali menatap Seno yang diam saja sedari tadi. "Pak." Panggil Felix pada Seno. "Tidak apa." Seno menepuk pundak Felix. "Aku nyusahin bapak terus, aku udah pindah berulang kali." "Malah bagus, pindah ke kota tempat bapak kerja dan kamu lahir di kota itu." "Kok malah bagus sih Pak. Kan kesannya buruk, pindah sekolah gegara masalah." "Bapak juga gitu sewaktu umur sepertimu ini, bapak pernah nakal jadi gak kaget lagi kamu berbuat ulah. Lagian kamu pasti ada alasannya melakukan itu semua. Bapak percaya kamu itu anak baik." Seno tau putranya tidak sepenuhnya bersalah dan Ia juga tau betul bahwa Felix seringkali menolong orang yang dibully sehingga Felix ikut terjerat masalah orang lain. "Aku berusaha nanti gak berbuat ulah lagi. Gak mau nolong orang yang dibully." Felix menggelengkan kepalanya. "Ya begitulah dunia, berbuat baik tetap salah. Bapak gak larang ini dan itu hanya saja kamu perlu menjaga dirimu sendiri supaya tidak terkena masalah orang lain." "Mengapa bapak tidak marah sama sekali?" "Enggak, lakukan hal yang kamu sukai. Bapak bebaskan asal kamu masih punya tujuan hidup nanti kemana. Kamu punya cita-cita kan? Wujudkanlah cita-citamu dan bapak yakin kamu bisa jadi anak sukses suatu saat nanti." "Dan ketika aku telah sukses, aku tidak akan lupa sama jasa-jasa bapak nantinya. Aku akan terus mengingat nama bapak sampai kapan pun." Felix memeluk Seno sejenak dan sangat bersyukur sekali memiliki sosok ayah yang begitu menyayanginya dengan sepenuh hatinya. Rela banting tulang demi dirinya dan rela wara-wiri ke kota lain demi dirinya juga. Di tempat kerja... Felix dan Balder kena teguran keras di tempat kerjanya tapi itu tak berlangsung lama. Mereka ditegur karena akan pindah ke kota lain padahal si pemilik tempat kerja mereka sudah nyaman ada mereka disini. Balder yang paling lama bekerja disini sedangkan Felix belum ada setahun, kerjaan mereka lumayan tidak berat dan sesuai kemampuan mereka masing-masing di sebuah pabrik. Untunglah ada Balder yang menjadi anak kesayangan bosnya sehingga ketika mereka pindah nanti bisa dapar kerjaan lagi. "Ini ada rekomendasi sekolah di kota ini. Sekolah terbaik dan menjadi sekolah favorit setiap tahunnya." "Biayanya gede, Pak." Balder menatap layar laptop saat bosnya menunjukkan laptopnya di hadapan Balder. "Nanti kamu bisa kerja ke tempat saudaraku." "Kerja apa, Pak?" "Bengkel, tapi bengkel ini bukan sembarang bengkel karena besar tokonya. Nanti juga ada tempat service motor dan mobil. Kalian kerja bisa jadi tidak satu tempat saja." "Bengkelnya Pak Amin?" "Iya, kok kamu tau?" "Saya pernah kerja disana tahun lalu tapi yang dicabang kota ini cuman karena karyawannya ada yang gak suka jadi aku keluar, Pak. Berarti bener rumor bapak masih saudaraan sama Pak Amin?" "Iya kita masih saudaraan walau saudara jauh." "Akhirnya dapat kerjaan sama sekolah." "Kalau kerjamu bagus, dapat biaya gratis dari Pak Amin sama uang saku." "Ya Pak, saya mau banget eh tapi si Abra." Balder menoleh, menatap Abra yang fokus membaca buku sejarah. "Astaga, woee sini!" Balder menepuk paha Abra membuat Abra terkejut dan membalaa pukulan Balder. "Apaan?" "Gue udah dapat sekolah sama kerjaan--" "Gue ngikut lo aja." "Hadeh anak ini." Balder menghela napasnya pelan, memang sudah biasa segala yang mengurusi Balder sendiri bahkan Felix malas mengisi formulir pendaftaran sekolah. Untung saja Felix memiliki teman yang mau direpotkan dalam berbagai urusan. Flashback off ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN