6. Panggil nama aku ya, Bian

1624 Kata
Semenjak Rian mengatakan jika minggu depan mereka akan mengunjungi Villa dan Tania juga ikut, Bian terlihat sangat antusias. pria itu sudah terlihat seperti anak ABG yang sedang jatuh cinta. mungkin karena Bian tak ingin lagi kehilangan Tania. sudah sepuluh tahun lebih ia menunggu dan mencoba mencari, kini ia tak akan menjadi bodoh lagi dengan menyia-nyiakan kesempatan itu. dan kini sudah masuk hari sabtu dan krasak-krusuk tak berhentoi terdengar dari kamar Bian. sedari subuh Bian sibuk ke sana kemari. seolah-olah mereka pergi selama satu bulan. padahal mereka hanya dua hari. suara ketukan terdengar dari luar kamar. "Om, masih lama ya?" "Ha? Sebentar!" "Lama banget om. keburu siang. ngapain sih? dandan dulu?" teriak Rian dari luar yang langsung diumpati oleh Bian. Bian lalu melirik kamarnya yang seperti kapal pecah. banyak pakaiannya bertebaran dimana-mana. ia memijit kepalanya yang mendadak sakit saat ia tersadar jika ia sudah membuat kamarnya seperti kapal pecah. Suara ketukan kembali terdengar dan itu membuatnya menggeram kesal. Ia lalu melangkah menuju pintu kamarnya dan membuka pintu tersebut sedikit saja. "Kenapa?" tanyanya jutek. "Buruan Om. Nanti kesiangan." "Sebentar lagi." "Kamu ngapain sih?" Rian mencoba menerobos masuk namun berusaha untuk dihalangi oleh Bian. Tapi bukan Rian namanya kalau tidak usil dengan omnya itu. Rian mendorong sedikit lebih keras pintu kamar Bian membuat pria tersebut juga ikut terdorong ke belakang dan pintu itu akhirnya terbuka dengan lebar. Rian langsung melongo kaget melihat bentuk kamar Bian yang seperti kapal pecah. Ia tak pernah melihat kamar Bian seperti ini sebelumnya. Baru kali ini ia melihat kamar omnya itu berantakan. "Kamu ngapain Om?" Tanya Rian sembari melangkah masuk. Pria itu mencoba untuk berjinjit agar menginjak pakaian Bian yang bertebaran di lantai. Bian tak bisa lagi menutupi semuanya. Ia hanya mencoba untuk memungut satu persatu pakaian di lantai lalu melemparkannya ke dalam pakaian kotor. Dan lagi-lagi Rian dibuat terkejut. "Semuanya kotor?" Tanya Rian. "Hm." "Tapi itu terlihat bersih om." "Yang terlihat bersih belum tentu bersih kan." "Waahh, anda luar biasa pak Bian." Takjub Rian. Sebenarnya karena tak ada lagi kata-kata yang bisa Rian sandingkan dengan kelakuan om nya ini kecuali luar biasa. Bos memang sebebas itu. "Mana barang-barang om?" Tanya Rian lagi saat ia tak melihat tas atau koper di sekitarnya. "Di sana." Jawab Bian sembari menunjuk semua pakaian yang tadi masukkan ke dalam keranjang pakaian kotor. "Ya Tuhan om. Jadi selama itu om di kamar tadi ngapain aja?" "Ck! Kenapa kamu berubah jadi Mak mak cerewet begini?" Celetuk Bian kesal. Namun Rian tak kalah kesalnya. Ia mengeluarkan lagi semua pakaian yang sudah Bian lempar ke dalam keranjang kain kotor. Memilih yang cocok di pakai oleh Om nya dalam kondisi santai. "Kamu mau ngapain?" "Minta om cari sendiri sama saja nyuruh ABG lagi kasmaran. Nggak bakal selesai. Bakal lebih banyak gilanya gara-gara senyum-senyum tak jelas." Ucap Rian dengan sindiran yang bagi Bian itu sudah sangat pedas. Namun ia sendiri sebenarnya juga tak paham apa yang terjadi dengan dirinya. Biasanya jika untuk hal seperti ini, ia takkan pernah minta bantuan siapapun. Tapi kenapa sekarang ia jadi tak tahu harus melakukan apa. Dalam kepalanya hanya terlintas tentang bagaimana nanti dirinya akan bertemu dengan Tania dan mereka bermalam di puncak. Bermalam? Ya Tuhan, membayangkannya saja sudah membuat detak jantungnya kembali bertalu tak menentu. Lain kehebohan yang terjadi di kamar Bian, lain pula yang kini terjadi di apartemen Tania. Tak seperti Bian yang mendadak sakit kepala, Tania justru sudah selesai dengan semua pretelan nya yang akan ia bawa ke puncak. Tania tak butuh banyak outfit. Ia hanya mencukupi urusan perutnya dan cukup uang untuk kebutuhannya nanti di puncak. Dan kini Tania sudah selesai dengan siap-siapnya. Dan tepat setelah ia bersiap, Amel menghubunginya jika sahabatnya itu sudah berada di luar. Tania langsung menyandang ranselnya dan membawa tas tersebut keluar. Tak lupa, sebelum benar-benar keluar dari apartemen, Tania memastikan terlebih dahulu Jika Tak Ada Lagi barang yang tertinggal yang nanti akan ia perlukan di puncak. Sesampainya di mobil Amel, Tania langsung memasukkan tas nya ke dalam bagasi mobil dan setelah itu ia naik di kursi penumpang sebelah Amel. "Tadi Rian nelpon aku, katanya kita kumpulnya di rumahnya aja." ucap Amel yang diangguki oleh Tania. "Nggak ada niatan beli beberapa makanan lagi?" Amel nampak berpikir, "Kayaknya nggak deh. kita beli di jalan aja nanti. lagian gue bawa mobil kan, jadi berhenti kapan saja nanti mah ayok aja." jawab Amel. Tania pun kembali menyetujui karena memang ke puncak ini, Amel membawa mobilnya. cukup lama waktu yang mereka tempuh sampai mobil mereka tiba di depan rumah Rian. pria itu ternyata sudah menunggu di luar dengan Bian ikut serta. "Weh datang juga akhirnya." sambut Rian. "Sorry ya gue telat." "Nggak apa-apa kok Mel. kita juga nggak dikejar waktu juga." jawab Rian yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bian. setahunya tadi Rian mengatakan padanya jika mereka harus buru-buru karena diburu waktu dan takut kesiangan, sampai ia harus menunggu para gadis ini sejam lebih. Bian melirik Tania yang nampak diam. gadis itu menatap Rian secara diam-diam. bukan tatapan memuja, namun lebih kepada tatapan penuh penyesalan. mungkin Tania mempunyai sedikit rasa menyesal karena sudah ke Indonesia hanya untuk menemui Rian yang sebenarnya Rian itu adalah dirinya. sungguh, ia tak tahu bagaimana nantinya untuk memberitahukan pada Tania siapa dirinya yang sebenarnya. Ia takut jika ia mengakui itu, dirinya akan ditinggalkan lagi oleh Tania. "Karena Amel sama Tania sudah tiba, kita berangkat." Ucap Rian dengan penuh semangat. Rian mendekati Amel, "mana kunci mobil kamu." "Ha? Kunci mobil?" "Iya. Karena sekarang kita perginya dengan dua mobil, aku nggak mungkin pergi sama Om dan biarkan kalian berdua menyetir sampai ke puncak." Baik Bian, Amel dan Tania langsung mendadak bingung. "Ih, kalian kok kompakkan gitu bingungnya. Sini aku jelasin ya, aku kalau berdua di dalam mobil sama Om Bian itu, nggak pernah tenang. Pasti ada aja yang diributin. Jadi karena perjalanan kita saat ini jauh ke puncak Aku nggak berani ambil resiko ini om-om bakal nabrakin mobilnya dan bikin aku cedera." Ucap Rian yang tentu saja langsung membuat Tania dan Amel syok. Namun tidak untuk Bian. Karena ia tahu saat ini Rian sedang mengarang cerita indah namun memojokkannya. Rian memang seperti itu dari dulu. jadi ia tak bisa marah pada keponakannya itu. Ia hanya bisa melihat dan mendengar karangan cerita apa yang kini ingin Rian dongengkan. Tania dan Amel menatap ke arahnya. Namun ekspresinya masih ia usahakan selalu datar. "Om sekasar itukah?" Celetuk Tania yang kali ini berhasil membuat Bian langsung terbatuk. Sementara Rian nyaris meledakkan tawanya. "Jangan percaya omongan Rian. Dia memang suka mendongeng." Jawab Bian. Bian menatap Rian, "sekarang Apa tujuanmu sebenarnya? jadi berangkat atau tidak?" Tanya Bian mencoba mengalihkan permasalahan tadi. "Jadilah. Masa nggak jadi. Kan om yang bikin acara." Ryan mengedipkan sebelah matanya. Ya kembali menatap Amel, "Jadi sekarang mobil kamu aku yang setir kamu sama aku sementara Tania sama Om Bian." "Ha? Nggak mau aku. Nanti kalau Om Biannya marah terus nabrakin mobilnya gimana? aku nggak mau mati muda ya. aku belum nikah." "Ck! Nggak ada yang bakal bunuh kamu. Sudah saya bilang Rian Jangan didengerin. Buruan!!" Bian melangkah lebih dulu menuju mobilnya dan masuk ke dalam. Tania menatap takut pada Rian dan Amel. Begitupun dengan Amel. ia tak mau sahabatnya itu kenapa-napa Karena Om Bian yang ugal-ugalan. "Aku harus gimana Amel." Rengeknya pada Amel. Bahkan rengekan itu semakin membuat Amel khawatir. "Ya udah lo sama gue aja.." "No! Amel cuma sama aku, kamu sama Om Bian!" "Lo mau bunuh sahabat gue??" "Nggak. Coba dulu pergi sama Om Bian. Om Bian itu ngamuknya cuma sama aku. siapa tahu sama kamu nggak." "Kalau ngamuk juga gimana?" "Nggak bakalan, percaya deh. Udah buruan, nanti makin siang kejebak macet kita." Tania mencabik sedih. Ia lalu melangkah secara perlahan menuju mobilnya Bian. Ia tak menurunkan tasnya dari mobil Amel. Jadi berada di mobil Bian, ia hanya menyediakan dompet dan ponselnya saja. Sebelum masuk ke dalam mobilnya Bian, Tania benar-benar merapalkan doa terbaiknya terlebih dahulu. ia berharap semoga Tuhan menyelamatkannya hari ini. Tania masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan di samping Bian. "Om jangan ugal-ugalan ya." Pinta Tania. "Nggak. Saya nggak pernah bawa mobil seperti itu. Rian itu cuma mau ngerjain saya." Jawab Bian dengan sangat lembut. bahkan berbeda dengan cara jawab Bian saat mereka di luar mobil tadi. Tania sedikit bernafas lega. Dia bersyukur jika itu memang hanya candaan dari Rian saja. Dian mulai melajukan mobilnya terlebih dahulu disusul oleh Rian di belakangnya. 5 menit perjalanan Tania sama sekali tak bicara. Dan itu membuat Bian cukup bosan. Bian adalah tipe pengendara yang butuh teman bicara. Jadi biasanya ia ke mana-mana akan selalu bersama Rian, karena keponakannya itu selalu mengoceh tanpa henti. "Kamu mau diam saja gitu sampai puncak?" Tanya Bian tiba-tiba membuat Tania yang sedari tadi kamu sibuk dengan pikirannya sendiri Langsung terkejut. "He?" "Sebenarnya saya ini tipe pengemudi yang butuh teman bicara biar nggak ngantuk. Kalau kamu diam begini, saya jadinya ngantuk. ujung-ujungnya gara-gara kamu saya nabrak nanti." Ucap Bian yang tentu saja hanya menakut-nakuti Tania. Bian bukan pengemudi yang mau ambil resiko. Ia bahkan pernah menginap di rest area semalaman suntuk saat ia mengantuk. Ia hanya pembosan dan butuh teman yang selalu berceloteh saat berkendara. "Nanti om nggak suka dengar celotehan aku." Tuduhnya. Tuduhan Tania membuat Bian tersenyum dan senyuman itu membuat jantung Tania berdetak aneh. "Sudah saya bilang, saya nggak sebahaya itu. Dan satu lagi, kamu bisa panggil saya Bian, jangan Om. Coba panggil nama saya." Ucap Bian. Pria itu menghentikan mobilnya karena lampu merah. Ia memiringkan tubuhnya menghadap Tania, "panggil saya Bian." Suruhnya. Tania semakin berdebar. Ia menatap lekat mata Bian. Mata yang membuatnya rindu tapi tak tahu apa alasannya. "Bi..Bian." ucap Tania gugup. Jantung Tania seakan ingin melompat dari tempatnya saat Bian tersenyum sangat manisnya. Senyum itu juga membuatnya rindu. Tanpa sadar tangan Tania terangkat dan Terus terangkat sampai jemari Tania menyentuh mata Bian yang kini terpejam. Mata ini.... *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN