Fatimah Az-Zahra

1261 Kata
Queeny akhirnya punya keberanian untuk bicara. Dia masih berada di situasi syok. Sebulir air mata lolos di ke pipi Queeny. Ada rasa sakit dalam hatinya yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sekarang dia tau kenapa Uminya menangis sampai tak sanggup bicara. Seharusnya mereka akan segera menerima momongan baru di bawah atap rumah Queeny, tapi harapan itu pupus sudah. Queeny merasa sangat bersalah karena ambisinya yang begitu besar hingga melupakan bahwa seharusnya dia menjaga lebih baik. Jika saja dia tidak memutuskan untuk pergi ke Turki, dia bukan saja menjaga dirinya, tapi juga bayi yang sedang ia kandung. Rasa sakit di hati Queeny lebih besar daripada rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya. "Nggak papa, Nak." Abi yang menenangkan Queeny karena Umi tak sanggup. "Setelah ini kita akan pulang ke Bandung, memulai hidup baru." "Ini semua salah Queeny, Abi." Abi menggeleng kecil. "Tidak ada yang salah. Allah sudah menentukan jalanmu. Kamu harus kuat menjalaninya." Queeny menatap ibunya yang masih belum mereda tangisnya. "Maafin Queeny, Umi." Umi menatap haru putrinya. Menggeleng kecil. Dia tidak sanggup bicara apa-apa. "Sudah nak, sudah." Abi menepuk kening Queeny. "Ikhtiar saja. Allah pasti akan berikan yang terbaik." Queeny menghapus air mata di pipinya dengan tangan gemetar. Dia tak sanggup menerima kenyataan. Setiap kali dia mengambil keputusan, selalu ada bencana di balik keputusan itu. Queeny merasa serba salah. Pada akhirnya Queeny kembali ke Bandung dengan hati yang hampa. Mereka memberikan jawaban secara jujur kepada siapapun yang bertanya tentang keadaan bayi di kandungan Queeny. Semua orang ikut sedih dan beberapa sangat kecewa karena keadaan yang Queeny alami. Cahaya lampu terlihat suram dari mata Queeny yang sedang mengerjap. Bulu mata lentik yang sering dia banggakan basah akan air mata. Queeny terbangun dari pingsan yang kesekian kalinya karena tak tahan dengan kenyataan yang ia alami. Iris mata coklat itu bergerak ke kiri dan ke kanan. Queeny meraba perutnya yang ditutup selimut tebal, selimut yang seharusnya akan dia gunakan untuk menghangatkan bayinya. Pandangan Queeny jatuh ke sosok Marlina yang sedang berusaha tersenyum ke arahnya. Marlina duduk di samping Queeny di atas ranjang. Mereka hanya berdua di kamar Queeny. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji dari luar ruangan. Queeny langsung sadar apa yang sedang terjadi dan apa yang baru saja terjadi selama dia pingsan. Dia meraba perutnya. Air matanya turun lagi. "Queeny, udah. Jangan nangis terus." Marlina mengelus bahu Queeny untuk menguatkannya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Queeny menunduk dalam. Membiarkan air matanya membasahi perutnya yang sudah rata. "Rasanya sakit, Mar. Kamu nggak tau sesakit apa." Queeny menahan dadanya yang terasa sesak. "Iya, tau," sahut Marlina yang akhirnya ikut menangis. "Tapi tetap kamu harus kuat. Kamu harus memaksakan diri untuk kuat," sambung Marlina. Justru isakan Queeny semakin keras. Dia mungkin akan pingsan lagi, bangun lagi, menangis lagi, dan mengulang hal yang sama. Marlina menarik Queeny ke pelukannya dan mengelus punggungnya. "Fatimah Az-Zahra sudah bersama dengan malaikat di atas sana. Kamu harus ikhlas." "Iya, tapi nggak semudah itu." Air mata Queeny membanjiri baju Marlina. Pendengaran Queeny menangkap nama anaknya yang disebut oleh seseorang lewat pengeras suara di luar sana. Perasaanya langsung hancur. Queeny mendadak bangkit dari atas ranjang. Berusaha berjalan ke arah pintu dengan tertatih-tatih. Marlina yang panik langsung mengejarnya. "Mau kemana? Kamu masih sakit." "Mau lihat anakku." "Queen, dia mau dimakamkan." "Aku mau lihat anakku dimakamkan." "Tapi kamu masih susah jalan, Queeny." "Pokoknya aku mau lihat Fatimah dimakamkan. Ini kesempatan terakhir aku untuk lihat dia." Queeny menjeblak pintu kamarnya dan menemukan sang bunda sedang menatap ke arahnya dengan mata sembab. "Umi!" air mata Queeny kembali deras. Umi memeluk Queeny untuk menenangkannya. "Queeny mau lihat Fatimah dimakamkan. Queeny mau lihat ..." Umi mengelus bahu Queeny. "Kamu di sini aja sama Marlina. Kesehatan kamu belum pulih." "Nggak, Queeny mau ikut mereka. Queeny mohon, Umi." Umi menatap serius. "Umi bilang nggak usah, ya nggak usah!" Queeny menatap tak percaya ke arah sang ibunda. Umi tidak akan semarah ini kecuali dia benar-benar dalam keadaan sedih. "Kamu juga harus ingat sama kesehatan kamu. Ikhlaskan anakmu pergi." Queeny menggeleng sekali lagi. "Queeny mau lihat dia lagi, meskipun untuk yang terakhir kalinya." "Iya, tapi gimana sama tubuh kamu yang lemas ini? Kamu pikir umi nggak perhatian sama kamu dan akan membiarkan kamu keluar dalam keadaan seperti ini? Umi sayang sama kamu!"" "Ada apa ini?" sela Abi yang muncul dari ruangan lain. Umi langsung terdiam. Emosinya langsung menghilang, atau lebih tepatnya disembunyikan. "Abi, Queeny mau lihat Fatimah dimakamkan, boleh kan?" Queeny bertanya dengan sesenggukan. Abi menatap ke arah Umi yang tak berani menatap balik ke arahnya. "Kalau kamu kuat, ikut saja." "Tapi, Bi---" Umi baru saja ingin membantah, tapi Abi menaikkan sebelah alisnya dengan ekspresi serius. "Biar Marlina bantu, Tante." Marlina meraih bahu Queeny. Menuntunnya keluar ruangan. Sebelum itu, Marlina mengambil tisu sebanyak mungkin sebagai cadangan seandainya Queeny tidak bisa mengontrol tangisannya di jalan. Queeny naik ke dalam mobil. Di sampingnya, ada sang ayah yang menggendong bayi Queeny yang sudah terbungkus kain kafan. Marlina duduk di samping Queeny, menguatkannya agar tidak menangis lagi, apalagi pingsan. Di tengah perjalanan, air mata Queeny tak berhenti keluar, seolah ada yang memeras air dari dalam matanya. Marlina menarik Queeny ke pelukannya untuk menenangkannya. Sesampainya di pemakaman, orang-orang memberikan jalan kepada Queeny untuk sampai di pekuburan tempat anaknya akan dimakamkan. Orang-orang yang mengantar---kebanyakan para santri---ikut menangis. Bukan Queeny saja yang berharap anak itu lahir selamat, tapi satu pesantren juga mendoakan hal yang sama. Proses pemakaman dilakukan dalam waktu lima belas menit. Queeny tak kuasa melihat anaknya diletakkan di kedalaman. Dia menengis di pelukan Marlina. Bersembunyi di dekapannya. Abi memimpin doa agar bayi Queeny diberikan tempat yang sesuai di alam kubur. Orang-orang mengamini dengan deraian air mata. Setelah bunga-bunga ditaburkan dan air disiramkan di atas pusara, pemakaman akhirnya berakhir. Orang-orang meninggalkan pemakaman dengan perasaan hampa dan sedih. Queeny tak kunjung bergerak dari tempatnya berdiri. Matanya yang panas dan sembab tidak berkedip menatap ke arah pusara bayinya. Seharusnya dia menggendong anak itu, memamerkannya kepada orang-orang bahwa dia bisa menjadi seorang ibu tunggal yang mandiri, tapi harapan itu telah sirna. Queeny tidak menjadi seorang ibu yang menggendong anaknya penuh kasih sayang. Sebaliknya, dia menangis di pelukan temannya, berusaha mengikhlaskan sang anak agar diterima disisi-Nya. "Udah, yuk, kita pulang," ajak Marlina ketika tangisan Queeny mulai mereda. "Anakmu udah didoain, udah nyaman di alam sana," sambung Marlin untuk membesarkan hati Queeny. Queeny terduduk di tanah, membuat orang-orang mengalihkan perhatian ke arahnya. Queeny mengelus pusara dari kayu itu dan menciumnya. "Selamat tinggal anakku, tunggu ibu di sana. Ibu pasti akan menyusulmu." Queeny menahan air matanya yang sudah menggenang. Marlina menuntun Queeny untuk bangkit. "Udah ditunggu, yuk." Queeny mengangguk tegar. Mungkin sudah saatnya dia mengikhlaskan apa yang direnggut darinya. Selama ini hidupnya penuh dengan ujian yang menguji keikhlasannya. Dia sudah terlatih dan siap menghadapi tantangan hidup selanjutnya meskipun rasanya sangatlah berat. "Kamu nggak buru-buru pulang kan, Mar?" tanya Queeny membuat Marlina lega karena Queeny akhirnya memperhatikannya. "Sampai kamu semangat lagi, aku nggak akan kemana-mana." Queeny agak membengkokkan bibirnya ke atas. Marlina semakin lega melihat guratan senyum itu. Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Umi dan Abi sudah berada di sana. Mereka tidak saling bicara seperti biasanya. Hanya suara mesin yang mengisi kekosongan. Queeny meminta kepada Marlina untuk duduk di samping jendela, tempat yang sebelumnya diduduki Marlina. Di tempat itu, dia bisa mengalihkan pandangan keluar ketika rasa sakit menyerangnya dan memaksanya untuk menangis, Hidup baru Queeny baru saja dimulai. Seharusnya dia menyambut lembara barunya dengan senyuman agar lembaran-lembaran berikutnya penuh dengan kabar baik, tapi saat ini dia sedang tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin ujian yang baru saja dia alami hanyalah sebagian kecil dari apa yang akan dialami di depan sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN