Dimana Bayiku?

1255 Kata
Orang-orang berdesakan menuju ke pintu pesawat. Yusuf berjalan panik di tengah kerumunan. Saat dia tiba di kursi tempat Queeny duduk, Queeny sudah tak ada di sana. 'Aku tidak mungkin mimpi,' bisik Yusuf dalam hati sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru. Dia tidak menemukan Queeny. *** Pesawat lepas landas pukul sembilan pagi. Queeny menikmati perjalanan bersama dua penumpang di sisi kirinya. Dia mendapatkan kursi di samping jendela. Bisa menikmati keindahan awan dan hiruk pikuk kota dari ketinggian. Queeny sudah tidak sabar sampai di negeri impiannya. Selama berjam-jam perjalanan Queeny tertidur di kursinya. Dia mendengarkan musik dan membaca majalah berbahasa Inggris. Sangat membosankan. Karmila mungkin sudah memberia Queeny pesan di tengah-tengah perjalanan. Queeny tidak bisa mengecek karena ponselnya kehabisan daya. Beberapa jam kemudian, Queeny akhirnya tiba di Turki dengan sekali pernebangan. Orang-orang keluar dari pesawat dengan perasan riang gembira. Begitu pula dengan Queeny, dia sama sekali tidak merasa lelah karena sangat antusias. Udara malam Turki menyapa paru-paru Queeny. Penampilan khas Turki di bandra membuat Queeny semakin bersemangat. Queeny menatap sekeliling. Mencari-cari orang yang juga sedang mencarinya. Queeny hanya pernah melihat Karmila sekali, itupun dari layav video call. Queeny tidak tau pasti seperti apa wajah Karmila. Mereka saling kenal hanya karena mereka sama-sama dari Bandung dan mendapatkan beasiswa ke Turki. Queeny terus berjalan semakin ke dalam bandara mewah ini. Beberapa orang berjalan di sampingnya, tapi tidak ada satu pun yang mirip Karmila. "Queeny?" tanya seorang laki-laki bertubuh jangkung dengan logat khas orang Turki. Queeny berdiri mematung. Dia tidak tau dari mana orang asing ini tau namanya. Atau jangan-jangan dia cuma salah sebut nama? "Karmila sudah menunggu di parkiran," kata laki-laki membuat Queeny menghela napas lega. "Saya temannya Karmila." Laki-laki itu berjabat tangan dengan Queeny. "Di mana bandara?" tanya Queeny. "Ada di sebelah sana. Apakah Anda perlu bantuan?" "Tidak terima kasih. Aku akan ke sana sendiri." Queeny berjalan ke arah parkiran. Tetap saja dia belum tau seperti apa sosok Karmila jika dilihat secara langsung. Queeny tiba di tengah area berisi mobil-mobil mewah dan mahal. Dia menyipitkan mata untuk mencari keberadaan Karmila. "Queeny!" seru wanita dengan wajah tak asing. "Karmila?" tanya Queeny dengan nada antusias. "Ya, aku Karmila." Karmila memeluk Queeny sekilas. "Wow." Karmila merasakan perut Queeny yang membuncit. "Aku tidak tahu kalau ..." Queeny tertawa. "Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja." "Kalau begitu, kita tidak boleh lama-lama berada di luar malam-malam seperti ini." Karmila menyuruh Queeny naik ke dalam mobilnya. "Berapa bulan?" tanya Karmila sambil mengencangkan sabuk pengamannya. "Enam bulan." "Wow, pasti akan jadi anak yang sehat dan lucu." "Semoga saja," sahut Queeny ikut mengencangkan sabuk pengaman. Karmila menjalankan mobilnya meninggalkan bandara. Karmila dengan senang hati akan memberikan tumpangan kepada Queeny sehingga Queeny tidak butuh pesan hotel meskipun akan menginap selama beberapa hari. "Besok kita akan mulai melihat-lihat kampus kan?" tanya Queeny kepada Karmila. "Kau yakin?" Karmila menatap ragu ke arah perut Queeny. "Sudah kubilang, aku akan baik-baik saja. Anakku tidak akan jadi masalah buatku." "Bagaimana kalau terjadi sesuatu?" Queeny menggeleng. "Tidak akan terjadi sesuatu. Aku akan baik-baik saja." Queeny bangun sangat pagi keesokan harinya untuk menjalankan aktivitas bersama dengan Karmila. Mereka akan melakukan perjalanan menyenangkan ke kampus baru Queeny di Turki. Mereka juga berencana untuk berkeliling wisata di sekitar sana. Queeny sudah tidak sabar. Dia memakai pakaian yang menutup bagian perutnya agar orang-orang tidak tau kalau dia sedang hamil. Karmila tau maksud Queeny, karena itulah dia meminjamkan sebuah tunik panjang khas orang-orang Turki untuk menghangatkan badan sekaligus menutup postur tubuhnya. "Destinasi pertama kita adalah kampus kita!" seru Karmila bersemangat. Mereka menjalani hari-hari dengan penuh suka cita. Queeny jadi tau bagaimana para mahasiswa di kampus barunya berinteraksi, apa yang sering mereka lakukan saat pergantian jam dan bagaimana mereka belajar. Queeny bahkan berkenalan dengan teman-teman Karmila yang berasal dari beberapa negara seperti, India, Amerika, bahkan ada yang dari Korea. Teman-teman Karmila punya aura yang positif dan optimis. Queeny merasa seperti di lingkungan orang-orang hebat ketika berada di sekeliling mereka. Sayangnya waktu Queeny di Turki hanya seminggu. Queeny harus kembali ke Indonesia untuk menunggu tanggal keberangkatan yang sebenarnya ke kampus barunya. Meskipun begitu, Queeny akan sangat merindukan Karmila sebagai teman sekamarnya. Karmila sangat menyenangkan. Sangat nyaman diajak bicara. Queeny langsung akrab dengannya. "Masih ada destinasi yang seharusnya kita datangi, tapi sepetinya kamu sudah kekelahan," kata Karmila di hari terakhir Queeny di Turki. Wajah Queeny memucat, tubuh Queeny sangat lemas membuat Karmila merasa sangat bersalah. Tapi Queeny terus bersikeras bahwa dia baik-baik saja. "Aku bukan lelah, tapi memang sudah waktunya aku pulang. Mungkin lain kali aku akan kesini lagi untuk sekedar hiburan." Karmila tersenyum bangga melihat semangat Queeny. *** Berada di Turki seperti hanya sekedipan mata. Queeny harus kembali lagi ke Indonesia hari ini. Umi dan Abi bilang sudah menunggunya di bandara untuk menjemputnya. Queeny sudah tidak sabar untuk kembali ke Indonesia. Dia memberikan ucapan selamat tinggal Karmila dan meninggalkan bandara Turki. Queeny menahan diri untuk tidak muntah saat tubuhnya terguncang-guncang di dalam pesawat. Perutnya berkontraksi aneh. Kepalanya terasa sangat pusing. Peristiwa yang sama seperti yang pernah ia rasakan saat liburan bersama teman-temannya di Bandung. Queeny takut dia akan pingsan di atas langit dan merepotkan orang lain. "Mbak, kenapa mbak?" tanya seorang laki-laki yang duduk di samping Queeny. Dia sadar wajah Queeny memucat. "Nggak papa," sahut Queeny setengah sadar. "Mau saya panggilkan pramugari?" tawar pria itu. Queeny menarik lengan laki-laki itu. Dia tidak mau orang-orang menganggapnya masalah. "Jangan, saya bisa tahan." "Tapi mbak ...." "Tolong!" desak Queeny dengan nada sangat rendah. *** Seberkas cahaya masuk ke dalam mata Queeny. Cahaya itu begitu terang sehingga sangat sulit bagi Queeny untuk membuka matanya. Dia lupa kapan terakhir kali dia berjalan dan beraktivitas. Queeny lupa segalanya. Namun saat matanya membuka, dia melihat umi dan abinya berada di sisi kanan kirinya. Dia ingat terjadi sesuatu di bandara begitu dia kembali dari Turki. Wajah Umi berderai air mata. Queeny tidak mengerti apa yang membuat ibunya menangis. Abinya menatap Queeny dengan ekspresi memelas. "Umi!" sapa Queeny dengan nada lemah hampir tak bersuara. "Gimana perasaan kamu?" tanya Abi. Umi lebih dulu sesenggukan dan tidak sanggup bicara apa-apa. Queeny merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Perutnya terasa nyeri. Kepalanya sakit dan tulang-tulangnya terasa sangat retak. "B-baik, Abi," sahut Queeny. Tidak sesuai dengan apa yang ia rasakan saat ini. "Queeny kenapa bisa ada di sini?" "Umi kan sudah bilang kamu nggak usah pergi ke Turki jadinya ..." Umi tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Queeny menatap terheran. "Memangnya kenapa, Umi? Queeny kan memang baik-baik saja." Umi menggeleng. "Kamu itu ..." air mata Umi semakin deras. Queeny tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Queeny kenapa Umi? Queeny cuma pingsan." "Cuma pingsan katamu?" Umi menatap marah. Abi menenangkang Umi dengan menepuk bahunya. "Biar Abi saja yang jelaskan kepada Queeny." "Queeny kenapa bisa ada di sini?" "Umi kan sudah bilang kamu nggak usah pergi ke Turki jadinya ..." Umi tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Queeny menatap terheran. "Memangnya kenapa, Umi? Queeny kan memang baik-baik saja." Umi menggeleng. "Kamu itu ..." air mata Umi semakin deras. Queeny tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. "Queeny kenapa Umi? Queeny cuma pingsan." "Cuma pingsan katamu?" Umi menatap marah. Abi menenangkang Umi dengan menepuk bahunya. "Biar Abi saja yang jelaskan kepada Queeny." Queeny semakin gelisah. Dia penasaran kenapa tiba-tiba ibunya menangis seolah kehilangan sesuatu. Queeny masih hidup kan? Queeny memperhatikan sekujur tubuhnya dengan lirikan lemahnya. Dia menemukan tubuhnya masih utuh. Kecuali ... "Bayi kamu tidak bisa diselamatkan," jelas Abi membuat Queeny memaku selama beberapa detik untuk menyaksikan tangisan Umi. "Bayi Queeny tidak bisa diselamatkan?" Queeny mengulang kalimat itu dengan ekspresi tak menyangka. "Iya. Dokter bilang kamu kelelahan. Tidak seharusnya kamu pergi jauh hingga ke Eropa di tengah kondisi kehamilan kamu yang sudah tua."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN