Queeny menautka alis. Dia tidak pernah cerita kepada rekan-rekannya tentang masalah pribadinya. "Sayangnya, iya," sahut Queeny ragu-ragu menjawab.
"Apakah ada projek yang akan Anda lakukan di sana? Saya dengar, orang-orang Indoensia sangat gemar membuat serial dengan jumlah episode hingga ribuan. Itu terdengar hebat."
Queeny agak tertawa. "Ya, mereka memang sering membuat serial yang panjang jika rating serial itu naik."
"Apakah Anda akan jadi bagian dari proyek panjang itu?"
Queeny terlihat berpikir. "Belum ada poyek yang harus kukerjakan. Aku kembali ke Indonesia karena memang sudah saatnya."
"Semoga sukses, Miss!" seru laki-laki yang biasa bertugas menyiapkan set lokasi syuting.
"Terima kasih, semoga sukses juga untuk kalian semua."
Dalam waktu satu jam, lokasi syuting mulai terlihat sepi. Queeny sudah berkemas untuk kembali ke hotelnya. Dia sempat berfoto dengan beberapa orang sebagai kenangan terakhir sebelum meninggalkan Turki. Tempat ini juga akan jadi kenangan indah karena sudah menemani hari-hari Queeny dalam mengerjakan serialnya.
"Queeny!" sapa teman Queeny yang bisa berhasa Indonesia. "Ada yang ingin bertemu denganmu besok. Katanya, dia berasal dari industri film."
Queeny menaikkan sebelah alisnya. Apakah itu berarti proyeknya yang selanjutnya akan segera tiba?
***
Seperti yang sudah Queeny duga, orang yang bertemu dengannya adalah orang Indoenesia. Laki-laki seumuran Queeny itu menunggu di lobi hotel dengan sabar. Queeny masih belum tau siapa namanya.
"Maaf, menunggu lama. Aku baru saja merapikan barang-barang," jelas Queeny sambil mempersilahkan laki-laki itu duduk di ruang tamu khusus pengunjung hotel.
"Jadi benar kata orang-orang, kalau Anda akan kembali ke Indonesia?"
"Ya, itu bukan cuma rumor," sahut Queeny tertawa kecil.
Laki-laki itu menjulurkan tangannya. "Perkenalkan, saya Nadif, eksekutif produser dan penulis naskah."
"Penulis naskah?"
"Ya, seperti Anda. Tapi saya dengar Anda bukan cuma penulis naskah."
Queeny mengangguk. "Saya menyutradarai serial yang baru selesai kemarin sore."
"Wow," puji Nadif membuat Queeny tertawa.
"Sebenarnya saya cuma menggantikan teman yang sedang sibuk dengan proyek lain."
Nadif tersenyum kagum. "Karena profesionalisme Anda, saya sangat tertarik untuk bekerja sama dengan Anda."
Queeny mengulum senyum. "Tawaran yang sangat menarik, tapi untuk saat ini saya akan menolak semua tawaran yang menuntut saya untuk tetap di Turki. Saya harus kembali ke Indonesia, tempat kelahiran saya."
Nadif mengangguk mengerti. "Saya mengerti dengan keputusan Anda. Tapi di sini saya bukan untuk menuntut Anda tetap berada di Turki meskipun mengikatkan Anda dengan kerjasama ini."
"Maksudnya?" Queeny mengerling tak mengerti.
"Saya pernah dengar wawancara singkat Anda tentang kisah yang Anda tulis di blog pribadi Anda."
Queeny langsung teringat dengan kisah Aina yang memang dia tulis di blog pribadinya. Dia tidak menyangka ada orang yang membaca kisah itu, padahal dia sudah membuat nama samaran agar tidak ada yang bisa mendeteksi bahwa dialah penulis blog itu.
"Kisah yang Anda tulis mencuri perhatian saya dan atasan saya."
Queeny menatap curiga ke arah Nadif. "Jadi, ada rencana apa dengan naskah yang sudah saya tulis itu?"
"Kami akan membuat serial dengan naskah dari Anda sendiri, berdasarkan masa lalu yang Anda alami bersama gadis bernama Aina itu. Jika Anda tidak setuju nama itu terlalu jelas, kami bisa menyamarkan namanya dan menyesuaikan dengan kenyamanan Anda."
Queeny teringat akan masa lalunya dan itu membuatnya agak tak bersemangat. Senyumnya langsung pudar. Meskipun begitu, dia tetap memperlihatkan profesionalitasnya dengan anggukan kagum.
"Saya janji, orang-orang akan lebih mengenal Anda lewat cerita kisah nyata ini."
Queeny berdecak. "Saya tidak butuh ketenaran, apalagi lewat masa lalu yang diadaptasi jadi film."
Nadif tertawa. Tawanya terdengar sarkas. "Tapi setidaknya, untuk mengenang Aina."
Nama itu membuat senyum Queeny benar-benar hilang. Benar apa yang dikatakan Nadif, Aina akan dikenang oleh banyak orang jika kisah itu diangkat ke layar lebar. Di samping itu, Queeny masih tak sanggup kisah itu akan diulang lagi meskipun lewat para aktor dan aktris.
"Bagaimana? Apakah Anda setuju?"
Lamunan Queeny terbuyarkan. Dia menatap ke arah Nadif dengan ekspresi datar.
"Mungkin Anda butuh waktu untuk mengambil keputusan. Saya mengerti," kata Nadif ketika melihat keraguan di wajah Queeny.
"Tidak usah gugup, saya akan menunggu keputusan Anda."
Nadif memperlihatkan nomor ponselnya. "Ini nomor saya, dan di atasnya adalah nomor rekan saya. Jika Anda sudah membuat keputusan bisa, hubungi salah satu dari nomor ini."
Queeny mengangguk mengerti.
"Saya harap, Anda membuat keputusan yang paling baik untuk kita berdua," pesan Nadif sebelum meninggalkan Queeny sendirian.
Queeny menatap keluar jendela. Dia harus kembali ke Indonesia malam ini, tapi bayangan kisah Aina menghantuinya. Dia tidak siap kembali ke tempat Aina pernah ada. Mendadak Queeny ragu untuk kembali ke Indonesia.
Laki-laki bernama Nadif itu sudah membuatnya teringat akan Aina. Itu membuatnya semakin sulit untuk memutuskan apakah dia harus mengatakan setuju untuk proyek itu, ataukah dia harus menolaknya karena kisah itu akan membuatnya teringat akan Aina.
Queeny duduk di jendela apartemennya di Istanbul, menatap panorama megah kota yang eksotis. Di tengah keramaian, ia merenung, mencoba memutuskan kerjasama yang ditawarkan oleh Nadif.
Kemudian, teringat akan nomor telepon yang diberikan Nadif padanya. Dengan hati berdebar, Queeny mengambil ponselnya dan mengetik pesan kepada Nadif.
[Halo, Nadif. Saya bersedia untuk proyek serial yang Anda tawarkan. Apa yang harus saya lakukan selanjutnya?]
Tidak lama Nadif pun membalas pesan Queeny.
[Halo, Queeny! Senang mendengarnya. Mari kita bicarakan detailnya nanti di kalau kamu sudah di Jakarta.]
[Jakarta, kapan kamu pergi ke Jakarta?]
[Aku baru sampai. Kira-kira kapan kamu kembali ke Jakarta?]
[Lusa.]
Setelah mengirim pesan tersebut, Queeny merasa campuran antara gugup dan bersemangat. Ini adalah awal dari petualangan baru dalam karirnya di Indonesia.
***
Keesokan harinya Queeny bersama dengan teman-temannya sedang berada di sebuah cafe.
Queeny berdiri di hadapan mereka.
"Terima kasih banyak sudah menerima aku menjadi bagian dari keluarga kalian, kalian sudah repot-repot membuat ini semua, aku menjadi terharu," ucap Queeny.
"Queeny, kamu terbaik, kami akan merindukanmu nanti. Selamat berkarier di negeri kelahiran," kata salah satu kru yang merupakan seorang wanita berhijab.
Setelah acara pamitan itu mereka saling bersalaman dan Queeny memeluk teman-teman wanitanya. Ada perasaan haru dan juga sedih karena akan berpisah.
***
Ketika pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta di Jakarta, Queeny merasa gugup. Queeny menghela napas panjang, setelah lima tahun akhirnya Queeny menginjak kakinya lagi di Indonesia. Ada guratan bayangan ketika dia melintas bandara, bagaimana tidak dua lali dia merasakan kenangan pahit soal bandara, ia pernah pendarahan di sini dan harus dilarikan ke rumah sakit mengakibatkan ia kehilangan anaknya. Pada saat dia mengantar Aina, dia juga kecelakaan di depan Bandara.
Queeny menggeret koper dan dia bertemu dengan Nadif di cafe yang sudah dijanjikan. Mereka duduk di sudut yang nyaman, cafe yang bernuansa outdoor.
"Assalamualaikum," ucap Queeny.
"Wa'alaikumsalam, Alhamdulillah sudah sampai ya," jawab Nadif.
"Alhamdulillah," kata Queeny dengan tersenyum.
"Oh iya sebenarnya ada satu orang lagi yang akan datang membicarakan soal serial ini, tetapi ormag masih dalam perjalanan. Kalau kita tunggu dulu, kamu tidak keberatan?" terang Nadif dengan hati-hati.
"Oh, nggak masalah. Aku akan tunggu," jawab Queeny.
Selepas itu ponsel Queeny berdering. Dia melihat panggilan dari Marlina di layar ponselnya. Dengan rasa penasaran, Queeny menjawab panggilan itu dan mendengar suara ramah Marlina di seberang sana.
"Sorry, aku angkat telepon dulu ya," imbuh Queeny yang dijawab Nadif dengan anggukan.
Queeny berjalan meninggalkan meja mereka sampai di depan cafe dan mengangkat telponnya.
Marlina memulai, "Halo, Queeny. Gue udah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Kamu ada di mana sekarang?"
Queeny menjawab, "Halo, Marlina! Gue udah sampai, Mar, tapi gue harus ketemu sama orang dulu, lo nggak papa kalau tunggu agak lamaan dikit."
"Oh, gitu ya. Yaudah deh lo beresin dulu ketemuannya nanti gue balik lagi, kalau gue tunggu di situ takut bosen gue, nggak papa kan?"
"Oke oke, thanks ya, Mar."
Queeny mengakhiri sambungan telponnya.
Pada saat Queeny kembali masuk ke cafe, ia melihat kini ada dua pria yang sedang duduk di meja tadi. Mata Queeny membelalak, tak menyangka akan bertemu secepat ini.
"Queeny, ini dia orangnya udah datang."
"Assalamualaikum, Queeny, apa kabar?