Ada yang salah dengan Khaleef Akarsana Syahzad. Ya, Jana yakin sekali. Anak ini atau pria ini atau sekalian saja cucunya ini memang sudah bermasalah dari sananya. Pasti seperti itu. Siang ini, Jana bisa paham kenapa Raja bisa begitu kesal padanya. Pertama, dia diperintahkan oleh Papanya yang galak untuk menjemput Jana, Nenek yang tiba-tiba muncul di hidupnya. Kemudian gara-gara Jana, Raja ditampar di tempat umum dan masih belum selesai sampai di sana, Raja juga terpaksa membawa barang bawaan Jana sampai ke kamar. Tapi berbeda dengan sekarang. Jana jelas-jelas masih tidur ketika pria itu hendak membunuhnya barusan. Loh, loh, benar, bukan? Apa namanya kalau bukan hendak membunuh? Jika tidak bangun, Jana mungkin akan mati kehabisan napas.
“Ga usah Drama!” cibir Raja pada Jana yang memegang dadanya.
“Kenapa kamu kembali?” tanya Jana yang yakin sekali bahwa Raja sudah pergi beberapa saat yang lalu setelah menyebutnya cocok sekali menjadi nenek-nenek.
“Karena gue ga sanggup digampar lagi sama ponakan lo.”
Mendengar jawaban sekaligus sindiran barusan Jana langsung bangkit dan mengikuti cucunya yang mulai sekarang harus dia waspadai jika ingin berumur panjang.
Tidak ada di antara Jana dan Raja yang tersenyum saat keduanya sampai di meja makan tapi Siti Jamilah justru tersenyum lebar melihat sepasang anak muda yang tingginya sama sekali tidak jomplang. Sulit bagi Siti untuk menemukan anak gadis atau katakanlah teman Raja yang bisa mengimbangi tinggi cucunya itu. Tentu saja tidak jomplang karena Jana memiliki tinggi tubuh seratus enam puluh delapan centimeter.
“Maaf.. aku ketiduran,” ucap Jana begitu disambut oleh senyum Kakak, ponakan dan ponakan iparnya. Berbeda dengan Raja yang menarik kasar kursinya, Jana justru berlaku layaknya putri keraton.
“Bukannya Etek ga bisa masak? Mau bantu apa rupanya?” goda Bilal.
“Bantu cuci-cuci atau potong-potong, ‘kan, bisa, Om. Aku jangan dipanggil Etek, dong, Om. Berasa kurang ajar banget rasanya sampe orang yang sepangkat Ayahku manggil pake kata sapaan itu.”
“Ga rela banget mengakui dirinya sendiri udah tua, ya,” kekeh Bilal yang membuat Raja menatap Papanya heran. Kok bisa ekspresi Papa berbeda pada tiap orang yang berbicara dengannya?
“Itu juga sih, heheh.. makanya panggil Jana aja. Om Bilal sama Tante Rizka kalo mau nyuruh ini-itu juga jangan sungkan. Kalau disuruh mengasuh dia nih,” ucap Jana menunjuk Raja dengan sudut matanya. “Biar ga nakal, aku juga bisa.” Dan iya, Jana sudah memutuskan untuk berada di sisi orang yang paling tepat. Dia harus menjadi sangat akrab dengan ponakannya ini agar jika Raja macam-macam, dia bisa langsung mengadu. Cepat atau lambat, dia juga akan membuat Om Bilal memeriksakan kesehatan mental putranya.
“Ya, sudah, ayo makan,” ajak Siti pada semua orang.
“Eh.. ini tumpeng, ‘kan, ya? Buat aku? Ih padahal ga usah repot-repot.”
“Paham banget gue dari mana datangnya pede lo,” ucap Raja yang langsung mendapat pelototan dari Papanya. Padahal bukan bermaksud menyinggung Papa. Tentu saja yang Raja maksud adalah bahwa Jana mendapat pembagian yang sama untuk tingkat percaya dirinya seperti yang Abizard dapatkan. Raja tau bahwa orang tua keduanya, orang tua Jana dan Abi maksudnya, adalah kakak-adik.
Mendengar hal itu, Jana menoleh pada Raja dan mengatakan, “Kalau kamu tetap harus panggil aku Nenek, mengerti Khaleef?” ucapnya dengan tanpa senyum sama sekali.
Bukannya memberi jawaban, Raja justru mencebikkan bibirnya. Sebenarnya pria itu merasa dejavu. Jana sama berbakatnya dengan Papa yang bisa tersenyum kemudian cemberut sesaat setelahnya.
“Raja..” ucap Rizka lebih dulu dari pada sang suami agar anaknya yang berulang tahun hari ini tidak kabur sebelum makan malam dimulai.
“Iya, Nek! Puas lo, Nek?”
“Puas,” jawab Jana terlampau ceria.
>>>
Setelah makan malam berakhir, semua orang termasuk Raja berkumpul di ruang keluarga. Jika Jana dipeluk sayang oleh Kakak sepupu jauhnya, Raja justru sedang tiduran dengan kepalanya di pangkuan sang Mama. Meski terlihat sibuk dengan games yang sedang ia mainkan, diam-diam pria itu memasang telinganya baik-baik.
“Jadi kenapa kamu kabur dari rumah, Jan?” tanya Bilal yang sudah akrab dengan Etek-nya itu. Belum sampai sehari semua orang kecuali Raja sudah akrab dengan Jana.
“Kakak juga lihat tadi mata kamu sembab. Menangis, hm?” tanya Siti mencolek pipi Jana. Alih-alih adik, Jana lebih seperti cucu perempuan yang tidak pernah ia miliki selama ini.
“Masalah cinta, ya?” tanya Rizka kepo.
“Raja ga ada yang mau ditanya sama Nenek?” tanya Jana. Bukannya sok akrab, tapi dia harus menunjukkan bahwa dia bisa berbaur dengan siapapun orang di rumah ini. Atau jika nanti Jana mengetahui keluarga Kakak memelihara anjing atau kucing, dia juga pasti bisa terlihat akrab dengan hewan tersebut. Jana juga sekalian berpikir jawaban seperti apa yang harus dia berikan pada keluarga ini. Jika Jana jujur, apakah mereka tetap akan menerimanya di rumah ini? Karena kalau benar Jana adalah anak Ayah dengan wanita lain, maka Jana bukan adik Kak Siti, bukan Etek-nya Om Bilal dan sama sekali bukan Nenek muda-nya Raja.
Tapi yang ditanya tidak menggubris sama sekali. Dan kebetulan Jana mendapat ide, dia dengan tanpa merasa bersalahnya berucap. “Iya.. Mereka mau jodohin aku sama siapa lah namanya. Datuk orang juga.” Datuk orang yang Jana maksud bukan kakek-kakek tapi seorang pria yang punya kedudukan cukup tinggi di masyarakat Minangkabau.
Sedang Raja yang mendengar hal tersebut langsung melirik pada Nenek Mudanya. Jika memang ini alasan kenapa Jana kabur dari rumah, dia sudah melakukan hal yang paling tepat. Raja tidak pernah menginjakkan kaki di Padang sehingga dia tidak tau bagaimana pola pikir orang-orang disana. Bagaimana mungkin mereka memaksakan kehendak pada Puti mereka?
Hanya saja hal tersebut tidak mengubah banyak keadaan yang ada. Jana tetaplah Neneknya. Raja menghela napas panjang. Sudah tidak terhitung berapa kali pria itu mengumpat hari ini.
>>>
Sejak hari kedua Jana tinggal di rumahnya, satu hal yang pasti Raja lakukan adalah berada di luar selama yang ia bisa. Sesekali dia bahkan sengaja menginap di rumah sahabatnya, Abizard. Sesekali saja tapinya karena Papa bisa mengacak-acak seluruh ibu kota kalau Raja tidak pulang-pulang. Namun begitu, tetap saja Raja menjadi percaya diri karena dia tidak berinteraksi sama sekali dengan Jana. Tapi keberuntungan tidak akan berpihak padanya selamanya.
“Kenapa?”
“Aku sibuk,” jawab Raja pada Papanya. Barusan Papa mengajukan satu kata tersebut karena Raja tidak menyahut sama sekali permintaan beliau. ‘Ajak Nenekmu jalan sesekali. Dia bosan di rumah terus,’ Begitu ucap Papa.
“Terus Papa aja yang ngajak Nenekmu jalan? Kamu lupa sesibuk apa Papa?” tanya Bilal yang cukup sabar hari ini. Pasalnya ini permintaan khusus dari Jana yang katanya bosan setengah mati berada di rumah sejak dua setengah minggu terakhir. Apalagi Jana memohon seperti anak kecil. Mana tega Bilal membuat harapan Jana untuk melihat-lihat ibu kota sirna.
Raja menaikkan sebelah alisnya karena Papa tidak sekeras biasanya. ‘Oh..’ gumamnya membatin. Ini dia alasan kenapa dua malam terakhir Jana berdiri di depan pintu kamarnya. Hanya saja dia tidak mendapat kesempatan untuk bicara karena Raja buru-buru menutup pintu kamarnya. Apa karena dia Nenek-nya Raja kali, ya? Sampai Raja bisa langsung mengerti bahwa permintaan ini tidak berasal dari Papa melainkan Jana.
“Nenek ga bakal suka diajakin jalan sama aku,” ucapnya sebagai respon terhadap kalimat Papa yang terdengar memelas.
“Dia pasti lebih milih diajakin main sama kamu daripada sama Papa. Apalagi kalian sama-sama muda. Papa mana mengerti apa yang anak muda zaman sekarang sukai.
“Bukan main..” ucap Raja membatin. Sejak kapan ada istilah anak muda di kamusnya Papa?
“Bukannya Nenek,” Raja memutar bola matanya kesal karena terlalu terbiasa menyebut Jana dengan satu kata itu sejak dua minggu terakhir. Lancar sekali mulut sialannya ini menyebut kata ‘Nenek”. “Kabur kemari supaya ga ketahuan? Papa tau sendiri keluarga Ayah-nya di sini semua. Kalau ketahuan, Etek Papa ini bisa dikawinin paksa.”
“Susah ya minta tolong sama anak sendiri,” dengus Bilal sebelum menyuruh putranya pergi ke tempat lain di rumah ini yang Bilal tidak bisa melihatnya. Dari awal pria itu sudah tau bahwa mustahil bisa membuat Raja menuruti permintaan yang satu ini. Bilal yakin Raja menaruh dendam pada Jana sejak hari pertama gadis itu tinggal di rumah mereka.
Saat Raja keluar dari ruang kerja Papa-nya, dia mendapati Jana yang tengah duduk menatapnya dalam diam. Raja tidak perlu diberitahu bahwa Jana menguping selama Raja bicara dengan Papa.
Melihat tatapan sengit itu untuk kesekian kalinya sejak dua minggu yang lalu, Jana hanya bisa menipiskan mulutnya saja. Tidak bisa. Om Bilal tidak bisa membujuk Raja. Dan Jana lebih tidak bisa duduk diam di rumah ini selamanya. Dia tidak kabur untuk berleha-leha di rumah saudara.
Menggigit bibir bawahnya, Jana bangkit kemudian mengikuti langkah lebar Raja menuju kamarnya. “Masa bodoh lah,” gumamnya setelah nyaris menyerah setelah mondar-mandir di depan kamar Raja.
“Ra- owh..”
“Owh?” ulang Raja yang kaget mendapati Jana berada di kamarnya.
“Badan kamu bagus. Nenek bangga sama kamu. Kamu pasti rajin olahraga, ‘kan?”
Benar sekali. Jana masuk tepat saat kaos yang Raja kenakan berakhir di keranjang kain kotor. Cepat-cepat Raja menyambar pakaian tersebut dan memakainya hanya untuk dihentikan oleh Jana.
“Ga usah dipakai lagi. Ini kamar kamu, kamu bebas mau ngapain aja di kamar ini. Dan aku Nenek kamu, apa yang salah ngeliat otot cucu sendiri?”
“Dan biarin lo melototin tubuh gue? Ingat, Jan, lo Nenek gue!” Dalam beberapa detik saja Raja yang membiarkan kaos tadi yang tergantung di lehernya sudah berada di dekat Jana kemudian dengan mudahnya pria itu mendorong Jana keluar dari kamarnya.
Jana melotot karena Raja menggunakan tangan kiri untuk menangkup kepalanya kemudian mendorong Jana yang adalah Nenek-nya meskipun bukan Nenek kontan sehingga sekarang Jana sudah berada di luar. Tapi tidak semudah itu, Jana sudah bertekad bahwa dirinya akan punya alasan keluar dari rumah. Makanya sebelum pria itu berbalik dan mengunci kamarnya, Jana langsung mengalungkan kedua tangannya pada tubuh atletis sang cucu.
Raja melotot. Jana mendesis.
“Jangan teriak! Ini Nenek kamu yang meluk, biasa aja reaksinya. Sampe Om Bilal datang kemari, aku bakal bikin kamu dihajar habis-habisan karena aku bakal ngadu kalo kamu mau meraba-raba Nenekmu sendiri.”
“Jana,” ucap Raja penuh tekanan. Pria yang lebih tua enam tahun dari Jana itu tidak pernah menyebut Jana dengan namanya. Kecuali hari ini saat Raja merasakan kedua tangan gadis itu membelit tubuhnya.
“Kamu mau dengerin aku ngomong atau aku peluk begini terus? Kak Siti bisa jantungan kalo liat gimana kamu nempel begini sama Nenekmu yang masih perawan. Aku ga tanggung jawab kalau Kak Siti stroke,” kata orang yang justru sedang menempel pada Raja.
“Oke, oke. Lo lepas dulu atau gue yang teriak? Gue bisa jadiin lo Nenek-nenek yang nafsuan sama cucunya sendiri kalo gue teriak.”
“Oke,” ucap Jana riang tak lupa memukul p****t Raja sebanyak tiga kali. Hadiah karena pria itu mau menjadi cucu yang penurut hari ini.
Sedang Raja yang merasakan tangan Nenek sialannya barusan buru-buru menyusul Jana yang sudah kembali masuk ke dalam kamar. “Lo sama sekali ga nganggap gue laki-laki?” tanya Raja syok. Apakah perempuan ini terlalu mendalami perannya sebagai Nenek? Bahkan Nenek kandungnya sendiri sudah berhenti memukul p****t Raja sejak belasan tahun yang lalu.
“Love language Nenekmu ini physical touch, jadi maklum aja. Bisa kita ngomong sekarang?” tanya Jana dengan senyuman paling lebarnya sejak beberapa hari terakhir.