“Aku lagi?” tanya Raja tidak terima.
“Memang siapa yang bisa Papa suruh selain kamu di rumah ini?” tanya Bilal dengan tatapan yang paling tidak Raja sukai. Satu detik yang lalu beliau bisa memandang Mamanya dengan sangat lembut dan detik setelahnya dia menatap darah dagingnya sendiri dengan biji mata seperti hendak keluar dari sarangnya.
“Aku laki-laki, Pa. Nenek ini perempuan yang aku yakin sekali jauh lebih muda dariku. Papa ga takut terjadi apa-apa sama dia?” tanya Raja, sedang Rizka terlihat menghela napas panjang. Raja, meskipun selalu berakhir kalah tiap kali berduel dengan Papanya, anak itu tidak pernah bosan mencoba.
“Justru karena kamu harus tanamkan baik-baik di kepalamu itu bahwa perempuan satu ini adalah perempuan paling istimewa dari seluruh perempuan yang ada, yang tidak boleh kamu macam-macam padanya. Kenapa? Karena dia Nenekmu. Dia setara dengan Mamanya Papa.”
Raja terdiam karena tiba-tiba seluruh darah seperti ditarik dengan kasar kembali pada jantungnya. Namun begitu dia bersyukur karena tidak menunjukkan reaksi berarti di wajahnya. Jika pria itu sering berpikir bahwa Bilal bukan Ayah kandungnya, tidak jarang pula dia tidak kuasa menyangkal bahwa mereka memang berbagi darah yang sama saking sang Papa selalu tau apa yang ada di otaknya.
“Yang juga berarti tidak akan pernah ada drama kamu yang naksir pada Nenekmu sendiri,” tambah Bilal serius pada putranya.
“Apa aku kelihatan naksir sama Nenekku, Pa?”
“Entah, kenapa ga kamu buktikan sendiri daripada nanya sama Papa”
Dengan kalimat berupa tantangan barusan, terdengar bunyi kursi yang sengaja diseret di lantai. Raja atau Khaleef Akarsana Syahzad memang tidak pernah suka menunjukkan pada Papanya bahwa dia kalah. Kalah pun tetap harus berlagak. Hanya jika Papanya bertobat, barulah Raja bersedia untuk sopan.
“Kamu-”
“-Matanya nantangin terus Ma,” potong Bilal pada Mamanya yang hendak marah. Bilal bukan orang tua yang kasar tanpa penjelasan. Mungkin pembawaannya memang tidak selembut Ayah di luar sana. Hal tersebut karena Bilal dibesarkan oleh Ayah yang bahkan jauh lebih tegas darinya. Namun begitu tidak sekalipun Bilal pernah menentang kalimat orang tuanya. Tidak seperti Raja. Tapi tetap saja Bilal lebih suka jika putra semata wayangnya itu berada di rumah dan melotot padanya dua puluh empat jam dari pada harus berada di sirkuit.
“Soal identitas Jana di masyarakat Minang, sebaiknya Raja ga usah tau dulu, ya, Ma. Biarin cucu Mama menerima kenyataan kalo Neneknya justru lebih muda. Kita ga pernah terlalu membahas budaya kita ke Raja dan dia ga mungkin bisa mengerti secepat yang kita inginkan. Lagi pula anak ini tidak pernah peduli apapun jika hal itu tidak berkaitan dengan dirinya.” Hanya saja Bilal melupakan satu hal. Fakta bahwa Raja mengetahui Jana lebih muda darinya, berarti dia mengetahui lebih banyak dari yang Papanya pikir.
“Terserah kamu saja. Mama cuma mau kamu ga berteriak tiap hari. Cucu Mama jangan dibuat ga betah di rumahya sendiri. Sekarang juga ada Jana yang pastinya ga biasa dengan teriakan kamu. Jangan sampai justru Jana yang lebih dulu minggat daripada Raja.”
>>>
Raja berdiri di tempat yang sama seperti beberapa jam yang lalu saat dia mengumpat dan meninggalkan Jana yang ingin mencarikannya jodoh. Pria itu berdiri tanpa niat mengetuk. Menerima fakta bahwa kamu memiliki nenek yang lebih muda darimu jauh lebih mudah ketimbang menerima fakta bahwa perempuan yang kamu sukai justru adalah nenekmu. Tidak akan ada yang bisa mengerti posisi Raja.
Raja masih sangat ingat bagaimana rasanya seperti sesuatu menekan dadanya sehingga dia kesulitan bernapas.
Pembalap liar is calling, begitu tulisan di layar ponsel seseorang dan dia tidak berniat menerimanya. Bukan begitu juga cara mereka berteman sejak dahulunya bukan?
“Emang Anj*ng ya, lo,” ucap Raja sebelum melempar dirinya ke sofa tepat di depan temannya itu.
“Gue ga menerima temen yang pengen ngutang jalur online. Kalo lo butuh, lo datangin gue langsung.”
Raja mendengus mendengar kalimat barusan. Abizard memang selalu bangga dengan uangnya yang tidak pernah habis. Tapi dia lupa dengan siapa dia berteman. Raja lebih baik mengutang pada pinjol dari pada mengutang pada Abi tentu saja.
Tidak membuang waktu, Raja menyambar ponsel Abi yang memang sudah menjadi tujuannya dari awal. Tujuannya menghubungi pria ini hanya untuk memastikan dimana dia berada sehingga Raja tidak menghabiskan waktu.
“Mau apa lo?” tanya Abi yang sibuk dengan remote tivi di tangannya.
“Isi G*pay.”
“Si Bilal nafkahin lo ga sih, Ja? Kesel gue.. Atau lo mau jadi anak bokap gue aja?” tanya Abi.
Sedang Raja memilih untuk tidak menghiraukan sang sahabat dan langsung mencari apa yang ia ingin pastikan. Jika Raja tidak pernah memiliki satu foto pun di galeri ponselnya, Abi berbeda. Dia sudah punya keponakan dan hampir semua foto pasti tentang Ari. Tapi bukan Ariana Letta Hardian yang ingin raja temukan fotonya. Tapi dia yang tiga tahun lalu Abi bawa ke grandstand untuk menonton pertandingannya.
Dan akhirnya Raja sampai pada wajah itu. Wajah yang sama yang satu jam yang lalu ia tinggalkan setelah mengantarkannya ke kamar. Nenek sialannya. Puti Jana Aretha Shaima Jebat.
Kenapa dia harus jadi neneknya Raja? Kenapa Papa atau Nenek tidak pernah mengatakan kalau mereka punya hubungan keluarga dengan bangsawan Sumatera?
“Nenek,” ulang Raja membatin kemudian terkekeh lemah.
“Apaan?”
“Bangunin gue sebelum magrib, Bi!” perintah Raja sebelum ikutan berbaring seperti sang sahabat atau juga bisa kita sebut sepupu Neneknya. Apa dia juga harus memanggil teman baiknya sendiri dengan sebutan Kakek sekarang?
Mengepalkan tangannya, Raja kemudian membawa kepalan tersebut untuk mengetuk pintu. Sekali, dua kali sampai lima kali, dan masih tidak mendapat jawaban, Raja memutar kenop pintu dan masuk ke dalam kamar tersebut. Seperti yang Papa katakan, dia harus me-reset ulang otaknya. Jana, selamanya akan menjadi Nenek bagi seorang Raja. Meskipun harus Raja akui bahwa ia sangat membenci kenyataan ini. Bahwa sekalinya menaruh suka, orang itu ternyata saudara jauh Neneknya kandungnya.
Kemudian disinilah Raja berdiri seperti orang bodoh. Menatap wajah tidur Nenek muda-nya dalam diam. Memandang Jana yang sedang tidur lebih lama hanya akan membuat Raja gagal mengatur ulang otaknya sehingga pria itu menunduk untuk mengambil guling. Sial bagi Raja karena saat menunduk, gadis itu membuka mata dan keduanya mematung untuk beberapa saat. Ya, hanya untuk beberapa saat karena Raja langsung berdiri tegak dan memukulkan bantal itu pada wajah Jana seperti rencana awalnya.
“Dibangunin dari tadi, lo! Lo Nenek gue.. bukan adik yang harus dibangunin buat makan malam.”
“Durhaka kau, ya, sama Nenek sendiri,” pekik Jana karena Raja juga menahan bantal tersebut di wajahnya selama beberapa saat. Cukup lama sehingga Jana kesulitan bernapas.
“Cocok banget jadi nenek-nenek,” cibir Raja sebelum meninggalkan kamar Nenek muda tersebut. Namun begitu, Raja tidak bisa berhenti bertanya-tanya. Kenapa mata gadis itu sembab? Apa yang sebenarnya terjadi sampai dia kabur dari rumah dan alih-alih menuju keluarga Ayahnya, dia justru ke rumah ini?