11

1461 Kata
Raja mencium punggung tangan Mamanya Abi setelah berpamitan. Makan siangnya barusan benar-benar nikmat sampai Jana menelfon. Sudah tidak selera lagi pokoknya pria itu mendengar Jana yang akan ke Kalimantan untuk mencari calon suami. Baru ini Raja menemukan manusia yang tidak kenal kata menyerah bahkan hanya untuk sehari saja. “Khaleef,” ucap Fay saat melihat punggung teman putranya itu. “Kenapa, Ma?” “Bawa Raja Mama pulang dengan selamat,” ucap Fay yang mengetahui bahwa dalam satu bulan Raja akan kembali mengikuti pertandingan. Mendengar hal itu Raja menunjukkan dua jempolnya pada Mama Fay dan tersenyum sampai kedua matanya menyipit. Sampai di tempat yang ditunjukkan oleh GPS, Raja langsung menuju restoran tempat Jana sedang makan siang. Harusnya cewek itu sudah mulai makan karena Raja sempat terjebak macet tadi di jalan. Pria itu baru saja melewati pintu restoran dan berniat mengedarkan pandangan untuk menemukan Nenek mudanya ketika seseorang menyambar tangannya. Seseorang tersebut kemudian membawa Raja lari melewati pintu yang beberapa waktu lalu baru ia masuki. Kalau saja pria itu tidak menyadari bahwa Jana lah yang sedang menariknya, sudah pasti wanita itu telah dibanting ke lantai. Namun menyadari bahwa Jana lah yang sedang menggenggam erat sebelah tangannya tetap tidak membuat pria itu merasa lebih baik. “Lo ngapain?!” “Ada anak temen Ayah sama Mama Fay yang dari tadi udah merhatiin aku. Ini Anak suka banget ngadu. Aku ga boleh ketahuan, Ja.” “Mobil gue di sana!” decak Raja kesal. “Mobil kamu ga akan ilang.” “Lo tau bukan itu yang gue pikirin.” Tentu saja kalau mereka lari ke arah tempat Raja parkir, keduanya bisa langsung pulang dengan damai. Bukan yang berlari di sepanjang pertokoan begini. Mana jadi bahan perhatian semua orang. Salah-salah mereka berdua bisa dianggap maling yang sedang kabur karena berusaha mencuri tapi ketahuan. Raja mendecih kesal kemudian mempercepat langkah kakinya sehingga kini dia lah yang memimpin. “Biasanya lo selalu pakai topi.” Jana sudah terseok-seok langkahnya mengikuti kecepatan Raja. Napasnya juga sudah berserakan tapi gadis itu tetap mencoba menyahut sang cucu. “Hhpakehh..” “Hhcumah,” ucapnya yang sekarang merasa dadanya sesak dan panas. Seberapa kuat pun Jana mencoba menghirup oksigen, rasanya tidak ada yang masuk ke paru-paru gadis itu. “Sekarangh tohpikuh hada sama diah..” “Apa?” tanya Raja yang kini benar-benar berhenti. Kalau topi Jana ada pada anak teman orang tuanya ini, lalu apa gunanya mereka lari? Namanya Jana sudah ketahuan dong. Jana menarik pria itu untuk masuk ke gang sempit antar dua bangunan kemudian membawa dirinya bersandar pada tembok sembari berusaha bernapas. Lama sekali rasanya menjelang ia bisa merasakan jantungnya berhenti memukul keras dadanya dari dalam sana. Tiap kali bernapas juga membuat dadanya semakin sesak. Jana bisa merasakan bahwa wajahnya memerah karena ia merasakan panas di sekitar wajahnya. Sedang pria yang berdiri satu meter di depannya sana, yang juga sedang bersandar di tembok tampak jauh lebih baik darinya. “Ga ketahuan,” ucap Jana sambil terus bernapas pendek-pendek. Raja memutar bola matanya dan menatap menengadah pada langit yang tampak sangat biru hari ini. Cuaca terlalu cerah tapi dirinya terlalu sial hari ini. Perut Raja terasa sakit karena berlari begitu kencang padahal dia baru selesai makan. “Ga ketahuan,” cibir Raja. “Permisi Mbak, Mas,” ucap seseorang dengan celemek terikat pada tubuhnya kemudian berjalan di tengah-tengah keduanya. Tak lama dua orang wanita dengan penampilan sama mengikuti. “Aku sempat lempar kardigenku jadi dia ga bakal ngeh aku yang sedang dicari karena pakaiannya udah beda. Aku juga berani pastiin kalo dia belum yakin seratus persen kalo ini aku.” Jana sempat mengumpat tanpa suara sebelum kembali bicara pada Raja. ‘Ah, mampus lah, ini cucuku, kok,” begitu bisiknya pada diri sendiri. “Aku punya masalah baru sekarang.” “Apa lagi? Gue juga punya masalah baru gara-gara lari bareng elo!” “Sini deh, Ja!” ucap Jana pada pria itu yang sebelah tangannya ada di pinggang. “Gue capek, ya, Jana!” Jana mendengus kemudian berjalan mendekati Raja. Karena tinggi tubuh mereka yang tidak terlalu jomplang, dia bisa berbisik tanpa susah payah. “Aduh gimana, ya, Ja?” ucap Jana ragu. “Gimana apanya?” “Anu Nenek copot.” “Anuan lo yang mana yang copot?” tanya Raja super kesal, keduanya matanya melotot sempurna pada dia yang kembali menyebut dirinya sendiri Nenek. Kenapa Raja harus berurusan dengan Jana di hari yang cerah ini ya Tuhan? “Yang itu.” “Itu mana?” “Astaga yang itu loh, Ja.” Mendadak, sumpah Jana tidak berbohong sama sekali apalagi mengada-ada. Mendadak dia lupa apa nama benda yang dia pakai yang kaitannya copot itu. Benar-benar tidak ada nama yang muncul di benaknya. “Lama-lama bikin kesal lo gue tinggal, ya, Nek!” “Jangan! Plis jangan. Aku mikir dulu,” ucapnya panik. Jana melipat bibirnya ke dalam kemudian menggigitnya gemas. Astaga, otaknya tidak pernah sekosong ini seumur hidup. Apa karena barusan lari bak atlet sehingga tidak ada oksigen yang masuk ke otaknya? Atau karena terlalu panik jika Sabine mengadu sehingga Ayah tau bahwa Jana sudah mengetahui bahwa dia bukan anak kandung Ayah dan Bunda? Ah Sabine sialan. “Ah udah lah, haus gue. Lo kalo masih mau mikir, mikir dulu aja,” ucap Raja yang hanya ingin mendapatkan satu hal saja. Air putih dengan bongkahan es batu. Satu-satunya yang berputar-putar di kepala Jana adalah ‘benda yang dia gunakan pada pa-yu-dara-nya’ untuk mendeskripsikan benda itu. Namun, walaupun Raja adalah cucunya, rasanya Jana akan terdengar seperti Nenek yang tidak bermoral kalau dia menyebut kata pa-yu-da-ra. Dan karena Raja sudah beranjak pergi Jana tidak punya cukup waktu untuk lebih kreatif atau Raja benar-benar akan meninggalkannya. “Benda yang ngelindungin sumber makanan Om kamu di masa depan yang copot. Plis jangan pergi dulu. Bantu aku plis,” ucapnya dengan kedua tangan menahan lengan Raja yang sudah hendak pergi. Raja menyerngitkan keningnya ketika mendengarkan kalimat yang terdengar sangat aneh. Benda yang melindungi sumber makana Om-nya di masa depan? Kedua alisnya menyatu, keningnya berkerut kemudian beberapa saat kemudian Raja menarik lepas tangannya yang dipegang oleh Jana. Jana meneguk ludahnya kasar. “Om gue maksud lo itu bayi lo di masa depan?” tanya-nya menolak melirik Jana atau matanya akan turun ke bawah sana. Apalagi tadi Raja sempat melirik bahwa Jana memakai kaos putih saja saat ini karena kardigennya sudah gadis itu buang. Raja yang menyukai Neneknya sendiri bahkan sampai punya mimpi tidak senonoh dengan sang Nenek adalah perlakuan yang sangat menyimpang. Dia tidak ingin menambah dosa baru. Pokoknya tidak boleh. “Iya bener.” “Terus lo mau gue bantuin apa? Jangan bilang lo pengen gue bantu pasangin. Hubungan cucu-Nenek kita ga se-akrab itu, ya, Jan.” “Ga mungkin aku minta kamu pasangin. Aku bisa sendiri kok.” Jana kemudian mengungkit bahwa tadi saat keluar, Raja mengenakan jaket denimnya. “Ketinggalan di rumah temen.” “Ka-kalo gitu gantian aku yang nyender di dinding, kamu bantu menghalangi pandangan orang aja." Jana sudah punya strategi penyelamatan diri sendiri. Mereka hanya perlu menunggu tiga orang pelayan tadi pergi karena Raja cuma punya satu tubuh sedang di kiri dan kanan mereka ada orang. Di kanannya Jana saat ini selalu ada pejalan kaki yang berlalu lalang sedang di kirinya ada tiga orang yang kalau saja Jana tau siapa bosnya, pasti sudah Jana kadukan karena melalaikan tugas dan suka bolos. “Ck, mereka kenapa ga pergi-pergi sih?” “Jangan salahin mereka yang istirahat di jam istirahatnya. Salahin kenapa anuan lo pakai acara copot. Lo ga kasihan sama gue, Jan? Kenapa gue harus sesial ini sama elo, hah? Sulit nih jodoh gue pastinya gara-gara denger kalimat paling ga masuk akal dari mulut sialah lo itu,’ tanya Raja yang sebelah tangannya bertumpu pada dinding tempat Jana bersandar. Pria itu juga agak memajukan tubuhnya agar tidak ada yang menyadari keadaan Jana meskipun pria itu sendiri tidak tau seberapa para keadaan seseorang yang copot itunya. “Jangan pikir yang macam-macam, ya, Ja! Ini bukan yang kaya punyaku udah lapang tapi masih di pake. kamu lupa siapa aku? Aku ini Puti Sumatera. Punyaku itu dibikinnya custom. Cuma hari ini aku lagi pakai yang dibeliin Kak Siti.” “Ah, bacot lu!” “Bukan bacot. Kamu coba aja nanti tanya sama pacarmu kalo kamu ga berani tanya sama Mamamu. Kaitan benda sakti ini lepas bukan perkara yang terlalu asing buat kaum kami.” “Ga peduli, gue!” Jana memanjangkan mulutnya dan memutuskan untuk berhenti bicara atau dia akan semakin terlihat bo,doh. Hanya saja ternyata tubuhnya menolak diam. Buktinya beberapa menit kemudian perutnya keroncongan. “Lo jadi makan ga tadi?” tanya Raja yang diam-diam juga mulai mengutuk tiga orang yang sibuk cekikikan di ujung sana. “Ga jadi.” “Kita tunggu mereka balik dulu, selesein urusan lo dan makan,” ucap Raja. “Hm..”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN