Helaan nafas kesal lolos dari bibirku, sebelah tanganku terkepal erat. Sesuatu menarik perhatianku dari ujung mataku, benda persegi panjang tergeletak di ujung kursi yang Ana tempati tadi. Wanita itu sangat ceroboh bagaimana bisa ia meninggalkan ponselnya begitu saja. Ponsel itu tak terkunci dengan password apapun, Ana benar-benar ceroboh. Melihat-lihat ponselnya itu memang tidak baik tapi aku tak bisa menghentikkan rasa penasaran ini. Ujung bibirku tertarik, tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihat gallery foto di dalam ponselnya. Ada foto selfie saat ia sendirian, bersama dengan Niel dan teman-teman kerjanya. Fotonya sangat lucu, membuatku tak bisa menahan senyum di bibirku.
Aku tahu ini salah tapi lagi-lagi hasrat rasa penasaranku mengetahui apa yang ada di dalam ponsel ini menggerogotiku. Aku membawanya masuk ke kantorku bersama denganku, sesekali melihat ke layar ponsel Ana untuk membaca setiap pesan yang ada di sana. Mataku menyipit membaca pesan rayuan dari beberapa klien prianya, wanita itu tak terpengaruh sama sekali, Ana cukup profesional atau terlalu bodoh untuk menyadari jika ia sedang di rayu. Anehnya aku tidak menyukai hal ini.
"Tolong panggilkan Erick untuk segera ke ruanganku."ucapku pada Elle sebelum masuk ke dalam ruang kerjaku dengan ponsel Ana yang masih berada digenggamanku.
Tidak butuh waktu lama pria itu datang dengan satu kotak alat miliknya yang ku tahu itu apa. Ia tahu apa yang akan ia lakukan jika aku memanggilnya kemari. Aku mempersilahkannya duduk di sofa, aku duduk di kursi sebelah sofa menyodorkan ponsel Ana yang sudah ku matikan ke arahnya.
"Taruh alat pelacak di sini."
Aku akan memastikan tahu Ana dimana dia berada. Ponsel adalah barang yang seharusnya tidak akan pernah tertinggal, aku akan tahu dimana dia berada dari ponsel ini.
‘tuan Richard merasa ragu karena teman Ana tidak ada yang tahu jika Ana memiliki kekasih.’-Phil memberikanku pesan dari salah seorang anak buahnya yang berada di San Fransisco. Orang yang bisa berbagi informasi mengenai kakeknya.
‘Sialan, siapa yang dia tanya?.’sampai ke wawancara, sangat berlebihan aku tak percaya kakek melakukan hal ini untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan kami.
‘recepsionis perusahaan tempat Ana bekerja.’-Phil
Sampai ke telepon hanya untuk bertanya tentang hubungan asmara. Luar biasa. Sepertinya kakek tidak berpikir kami menutup hubungan ini.
**
Setelah video conference aku memutuskan untuk mengembalikan ponselnya, beberapa kliennya terus menghubunginya dan bertanya mengenai wedding, aku akan mengembalikannya agar Ana bisa menjawab semua pesan ini, anehnya ia masih tak menyadari ponselnya tak ada. Ada pertemuan di luar siang ini sekalian mampir ke kantor Ana untuk memberikan ponselnya. Ketika sampai aku menelepon prusahaannya meminta Ana untuk turun, sekaligus untuk memamerkan hubungan ini pada resepsionisnya, dia terdengar sangat bersemangat. Gosip akan beredar dengan kencang. Aku bisa melihat Ana keluar dari dalam lift dari tempat ku berdiri, pandangannya mengedar ke segala arah.
"Mencariku!."
Spontan tubuhnya berputar mencari-cariku, aku mendekatinya dan dia malah mengambil satu langkah mundur. Jarak kami hanya berkisar 1 meter. Lift berdenting di belakangnya dan aku melihat Niel bersama dengan beberapa teman kantornya. Mereka semua seperti yang berada di foto gallery ponsel Ana. Rasa antusias mereka sangat lucu, Ana terlihat panik. Ia menarikku pergi dari sana menuju ke balik salah satu pilar. Aku malah ingin sebaliknya, biarkan mereka tahu dan gossip ini tersebar.
"Kau membuatku dalam kesulitan."gerutunya aku merogoh saku jas ku untuk mengeluarkan ponselnya. Matanya beralih menatap ponsel nya yang berada di tanganku tampak terkejut.
"Ponselku! Bagaimana bisa?."Ana mengambil ponselnya dari tanganku, ekspresi wajahnya tampak bingung, ku tebak ia tak tahu jika ponsel itu tak berada padanya. Wanita ini sangat ceroboh. Benar-benar ceroboh.
"Terjatuh di mobil."
"Betapa baiknya kau sampai mengantarkannya kemari, padahal sebenarnya kau bisa meminta supirmu untuk melakukannya dan membuatku aman dari pergosipan."itulah yang aku inginkan Ana, biarkan mereka semua tahu.
"Itu akan lebih bagus. Mereka suka mencari tahu dari teman terdekat, biarkan teman-temanmu tahu status kita."ekspresinya berubah jengkel, membuatku ingin tertawa. Membuatnya kesal kini masuk dalam daftar kesukaanku.
"Ini hanya akan berlangsung beberapa bulan, kau membuatku dalam bahaya, aku tidak bisa berkencan jika seperti ini. Bukankah kesepakatan ini hanya berlaku untuk kakek dan nenekmu. Juga orang-orang nya yang suka sekali mencari tahu urusan orang lain."perkataannya membuatku tersinggung, aku tak pernah mendengar seseorang berani memarahiku selain nenek, apalagi hanya karena kedekatanku membuatnya merugi. Dia seharusnya merasa senang, Tristan Xander berdekatan dengannya siapa yang mampu menolakku, Ana adalah kejutan yang mengherankan.
Aku berjalan mendekatinya perlahan-lahan, ekspresi Ana berubah dari seekor harimau berubah menjadi kucing, ketakutannya membalikan moodku. Ia berjalan mundur mencoba menjauh dariku, setiap kali aku mendekat ia akan mengambil satu langkah mundur, bahunya membentur pilar kini ia tak bisa kemana-mana lagi. Ana ingin berlari pergi yang spontan ku tahan dengan menarik pergelangan tangannya agar kembali bersandar pada pilar gedung. Ia tampak takut, membuatku senang untuk menakutinya lebih jauh.
"Kau mau membunuhku?."aku bergumam dengan suara lirih yang hanya Tristan dan indra pendengaranku yang bisa mendengarnya. Nyaliku menciut seperti gulali kapas. Tristan menjauh, mengambil sedikit jarak namun tetap tak membuatku merasa aman.
"Tidak. Aku ke sini untuk memberi peringatan."Aku tak tahu kenapa aku bicara begini.
"Apa itu! Apa terlalu gawat?."Ana bertanya dengan antusias, kini aku bingung apa yang harus ku katakan. Berpikirlah Tristan!
"Jangan terlalu dekat dengan Niel, nenek ku memberikan foto kedekatan kalian berdua."Sial! kenapa aku berbicara begini.
"Nenekmu menuduhku selingkuh? Apa dia tidak tahu Niel itu Gay? Kenapa kau tidak beritahu dia seperti kau menebaknya kemarin. Kau tidak membantuku sama sekali. Apa karena hal ini dia menyuruhmu untuk menjauhiku? Hubungan ini berakhir?."Kedua mataku menatapnya sengit, Ana terlihat berharap akan sesuatu, membauatku kesal.
"Aku meyakinkan kalian hanya teman. Jika mereka tahu kau mengkhianatiku, kau mungkin akan berada dalam masalah.”ekspresinya berganti menjadi kecewa.
"Kalau begitu tidak ada bedanya jika nanti kesepakatan kita berakhir."Ia benar-benar berharap hal itu, tidak akan Ana selama sandiwara ini berlangsung kau tidak akan bisa kemana-mana bahkan kata putus hanyalah impian yang tidak akan terwujud.
"Aku akan memikirkannya nanti!."
"Hah! Aku harus kembali bekerja sekarang!."
"Jaga jarak dari pria manapun. Kecuali aku. Untuk sementara demi keselamatanmu."Setelah mengatakan itu aku menarik diri, seringaian tersungging di ujung bibirku, dia menatapnya sengit membuatku ingin tertawa. Aku berjalan mundur, masih menatapnya.
"Aku akan menjemputmu nanti."Ucapku sebelum berbalik memunggunginya dan berjalan keluar.
"Bagaimana jika aku berdekatan dengan ayahku?."pertanyaan konyol Ana.
"Ayahmu sudah meninggal."jawabku.
"Dengan pamanku."ucapnya lagi.
"Kau tidak akur dengannya."
"Adik laki-laki ku."lagi-lagi Ana.
"Adikmu perempuan!."
Kau benar-benar Ana!.