Part 22 (Semangat Baru)
Bara tak pernah lelah dan mengeluh dalam mencari pekerjaan, meski masih belum ada yang menerimanya bekerja. Dua hari sudah pemuda itu mencari kerja dari satu tempat ke tempat lain, tetapi tak ada lowongan tersisa yang bisa diberikan untuknya. Dengan bekal uang yang diberikan Pak Amin untuk mengisi perut, Bara terus berusaha mendapatkan pekerjaan yang halal dan baik. Ia tak ingin lagi terjerumus ke dalam pekerjaan yang membuat Allah marah padanya dan tak memberikan keberkahan dalam rezekinya.
Matahari mulai kembali ke peraduannya. Bara tersenyum meski dha hari ini masih belum membuahkan hasil. Ia akan mencoba lagi esok hari dengan semangat baru setiap harinya.
Ia bergegas melangkahkan kaki menuju pertigaan untuk menunggu angkutan umum yang akan membawanya kembali ke Masjid An Nur, tempat tinggalnya yang begitu nyaman dan damai. Tempat ia menikmati ibadah di waktu-waktu malam kepada Rabb-Nya.
Azan Magrib sudah dikumandangkan dengan merdu oleh Pak Amin ketika ia baru saja sampai. Bergegas pemuda itu mandi dan berwudu agar tidak ketinggalan salat Magrib berjamaah.
Usai salat, Pak Amin mengajaknya makan malam bersama di dapur mungil mereka di masjid itu. Sambil menghirup udara malam yang terasa segar, Bara menikmati masakan Pak Amin yang teramat lezat di lidahnya.
“Sudah dapat kerja?” tanya Pak Amin di sela-sela makan malam mereka. Makan malam dengan lauk sederhana yang dimasak oleh orang tua itu sendiri. Sambal teri dan tempe, serta rebusan sawi.
“Belum, Pak. Besok saya cari lagi.”
“Tidak usah.”
Bara menoleh. “Kenapa, Pak?”
“Tadi saya sudah menanyakan pekerjaan untuk kamu. Alhamdulillah ada mandor bangunan yang membutuhkan tenaga.”
“Benarkah, Pak?” tanya Bara dengan sorot mata berbinar di bawah cahaya lampu masjid dan sinar rembulan.
Pak Amin mengangguk. “Kamu mau, ‘kan?”
“Mau, Pak! Mau!” jawab pemuda itu penuh semangat. Senyumnya terkembang lebar, menampakkan deretan gigi-giginya yang rapi. Senyuman yang menambah ketampanan di wajahnya.
Pak Amin turut tersenyum bahagia. Mereka menikmati makan malamnya dengan rasa syukur dan nikmat yang begitu besar atas karunia yang Allah berikan.
***
Hari pertama bekerja, Bara masih belum mengerti apa yang harus dia lakukan sebagai kuli pekerja bangunan. Ia tak memiliki pengalaman dalam pekerjaan tersebut. Beruntung, mandor dan para pekerja lainnya dengan senang hati memberinya arahan hingga Bara bisa bekerja dengan baik.
Beberapa orang mengeluarkan bekal makanan yang mereka bawa dari rumah. Beberapa orang lagi sedang menunggu makanan yang mereka beli di warung terdekat, dengan menyuruh salah seorang di antara mereka untuk pergi ke warung tersebut. Bara juga turut titip beli makan siang dengan uang yang diberi oleh Pak Amin sebagai bekal untuk makan siangnya.
“Baru pertama kerja bangunan, ya?” tanya salah seorang pekerja di jam istirahat mereka.
“Iya, Pak.”
“Sebelumnya kerja di mana?” tanya yang lain.
“Saya ....” Bara bingung harus menjawab apa. Ia tak mungkin mengatakan pada mereka bahwa selama ini ia hanya tahu melakukan perbuatan kriminal selama menjadi pengikut Bandot. Tak mungkin juga ia menceritakan pengalamannya bekerja di klub malam hingga berakhir di balik jeruji besi.
Saat Bara berada dalam posisi yang sulit untuk menjawab, salah seorang yang pergi membeli nasi bungkus pun tiba tepat pada waktunya. Mereka segera mengalihkan perhatian pada makanan yang baru datang itu. Bara menghela napas lega. Ia bisa menghindari pertanyaan teman kerjanya yang sebagian besar sudah menikah dan memiliki anak.
Ia pun makan dengan lahap bersama para pekerja bangunan lainnya. Mereka membangun rumah-rumah di sebuah kompleks perumahan baru. Bara benar-benar menikmati makan siang dan canda tawa teman kerjanya, meski pekerjaan sebagai kuli bangunan lebih terasa berat dibandingkan bekerja di klub malam, apalagi merampok seperti yang dilakukannya bersama Bandot.
“Nanti kulitmu lama-lama akan hitam seperti kami,” canda salah seorang pemuda yang juga bekerja di sana, diiringi tawa yang lainnya.
Bara pun tersenyum seraya menjawab, “Tidak apa-apa. Semakin terlihat gagah!”
Tawa mereka kembali pecah, membuat Bara merasakan ada suasana kekeluargaan di tempat kerja barunya itu, yang membuatnya semakin bersemangat untuk terus bekerja.
Selesai salat dan makan siang, juga beristirahat sejenak, Bara dan para pekerja lainnya kembali mengangkut pasir-pasir dan pekerjaan lainnya sesuai tugas mereka masing-masing.
Bara mengaduk pasir yang sudah dicampur dengan semen dan air untuk digunakan oleh pekerja lainnya dalam menyatukan batu bata untuk membangun rumah. Peluh mulai membanjiri kaus lusuhnya. Lelah tak lagi ia rasakan. Hanya hati yang penuh syukur dan ketenangan yang kini bersarang di dadanya.
Bara bertekad akan bekerja apa saja selama pekerjaan itu baik dan halal, berapa pun hasilnya. Ia tak ingin kembali menikmati dunia dari jalan yang Allah benci.
***
Bara kembali ke rumah (Masjid An Nur) lebih awal dari sebelumnya, saat ia mencari pekerjaan. Bara masih bisa beristirahat sejenak, mengeringkan keringat di tubuhnya, lalu mandi dan berwudu sebelum Pak Amin mengumandangkan azan Magrib.
Namun, ada pemandangan yang berbeda di matanya saat ia sampai di masjid An Nur. Jika sebelum bekerja di klub malam ia akan melihat Rania dan anak-anak meramaikan masjid ini dengan suara mengaji dan tawa anak-anak itu, berbeda dengan sore ini yang tampak sepi. Tak ada seorang anak pun yang tampak di masjid. Apalagi sosok Rania. Ia sama sekali tak melihat gadis itu sejak kepulangannya dari rumah tahanan. Lebih tepatnya, sejak kejadian memalukan yang tak disengaja antara dirinya dan gadis itu.
“Anak-anak tidak mengaji, Pak?” tanya Bara yang baru duduk di serambi masjid, menemani Pak Amin menikmati udara sore.
“Sudah beberapa hari ini Rania tidak mengajar anak-anak di sini. Sepertinya sejak orang tuanya pulang dari tanah suci.”
Bara menelan ludahnya dengan berat. Hari di mana orang tua Rania pulang adalah hari ketika ia baru keluar dari penjara terjadilah tragedi memalukan itu.
‘Apakah Rania marah padaku? Lalu, bagaimana nasib anak-anak itu?’ batin Bara bertanya-tanya. Ia semakin merasa bersalah pada Rania, dan ingin segera meminta maaf padanya. Namun, dengan cara apa ia akan menemui gadis itu? Menampakkan batang hidungnya di depan Rania saja ia sudah tidak memiliki nyali.
“Kenapa? Memikirkan Rania?” tanya Pak Amin yang semakin hari semakin gemar menggoda pemuda itu.
“Bapak bisa saja. Jadi, anak-anak mengaji dengan siapa, Pak?”
“Dengan Rania.”
Bara menatap heran pada orang tua itu.
“Kemarin Bapak tanya Pandu. Katanya, ibu mereka meminta Rania mengajar anak-anak di rumah mereka saja. Jadi masih mengajar, tetapi tidak di masjid lagi.”
“Begitu ....”
Bara merasa lega mendengarnya. Ia pikir, Rania tidak lagi menyalurkan ilmu yang gadis itu miliki kepada anak-anak akibat kesalahan dan kebodohan dirinya waktu itu. Namun, Bara tetap saja penasaran mengapa ibunya meminta Rania mengajar anak-anak di rumah mereka.
‘Apakah Rania menceritakan kejadian itu kepada orang tuanya? Apakah Pandu juga tahu?’
Bara merasa frustrasi sendiri akibat kebodohannya waktu itu. Ia semakin tak punya nyali untuk menemui Rania. Bahkan, untuk sekadar meminta maaf pada gadis itu.
***
Pergi pagi, pulang sore hari. Bara bekerja sebagai kuli bangunan setiap hari, kecuali hari Minggu. Ia begitu bersemangat dalam bekerja dan sudah mulai terbiasa dengan pekerjaan barunya itu.
Beberapa hari ini ia tidur lebih awal setelah menunaikan salat Isya dan belajar membaca buku Iqra bersama Pak Amin. Tubuhnya bisa tidur lebih nyenyak semenjak bekerja keras di tempat pembangunan proyek perumahan.
Namun, malam ini sepasang matanya sulit terpejam. Ia mencoba mengulang-ulang bacaan di buku Iqra agar lebih cepat mengantuk, tetapi hasilnya sama saja. Ia tidak bisa tidur karena memikirkan sesuatu.
Bara memutuskan untuk keluar dari kamarnya dan duduk di serambi masjid meski malam sudah larut. Ia menatap bintang-bintang yang bertaburan di langit, ditemani oleh suara-suara hewan malam yang terdengar nyaring. Ia kemudian memandang rembulan yang bersinar indah. Sesosok wajah muncul di sana. Wajah yang tertutup dengan sehelai kain dan hanya memperlihatkan sepasang mata yang begitu indah, yang membuatnya selalu terpesona dan terhipnotis akan keindahan ciptaan Allah itu.
Sudah lebih dari seminggu Bara tidak melihat Rania. Gadis itu benar-benar tidak lagi mengajar anak-anak mengaji di Masjid An Nur. Rasa rindu yang besar pun menyeruak di dalam dadanya, yang hampir mengalahkan rasa bersalahnya kepada gadis itu.
Bara mengulurkan tangannya ke atas, seolah-olah hendak meraih bulan yang tak terkira jauhnya. Ia mendadak sadar, bahwa dirinya dan Rania seperti ia dan bulan saat ini. Begitu jauh, tak mungkin ia gapai. Apalagi, dengan pekerjaannya yang hanya seorang kuli bangunan dan tidak memiliki pendidikan apa pun, Bara merasa sangat tidak pantas untuk merindukan, apalagi mengharapkan gadis itu untuk melihatnya.
“Rania ... maafkan aku yang hina ini, yang tidak sadar diri untuk menggapaimu.”
***