Part 23 (Menyerah)
Rania berkumpul dengan kedua orang tua dan kakaknya, Pandu di ruang makan rumah kedua orang tuanya. Hidangan lezat masakan sang ibu tersaji di meja. Keluarga kecil itu tak pernah melewatkan makan malam bersama jika tak ada keperluan mendesak. Bagi mereka, makan bersama keluarga akan semakin menguatkan rasa kekeluargaan. Mereka bisa berbagi cerita dan merasakan kehangatan saat makan bersama, meskipun sehari-hari keluarga Rania selalu terasa hangat karena didikan dan kasih sayang kedua orang tuanya.
Namun, ada yang berbeda dengan Rania malam ini. Ia tampak sedang memikirkan sesuatu. Raganya ada di meja makan bersama keluarga, tetapi pikirannya terbang ke suatu tempat. Nasi di piringnya hanya ia lihat dengan tatapan kosong.
Masjid An Nur ... Rania merindukan tempat itu. Tempat ia biasa mengajar anak-anak. Entah sampai kapan ia bisa mengajar di sana lagi. Meski anak-anak masih mengaji dengannya, tetapi suasana di rumah terasa berbeda dengan suasana di masjid.
Bara ... apa kabarnya pemuda itu? Apakah ia masih terus istiqomah memeluk hidayah dan belajar semua tentang Islam?
“Rania, kamu mikirin apa?” tanya sang ibu yang sejak tadi memperhatikan anak gadisnya yang tampak tak menikmati makan malamnya.
Rania tersentak dari lamunannya. “Oh, tidak ada apa-apa, Umi.”
“Jangan bohong,” sela Pandu. “Kami tahu pikiranmu tidak ada di sini.”
Rania tak ingin menanggapi ucapan kakaknya. Ia memilih untuk diam dan menyuap nasi ke mulutnya.
“Oh, iya, kenapa sekarang kamu mengajar anak-anak di rumah?” tanya Pandu penasaran. Sudah sejak beberapa hari lalu ia ingin menanyakan hal itu pada adiknya, tetapi sang adik tampak selalu menghindari sang kakak agar tak mendapat pertanyaan apa pun.
Rania dan ibunya saling melirik. Ia sudah memohon pada sang ibu agar tidak menceritakan hal yang telah terjadi padanya dan Bara kepada kakak dan ayahnya.
“Umi yang minta. Biar rumah kira ramai anak-anak,” jawab ibunya kemudian.
“Umi sepertinya sudah tidak sabar menunggu cucu, ya,” seloroh ayah Rania.
Umi tertawa kecil, sedangkan Rania hanya tersenyum, menunduk, lalu kembali menyuap nasi ke mulutnya.
“Doakan Pandu dan Zahra segera Allah beri amanah anak setelah menikah nanti ya, Abi, Umi,” ujar Pandu.
“Insyaa Allah. Abi dan Umi selalu mendoakan yang terbaik untuk anak-anak Umi. Dan selalu ingat, bahwa rumah tangga itu selalu ada ujian. Termasuk masalah momongan. Cepat atau lambat Allah beri, tetaplah bersabar dan nahkodai kapalmu dengan baik,” nasihat ayahnya.
Pandu mengangguk dan tersenyum. Apa yang keluar dari bibir ayah maupun ibunya selalu mampu memberikan ketenangan di hati Pandu dan Rania.
“Oh iya, Abi, Umi, ada teman Pandu yang sudah siap menikah. Insyaa Allah baik agamanya. Sekarang sedang mencari istri.” Pandu menjeda kalimatnya untuk melihat respons orang tua dan adiknya.
“Lalu?” tanya Umi.
“Kalau Abi dan Umi setuju, biar teman Pandu taaruf dengan Rania.”
Sendok di tangan Rania mendadak jatuh dan menimbulkan bunyi nyaring akibat beradu dengan piring. Kalimat sang kakak membuatnya terkejut hingga tak sadar ia menoleh dan menatap tajam saudara kandung yang duduk di sampingnya itu.
Kedua orang tua dan Pandu heran melihat ekspresi Rania yang tak biasa. Pias wajahnya memperlihatkan ketidaksenangan atas saran kakaknya. Padahal, biasanya Rania selalu berwajah lembut dan teduh meski ia sedang marah.
“Ke-napa? Kenapa melihat Kakak seperti itu?” tanya Pandu sedikit gagap. Ia salah tingkah ditatap tajam oleh sang adik.
Rania lantas menyadari ada yang dengan dirinya. Ia pun mengucap istighfar dan menghela napas panjang untuk menetralisir perasaan tidak senang yang bersarang di d**a. Lalu, ia meminta maaf pada kakak dan orang tuanya.
“Kamu belum siap, Rania?” tanya sang ayah kepada anak gadisnya itu. Sementara, sang ibu hanya diam. Wanita paruh baya itu sudah mengetahui perasaan anak gadisnya dari curahan yang diceritakan langsung oleh Rania pada sang ibu beberapa hari lalu.
Rania mengangguk pelan sambil menunduk. Ia tak berani menatap wajah kedua orang tuanya.
“Belum siap atau sudah ada yang kamu harapkan?”
Kalimat Pandu benar-benar terdengar sebagai sindiran pedas di telinga Rania. Ia kembali menoleh pada kakaknya dan menatap nanar.
“Apa maksud Kakak?” tanya Rania dengan suara bergetar. Dalam hati, ia tahu persis apa yang dimaksud kakaknya itu. Namun, ia tak ingin kedua orang tuanya tahu. Ia sungguh-sungguh berharap Pandu mau menyembunyikan semuanya dari kedua orang tua mereka. Sebab, saat ini pun Rania terus berusaha menata hatinya agar bisa melepaskan perasaan yang bersarang di dadanya untuk Bara.
“Tidak ada. Kakak hanya heran, kamu sudah mau lulus kuliah, sudah bisa untuk berumah tangga, tetapi kenapa belum mau?”
“Seperti alasan Rania waktu menolak ikhwan yang datang melamar waktu itu, Kak, Rania belum siap dan masih ingin fokus di pendidikan Rania!” tegas gadis itu.
“Sudahlah, Pandu. Jika adikmu tidak mau, jangan kamu paksakan. Urusan menikah bukan urusan sepele. Kita tidak boleh memaksa Rania harus siap menikah, atau menikah dengan orang yang menurut kita baik.” Akhirnya sang ibu angkat bicara setelah melihat anak gadisnya tampak disudutkan oleh putra sulungnya.
“Pandu bukan memaksa, Umi. Pandu—“
“Sudahlah. Umi tidak mau suasana makan malam ini jadi tegang,” ujar wanita lembut itu dengan nada tegas.
Melihat ekspresi sang ibu yang sudah tampak tidak nyaman, Pandu pun meminta maaf. Keluarga kecil itu kembali menghabiskan makan malamnya dengan obrolan-obrolan ringan yang bisa mencairkan suasana.
***
Rania berdiri di balkon kamarnya di lantai dua, seraya menatap langit hitam yang bertaburan kelip bintang. Rembulan yang bersinar indah seolah-olah menatapnya dan memahami apa yang kini mendera hatinya. Sedih, bingung, dan ... suatu perasaan yang ia sendiri tidak tahu perasaan apa yang menderanya. Kaimat-kalimat yang terucap dari bibir sang kakak saat makan malam tadi membuatnya resah.
“Apa benar aku tidak siap karena mengharapkan seseorang?” gumamnya pada diri sendiri.
Wajah Bara melintas di benaknya. Dirinya sadar bahwa hatinya masih belum bisa sepenuhnya menghilangkan perasaan yang bersarang dalam d**a untuk lelaki itu, sekuat apa pun ia berusaha.
Dalam salat-salat malamnya, Rania selalu berdoa agar Allah menjaga hatinya hanya untuk suaminya kelak. Namun, bibirnya juga tak luput menyebut nama Bara dalam doanya, agar Allah senantiasa menjaga lelaki itu.
***
"Ini gajimu. Dan ini tambahan dari saya pribadi karena kamu sangat rajin." Seorang pria berusia empat puluhan yang mereka sebut sebagai mandor memberikan sejumlah uang kepada Bara.
Bara menerima gaji pertamanya setelah tujuh hari bekerja. Para pekerja proyek perumahan itu akan diberikan upah setiap minggunya. Sepasang mata elang Bara berbinar melihat uang yang kini ada di tangannya. Inilah kali pertama ia merasakan uang yang ia dapat dari hasil keringatnya sendiri, di jalan yang Allah ridai, jalan dari pekerjaan yang halal dan baik, meski ia harus berpeluh-peluh di bawah teriknya matahari selama lebih dari delapan jam, juga harus berhadapan dengan peralatan yang jika tidak hati-hati maka bisa mencelakai para pekerja bangunan. Namun, Bara merasa sangat senang dan bersyukur sekali dengan pekerjaannya kali ini.
Setelah menerima gaji pertamanya dari bekerja sebagai kuli proyek bangunan, Bara lantas bergegas ke pasar untuk membeli sesuatu untuk Pak Amin dan Rania. Dua orang itu adalah yang pertama ia ingat untuk turut merasakan kebahagiaannya.
Bara melangkahkan kaki memasuki sebuah toko pakaian yang khusus menjual pakaian laki-laki. Ia melihat deretan baju muslim pria—yang biasa disebut baju koko—yang dipajang di etalase. Semuanya tampak menarik. Ia lantas berpikir untuk membeli satu untuk dirinya juga.
“Yang ini harganya berapa, Kak?” tanya Bara pada salah seorang penjaga toko, sambil menunjuk satu pajangan baju koko berwarna putih.
“Itu 250.000, Mas.”
Bara terkejut mendengar harganya. Selama ini, ia hanya dibelikan pakaian oleh Bandot hingga tidak tahu berapa harga pakaian di pasaran, terlebih baju-baju yang biasa dikenakan oleh orang Muslim seperti yang ada di toko ini.
Ia pun menghitung uang gaji yang diberikan oleh mandornya tadi. Jangankan untuk membeli dua helai untuk dirinya dan Pak Amin, membeli satu saja pun uangnya akan langsung berkurang setengah. Ia langsung memutuskan untuk membeli satu yang akan ia berikan kepada Pak Amin. Ia bisa membeli kapan-kapan untuk dirinya sendiri.
Setelah keluar dari toko tersebut sambil membawa plastik berisi sepotong baju koko untuk Pak Amin, Bara kembali berjalan ke toko lainnya. Ia melihat sebuah toko yang memajang beragam macam busana untuk Muslimah. Ada banyak model dan warna yang menarik perhatiannya.
Dengan ragu-ragu Bara memasuki toko tersebut. Di dalam, ada banyak pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan, yang sebagian mengenakan cadar, sebagian lagi tidak. Beberapa orang dari para pengunjung itu menatapnya dengan tatapan aneh, seolah-olah Bara adalah seorang berandal atau pengemis yang ingin meminta-minta uang di dalam toko itu.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” Seorang pria muda menyapa Bara dengan ramah.
“Sa-ya mau cari pakaian untuk perempuan,” jawab Bara.
“Silakan dipilih, Mas. Mau yang mana. Ada banyak jenisnya. Dilihat-lihat saja dulu,” sahut penjaga toko itu.
Bara mengangguk, lalu memperhatikan deretan gamis yang terpajang indah di patung tanpa kepala. Ada sebuah gamis berwarna biru muda yang begitu menarik perhatiannya.
“Yang itu harganya berapa?” tanya Bara sambil menunjuk pakaian tersebut.
“Oh, itu 375.000, gamisnya saja. Kalau satu set sama khimarnya 500.000. Sudah termasuk cadar.”
Bara lagi-lagi terkejut mendengar harga pakaian yang ditanyakannya. Harga gamis ini bahkan lebih mahal dibandingkan harga baju koko yang ia beli untuk Pak Amin.
“Khimar itu apa, Mas?” tanyanya penasaran.
“Kerudungnya, Mas.”
Mulut Bara membentuk huruf O. Jangankan untuk membeli satu set, membeli gamisnya saja pun uang Bara tidak cukup. Sisa uangnya kini tak lebih dari harga baju koko Pak Amin.
“Maaf, Mas. Uang saya belum cukup. Lain kali saya ke sini jika sudah cukup,” ucap Bara jujur. Ia lalu melangkah keluar dari toko tersebut dengan lesu.
Bara semakin menyadari perbedaan yang begitu jauh antara dirinya dan Rania. Seorang pria mantan preman, tidak jelas asal usulnya, tidak berpendidikan, serta tidak memiliki harta alias miskin seperti dirinya, tak mungkin mengharap wanita salihah berpendidikan dari keluarga kaya seperti Rania.
Ia pun mengembuskan napas dalam-dalam dan semakin mengubur keinginannya untuk bertemu dengan gadis itu. Mulai saat ini, ia akan berusaha sekuat tenaga untuk mengubur dalam-dalam perasaan yang terus tumbuh untuk Rania.
***