Part 10 (Tragedi di Klub Malam)
Malam kian larut saat Rania selesai melantunkan ayat-ayat suci kitab Alquran. Matanya pun mulai terasa berat untuk dibuka. Di kamar yang bernuansa biru muda—warna kesukaannya—itu, Rania merebahkan tubuhnya di kasur, setelah melepas mukena dan meletakkannya kembali di tempat biasa ia menggantung keperluan salatnya itu.
Baru saja memejamkan mata, tiba-tiba wajah seorang lelaki yang baru berbicara dengannya sore tadi, muncul di benak Rania. Ia terbayang wajah muram lelaki itu. Ekspresi wajah yang sama saat pemuda tersebut mendengar jawaban atas rasa terima kasihnya karena telah diberikan buku panduan salat.
Bara. Dalam hitungan detik saja, ekspresinya seketika berubah dan begitu mudah dibaca oleh Rania. Lelaki itu sepertinya tidak mampu menyembunyikan perasaan yang tengah ia rasakan. Apakah itu sedih, kecewa, bahagia, dan marah. Dia terlihat sangat ekspresif meski terkadang tatapan matanya tampak begitu tajam.
Rania sendiri bingung atas pria asing itu. Memikirkannya, membuat kantuk yang tadi menyerang, seketika menguap entah ke mana. Baru kali ini gadis itu memikirkan sesosok pria dalam hidupnya. Entah bagaimana, kehadiran lelaki itu bisa membuat hatinya ‘terusik'. Simpati, khawatir, iba, dan ... perasaan yang ia sendiri tidak tahu apakah namanya, menyelimuti hatinya atas nama Bara.
Gadis itu beranjak dari tempat tidurnya dan membuka laci meja yang terletak di samping ranjang. Ia mengambil sebuah kotak kecil berwarna merah di dalamnya, lalu membuka kotak tersebut.
Bros mawar pemberian Bara tertata indah di sana. Rania tersenyum seraya mengusap lembut benda mungil tersebut.
“Terima kasih hadiahnya, Kak Bara,” gumam Rania. Ia lantas menyimpan kembali benda tersebut di dalam laci dan membaringkan tubuhnya di kasur.
Setiap kali nama itu terlintas di benaknya, ada debar-debar dalam d**a yang belum pernah ia rasakan. Bahkan ketika seorang lelaki, teman sang kakak yang mengaji bersama Pandu melamarnya, Rania tak merasakan apa pun dan menolaknya dengan tegas dan tetap santun. Namun, lain halnya dengan Bara, yang tak ia kenal sebelumnya dan tak tahu asal usulnya, tiba-tiba menyelinap masuk ke hati yang selalu ia tutup rapat hanya untuk lelaki yang telah menghalalkannya dalam ikatan pernikahan.
“Astaghfirullah ... astaghfirullah,” ucapnya.
Rania tersadar bahwa sejak tadi, lelaki yang ia kenal sebagai Bara itu terus memenuhi pikirannya. Ia lantas mengucap istigfar, memohon ampun kepada Allah, Tuhannya agar mengampuni kesalahannya itu. Sebab, ia sadar bahwa tak sepantasnya ia memikirkan lelaki yang tak halal baginya.
Gadis itu takut setan akan dengan sangat mudah menggodanya untuk jatuh ke dalam sebuah rasa yang semakin tumbuh pada lelaki yang bukan suaminya. Ia takut akan terjerumus dalam sebuah dosa yang bisa mengantarkannya pada sebuah perbuatan zina. Zina hati, di mana hatinya terus saja dipenuhi oleh sosok lelaki yang bukan mahramnya.
Namun, tetap saja rasa penasarannya terhadap sikap Bara yang mendadak berubah saat terakhir kali mereka berbicara, membuat Rania terus bertanya-tanya. Padahal, sewaktu ia bercerita tentang Khalid, lelaki itu tampak antusias mendengar dan menanggapi, sampai membuat Rania tak berani menatapnya.
Sosok lelaki asing bernama Bara itu benar-benar membuatnya penasaran kali ini. Semakin Rania mencoba untuk membuang rasa penasarannya, semakin dalam sosok lelaki asing itu melekat di benaknya.
“Astagfirullah,” ucapnya lagi, memohon ampunan pada Tuhannya. “Ya Allah, tolong jaga hatiku hanya untuk yang halal bagiku. Jangan biarkan hati ini larut dalam perasaan yang tidak pada tempatnya. Tuntunlah aku, Wahai Rabb-ku. Jangan biarkan setan berhasil melemahkanku,” doa Rania cukup panjang dan khusyuk. Ia sangat khawatir setan semakin dalam menjerumuskannya ke jurang dosa.
“Wahai Allah, tolong jaga dia, lelaki bernama Bara itu. Dan kumohon berikanlah hidayah kepadanya. Tuntunlah ia untuk selalu berada di jalan-Mu. Jika masa lalunya buruk, jangan biarkan ia kembali ke lubang yang sama. Jagalah hatinya hanya untuk wanita yang menjadi istrinya kelak, Wahai Rabb Semesta Alam,” lanjutnya lagi. Ia panjatkan doa-doa panjang untuk lelaki asing yang tiba-tiba hadir dalam kehidupannya itu. Doa terbaik untuk Bara, sebelum ia memejamkan mata untuk menjemput mimpinya malam ini.
***
Bulan bersinar cerah di langit. Pantulan cahaya yang didapatkannya dari sinar matahari, mampu menerangi seisi bumi. Jalanan di ibukota juga semakin terang dengan adanya lampu-lampu yang berjejer rapi di trotoar untuk penerangan jalan saat malam hari.
Di malam yang semakin larut, cuaca semakin dingin, toko-toko dan tempat usaha lainnya sudah tutup. Namun, ada satu dua tempat usaha yang masih buka. Salah satunya adalah tempat di mana Bara bekerja. Lampu neon bertuliskan G-Pub berwarna merah menyala dengan kombinasi biru itu tampak mencolok di antara benda sejenis dari tempat usaha lainnya.
Di dalam klub malam ini, suara musik berdentum keras. Seseorang yang belum terbiasa dengan hal itu, akan merasa risi dengan d**a yang serasa dipukul setiap kali suara bas terdengar. Lampu warna-warni yang tergantung di atas, terus berputar menghiasi ruangan yang sengaja dibuat temaram itu. Muda mudi dan orang-orang yang sudah tak muda lagi pun berbaur menikmati alunan musik dan minuman yang membuat peminumnya kehilangan kesadaran.
Bara masih sibuk mengantarkan minuman-minuman pesanan pelanggan ke meja mereka. Dulu, ia menyukai irama yang mampu membuatnya sejenak melupakan rasa sakit dalam hidupnya itu, meski ia tak pernah mau untuk ikut minum banyak minuman keras yang ditawarkan Bandot, agar dirinya tetap terjaga.
Namun saat ini, alunan musik dan suasana di dalam klub malam itu justru membuat dadanya terasa sesak. Bara benar-benar merasa tidak nyaman dan ingin mencari pekerjaan lain yang membuatnya nyaman dan tidak dihantui rasa bersalah.
"Aku mau pulang!"
Suara seorang wanita terdengar jelas di telinga Bara. Ia menoleh untuk mencari sosok yang berbicara dengan setengah berteriak itu.
Tak jauh dari tempat ia mengantar minuman di meja 11, Bara melihat sepasang pria dan wanita berdiri di sana. Mereka terlihat seperti sedang beradu mulut. Si pria mencoba menarik tangan wanita itu, tetapi si wanita tampak tak senang dibawa ke tempat itu dan terus menepis tangan temannya.
"Kamu bilang kita mau pulang, kenapa malah bawa aku ke sini?" Suara wanita itu meninggi, membuat beberapa pengunjung yang mendengarnya, jadi mengalihkan perhatian ke arah mereka.
"Have fun, Beib. Kamu pasti suka," ucap lelaki itu. Ia menarik paksa si wanita untuk semakin masuk ke tengah kafe.
"Lepasin, Vin! Aku mau pulang!" Wanita tersebut bersikeras untuk keluar dari tempat terkutuk itu. Namun, teman prianya malah menarik tangannya dan membuat wanita yang tampak seusia dengan Bara itu nyaris terjatuh.
Bara masih berdiri di tempatnya untuk memperhatikan keduanya. Darahnya mulai naik ke ubun-ubun melihat lelaki itu memaksa teman wanitanya untuk terjerat ke dalam kehidupan malam yang tidak disukainya wanita itu. Tanpa sadar kedua tangan Bara mengepal erat di samping kedua sisi pahanya. Namun, ia masih berusaha tenang dan tak ingin terlibat urusan orang lain.
"Kamu duduk dulu di sini. Aku janji akan mengantarmu pulang. Okey?” bujuk lelaki itu. Teman wanitanya masih bergeming dengan ekspresi tidak senang.
“Ayolah, Beb ....”
“Aku pulang sendiri aja!”
“Pulang sendiri? No, Beb! Bahaya seorang gadis pulang sendirian malam-malam begini. Kamu tidak takut nanti dibawa lari sopir taksinya?”
Wanita itu tampak berpikir setelah mendengar ucapan teman lelakinya. Ia juga merasa takut pulang sendirian di tengah malam begini.
“Please. Kali ini aja.” Lelaki itu masih berusaha membujuk teman wanitanya sambil menggenggam tangan wanita itu. “Kita minum dulu. Aku janji ini yang pertama dan terakhir aku ajak kamu ke tempat ini. Setelah minum, aku akan langsung antar kamu pulang.”
Mau tidak mau, si wanita menuruti permintaan teman lelakinya daripada harus pulang sendirian dengan risiko kejahatan yang sangat besar. Ia pun duduk dengan pasrah, menunggu lelaki itu memesan minuman langsung ke bar tender.
Lelaki itu lantas mendatangi bar tender, lalu memesan dua gelas minuman. Ia menoleh sejenak ke belakang untuk melihat teman wanitanya. Bibirnya tersenyum kecil saat melihat gadis itu memegang ponsel tanpa memperhatikannya. Dengan wajah penuh kemenangan, lelaki itu pun mengambil sebuah bungkusan kecil di saku celananya, yang berisi serbuk berwarna putih. Lalu, ia masukkan benda tersebut ke dalam salah satu minuman pesanannya yang telah disediakan oleh seorang bar tender.
Di tempat yang tak jauh dari tempat lelaki itu melancarkan aksinya, Bara bisa melihat jelas semua gerak-gerik pengunjung klub malam tersebut. Ia pun meyakini bahwa serbuk yang dilarutkan ke dalam salah satu gelas minuman itu adalah serbuk kokain.
Sepasang mata elang Bara menatap tajam pria tersebut. Giginya gemeretak menyaksikan perbuatan licik lelaki itu kepada teman wanita yang dibawanya. Kemarahan Bara terhadap tamu klub malam itu pun sudah mencapai ubun-ubun. Namun, ia masih belum berani berbuat apa-apa sebelum memastikan apa yang ada di pikirannya.
"Minumlah," pinta si pria seraya menyodorkan gelas berisi minuman yang telah dicampur kokain kepada teman wanitanya.
"Aku tidak haus. Kamu saja yang minum. Aku tidak nyaman di sini, mau pulang!" tolak wanita itu.
"Setelah minum, aku janji akan mengantarmu pulang. Sayang donk, sudah sampai di sini tapi tidak minum. Ini cuma minuman biasa. Ayolah, Beib," bujuk lelaki itu lagi.
Manisnya kata-kata lelaki itu membuat teman wanitanya termakan oleh bujuk rayunya. Gadis itu pun mengambil gelas yang disodorkan padanya. Dengan ragu-ragu ia mendekatkan gelas itu ke bibirnya untuk mencoba minuman tersebut. Namun, belum sampai minuman itu masuk ke mulutnya, tiba-tiba saja seseorang menyenggol lengannya dengan kuat hingga gelas itu terlepas dari genggamannya dan pecah berserakan di lantai.
"Maaf, tidak sengaja," ucap Bara pura-pura tidak tahu. Sebelumnya, ia dengan cepat bergerak menuju meja tamu tersebut untuk menggagalkan wanita itu meneguk minumannya.
"Sialan! Apa kamu tidak punya mata?!" Tamu lelaki itu berdiri dan menarik keras kerah seragam Bara. Wajahnya benar-benar menyiratkan kemarahan yang besar karena Bara telah menggagalkan rencananya.
"Santai, Bos," ucap Bara tanpa rasa bersalah sedikit pun. Seolah-olah sedang tidak terjadi apa-apa, membuat lelaki di hadapannya semakin murka.
Lelaki itu langsung meninju wajah Bara sekuat tenaga hingga tubuh Bara menghantam meja yang berada di belakangnya. Beberapa gelas dan botol di meja itu pun jatuh. Sebagian bergulir ke lantai hingga pecah akibat terdorong lengan Bara.
Suasana di dalam klub malam itu menjadi gaduh. Para pengunjung berdiri dan berdesakan untuk menyaksikan seorang pelayan dan tamu yang sedang berkelahi.
Bara langsung berdiri tegak dan mengusap cairan hangat yang mengalir di sudut bibirnya. Dengan sigap ia lantas membalas lelaki itu dengan sebuah tinju yang sangat keras, hingga membuat tubuh si pria terjungkal ke belakang.
Wanita-wanita di dalam klub malam itu mulai berteriak menyaksikan keributan yang terjadi. Sementara, wanita yang dibawa lelaki tadi hanya bisa menangis ketakutan melihat teman lelakinya dan seorang pelayan saling memukul hanya karena hal yang ia anggap sepele.
“Sudah, cukup!” Wanita itu akhirnya memberanikan diri untuk mencegah keduanya kembali baku hantam.
“Ayo kita pulang, Vin!” pinta wanita itu sambil membantu teman lelakinya berdiri. Namun, tangannya justru ditepis dengan kasar oleh temannya hingga ia nyaris terjatuh.
Lelaki itu tak lagi menghiraukan wanitanya. Ia berdiri dan berusaha kembali menyerang Bara. Ia memberikan pukulan kedua ke wajah Bara. Tak lama, serangan kedua dari Bara pun mendarat juga di wajahnya. Keduanya saling melayangkan pukulan demi pukulan.
Suasana di dalam klub malam semakin riuh tanpa ada seorang pun pengunjung yang berusaha untuk melerai. Mereka justru bersorak gembira melihatnya, seperti sedang melihat pertandingan tinju nasional secara langsung.
Bara yang sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, langsung naik ke meja.ia berdiri tegak dan langsung menerjang lawannya dengan tendangan keras dari atas. Seolah-olah sedang terbang dan mendaratkan satu kakinya dengan keras di wajah bagian kiri lawan.
Pengunjung klub malam itu pun terjerembap di lantai dengan kondisi tak sadarkan diri. Di sekelilingnya, beberapa meja sudah terguling dan menyebabkan gelas dan botol pecah di mana-mana.
Bara berdiri di hadapan tubuh tak berdaya itu dengan sorot mata yang begitu tajam. Para pengunjung di sekitarnya tak lagi bersorak setelah melihat apa yang baru saja ia lakukan terhadap lawannya. Sorot mata elang Bara juga membuat orang-orang di sana menatapnya ngeri.
"Ada apa ini?" Manajer klub malam mendesak masuk ke kerumunan dan menghampiri Bara, yang berdiri dengan sorot mata menyala.
"Bara, apa yang kau lakukan?!" bentak sang manajer. Pemuda itu masih bergeming. Ia terus menatap tajam pada lelaki yang terkulai lemah di hadapannya.
‘Plak!’ Sebuah tamparan dari atasannya mendarat di pipi kanan Bara. Menambah jejak-jejak kemerahan di kulit wajahnya yang putih.
Bara tersentak dan memandang tajam sang manajer.
“Berani kamu menatap saya begitu?!” murka manajer itu. “Ikut saya!” Manajer itu mulai melangkah agar Bara mengikutinya. Namun, pemuda itu masih mematung di tempatnya. Pria bertubuh tambun itu pun berhenti dan kembali menghampiri Bara.
“Ba--!” Belum selesai manajer itu berbicara, Bara meninggalkannya dan menghampiri wanita yang menjadi teman lelaki yang tengah pingsan itu.
“Dia memasukkan kokain ke dalam minuman Anda,” ujar Bara dengan intonasi yang tenang.
Wanita itu terkejut mendengar penuturan Bara, begitu pula sang manajer.
“Jangan mengada-ada kamu! Cepat ikut saya!” teriak sang manajer.
“Cek saja bekas minuman Anda di lantai,” jelas Bara pada wanita yang tampak syok itu, sebelum mengikuti manajernya ke sebuah ruangan.