Part 11 (Mengingat Masa Lalu di Sel Tahanan)

2321 Kata
Part 11 (Mengingat Masa Lalu di Sel Tahanan) "Aku tidak bersalah!" lantang Bara, ketika lelaki yang ia pukul di klub malam itu menuduhnya melakukan penyerangan. Bara, bersama pria yang sudah sadar dari pingsannya itu, serta teman wanita lelaki itu dimintai keterangan oleh pihak kepolisian di kantor polisi. Manajer Bara dari klub malam itu juga hadir di sana untuk memberikan kesaksian. “Dia terus menyerang saya tanpa sebab!” tuduh lelaki yang wajahnya sudah babak belur itu dengan raut marah yang terlihat jelas. Tampak sekali ia dendam dengan Bara dan menginginkan pemuda itu untuk mendekam di sel tahanan. Bara menatap lelaki itu dengan tatapan dingin yang membunuh. Jelas sekali pria itu yang memukulnya terlebih dahulu, meskipun Bara yang telah membuat gelas dari tangan teman wanitanya jatuh dan pecah. Namun, pengunjung klub malam itu justru membuat fitnah untuk membuatnya jadi seorang tersangka. “Dia memasukkan narkotika ke dalam minuman temannya,” ujar Bara datar pada pihak kepolisian. Mendengar itu, wanita yang nyaris menjadi korban kejahatan teman lelakinya itu pun menutup mulutnya dengan kedua tangan akibat keterkejutannya. Ia tak pernah menyangka Kevin akan melakukan hal sekeji itu padanya. Meski sebelumnya, ia juga sudah terkejut saat Bara berbicara pelan padanya untuk mengecek minuman yang sudah diinjak-injak di lantai, sebelum di gelandang ke kantor polisi. Sementara, lelaki bernama Kevin itu membantah dengan wajah memerah. “Mana buktinya, Brengs*k?!” Pria itu nyaris menghajar Bara jika tidak dihadang oleh manajer klub malam dan seorang petugas. Manajer Bara pun terkejut mendengar pengakuan bawahannya. Meski ia tahu, semua hal itu selalu terjadi di klubnya, tetapi tak seorang karyawan pun yang berani membeberkan hal terkait narkotika di sana kepada pihak kepolisian. Ia dan seluruh staf klub malamnya selalu menjaga rahasia busuk di dalam kafe remang-remang itu. Meski begitu, tentu saja ada oknum-oknum petugas yang menjadi backing-nya. Klub malam bisa terus berjalan lancar karena ada suap yang diberikan setiap bulannya kepada pihak kepolisian agar tidak merusuhi usaha terkutuk itu. “Jangan bicara sembarangan kalau kamu tidak ada bukti, Bara!” sanggah pria bertubuh tambul di samping Bara. Bara melirik manajernya dengan tajam. “Bukankah ada CCTV di klub? Bapak bisa mengecek perbuatannya di sana,” geram Bara. Manajernya bukan membela stafnya, tapi justru tampak seperti memojokkan dirinya. Tampak manajer itu justru semakin geram dengan Bara. Tak berbeda dengan Kevin yang terus menatapnya dengan kemarahan dan terselip ketakutan jika manajer klub malam itu menuruti kata-kata Bara. Namun, dengan kelihaian lidahnya, dan tentu saja sogokannya kepada pihak kepolisian, manajer klub malam itu bisa membuat nama baik klub malamnya tetap aman dan menjaga nama baik pengunjungnya pula. Ia justru melayangkan tuduhan kepada Bara atas tindakan perusakan fasilitas usaha. Kerja sama yang solid antara pihak manajer klub malam, kepolisian, juga Kevin yang diam-diam menyogok manajer klub malam dengan sejumlah besar uang, membuat Bara yang berada di posisi bawah dan lemah, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka penyerangan terhadap pengunjung dan perusakan fasilitas usaha di klub malam tempatnya bekerja. Bara diseret ke sel tahanan tanpa adanya satu pun pembelaan terhadap dirinya. Tanpa penolakan dan pemberontakan, ia pasrah di gelandang masuk ke dalam jeruji besi, bersama beberapa orang tahanan lainnya. Ia hanya menatap tak percaya kepada manajer kafe dan teman wanita Kevin saat dibawa oleh dua orang petugas kepolisian . Bara tak pernah menyangka, baru bekerja dua malam di tempat terkutuk itu, sudah harus berakhir seperti ini. Bara memperhatikan ruangan sempit dan lembap tempat ia sekarang berada. Tiga orang narapidana di ruangan itu memperhatikannya dengan berbagai tatapan yang berbeda. Ada yang menatapnya tajam dengan seringai aneh, ada yang menatapnya penuh tanya, ada pula yang menatapnya seolah-olah iba terhadap dirinya. Bara pun memilih untuk meringkuk di sudut ruang tahanan. Ia tak ingin bertatapan, apalagi berbicara dengan orang-orang yang ada di dalam ruangan itu. Pandangannya menatap lantai tahanan yang terasa cukup dingin dan lembap. Lubuk hatinya yang terdalam menolak semua perlakuan ini padanya. Ingin merasa tak harus ada di sini. Kevin lah, pengunjung klub malam itu yang seharusnya ada di posisinya. Namun, orang seperti dirinya bisa apa jika uang dan kekuasaan sudah bertindak? Korban jadi tersangka, tersangka jadi korban. Itulah yang terjadi pada kasusnya. Mau tak mau, Bara harus menerima apa yang ditetapkan untuknya. "Kau?" Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan lamunannya. Bara mengalihkan pandangannya lurus ke depan, di mana seorang lelaki yang tak asing lagi dalam kehidupannya, berdiri di depan jeruji besi dengan tatapan heran penuh tanya. Pandu, petugas kepolisian itu nyaris tak percaya dengan apa yang ia lihat di depan matanya. Lelaki yang baru ia tolong itu sekarang berada di dalam sel tahanan bersama para narapidana lainnya. Dengan kode dari tangannya, ia meminta Bara untuk mendekat. "Apa yang kau perbuat sampai ada di sini?" tanya Pandu pelan, tetapi penuh penekanan. Ia menarik kerah baju Bara dari sela jeruji besi saat pemuda ]tu sudah berada tepat di depannya. Sepasang matanya melotot tajam ke sepasang manik hitam Bara. "Saya tidak bersalah. Tolong bantu saya," pinta Bara. Kehadiran Pandu di sana menimbulkan sedikit harapan pada pemuda malang itu untuk bisa keluar dari rumah tahanan. "Jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Jangan ada sedikit pun yang kau kurangi atau tambahi!" *** Bara pasrah dijebloskan dalam jeruji besi. Kedua manik hitamnya menatap Pandu yang terkejut mendapati dirinya dalam bui. Sedikit harapan pun muncul. Kakak dari gadis yang ia sukai itu diharapkan dapat membantunya keluar dari rumah tahanan. Pandu menarik baju Bara dari celah jeruji besi. "Apa yang kau lakukan?" tanya Pandu penuh penekanan. "Aku tidak bersalah. Kak, tolong bantu aku keluar dari sini," pinta Bara. "Ceritakan padaku apa yang terjadi tanpa menambahi atau mengurangi sedikit pun!" Pandu lantas meminta izin untuk membiarkannya berbicara empat mata dengan narapidana baru itu. Sipir pun membawa keduanya ke sebuah ruangan dan membiarkan Pandu dan Bara berbicara di dalam. Kedua lelaki itu kini duduk di sebuah ruang sebagai tahanan dan pengunjung. Pandu segera meminta Bara untuk menceritakan semua hal yang terjadi hingga membuat dirinya berada di dalam sel tahanan. Bara pun menceritakan apa yang terjadi padanya di klub malam tempat ia bekerja, tanpa menambahi atau pun mengurangi setiap detail kejadian. "Jadi, kenapa kau bisa bekerja di sana?" tanya Pandu penasaran. "Aku baru bekerja dua malam di tempat itu. Seharian mencari pekerjaan, tapi hanya klub malam itu yang menerimaku," jawab Bara dengan jujur. Pandu menghela napas berat mendengar penuturan pemuda di hadapannya. Jarak mereka hanya terpisah oleh sebuah meja. Pandu masih belum dapat menemukan informasi tentang pemuda yang penuh misteri di hadapannya itu. Namun, ia sudah dihadapkan dengan kejadian seperti ini. Anggota kepolisian itu pun meletakkan kedua telapak tangannya di meja, lalu berdiri dengan posisi sedikit membungkuk. Ia dekatkan wajahnya ke arah Bara dan menatap tajam kedua manik hitam pria yang penuh teka-teki tersebut. "Siapa sebenarnya dirimu?" Nada yang diucapkan Pandu begitu lembut, dan terdengar pelan. Namun, penuh dengan tekanan intimidasi dan rasa penasaran yang tinggi. Menyiratkan bahwa ia masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Bara tentang identitasnya waktu itu. "Aku akan menceritakan tentang diriku setelah Kakak membebaskanku,” jawab Bara dengan ekspresi dan intonasi bicara yang datar. "Jangan bermimpi!" Emosi yang tertahan, tak mampu lagi Pandu bendung setelah mendengar jawaban Bara. Spontan kedua tangannya menggebrak meja dengan cukup keras. Sikapnya itu membuat harapan yang sempat muncul di hati Bara, kini lenyap seketika. "Aku tak akan melakukan apa pun untukmu,” imbuh Pandu. Lelaki berpostur tegap itu langsung meninggalkan ruangan dengan langkah cepat. Ia tak ingin emosinya semakin bertambah melihat wajah pemuda asing misterius, yang mendadak hadir dan mengusik kehidupannya juga sang adik, Rania. Bara mematung menatap meja berwarna cokelat gelap di depannya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Rasa frustrasi pun kini mulai menyerangnya batinnya. "Ya Allah ....” Tanpa sadar bibirnya menyebut nama Tuhan. Kedua matanya mulai terasa hangat dan mengeluarkan cairan yang masih tertahan di kelopaknya. Bara merasa begitu hina. Kini, tak akan ada siapa pun lagi yang mempercayainya. *** Dinginnya lantai dan tembok ruang tahanan tak sedingin hati Bara yang kini telah membeku. Salat? Ia bahkan tak ingin mengingatnya. Keyakinannya akan Tuhan kembali pudar. Ia kini berada dalam kondisi futur. Semua kejadian yang menimpanya saat ini membuat Bara tak lagi menemukan kepercayaan dirinya dan harapan hidupnya pada Allah, Sang Pencipta. Kini, ia hanya bisa meringkuk di sudut ruang tahanan sambil merutuk diri. Ia mengutuki nasib yang sampai detik ini tak pernah mau berpihak padanya. ‘Apa Tuhan melihatku? Apakah Dia tidak kasihan dengan diriku yang selalu diinjak oleh orang lain? Di mana kasih sayang-Mu, Ya Allah? Di mana?’ Batin Bara terus menjerit. Ia meratapi hidup yang tak pernah bercahaya sejak kecil hingga saat ini. Kelam, yang selalu menghampiri ke mana pun ia melangkah. Bara tafakur di sudut ruangan remang dan pengap itu. Ia duduk dengan memeluk kedua lututnya. Kedua matanya tak mampu terpejam meski malam kian larut dan hawa dingin semakin menusuk menembus kulit hingga ke tulang. Sementara, narapidana lainnya tampak sudah terlelap menjemput mimpinya masing-masing. Kondisi ruang tahanan yang menyesakkan d**a membuat pikiran pemuda malang itu melayang jauh ke masa lalu. Masa-masa di mana ia menangis, meraung di pinggir jalan, dan berteriak kencang memanggil sang ibu agar segera menemui dan membawanya kembali ke rumah. Kala itu, wanita cantik berkulit putih dengan dress selutut membawa Bara kecil ke pasar untuk membeli sesuatu. Kemudian, wanita yang ia sebut ibu itu hendak meninggalkannya di depan salah satu toko mainan. "Kamu tunggu Ibu di sini, ya. Ibu akan segera kembali, jangan ke mana-mana," pinta wanita berambut hitam sepunggung itu pada Bara, anak lelaki yang masih berusia lima tahun kala itu. Bara kecil mengenakan pakaian bergambar kartun kesayangannya, Dragon Ball. "Ibu mau ke mana?" tanyanya polos. "Ibu beli minuman dulu. Kamu haus, 'kan?" Anak kecil itu mengangguk. "Bara haus. Tapi Bara mau ikut Ibu." "Di sini saja. Ibu tak akan lama." "Tapi, Ibu ...." Wanita muda itu memeluk Bara kecil dengan erat. Cukup lama, dan tersenyum di antara air mata yang mengalir di kedua pipinya, di balik punggung sang anak. Ia berusaha memberikan ketenangan dalam hati seorang anak kecil yang terus memintanya untuk tidak meninggalkannya, jagoan kecil yang tak mengerti bahwa itu adalah pelukan terakhir dari sang ibu. Wanita itu mengusap air mata, lalu melepaskan pelukannya. "Tunggu di sini," ucapnya untuk yang terakhir kali seraya mengusap lembut kepala sang anak. Jagoan kecil itu hanya menatap punggung sang ibu, yang ia yakini hanya pergi untuk membeli minuman. Lima menit, sepuluh menit, tiga puluh menit, wanita yang menjadi sandaran hidup tak kunjung kembali menjemputnya. Bara kecil mulai menangis di tempatnya berdiri menantikan sang ibu. Satu jam, dua jam, kaki mungilnya mulai berlarian ke sana ke mari mencari keberadaan wanita yang telah melahirkannya. Namun, wajah teduh sang ibu tak kunjung ia lihat. Hingga ia berhenti di sebuah kerumunan. Tubuh mungilnya mencoba menerobos masuk ke dalam kerumunan orang-orang di dalam pasar. Dengan susah payah ia berhasil masuk ke tengah kerumunan dan melihat satu sosok yang ia nanti-nanti untuk menjemputnya, terkapar lemah dengan perut mengeluarkan darah segar dan kedua mata terpejam. Dunia Bara kecil tiba-tiba terasa gelap menyaksikan pemandangan itu langsung di depan matanya. Dadanya mendadak sesak hingga membuatnya sangat sulit untuk bernapas. Tubuh kecilnya pun terkulai di antara kerumunan orang-orang yang penasaran akan apa yang terjadi dan hanya menonton tanpa berani membawa ibu Bara yang sudah tak bernyawa lagi di saja. Hingga sepasang tangan berkulit gelap mengangkat tubuh Bara kecil, lalu membawanya ke markas, dan memberinya kehidupan gelap di dalam kubangan yang penuh dengan dosa. Dan, membuatnya taj tahu di mana sang ibu dikuburkan. Bara mengenang kejadian paling pahit dalam hidupnya itu dengan d**a yang teramat sesak. Dinginnya udara malam di sel tahanan ini membuat hatinya semakin saat kala mengingat kejadian itu. Sementara, sosok sang ayah tak pernah sekali pun ia melihat wajahnya. Setiap kali Bara kecil bertanya tentang lelaki itu, ibunya selalu berkata bahwa ayahnya telah mati. Ia pun hanya bisa merindukan sosok lelaki yang ada dalam bayangannya. Air mata tak mampu lagi ia tahan. Mengalir deras dari kedua sudut kelopaknya. Bara tersedu, mengingat setiap detail kejadian dari memori otaknya. Bagai film dokumenter yang memutar adegan tanpa terlewatkan sedetik pun. Ia meratapi kehidupan yang begitu kejam padanya, yang tak pernah sekali pun menyentuhnya dengan kasih dan sayang. "Ayah, Ibu ... di manakah kalian? Aku sakit. Aku lelah ...." Air matanya mengalir semakin deras. Tubuhnya berguncang akibat isak tangisnya yang begitu kencang. Ia merasa takdir telah memilihnya dalam jalan yang kelam. Tanpa bertanya apakah ia bersedia menerima ketetapan Sang Pencipta atau tidak. Kesedihan demi kesedihan Bara rasakan. Sakit dan lelah terkadang membuatnya ingin menyerah pada kehidupan. Namun, di sudut hati yang nyaris tak tersentuh rasa, ada sebuah dorongan untuk tetap bertahan menginjakkan kaki di bumi yang sudah tua. Sebuah bisikan yang membuatnya berada di antara dua jalan. Cahaya dan kegelapan. Matanya teramat lelah akibat menangis hingga larut. Dinginnya tembok tahanan menghantarkan pemuda malang itu ke alam mimpi. Ia tertidur dengan tubuh meringkuk di sudut ruangan dingin dan lembap tersebut. "Ibu ... Ibu ...." Bara mengejar sosok wanita yang begitu mirip dengan ibunya. Namun, langkahnya terasa begitu berat. Semakin jauh, wanita itu menghilang di tengah kerumunan. "Ibu ... Ibu ...!" Plak! Sebuah tamparan keras menyadarkannya dari mimpi. "Woiy, bangun! Berisik!" Salah seorang tahanan yang memiliki tato di kedua lengannya merasa terganggu teriakan Bara dalam igauannya, dan membangunkan pemuda malang itu dengan kasar. Bara lantas membuka mata dan menyadari dirinya tengah bermimpi tentang sosok sang ibu yang sangat ia rindukan. Yang sangat ingin ia peluk dan menumpahkan tangisnya dalam pelukan sang ibu. *** Matahari telah menampakkan diri. Sinarnya masuk melalui celah ventilasi. Menerpa wajah tampan yang penuh dengan duka mendalam. Pantulan bayangnya menciptakan siluet indah pada dinding tahanan. Subuh terlewatkan. Bara bahkan tak lagi mengingat bagaimana hidayah itu menyapa. Hatinya terluka terlalu dalam, membuatnya mati rasa. Wajahnya tampak murung dengan tatapan kosong. Tiada cahaya dari sorot mata elang itu. Bara menyambut pagi dengan luka menganga dalam d**a, seraya menyalahkan takdir atas semua nestapa yang ia derita. Bara menyerah hingga menganggap jeruji besi adalah akhir hidupnya. Ia tak pernah tahu, ke mana lagi skenario Sang Pencipta membawanya. Sarapan di piring hanya ia lihat tanpa disentuh. Rasa laparnya pun telah hilang. Semangatnya terbang. Cahaya yang sempat datang kini ia tinggalkan. Kembali gelap, hingga mengabaikan kewajibannya sebagai seorang hamba Tuhan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN