Part 35 (Lamaran Dokter Irham)

1071 Kata
Malam terasa sejuk di rumah kedua orang tua Rania. Sang kakak yang sudah menikah, malam ini berkunjung ke sana bersama sang istri. Keluarga kecil itu berkumpul bersama ayah dan ibunya, serta Rania, yang duduk di sofa ruang tamu paling ujung. Ia tak lagi bertugas malam di rumah sakit. Lengkap dengan cadarnya, Rania dan keluarga menunggu kedatangan seseorang yang juga akan datang bersama keluarganya. Dengan hati yang masih tidak siap, Rania harus menghadapi lamaran seorang lelaki yang sudah sejak lama menginginkan dirinya untuk dijadikan istri. Sudah berapa lelaki yang melamarnya, datang langsung kepada kedua orang tuanya untuk meminta gadis itu menjadi istri mereka, tetapi Rania selalu menolak lamaran mereka. Hingga kedua orang tuanya tidak tahu lagi harus bagaimana. Semua lelaki yang datang bukan lelaki biasa. Mereka dari keluarga berada yang taat agama, memiliki pekerjaan yang baik, juga beberapa direkomendasikan langsung oleh ustaz dan ustazah tempat Rania dan keluarganya menuntut ilmu agama. Namun, tak ada satu pun yang bisa membuat gadis itu mengucap kata “Ya” saat lamaran itu datang. Hatinya masih saja bimbang dan belum bisa menerima cinta dari lelaki mana pun. Ada sisi-sisi hati kecilnya yang masih saja menunggu kabar seseorang. Seorang lelaki yang baru kemarin malam ia temui sejak dua tahun tidak mendengar kabarnya. Lelaki yang akan mengatakan sesuatu padanya, tetapi mengurungkan niat karena kehadiran seseorang di antara mereka. Malam ini, seseorang yang membuat Rania batal mendengar apa yang akan dikatakan Bara semalam, akan datang. Ini kali kedua lelaki itu datang menemui Rania di rumah orang tuanya. Namun, kali ini ia membawa kedua orang tuanya turut serta untuk langsung melamar sang gadis yang sudah dua tahun ia tunggu untuk membuka hati untuknya. Tak lama, deru mobil terdengar di depan rumah Rania. Pandu gegas ke depan untuk membuka pintu. Melihat sahabatnya datang, ia langsung memeluk dan menyambutnya dengan hangat. Di belakang Dokter Irham, ada kedua orang tuanya yang tersenyum melihat keakraban anaknya dengan Pandu. “Assalamualaikum,” sapa keduanya. Pandu mengulurkan tangan dan menjawab salam kedua orang tua sahabatnya itu dengan ramah. “Silakan masuk, Om, Tante,” ucap Pandu pada kedua orang tua Dokter Irham. Pandu dan tiga orang tamunya berjalan ke ruang tamu. Kedua orang tua Rania dan kakak iparnya sudah siap menyambut mereka dengan hangat. Sementara, Rania hanya menunduk, menatapi kedua kakinya yang berbalut kaus kaki berwarna cokelat muda dengan gambar kupu-kupu kecil. Orang tuanya dan orang tua Dokter Irham bercengkerama layaknya saudara yang sudah lama tidak bertemu. Mereka mengobrol ringan tentang kabar dan beberapa hal yang membuat suasana di ruangan itu semakin terasa hangat dan kental akan kekeluargaan. Rania yang turut mendengar, sesekali tersenyum kala orang tua Dokter Irham menyebut namanya dan membicarakan hal-hal kecil tentang gadis itu. Sementara Dokter Irham, sesekali menimpali bersama Pandu, yang sudah bersahabat sejak duduk di bangku SMA. Sedikit banyak, ia tahu tentang Rania saat bermain ke rumah mereka. Juga mendengar cerita-cerita tentang gadis itu dari Pandu. Setelah berbincang sejenak, kedua orang tua Dokter Irham pun akhirnya menyampaikan niat mereka datang ke keluarga Rania, untuk melamar gadis itu secara resmi. “Kami senang sekali dengan niat Pak Bani dan keluarga. Kami sangat menyambut baik niat itu. Apalagi kami tahu betul bagaimana Dokter Irham, juga Pak Bani dan Ibu, semuanya dari keluarga baik-baik dan paham agama,” tutur ayah Rania menyambut niat keluarga Dokter Irham. Keluarga dokter itu tersenyum dan menunggu kalimat selanjutnya yang akan disampaikan lagi oleh orang tua gadis yang ingin mereka nikahkan dengan anaknya. “Namun, semua keputusan tetap kami serahkan kepada Rania.” Semuanya mengangguk. Mereka paham bahwa seorang gadis memang berhak memilih atau menolak lelaki yang datang melamarnya. “Bagaimana, Nak?” tanya sang ayah pada anak gadisnya, yang sejak tadi hanya diam menunduk. Rania mulai menegakkan kepalanya dan menatap lembut sang ayah. Jari-jemarinya saling bertaut dan terasa dingin. Ia merasa berada di sebuah persimpangan yang membuatnya bingung harus memilih yang mana. Sedangkan di belakangnya, sebuah bola besar terus menggelinding ke arahnya, yang membuat ia harus memberi keputusan cepat dan tepat agar terhindar dari kejaran bola itu. Ia harus memilih jalan yang nantinya tidak akan dilalui oleh bola besar itu agar bisa berjalan dengan tenang tanpa merasa terbebani. Sebab, di dalam hati kecilnya, ia merasa lamaran Dokter Irham sebagai sebuah beban tersendiri dalam hidupnya. Kali pertama ia menolak melanjutkan taaruf dengan lelaki itu saat datang bersama ustaznya. Dan haruskah kali ini ia menolak lamaran Dokter Irham secara langsung di depan orang tua lelaki itu? Lantas, alasan apa yang harus Rania berikan jika menolaknya? Dari pandangan manusia, Rania sadar tidak ada hal yang bisa dijadikan alasan untuk menolak lamaran lelaki seperti Dokter Irham. Pria itu paham agama dan selalu menerapkannya di dalam kehidupan. Ia berasal dari keluarga yang baik, jelas asal usulnya, juga keluarga yang taat agama. Dokter Irham juga memiliki pekerjaan yang bagus, sebagai seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit swasta besar di Ibukota Jakarta. Tampangnya juga berkelas. Ia tampan dan memiliki penampilan yang menarik sebagai seorang dokter dan seorang muslim. Rania menghela napas pelan dari balik cadarnya. Semua orang menatapnya untuk menunggu jawaban yang akan keluar dari bibir gadis itu. Beberapa saat hening, tidak ada suara dari satu orang pun yang ada di sana. “Jika Nak Rania belum bisa menjawab sekarang, kami bersedia menunggu. Mungkin saja Nak Rania terkejut akan kedatangan kami dan butuh waktu untuk istikharah.” Ucapan ibunya Dokter Irham memecahkan suasana. Hal itu membuat Rania bernapas lega. Ia tak harus menjawab malam ini juga, meskipun ingin sekali ia berkata “Tidak” untuk menolak lamaran itu. Namun, ia sungguh tidak enak hati menolak langsung di hadapan kedua orang tua Dokter Irham. Padahal, selama ini ia bisa menolak langsung lamaran lelaki-lelaki lain yang datang padanya, di hadapan kedua orang tuanya. “Beri saya waktu, ya, Tante. Insyaa Allah dalam tiga hari saya akan memberikan jawabannya,” tutur gadis itu lembut. “Tidak apa-apa, Nak. Kami siap menunggu jawaban kamu,” balas ibunya Dokter Irham. Rania tersenyum menanggapi jawaban orang tua itu. Ia merasa lega ibunya Dokter Irham bisa mengerti dirinya. Namun, bagi Dokter Irham sendiri, tiga hari akan terasa sangat lama untuk menunggu jawaban gadis itu. Terlebih, jika ternyata jawabannya adalah penolakan. Ia justru lebih siap jika menerima penolakan Rania malam ini juga, daripada harus menunggu dan berharap, kemudian menerima jawaban yang tidak sesuai dengan keinginannya. Dokter Irham dan keluarganya pun akhirnya pulang dan akan mendengar jawaban gadis itu dalam tiga hari ke depan. Mau tidak mau, lelaki itu harus berbesar hati dengan penangguhan lamarannya, juga jawaban yang mungkin akan menyakitkan kelak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN