Suasana di rumah Rania terasa hening. Kedua orang tuanya hanya menatap sang anak gadis mereka dengan senyum. Sementara, Pandu memandang adiknya dengan tatapan penuh tanda tanya. Di samping lelaki itu, ada sang istri yang menggenggam tangannya agar tidak bertanya hal-hal yang bisa membuat sang adik merasa tertekan.
Namun, bukan Pandu namanya jika membiarkan begitu saja adiknya menolak lamaran Dokter Irham, lelaki yang sudah lama ia kenal dan sudah mengetahui seluk beluk sikap dan latar belakang sahabatnya itu. Tak tahan, ia pun akhirnya bersuara di tengah keluarganya itu.
“Lelaki seperti apa lagi sih yang kamu tunggu, Rania?” tanya Pandu memecah keheningan di tengah keluarganya.
Rania mendongak dan menatap sang kakak dengan tatapan datar.
“Jika sudah jodohnya, sekali pun malam ini Rania menolak, maka pasti Rania akan menikah dengan Dokter Irham,” jawab gadis itu dengan datar, sedatar ekspresi wajahnya.
“Menolak lamaran orang saleh itu ditakutkan akan timbul fitnah.”
“Fitnah seperti apa? Rania selalu menjaga diri. Kakak juga pasti tahu sendiri bagaimana Rania di luar rumah. Sedikit banyaknya, Kakak pasti menanyakan tentang Rania pada Dokter Irham. Iya, ‘kan, Kak?”
Pandu sedikit tersulut emosi mendengar jawaban yang meluncur begitu saja dari bibir sang adik. Ia hendak mengatakan sesuatu lagi, tetapi sang istri yang sudah dua tahun ini mendampinginya, tetap menahannya.
“Sudahlah, Mas,” bisik Zahra, istri Pandu sambil menggenggam tangan sang suami agar bisa lebih tenang seperti kedua orang tua kakak beradik itu.
Pandu menurut. Ia pun mengucap istigfar dan tak lagi menanyakan apa pun kepada Rania.
“Kalau begitu, Pandu dan Zahra pulang dulu, Abi, Umu,” pamit Pandu.
“Kalian tidak bermalam di sini saja malam ini?” tanya Umi.
“Lain kali saja, Umi. Besok Mas Pandu harus berangkat pagi-pagi,” jawab Zahra.
“Ya sudah. Hati-hati, ya.”
“Insyaa Allah, Umi. Assalamualaikum,” ucap sepasang suami istri yang belum dikaruniai anak itu.
“Waalaikumussalam.” Rania dan kedua orang tuanya mengantar Pandu dan Zahra hingga ke depan rumah. Setelah mobil mereka tak terlihat lagi, Rania dan kedua orang tuanya kembali masuk ke dalam rumah dan duduk di sofa ruang tamu.
“Maafkan Rania, Abi, Umi,” ujar Rania dengan penuh rasa bersalah kepada kedua orang tuanya. Ia bahkan tidak berani menengadahkan kepala untuk melihat wajah kedua orang tuanya.
Gadis itu sadar kalau selama ini, ia sudah mengecewakan kedua orang tuanya dengan menolak lamaran lelaki-lelaki yang baik. Meskipun, sang ayah dan ibu tidak pernah mempermasalahkan alasannya seperti sang kakak, Pandu. Namun, tetap saja terbersit rasa bersalah itu di hatinya.
Ia sendiri bingung mengapa terus menerus menolak lelaki-lelaki saleh itu. Mengapa ia tidak bisa membuka hati dan mencoba menjalani biduk rumah tangga dengan pria pilihan. Namun, pernikahan bukanlah suatu yang yang bisa dicoba-coba. Rania tak ingin menikah jika tidak ada cinta sedikit pun di hatinya terhadap calon suaminya. Setidaknya, ada rasa tertarik meski seujung kuku. Sayangnya, tidak ada rasa seperti itu setiap kali lelaki-lelaki saleh itu datang untuk melamarnya.
Mungkinkah hatinya telah tertutup oleh satu nama?
Sang ibu menghela napas melihat putrinya yang tampak gundah dan merasa bersalah. Ia pindah posisi duduk ke samping sang anak dan mengusap bagian belakang kepalanya.
“Umi tidak menyalahkanmu. Kamu berhak menolaknya, siapa pun itu, Sayang,” tutur Umi dengan lembut. “Namun, sudah berapa orang lelaki yang kamu tolak. Selama ini, Abi dan Umi tidak pernah menanyakan alasannya karena kamu pasti punya alasan sendiri yang tidak bisa diceritakan. Jadi, Abi dan Umi selalu menunggu kamu mau terbuka kepada orang tua,” ujar wanita lembut itu lagi.
Rania mengangkat dagunya dan menoleh menatap wajah lembut sang ibu, yang selalu bisa memberikan ketenangan padanya.
“Jadi, malam ini Umi ingin dengar alasan kamu. Boleh?” tanya ibunya.
Rania menoleh pada ayah dan ibunya bergantian. Ia merasa malu jika harus menceritakan yang sebenarnya kepada kedua orang tuanya. Terlebih di hadapan sang ayah. Meski ia tahu, orang tuanya itu tidak akan marah dan justru akan memberinya petuah-petuah bijak.
Melihat sang anak yang tampak ragu, ibu Rania pun paham akan kegelisahan putri satu-satunya itu. Ia pun meminta izin kepada suaminya untuk membawa Rania ke kamar dan mendengar cerita dari mulut gadis itu hanya empat mata.
Setelah ayahnya memberi izin, Rania dan ibunya pergi ke kamar gadis itu di lantai dua. Sementara, ayahnya tetap menunggu di sofa ruang tamu.
“Sekarang kamu bisa meluahkan semuanya ke Umi. Selama ini kamu selalu cerita apa pun dengan Umi. Kenapa sekarang kamu tidak mau cerita, Sayang?” tanya sang ibu setelah keduanya duduk di tepi ranjang.
“Maafkan Rania, Umi. Bukan Rania tidak mau bercerita. Rania hanya bingung dan takut.”
“Kenapa?”
“Rania takut Abi dan Umi akan marah seperti Kak Pandu,” lirih gadis itu.
Ibu Rania pun menghela napas mendengar jawaban putrinya.
“Kamu ini, seperti tidak mengenal orang tuamu saja,” gurau ibunya. “Kalau mau marah, sudah dari kemarin-kemarin Abi dan Umi marah dengan kamu. Setidaknya, pasti Abi dan Umi sudah mencecar kamu dengan berbagai pertanyaan seperti kakakmu. Tapi, nyatanya tidak, ‘kan?”
Rania mengangguk. Ia memandang wajah sang ibu yang tersenyum padanya.
“Nah, sekarang baru Umi dan Abi penasaran. Apa alasan kamu menolak semua lamaran laki-laki, Sayang? Apa karena Bara?” tanya sang ibu langsung ke intinya.
Gadis itu sedikit terkejut mendengar tebakan ibunya. Ia tak menyangka ibunya akan berpikir ke pemuda itu. Padahal, sudah dua tahun Rania tak bertemu dengannya dan tak pernah membicarakannya pada sang ibu.
“Jangan kaget begitu. Insting seorang ibu itu kuat. Benar, ‘kan, dugaan Umi?”
Rania mengangguk malu.
“Kamu masih memikirkan dia? Bukankah sudah dua tahun dia menghilang?” Ibu Rania mulai penasaran.
“Dia tidak menghilang, Umi.”
“Lalu?”
“Dia hanya ingin menjalani hidupnya dengan mandiri dan lebih baik. Dia tidak ingin menyusahkan Pak Amin, dan membuat masalah seperti terakhir kali,” terang Rania.
“Kamu tahu dari mana, Sayang?”
“Dari Pak Amin.”
“Lalu, di mana dia tinggal?”
“Rania tidak tahu. Pak Amin tidak mau memberitahu. Hanya saja, Pak Amin bilang kalau Bara semakin hari semakin baik. Ia masih istiqamah dalam hijrahnya, Umi. Ia terus belajar dan mendekatkan diri kepada Allah.”
“Alhamdulillah. Umi senang mendengarnya.”
“Kata Pak Amin juga, saat ini Bara sedang membuka usaha warung pecal ayam, Umi. Tapi Rania tidak diberitahu di mana tempatnya. Bara melarang Pak Amin untuk memberitahu siapa pun. Termasuk kepada Rania,” tutur gadis itu. Suaranya kini terdengar berat menahan tangis. Ia merasa sedih karena Bara sama sekali tidak mau membuka jalan untuk dirinya. Lelaki itu seperti ingin benar-benar menghilang dari kehidupan Rania, setelah meninggalkan setitik rasa di hatinya.
Sang ibu segera memeluk anaknya yang tampak sedih. Rania lantas menumpahkan tangisnya dalam dekapan ibunda. Ia luahkan segala rasa yang membuat dadanya sesak. Ia tak lagi menahan air mata yang terus mendesak keluar dari kelopak matanya.
“Kamu masih mencintainya?” tanya Umi dengan lembut setelah melepaskan pelukan anaknya.
Rania menunduk dan menghapus air matanya. Namun, ia masih tak menjawab pertanyaan itu.
“Jika kamu saja tidak pernah bertemu dengannya, bahkan tidak tahu ia di mana, bagaimana kamu bisa bersamanya, Sayang. Itu hanya akan menyakitimu saja,” ujar Umi.
“Rania pernah bertemu dengannya, Umi,” jawab gadis itu spontan.
“Kapan? Di mana?”
“Semalam, di rumah sakit.”
“Lalu, bagaimana dia terhadapmu?” Kali ini ibunya tampak semakin penasaran.
Akhirnya, Rania menceritakan pertemuannya dengan Bara semalam, di rumah sakit. Mulai dari saat pemuda itu mengantar Pak Amin berobat, sampai ia datang lagi seorang diri dan hendak mengatakan sesuatu. Namun, semuanya tertunda karena kehadiran Dokter Irham.
“Subhanallah ... mungkin inilah takdir Allah.”
“Tapi Rania tidak tahu apakah dia akan datang lagi menemui Rania, dan apa yang akan dikatakannya, Umi ...? Semuanya batal karena Dokter Irham tiba-tiba datang!” keluh Rania yang sedikit kesal dengan sahabat kakaknya itu.
“Istigfar, Sayang. Pasti ada hikmah di balik semua ini.”
“Astagfirullah. Lalu, apa yang harus Rania lakukan, Umi?” tanyanya.
“Banyak-banyaklah berdoa. Jika Bara memang yang terbaik untukmu dan agamamu, Umi yakin pasti Allah akan menyatukan kalian dalam ikatan pernikahan.”
Rania mengangguk dan tersenyum mendengar nasihat ibunya.
“Tapi, kalau memang Allah berkehendak lain, kamu tidak boleh bersedih, Sayang. Apa yang terbaik menurut kita, belum tentu baik di mata Allah. Apa yang buruk menurut kita, belum tentu buruk di mata Allah. Siapa pun jodoh yang tertulis untukmu, yakinlah bahwa itu yang terbaik untuk hidup dan agamamu, Anakku. Jadilah istri yang patuh, meski jodohmu bukanlah Bara,” nasihat ibunya lagi.
Rania segera memeluk ibunya. Setiap kalimat yang meluncur dari bibir orang tua itu, selalu saja mampu memberikan keteduhan di hatinya. Ia kini merasa lebih lega dan tenang.