Debar-Debar Cinta

1302 Kata
"Aku harus mencari wanita itu," gumam Bara. Ia tidak tahu siapa yang menolong dan membawanya ke rumah sakit. Pihak rumah sakit tidak mau memberitahu identitas orang tersebut. Pagi ini, Bara berjalan menyusuri lorong tempat ia dikeroyok pengikut Bandot semalam. Daerah tersebut tidak begitu padat oleh rumah penduduk. Setiap rumah memiliki jarak yang cukup jauh dengan rumah lainnya. Sepasang matanya tertuju pada seorang gadis yang tengah berjalan menuju persimpangan. Bara bersembunyi di balik mobil yang terparkir. Ia mencoba memastikan dari sepasang mata indah itu, bahwa wanita itulah yang menolongnya semalam. "Aa!" Jeritan wanita itu terhenti kala tangan kekar yang menariknya kini membekap mulut. Kelopak matanya membulat saat melihat wajah yang penuh bekas luka dan lebam. Bara menarik paksa gadis itu ke lorong sepi tempat ia semalam berkelahi. Ia tatap lekat kedua manik hitam di hadapannya. Menyusuri tiap garis kelopak yang ditumbuhi bulu mata panjang dan lentik. Dialah orangnya! Bentuk mata indah itu masih tergambar jelas dalam ingatan Bara. "Tolong aku," pinta pemuda itu setelah membiarkan Rania bernapas lega. "Ma-maaf. Aku harus pergi." Rania bergegas meninggalkannya, tetapi pemuda itu kembali menariknya. "Lepaskan aku!" Suara indah itu terdengar pelan, tetapi penuh tekanan. "Aku akan melepaskanmu setelah kamu membantuku." "Apa yang kau inginkan?" "Beri aku tempat tinggal sementara." Rania mengerutkan dahi mendengar permintaan lelaki asing itu. Wajahnya tak terlihat seperti orang jahat di mata Rania. Raut di hadapannya justru menyiratkan sebuah kesedihan dan harapan. Namun, ia tetap harus waspada dengan orang yang tak dikenal. "Maaf, aku tidak bisa." Rania kembali membalikkan badan, tetapi lagi-lagi lelaki itu mencengkeram lengannya. Rania meringis, menahan nyeri di lengannya. Belum pernah ada lelaki yang menyentuhnya, meski masih dilapisi kain. "Tolong, biarkan aku pergi ...." Rania memelas. Kedua matanya tampak berkaca-kaca. Tatapan sendu gadis itu membuat d**a Bara seperti terpukul. Tatapan yang sama dari para gadis yang dirusak oleh Bandot. Ia memalingkan wajah, menatap jalanan yang sepi dari lalu lalang kendaraan. "Aku janji akan pergi dari rumahmu setelah mendapat pekerjaan," ucap pemuda itu penuh harap. Melepaskan cengkeraman di lengan Rania. Hanya ada satu jalan yang terlintas di benak Rania, yakni menghubungi kakaknya, Pandu. Baru saja ia akan menekan nomor kontak sang kakak, lelaki itu dengan sigap merampas ponselnya. "Jangan hubungi siapa pun!" "Berikan hp-ku. Aku ingin menghubungi kakakku." "Untuk apa? Membawaku ke kantor polisi?" ‘Bagaimana dia tahu kalau Kak Pandu seorang polisi?’ pikir Rania. "Aku terpaksa menggunakan cara ini padamu!" Lelaku itu mengeluarkan pisau lipat yang selalu ia kantongi ke mana saja, lalu menghunuskannya di dekat leher Rania yang tertutup dengan kerudung tebal. Gadis itu gemetar. Air matanya nyaris tumpah. Ia tak menyangka, niat baiknya semalam berakibat fatal. "Cepat bawa aku ke rumahmu! Atau pisau ini akan merobek-robek kerudungmu!" ancam Bara. Ia tahu persis bahwa wanita seperti Rania sangat menjaga harga diri. Aurat adalah sesuatu yang tak boleh diperlihatkan kepada orang lain. Ancaman itu akan membuatnya lemah. Rania semakin ketakutan. Tenggorokannya tercekat. Ia takut lelaki itu akan melakukan hal yang lebih buruk dari yang dikatakan. Bara mendorong tubuh Rania agar segera melangkah, lalu memasukkan kembali pisau ke kantongnya. "Jalan seperti biasa. Jangan coba-coba lari!" bisik pemuda itu. Dengan terpaksa Rania melangkahkan kaki ke rumah. Berharap Pandu bisa menyelesaikan masalah ini dan membawa pemuda itu ke kantor polisi. *** Rania memutar kunci dan membuka pintu dengan perlahan. ‘Kak Pandu, kau sedang apa? Cepatlah keluar,’ pekiknya dalam hati. Gadis itu ingin menjerit memanggil sang kakak, tetapi takut lelaki di belakangnya akan berbuat sesuatu. "Kau tinggal sendiri?" tanya Bara seraya memperhatikan rumah Rania. Gadis itu menggeleng. "Rania? Kau kembali?" Suara Pandu terdengar dari arah dapur. "Siapa itu?" bisik Bara. "Itu kakakku." "Rania, kau—“ Ucapan Pandu terhenti saat pandangannya beradu dengan lelaki di samping adiknya. Apa yang dilihat membuatnya naik darah. Pandu menarik Rania ke belakang, lalu mencengkeram kerah baju pemuda yang wajahnya masih sangat ia ingat. Pemuda yang ia bawa ke rumah sakit dengan kondisi tak sadarkan diri. "Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada Rania?!" ucapnya penuh amarah. "Aku hanya ingin tinggal di rumah kalian untuk sementara." "Haruskah kami membiarkan orang asing tinggal di rumah ini?" sindir Pandu. "Saya mohon. Tolong saya." Pemuda itu berlutut. Memohon belas kasih lelaki di hadapannya. Merekalah satu-satunya orang yang dapat ia pintai pertolongan. Pandu mengerutkan dahi. Memperhatikan detail gerak gerik pemuda itu dan berusaha tetap bersikap tenang. "Baiklah, ikut aku," perintah Pandu dengan tegas. "Kakak ...." Rania tak mengerti apa yang akan dilakukan kakaknya. "Rania, ikut Kakak juga," pinta Pandu. Gadis itu mengangguk. Ketiganya naik ke mobil Pandu, menuju suatu tempat. Bara duduk di samping Pandu, sedangkan Rania duduk di belakang. Suasana dalam mobil terasa senyap. Tak ada satu pun dari mereka yang membuka suara. Rania tahu persis kalau kakaknya sedang marah, ia tak berani berkata apa-apa. Mobil hitam itu memasuki halaman sebuah instansi tempat Pandu bekerja. Sepasang mata Rania membulat, begitu juga dengan pemuda di sebelah Pandu. "Kenapa membawaku ke sini?" tanya pemuda itu setelah mobil berhenti di halaman parkir. "Jangan banyak tanya, ikut aku!” "Kau ingin memenjarakanku? Aku bukan penjahat!" Bara tak terima Pandu membawanya ke tempat itu. "Kalau bukan orang jahat, kenapa kau memaksa adikku membawamu ke rumah? Dan siapa orang-orang yang memukulimu malam itu?" "Aku bisa jelaskan." "Jelaskan di sini! Tunjukkan identitasmu sebelum aku menyeretmu ke dalam!" perintah Pandu pelan, tetapi mengintimidasi. Rania yang memperhatikan dua lelaki di hadapannya hanya terdiam. Jemarinya saling bertaut. Detak jantungnya tak beraturan. Ia menggigit bibir bawah. Takut, menyesal. Itu yang dirasakannya kini. Tak menyangka, niat baiknya menolong pemuda itu malah membuat keadaan jadi rumit. Pandu tak sabar menunggu lelaki itu bersuara. Ia segera turun dari mobil, membuka pintu di sisi kiri Bara, menariknya keluar. "Kak!" Rania segera turun mencegah Pandu. "Kau tetap di mobil, Rania!" perintah Pandu. Gadis itu kembali masuk ke mobil. Bara menepis tangan Pandu. "Aku tak bersalah. Kenapa kau membawaku ke sini? Aku bisa jelaskan padamu," ucap pemuda itu tegas dan menatap tajam kedua mata Pandu. "Baiklah. Kita bicarakan di dalam." Pandu kembali masuk ke mobil, diikuti oleh Bara. "Jelaskan siapa dirimu!" tegas Pandu. "Aku ...." Bara bingung. Menyebutkan bahwa dia adalah anak angkat Bandot, sama dengan mencari mati. "Cepat katakan!" Oknum kepolisian berwajah tampan tetapi masih single itu menarik kerah baju Bara, menatap tajam seperti hendak menerkamnya hidup-hidup. "Kak, sabar," pinta Rania. Ia memegang lengan sang kakak. Pandu menurunkan tangannya. "Siapa kau?" tanyanya sekali lagi. "Aku hanya seorang perantau," jawab Bara pelan. "Saat di jalan aku kecopetan. Karena itu aku meminta bantuan untuk memberiku tempat tinggal sementara sampai mendapat pekerjaan," tutur Bara. Wajahnya ia ekspresikan sesedih mungkin. Entah angin dari mana yang membuat pemuda dengan tinggi 175 cm itu mampu menciptakan kebohongan dengan lancar. Wajah sendu pemuda itu membuat hati Rania iba. Ia mudah simpati pada orang lain. Tak ada kecurigaan sedikit pun di hatinya. Sementara, Pandu masih tak percaya dengan apa yang dikatakan pemuda asing di sampingnya. Sebagai seorang aparat, tingkat kewaspadaannya jauh lebih tinggi dari orang lain. "Aku tak bisa mempercayaimu begitu saja. Tapi, jika kau butuh tempat tinggal, tinggallah di masjid dekat rumah kami. Di sana ada kamar kosong untuk musafir." Akhirnya, Pandu memberi satu solusi tanpa harus membiarkan pemuda itu tinggal di rumah mereka. Dengan tinggal di masjid sana, ia dapat memantau gerak-gerik lelaki asing itu. "Terima kasih, Kak," ucap Bara. Wajahnya sedikit lebih cerah. Untuk sementara, ia masih bisa bersembunyi dari Bandot dan anak buahnya. Rania tersenyum dari balik cadar. Sudut mata itu tak dapat menutupi lengkungan yang tercipta oleh sepasang bibirnya. Ia bangga pada sang kakak yang selalu bijaksana dalam mengambil keputusan. Bara menoleh ke arah Rania, tersenyum dan berkata, "Terima kasih." Rania mengangguk. Masih terlihat senyuman dari sorot matanya. Mata yang memancarkan sejuta keindahan. "Ehem!" Pandu mendehem cukup keras. Membuat Bara yang masih menoleh ke arah gadis itu terkejut. Bara kembali memperbaiki posisi duduknya. Mendadak, ada debaran aneh yang menjalar ke seluruh tubuh. Tatapan teduh gadis di belakangnya membuat ia ingin terus memandang. Menikmati setiap garis yang tercipta di kelopak matanya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN