Curi-Curi Pandang

1111 Kata
Pandu menepikan mobil ke pekarangan masjid tak jauh dari rumahnya. Sebuah masjid yang tidak begitu luas, tetapi cukup untuk menampung jamaah salat Jumat para warga di sana. Hati Bara berdegup tak karuan. Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tempat ibadah agama yang tertulis di KTP-nya. Ada malu yang menyeruak dalam d**a. Malu pada Sang Pencipta, merasa dirinya hina. Selama ini, tak pernah sekali pun Bara menyembah-Nya. Sekarang, ia malah ingin menumpang hidup di sana. Di serambi masjid, tampak seorang pria yang tak lagi muda tengah membersihkan lantai. Lelaki itu tinggal di salah satu kamar yang ada di samping masjid. Ia adalah seorang duda berusia 65 tahun yang tak dikaruniai anak. Istrinya meninggal lima tahun lalu. Sejak itulah, lelaki yang dipanggil Pak Amin itu mengabdikan diri di masjid, dan mewakafkan tanah miliknya yang berada di samping untuk perluasan tempat ibadah tersebut. "Assalamualaikum," ucap Pandu dan Rania pada Pak Amin. Lalu duduk di serambi. "Waalaikumussalam warahmatullah. Eh, Pandu, Rania, ada apa pagi-pagi ke mari?" tanya Pak Amin. Ia menghentikan aktivitasnya dan menghampiri kakak beradik itu. "Saya mau minta tolong sama bapak," ucap Pandu pelan. "Minta tolong apa, Nak Pandu?" Pandu menoleh, memandang pemuda yang masih mematung di halaman masjid. Ia mengikuti arah pandang Bara. Ternyata, lelaki asing itu tengah menatap lurus pada kubah hijau di atap bangunan suci tersebut. Pandu menceritakan apa yang terjadi kepada Pak Amin. Dan memintanya mengizinkan Bara tinggal sementara di masjid. Lelaki yang selalu menjadi muazin di sana mengangguk-angguk pertanda mengerti. Ia tak keberatan dengan permintaan Pandu. Siapa pun orangnya, Pak Amin selalu mengizinkan orang asing tinggal di masjid itu. Kebanyakan dari mereka adalah para musafir, pengemban dakwah. "Silakan, Pandu. Bapak tidak pernah keberatan orang luar tinggal di sini," kata Pak Amin. "Saya minta satu hal lagi, Pak," ucap Pandu. "Apa itu?" tanya Pak Amin. "Karena kita tidak tahu siapa dia, apa motifnya, kita tetap harus waspada. Saya mohon bantuan Pak Amin untuk memantaunya." "Siap, Nak. Insyaa Allah akan Bapak perhatikan setiap gerak geriknya. Semoga dia bukanlah orang yang ingin berbuat jahat." "Rania, panggil orang itu ke sini," pinta Pandu. "Iya, Kak." Rania berjalan menghampiri pemuda yang kini tengah menyandarkan punggung di mobil Pandu. Ia sedang memandangi beberapa ekor burung dara yang hinggap di atap masjid. "Maaf, Kakak memanggilmu," ucap Rania seraya menunduk. Pemuda bermata elang tersebut tersenyum, memandang wajah sang gadis penolong yang ditutupi kain. Mendengar suara lembut itu, membuat taman gersang di hatinya perlahan menghijau. "Ini." Bara menyodorkan ponsel Rania yang sempat ia ambil. Gadis itu segera mengambil ponselnya dari tangan Bara. "Maaf," ucap Bara. Rania hanya mengangguk, lalu berbalik dan menghampiri Pandu dan Pak Amin. Bara mengekor di belakangnya. "Duduklah," pinta Pandu pada Bara yang masih berdiri di belakang Rania. Pemuda itu duduk di sebelah Pak Amin. Ia mndengarkan apa yang akan dikatakan oleh orang-orang di hadapannya. "Ini Pak Amin. Beliau tinggal di masjid ini." Pandu memperkenalkan Pak Amin pada pemuda itu. Pak Amin tersenyum. "Siapa namamu, Nak?" tanyanya pada pemuda yang memiliki beberapa bekas luka di wajah. "Saya Bara, Pak," jawabnya. "Kamu boleh tinggal di sini. Di sebelah kamar saya masih ada kamar kosong," tutur Pak Amin. Senyum ramah orang tua itu membuat Bara merasa diterima. "Terima kasih, Pak." "Kak ...." Rania yang sedari tadi hanya diam memperhatikan, kali ini bersuara. "Ada apa, Rania?" tanya Pandu. "Apa Rania sudah boleh ke kampus?" Gadis itu merasa kehadirannya di sana tidak diperlukan lagi. Semua bisa ditangani oleh sang kakak. Ia juga harus segera menemui dosen untuk menyerahkan skripsinya. Mendengar pertanyaan Rania, Bara diliputi rasa bersalah. Rania harusnya sudah ke kampus sejak tadi, jika ia tidak menahannya. "Biar Kakak antar. Tunggu sebentar,” jawab Pandu. Rania mengangguk. "Bara, ikuti apa yang dikatakan Pak Amin. Jangan macam-macam, atau aku akan menyeretmu ke penjara!" ancam Pandu. Pemuda itu mengangguk, lalu menoleh ke arah Rania, yang sedang menatap bunga-bunga di pelataran masjid. "Dan satu lagi, jaga pandanganmu!" bisik Pandu penuh intimidasi di telinga Bara. Membuat pemuda itu kikuk dan menelan saliva dengan berat. Ia tahu apa yang dimaksud oleh anggota kepolisian tersebut. "Pak Amin, saya dan Rania pergi dulu. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya." "Iya, Pandu." "Assalamualaikum." "Waalaikumussalam," jawab Pak Amin. Sedangkan pemuda yang duduk di sampingnya hanya diam memandang ke arah gadis yang berjalan menjauh. Pak Amin menepuk pelan pundak pemuda tampan beralis tebal itu. "Kenapa tidak jawab salam?" "Eh, sa-saya tidak tahu, Pak," jawab Bara kikuk. Malu karena ucapan salam saja ia tidak tahu. Di lingkungan Bandot, semua jauh dari agama. Tak pernah ada ucapan salam, apalagi ibadah lainnya. Yang mereka tahu hanya bersenang-senang, merampok, memperkosa, hingga membunuh. Pak Amin menggeleng pelan. "Mandilah. Ada beberapa pakaian yang diberikan orang, belum pernah Bapak pakai. Buat kamu saja." Pak Amin berdiri dan meminta Bara mengikutinya, lalu menunjukkan kamar yang akan ditempati pemuda itu. "Terima kasih, Pak." "Sama-sama. Bapak mau lanjut ngepel dulu. Kalau butuh sesuatu katakan saja, jangan sungkan," kata Pak Amin. Wajah tuanya selalu menunjukkan keramahan. Senyum tak lepas dari wajah yang sudah keriput itu ketika berbicara. Membuat lawan bicaranya merasa nyaman. "Iya, Pak." "Assalamualaikum." Bara mengernyit. Tak tahu harus menjawab apa. Pak Amin lagi-lagi tersenyum melihatnya. "Ucapkan waalaikumussalam." "Waassalam." Pak Amin tertawa kecil. "Ya sudah, nanti Bapak ajarkan. Permisi." Orang tua itu berlalu, meninggalkan pemuda yang mematung di tempatnya. Bara merasakan panas di kedua mata. Cairan yang selama ini tersimpan rapi, kali ini memberontak untuk segera ditumpahkan. Ia tak mengerti, perasaan apa yang menyerangnya. Gemuruh di d**a semakin riuh. Ada kerinduan di sana. Kerinduan yang belum ia pahami siapa pemiliknya. *** Udara pagi di sekitar kampus masih terasa segar. Rania merasa sedikit lega setelah kejadian yang dialaminya pagi tadi bersama pemuda yang ia ketahui bernama Bara, tak berakhir buruk. Ia berharap lelaki itu bukanlah orang yang berniat jahat. Dalam hati Rania mendoakan agar Allah memberi petunjuk pada lelaki itu. "Rania, berhati-hatilah terhadap orang asing. Kakak masih belum percaya dengannya. Jika kau mengajar nanti sore, minta Pak Amin agar tidak pergi ke mana pun," tutur Pandu. Waspada yang berlebih membuatnya sulit mempercayai orang lain. "Iya, Kak. Rania tahu." "Ya sudah. Turunlah. Semoga skripsimu lancar, calon dokter," ucap Pandu seraya tersenyum pada sang adik yang berusia delapan tahun lebih muda darinya. "Aamiin. Jazakallahu khoir, Kakakku yang sebentar lagi akan menikah," goda Rania. Pandu tertawa kecil. Tak lama lagi ia memang akan melangsungkan pernikahan dengan seorang akhwat, setelah proses taaruf dua bulan lalu. "Assalamualaikum, Kak." Rania turun dari mobil. Berlalu menemui dosen pembimbingnya. "Waalaikumussalam." Pandu melajukan kendaraan roda empat yang selalu menemani ke mana pun ia pergi. Namun, bukan jalan ke rumah yang ia tuju, melainkan markas kepolisian. Ia ingin mencari identitas pemuda dari foto yang diambil ketika membawanya ke rumah sakit. "Aku harus tahu asal usulnya. Kenapa dia bisa dipukuli oleh beberapa orang hingga babak belur," gumam Pandu. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN