Bayi sungguhan!

1053 Kata
Hanya dengan membawa handphone dan dompet, Rahel ingin kembali ke Jakarta. Dia berhasil naik kereta dan duduk dengan tenang sambil melihat pemandangan dari jendela. Ini pertama kalinya dia naik kereta. Meskipun bukan berasal dari keluarga kaya raya, tapi keuangan keluarganya cukup untuk dia hidup nyaman. Papanya juga masih aktif bekerja sampai sekarang, hanya saja sedang ambil cuti untuk pernikahan Zahra. Melihat ke arah langit yang sedikit terik, Rahel yakin sekarang ini Zahra dan Farhan sudah menikah. Tersenyum tipis, dia benar-benar lolos dari rencana Zahra dan mamanya. Semua berkat tekadnya yang besar untuk tidak menikah dengan Farhan. Menyentuh perutnya, Rahel tidak menginginkan kehamilan, tapi juga tidak mau untuk menggugurkan. Dia takut untuk menjadi pembunuh. Saat hampir tengah hari, dia akhirnya sampai di kosannya. Membuka pintu, melihat ruangan dengan perasaan lelah. Berjalan ke kasurnya dan merebahkan tubuhnya. Menutup matanya berharap kantuk segera datang. Tapi sayangnya perutnya tiba-tiba merasa lapar. Karena memang dia belum makan sejak pagi. Mengambil jaket Hoodie dari lemari, melepaskan kaos dan memakai jaket putihnya tersebut. Dia melihat tampilan wajahnya di cermin, dan merasa sangat jelek. Berjalan menuju kamar mandi untuk membasuh muka dan juga gosok gigi. Setelah merasa agak segar, dia keluar dengan membawa dompetnya. Selama ngekos di Jakarta, dia sangat jarang memasak. Karena pada dasarnya dia tidak pandai melakukannya. Lebih banyak membeli makanan di warteg. Atau kadang juga mama ataupun Zahra datang mengunjunginya membawakan makanan. Kulkas kecilnya akan diisi oleh berbagai macam sosis dan makanan siap goreng lainnya. Buatan mamanya sendiri. Mengingat hal tersebut, Rahel merasa agak sedih. Dia yakin, mamanya pasti sangat marah padanya sekarang. Dia pergi ke cafe langganannya untuk makan spaghetti dan juga kentang goreng. Tapi belum juga selesai makan, dia melihat seseorang yang sangat akrab masuk ke cafe. Dia adalah Malik, mantan pacarnya yang juga ayah dari bayi yang dikandungnya. Marah, benci dan jijik. Rahel menahan kemarahannya dengan berpura-pura tidak melihat sosok tersebut yang berjalan mendekat. Malik sebenarnya ada janji dengan temannya untuk makan di cafe itu. Dia hanya tidak menyangka akan bertemu dengan Rahel. Rahel adalah gadis tercantik diantara mantan-mantannya yang lain. Tapi dia tidak suka dengan sikap manjanya yang selalu ingin melekat padanya. Saat melewati mejanya, Malik ingin menyapa mantannya itu, tapi Rahel dengan sengaja pura-pura tidak melihatnya. Seolah mereka tidak pernah kenal. Malik bukan laki-laki yang suka drama. Karena Rahel ingin bersikap asing terhadapnya, dia pun melakukan hal yang sama. Hanya saja tidak pernah menyangka, kalau saat itu tiba-tiba Rahel mengumpat. Tentu saja, sebagai orang yang berada paling dekat, dia langsung menengok. Berpikir Rahel sedang mengumpatinya. Tapi ternyata Rahel sedang sibuk mengusir serangga. Merasa malu, karena takut orang lain berpikir dia adalah orang yang dikatakan b******k oleh Rahel. Dia pun buru-buru duduk di kursinya. Rahel merasa agak puas, dia bahkan menyeringai dan melanjutkan makan dengan lahap. Sebenarnya Rahel berpikir Malik akan ketemuan dengan pacar barunya, jadi dia tidak ingin terlihat menyedihkan dan segera pergi setelah membayar makannya. Jika saja Rahel mau menengok ke belakang, dia akan melihat Malik yang masih memperhatikannya dari tempat duduk, ada sedikit perasaan rindu terpancar dari matanya. _ Rahel berjalan kembali ke kosannya. Dia biasanya kemana-mana naik motor, tapi karena cafe itu tidak jauh dari tempat kosannya, dia lebih suka jalan kaki. Setelah masuk ke gerbang kos, Rahel melihat seorang remaja berseragam SMA masuk gerbang depan motor Kawasaki hitam. Dia tidak tahu ada anak SMA yang juga ngekost di sana. Hanya seminggu, dan sudah ada penghuni baru pikirnya. Rahel berjalan di belakang remaja laki-laki itu, karena ternyata kamar kosan mereka bersebelahan. Dia ingin berkenalan, karena hampir semua orang yang ngekost di sana juga akrab dengannya. Bagus jika dia mengenal penghuni baru itu juga. Tapi melihat sikap dinginnya, Rahel tidak lagi memiliki niat beramah-tamah. "Rahel, kamu udah balik. Kapan?" Seorang pria bertanya pada Rahel, saat baru saja membuka pintu. Rahel berhenti dan menanggapi dengan mengangguk. "Baru pagi ini kak, loh kakak gak kuliah?" "Enggak ada kelas pagi. Nanti sore baru ada. Kamu pasti abis dari cari makan. Gak ngajakin!" Faris memprotes, dia baru mau keluar cari makan. Hanya tertawa, Rahel kemudian mengangkat dua jarinya, menandakan perdamaian. "Eh, kak tadi itu ada penghuni baru. Siswa SMA?" "Oh, itu si Gibran. Dia baru aja datang tiga hari lalu. Anaknya pendiam, dengar-dengar dari penghuni lainnya, dia anak jenius!" Faris berbagi informasi dengan semangat. Bahkan menarik Rahel lebih dekat. "Banyak yang bilang, anak jenius itu aneh!" Rahel mengangguk saja, dia belum pernah bertemu dengan seorang jenius. Dirinya sendiri bisa dikatakan cerdas. Selalu menjadi juara satu saat masih sekolah dulu. Anak jenius jelas lebih hebat darinya. "Kak, perutmu bunyi!" Suara perut Faris membuat Rahel ingin tertawa. Faris sangat malu, mengusap perut laparnya. "Aku mau cari makan dulu. Bayi cacingnya minta makan!" "Iuhh!" Rahel merasa jijik mendengar bayi cacing. Melihat Faris berlalu pergi, Rahel mengusap perutnya sendiri. Bayinya adalah bayi sungguhan. Sebenarnya dia tidak yakin bagaimana dengan nasibnya nanti. Dia masih ingin menyelesaikan kuliah, dan mencari kerja. Lalu, bagaimana dengan bayinya? Usia kehamilannya masih tujuh Minggu, jika nanti perutnya membesar, tidak mungkin lagi dia menutupinya. Dia mungkin juga akan dikeluarkan dari universitas. Dan jika pun dia bisa menutupinya, tidak mungkin teman-temannya tidak menyadari perutnya yang semakin membesar. Merasa frustasi, Rahel kembali menangis sambil mengingat wajah Malik saat bertemu di cafe tadi. Si b******k itu bisa menjalani hidupnya dengan baik, sedangkan dia harus mengalami penderitaan. Terlalu banyak menangis membuatnya merasa mual. Rahel yang menyedihkan berlari ke kamar mandi dan memuntahkan makanan yang baru dicerna. Menangis semakin keras, Rahel kini tidak lagi menahan suara isakannya. Demi melampiaskan kekesalannya, dia menangis dengan keras di kamar mandi. Tapi belum ada lima menit dia menangis keras di sana, seseorang mengetuk pintu kosannya. Rahel masih sesenggukan. Dia membasuh wajahnya dan berusaha untuk tidak terlihat menyedihkan, berjalan keluar untuk membukakan pintu. Siapa yang bertamu saat dia sedang menangis? Pintu terbuka, dan seseorang berdiri dengan wajah dingin menatapnya. Remaja SMA yang menjadi pengunjung tersebut. "Ada apa?" Rahel bicara dengan suara serak. "Bisakah kamu mengecilkan suara tangisanmu. Itu menyeramkan!" Rahel terdiam, dia merasa malu dan kesal. Anak muda itu sangat egois. Sangat tidak pengertian dan kejam. Kamar mandi Rahel bersebelahan dengan kamar mandi Gibran. Jadi saat Rahel menangis keras, Gibran yang sedang mandi mendengarnya dengan jelas. "Maaf, aku mengganggumu. Tapi kamu anak kecil yang tidak pengertian!" Rahel langsung menutup pintunya dengan kesal. Wajahnya memerah sedikit, menahan malu. Gibran hanya menghela napas melihat pintu tertutup di depannya. Dia pikir gadis cantik itu terlihat cerdas, tapi ternyata aneh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN