Obat Maag

1434 Kata
Pagi-pagi, Rahel mengalami mual yang agak parah. Dia bahkan merasa tubuhnya menjadi sangat lemas setelahnya. Masih bertekad untuk pergi kuliah, dia memperbaiki riasannya, agar bisa menutupi wajahnya yang pucat. Mengenakan ripped jeans dan kemeja putih, dia masih tampak cantik seperti biasanya. Meraih kunci motor di atas meja, juga tasnya yang hanya berisi laptop dan satu buku catatan. Saat berjalan di parkiran motor, Rahel bertemu dengan Gibran yang sepertinya juga akan pergi keluar. Laki-laki itu sudah mengenakan helm, tapi sepertinya masih sibuk dengan ponselnya. Rahel tidak ingin mengganggu, dia langsung berjalan menuju motor maticnya. Tapi tiba-tiba rasa mualnya kembali lagi. Berlari menuju selokan dan berjongkok di sana. Rahel merasa sangat lemas dan pusing. Sudah lebih dari Lima menit dia berjongkok di sana. Saat seseorang mengulurkan botol mineral padanya. "Minum dulu!" Gibran agak terkejut, saat Rahel mengangkat wajahnya. Karena wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Rahel menerima botol tersebut, karena dia memang harus berkumur. Tapi karena lemas, tangannya tidak kuat membuka tutup botolnya. Gibran merebut botol itu dari tangan Rahel. Membukakan tutupnya, setelah itu memberikan lagi padanya. "Makasih" Rahel tidak menyangka remaja laki-laki yang terlihat galak itu ternyata baik. Setelah berkumur dan minum, Rahel merasa sedikit lega. Tapi kepalanya masih sangat pusing. Bahkan perutnya juga merasa tidak nyaman. Gibran akan langsung meninggalkan gadis itu, tapi dia merasa terganggu dengan melihat wajah pucatnya. Melihat sekeliling, kosan sudah sepi karena banyak penghuninya sudah berangkat kerja atau aktivitas lainnya. Jika pun masih ada orang di kosan, mereka pasti masih tidur. Apakah dia harus membantu gadis itu, atau langsung pergi ke sekolah? Karena jika dia menunda waktunya lagi, maka dia pasti terlambat. "Aku gak apa-apa. Gibran kan namamu? Kamu bisa langsung pergi sekolah. Nanti terlambat!" Rahel melihat kegelisahan di wajah remaja laki-laki itu, dan menebak alasan kegelisahannya. Rahel akhirnya melihat sisi baik dari Gibran. Dan dia pasti akan menghargai pertolongannya. Padahal Gibran bisa saja tidak perlu memedulikannya. Karena toh mereka berdua belum saling mengenal. "Kamu sepertinya sakit. Kembali saja ke kamarmu!" Gibran menyarankan. Rahel juga hampir mengangguk, karena tubuhnya sangat lemas. Tapi mengingat jadwal kuliahnya yang padat hari ini, dia jadi ragu. "Aku mau ngampus!" Rahel bicara dengan sedikit sedih. Jika saja dia tidak hamil, situasi seperti itu tidak akan terjadi. Tubuhnya harus menanggung kesulitan tersebut selama sembilan bulan. Tapi apa yang dilakukan Malik? Laki-laki itu bersenang-senang dengan pacar barunya. Mengingat ketidakadilan tersebut, hatinya jadi sakit. Gibran semakin bingung saat melihat mata gadis itu memerah, seperti akan menangis. Menggaruk kepalanya bingung, sambil melihat sekeliling. Apa yang harus dilakukan? "Ayo, aku antar ke kamarmu. Izin saja, minta temenmu meminjamkan catatan nanti!" Gibran tidak pernah begitu dekat dengan anak perempuan. Meskipun dia memiliki beberapa teman perempuan, tapi hanya sebatas teman biasa. Tidak pernah ada ikatan emosi apapun. Kali ini, kenapa dia merasa agak emosional dan mudah bersimpati? Apakah karena perempuan di depannya cantik dan terlihat lemah? Rahel akan menolak, tapi kepalanya benar-benar pusing. Tidak mungkin untuk mengendarai motornya. Memaksakan diri tidak akan baik. "Siapa namamu?" Gibran bertanya langsung, ekspresi wajahnya masih datar, tapi jika memperhatikan dengan lebih jeli, orang akan melihat telinganya sedikit memerah. "Rahel!" "Kamu langsung berangkat aja ke sekolah. Aku akan kembali sendiri!" Rahel tidak ingin menunda Gibran. Remaja itu harus pergi ke sekolah. "Jangan sok kuat. Cepat, atau perlu aku gendong?" Rahel langsung berdiri dan berjalan kembali ke kamarnya. Dia akan sangat malu jika remaja itu benar-benar menggendongnya. Bagaimana mungkin dia menindas anak kecil. Gibran berjalan di belakang Rahel. Memastikan gadis itu berjalan dengan benar sampai ke kamar kosannya. Tangannya membawa tas gadis itu. Sedangkan tatapannya tidak lepas dari sosok Rahel. Keduanya hanya diam. Rahel pikir setelah mereka sampai di depan pintu kamarnya, Gibran akan langsung pergi, tapi ternyata laki-laki masih berdiri menunggunya membuka pintu. Rahel tidak mengundang Gibran masuk ke kosannya, tapi laki-laki itu masuk sendiri. Memperhatikan kamar kosan yang jauh berbeda dengan miliknya. Karena kamar Rahel memiliki lebih banyak pernak-pernik kecil, dia memperhatikan lemari penuh botol parfum, dan mengerti kenapa kamar itu wangi. "Kamu tunggu di sini, aku akan belikan obat!" Gibran sadar kalau dia terlalu lama melihat sekeliling. Itu agak tidak sopan. Rahel menggeleng. "Gak perlu, kamu bisa langsung berangkat ke sekolah. Jangan khawatirkan aku!" Gibran masih merasa tidak nyaman meninggalkan seorang gadis yang sedang sakit. Melihat Rahel berbaring dan masih terlihat sangat pucat, tidak mungkin untuk tidak khawatir. "Istirahatlah, aku akan kembali!" Gibran berbalik, berjalan pergi tanpa menunggu jawaban Rahel. Rahel memanggil Gibran untuk jangan kembali lagi. Tapi laki-laki itu tidak merespon dan sudah pergi. "Aku gak sakit, tapi lagi hamil!" Rahel menyesal tidak menjelaskan keadaannya. Tapi bukan salahnya, karena kenapa juga dia memberitahukan tentang kehamilannya pada orang asing. Sedangkan dia berusaha menyembunyikannya dari teman-teman dan orang sekitar. Kehamilannya bukan suatu pencapaian yang harus dia beritahu pada orang-orang. Tidak tahan untuk tidak menangis. Dia merasa sangat dirugikan. Hidupnya yang baik-baik saja kini menjadi buruk. Mamanya marah padanya, membuat papanya yang baik kecewa. Sebenarnya saat sedang merasa sedih, dia ingin memberitahu Malik, dan membuat laki-laki itu juga memiliki beban yang sama dengannya. Enak saja laki-laki itu. Tapi setelah merasa tenang, Rahel sadar itu adalah hal bodoh. Dia tidak lagi berniat kembali dengan Malik. Jika laki-laki itu tahu, hanya ada dua kemungkinan. Malik memaksanya mengugurkan bayinya atau opsi kedua mereka harus kembali bersama dan menikah. Keduanya bukanlah hal yang dia inginkan. Malik bukan laki-laki baik, menikahi laki-laki itu artinya dia harus menerima resiko jika suatu hari Malik berselingkuh darinya. Jadi dari pada kembali kecewa, Rahel memilih untuk tidak lagi berhubungan dengan Malik dan menyembunyikan kehamilannya. Rahel merasa kepalanya semakin sakit. Dia tidak bisa berhenti khawatir dengan masa depannya. Setelah lelah menangis, perlahan dia tertidur. Saat Gibran kembali membawa obat dari apotek, Rahel sudah tidur. Sebenarnya karena tidak tahu Rahel sakit apa dan lupa menanyakannya, dia meminta saran petugas apotek. Petugas itu menyarankan obat maag pada akhirnya. Gibran meletakkan obatnya di atas meja, dia berjalan mendekat dan duduk di pinggiran kasur. Mengecek suhu tubuh Rahel, dan menemukan jika gadis itu tidak demam. Mungkin benar, jika Rahel sedang kena maag. Laki-laki yang terkenal jenius itu menjadi bingung. Karena melihat Rahel sudah tidur nyenyak, dia memutuskan untuk melihat ke dapurnya. Rahel muntah-muntah, perutnya pasti sudah kosong. Jadi dia berniat membuat makanan. Membuka kulkas kecil, untuk menemukan bahan makanan. Tapi yang ada di sana hanya ayam yang sudah dibumbui. Karenanya, dia memutuskan untuk menggoreng ayam untuk Rahel. Tapi sebelum itu dia memasak nasi. Gibran menemukan ada wadah bekas bubur di tempat sampah. Artinya pagi tadi Rahel membeli bubur untuk sarapan. _ Rahel bangun setelah mencium aroma ayam goreng. Dia hanya tidur kurang dari satu jam. Melihat ke arah dapur, dan mendengar suara gemercik air wastafel. "Gibran?" "HM, kamu sudah bangun!" Gibran langsung berjalan keluar. Rahel melihat laki-laki itu masih mengenakan seragam sekolah, tapi malah tidak pergi ke sekolah. Tentu dia merasa sangat bersalah. Melihat ekspresi datar di wajah Gibran, dia tahu laki-laki itu sudah memutuskan untuk tidak ke sekolah, tidak ada artinya membicarakannya. "Aku akan membawakan makanannya. Jangan banyak bergerak. Wajahmu masih sangat pucat!" Rahel menjadi penurut. Dia melihat laki-laki itu membuat makanan untuknya. Membawakan air minum juga. Air matanya jadi tidak tertahankan. Kenapa orang asing itu sangat baik padanya? "Kenapa menangis. Jangan khawatir, makan dulu aja!" Gibran duduk di sebelah Rahel. Gibran jadi canggung melihat Rahel makan sambil menangis. Dia berpura-pura tidak melihatnya dengan mengeluarkan ponselnya dan main game. Mereka tidak terlalu akrab, tapi gadis itu sudah banyak menunjukkan sisi lemah di hadapannya. Tentu dia agak aneh dan tidak nyaman. Rahel menghabiskan makannya. Tapi setelah selesai, rasa mualnya kembali. Meletakkan sendoknya, dia berlari menuju kamar mandi. Melihat Rahel berlari sambil menutup mulut, Gibran langsung mengikuti. Dia tidak lagi bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Ayo aku antar ke rumah sakit!" Gibran tahu tidak mungkin lagi untuk bersantai. Dia harus membawa Rahel ke rumah sakit. Rahel juga merasa harus memeriksakan diri. Karena sejak pagi tadi dia sangat mual. Tubuhnya juga sangat lemas. Mungkin sesuatu terjadi pada bayinya. Gibran mengambil jaket di gantungan, dan membantu Rahel mengenakannya. Untungnya dia sangat sigap, sehingga tidak memerlukan waktu banyak untuk membawa Rahel keluar dari kamar kosannya. "Apakah kamu punya riwayat penyakit?" Rahel menggeleng lemah. Dia sangat sehat sebelumnya. Jika pun sakit, paling-paling hanya pernah kena cacar. Tidak pernah sakit yang lain selain demam. Dia pun agak panik, curiga jika kehamilannya bermasalah. "Maka jangan terlalu khawatir, mungkin asam lambungnya naik!" Rahel terdiam mendengar analis Gibran. Dia tidak sedang kena maag! Tapi tidak perlu menjelaskan, nanti juga Gibran tahu saat di rumah sakit. Setelah itu dia akan meminta Gibran untuk merahasiakan kehamilannya. Keduanya adalah dua anak muda bodoh yang sedang khawatir. Buru-buru ke rumah sakit dengan naik grab. Gibran juga lupa mengganti seragamnya. Jadi anak SMA sedang mengantarkan wanita hamil ke rumah sakit, sedang-kan berpikir wanita itu sedang sakit maag.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN