Luzia membuka matanya, ia menatap kamar besar yang kini menjadi tempatnya tidur. Tak ada yang bisa ia ingat dengan jelas, wajah pria yang menolongnya terlihat samar dan ia hanya mengingat kacamata yang membingkai wajah pria tersebut.
Perlahan, tangannya mengelus ke bagian samping, ia tersenyum kala merasakan seekor ular sedang terlelap di sampingnya. Luzia mencoba untuk bangun, namun bagian bahu masih terasa sakit bahkan kakinya juga demikian.
“Ah … sial,” ujarnya pelan. Gadis itu menatap ular yang kini terlelap dan mengelus kepala ular besar itu. Ia tersenyum sedikit, namun kembali meringis kala merasakan perihnya bekas jahitan.
“Apa orang-orang itu bodoh? Mereka tidak memberi penahan rasa sakit padaku!”
“Jangan salahkan orang lain, Luzia!”
Dengan cepat, Luzia menatap ke arah pintu. Ia mengutuk di dalam hatinya, lalu membuang muka ke arah lain.
“Mommy-mu akan datang sebentar lagi, bersiaplah mendapat amukan.”
“Uncle Spade, apa Uncle yang mengobatiku?” tanya Luzia.
Spade hanya mengangguk, pria itu kembali menatap bahu telanjang keponakan jauhnya itu, ia menatap datar kala melihat luka yang masih basah dan belum mengering. Wajar saja, dirinya dengan sengaja memberi pertolongan ringan tanpa obat yang baik untuk Luzia.
“Kenapa masih sakit? Daddy Nero mempunyai banyak obat yang bisa digunakan dengan cepat,” ujar Luzia.
“Daddy-mu yang memintanya, kau terlalu sering melanggar dan ia memberi pelajaran padamu, Luzia.” jawab Spade.
“Kenapa aku bisa di sini? Siapa yang menolongku?” tanya Luzia lagi.
Spade terlihat berpikir, ia sudah mendapat peringatan dari seseorang untuk menjaga rahasia, namun, rasanya akan lebih menyenangkan saat melihat Luzia menemui orang yang menyelamatkannya.
“Apa yang bisa kau berikan untuk informasi itu, Luzia?” tanya Spade.
“Uncle juga harus menyembuhkan lukaku dengan cepat, penawaranku sangat mahal.” Luzia tersenyum, ia menatap Spade yang kini semakin penasaran tentang hal yang akan Luzia tawakan padanya.
“No!” ujar Spade, ia kembali menatap keponakannya itu, “Aku ingin tahu penawaran apa yang kau berikan padaku, Luzia.”
“Penemuan baru yang Mommy temukan, aku tak tahu apa, tapi, penemuan itu terlihat begitu penting.”
Spade mulai menyukai tawaran itu, ia berharap sebuah senjata yang hebat atau bahan eksperimen yang mengagumkan.
“Tapi, kau tidak akan bisa masuk dengan bebas ke laboratorium Mommy-mu.” Spade menatap keponakannya lagi.
“Uncle tahu racun yang ada di tubuh ini?” Luzia mengelus ular besar yang masih tertidur.
“Apa kau menawarkan racun padaku?”
“Tentu, racun itu sangat berbahaya, bahkan Kakak Lauye menggunakan racunnya pada semua senjata dan peluru yang ia miliki.”
Spade menatap ular besar yang kini berada di atas ranjang, sejenak, ia memikirkan tawaran yang keponakannya berikan. Jika dengan racun ular, dia bisa membuat senjata mengagumkan dan sudah pasti racun ular dari keluarga Snake bukanlah racun yang mudah diatasi.
“Baiklah, dengarkan ini baik-baik, dan ingat dengan otak cerdas yang tak pernah kau gunakan,” ujar Spade. Pria itu mendekati Luzia, ia berbisik dan mengatakan sesuatu pada gadis itu.
“Benarkah? Uncle tahu kamarnya?”
“Ya, kau harus bisa mendapatkannya dan menempatkannya di sisimu. Rebecca akan senang mendapatkan saudara baru, bukankah kau senang jika dia juga bisa menjadi bagian darimu?” tanya Spade.
“Baiklah, aku akan memberikan racun itu. Tapi, sembuhkan aku, Uncle.” Luzia tersenyum senang, ia harus pulih dan kembali sehat untuk menemui orang yang menolongnya.
Spade mengangguk, pria itu membuka laci meja yang ada di dekatnya lalu memberikan beberapa butir obat kepada Luzia.
“Terima kasih,” ujar Luzia. Gadis itu meraih obat yang Spade berikan, meminumnya, lalu kembali berbaring dan menunggu obat bekerja. Ia tidak sabar menunggu hari itu, hari yang akan membuat dirinya bertemu dengan pria penolong.
…
Sore itu, Luzia di jemput oleh Rebecca. Gadis itu menatap kakaknya dan merengut, ia belum bisa kembali sekarang, ia belum siap mendapat amukan dari ayahnya.
“Kita harus kembali, Daddy ingin bicara empat mata denganmu.”
“Tidak, aku ingin di sini. Lagi pula, aku juga harus menemui seseorang.” jawab Luzia. Ia menatap Rebecca, berharap tidak ada paksaan kali ini untuknya.
“Kau ingin Lauye yang menjemputmu?” tanya Rebecca.
“Tidak, Kakak Lauye pasti akan menghukumku. Dia pasti akan membuang semua boneka pemberian Arth dan tidak memberi izin untuk bermain di luar kamar.” jawab Luzia.
“Maka, ayo kembali.” Rebecca duduk, ia mendesah lelah. Selalu seperti ini, dalam satu bulan Luzia bisa melarikan diri puluhan kali.
“Aku akan meminta Mommy Lica untuk bicara pada Dad and Mom.”
“Kau selalu menggunakan Mama sebagai tameng, bagaimana jika kau menikah? Apa Mama akan kau gunakan untuk menakuti suamimu?” tanya Rebecca.
“Kakak,” ujar Luzia pelan, “Aku tidak akan menikah. Arth sudah menolakku, aku tidak bisa memilikinya.” lanjut Luzia.
“Kau sedang patah hati, dan itu buruk.” jawab Rebecca, ia menatap ular yang masih tertidur di samping Luzia.
“Tapi, aku mencintai Arth.” jawab Luzia lagi.
“Lupakan cintamu, Luzia. Ada banyak pria yang menginginkanmu. Velone bahkan selalu berusaha mendapatkanmu,” ujar Rebecca.
Luzia terdiam, ia lebih suka menatap tembok dan membayangkan hari-hari menyenangkan bersama Arth. Gadis itu kembali berbaring, luka di bahu dan kakinya sudah lebih baik bahkan tidak terasa nyeri.
“Jadi, kau ingin apa sekarang?” tanya Rebecca.
“Bisa temui Mommy Lica, kakak harus meminta Mommy menolongku.” jawab Luzia.
“Aku bisa menemui Mama, tapi, kau harus berjanji padaku.”
“Apa?” tanya Luzia.
“Lupakan Arth, carilah pria yang benar-benar bisa kau perjuangkan, lalu, gunakan otak cerdasmu, Luzia.”
Luzia menimbang permintaan Rebecca, ia juga harus tetap ada di mansion ini lalu menemui pria yang menyelamatkannya. Sedikit berat, namun Luzia akhirnya mengangguk.
“Pegang janjimu.” Rebecca berdiri, ia memilih keluar dan mencari Felica. Ia harus menyampaikan permintaan Luzia, dan mendapat izin untuk mengawasi Luzia di mansion ini.
Sepeninggalan Rebecca, Luzia menutup matanya. Namun, suara langkah kaki membuatnya lebih waspada. Gadis itu menenangkan diri, ia juga mengatur napas dan detak jantungnya.
Mata Luzia terpejam, gadis itu merasakan pergerakan pada kasur yang ia tempati. Tak lama, seseorang mengelus bekas luka yang ada di bahunya.
“Gadis bodoh ini benar-benar merepotkan,” ujar pria itu, ia sedang mengeluh apalagi saat Spade memintanya datang ke kamar Luzia.
Luzia tersenyum dalam diam, ia merasa begitu senang dan berterima kasih pada paman bermuka datar. Pria itu benar-benar menepati janjinya, pria itu membuat penolong yang ia cari datang bahkan tak ragu menyentuh bahunya.
“Mommy,” Luzia berpura-pura mengigau, ia bahkan memegang tangan pria itu dan memasukan jempol sang pria ke dalam bibirnya.
“Nona menyebalkan, sebaiknya Anda jangan berpura-pura tidur.”
Luzia membalik badannya, ia menatap pria yang kini menatap dirinya datar. Sungguh wajah dingin, tatapan mata itu begitu datar dan membuat Luzia ingat pada ayahnya.
“Kau yang menolongku?” tanya Luzia.
“Ya!” jawab pria itu.
“Kau datang menjengukku?” tanya gadis itu lagi.
“Apa kau senang?” pria itu balik bertanya.
“Siapa namamu?”
Pria itu menatap Luzia, ia ingin mengabaikan bahkan menutup bibir gadis itu dengan tumpukan kertas. Tapi, ia sadar. Luzia adalah anak seseorang yang harus dihormati.
“Hei, jangan pergi. Aku harus tahu namamu,” ujar Luzia.
“Aku sibuk.”
“Tapi, aku menyukaimu.”
Terdiam, pria itu menaikan satu alisnya. Menyukai? Apa gadis itu gila? Menyukai seseorang yang baru ia kenal bahkan mengatakannya dengan gamblang.
“Aku tidak tertarik, kau hanya gadis kecil bodoh dan manja.”
“Tapi, aku menyukaimu!”
“Jangan menyukaiku.”
Luzia mendesah lelah, pria itu begitu sulit diajak berteman.
“Aku belum mencintaimu, menyukai itu banyak defenisi.” jawab Luzia.
“Dari kata suka, akan menjadi cinta..”
“Aku belum mencintaimu, Daddy adalah pria yang paling mencintaiku.”
“Jika demikian, kenapa tidak mencintai Daddy-mu sendiri?”
“Menyebalkan!” teriak Luzia. Gadis itu merengut dan itu membuat sang pria mendesah lelah, ia harus menghadapi tingkah manja anak pemimpin keluarga Snake kali ini.
Pria itu bersedekap, ia menatap Luzia dengan tatapan malas. Jika diabaikan, gadis itu akan menangis hebat dan dia belum siap mendapat amukan dari Felica.
“Panggil aku sesukamu.” jawab Pria itu. Setelah mengatakan hal itu, ia beranjak pergi. Berbicara dengan Luzia membuat emosinya menjadi tidak stabil. Pria itu menutup pintu agak kasar, ia harus menghindari Luzia dan tidak muncul di hadapan gadis itu lagi.
Sepeninggalan pria penolong, Luzia menyentuh bibirnya. Ia merasa senang bisa bicara dengan penolongnya, ia akan mencari kesenangan baru dan mencoba menjadikan pria itu sebagai teman bahkan saudaranya. Luzia memeluk tubuh Ular yang masih belum terbangun, ia begitu senang dan akan bertanya banyak hal pada Felica nanti. Gadis itu beranjak dari kasurnya, ia membuka pintu kamar mandi dan membuka semua baju yang ada di tubuhnya.