AWALNYA

2024 Kata
   Seorang gadis kini sedang mengendap-endap di lorong mansion mewah milik keluarganya. Sesekali, matanya menatap kanan dan kiri lalu ke belakang untuk memastikan tidak ada satu orang pun yang melihatnya.    Dia adalah Luzia, gadis nakal yang lahir dari keluarga Snake. Luzia memang sering melarikan diri dari mansion utama keluarganya, ia lebih suka berkeliaran dan mencari kesenangan di luar sana.    Senyum gadis itu merekah kala kakinya berada di luar mansion, ia menatap bangunan megah dengan warna putih gading mendominasi. Pilar-pilar besar yang menyangga atap mansion menjadi daya tarik tersendiri. Di setiap sudut, ada patung-patung dewa dan dewi Yunani yang menjadi daya tarik mansion megah itu. Luzia menyeringai, ia berjalan santai lalu akan melompat girang dan berlarian. Ia berhasil melarikan diri dari pengawasan dua kakaknya yang selalu overprotektif.    “Jadi, ayo kita temui Kakak Rebecca,” ujar Luzia, seekor ular bersembunyi di balik baju hangatnya.    Luzia memutari mansion mewah itu tanpa lelah, ia menuju bagian timur mansion yang menjadi kediaman bagi kakak angkatnya.    “Kakak ….” Luzia membuka pintu berukir rumit itu dengan sekali dorong, ia menatap wanita dewasa yang kini sedang bergelut dengan bahan-bahan kimia.    “Luzia,” ujar wanita itu, ia meletakan beberapa jarum suntik, lalu menghampiri adiknya, “Kenapa malam-malam menemuiku?”    “Aku ingin ke mansion Mommy Lica. Kudengar, Arth berkunjung.” Luzia tersenyum.    “Kenapa kau ingin menemui pria yang tidak menginginkanmu? Kalian bersaudara dan itu sudah jelas sangat salah untuk menyukai Arth.” Rebecca menatap adiknya, ia hanya bisa memberi peringatan kecil pada Luzia.    “Ya, aku merasa nyaman dengannya. Lagi pula, Sousaki Granpha tidak melarangku.”    “Luzia, bagaimana jika dia menyukai bahkan mencintai gadis lain?”    “Tidak ada salahnya berjuang,” ujar Luzia tanpa rasa bersalah.    Rebecca mendesah lelah, mau tidak mau ia harus menemani adik angkatnya itu. Tanggung jawab yang ibunya berikan begitu besar, belum lagi titah dari Lauye dan Cancri yang tidak bisa ia tolak.    “Ayo Kak, aku harus menyapa Arth dan memberikan ciuman di pipinya.” Luzia menarik tangan Rebecca, ia ingin secepat mungkin pergi dari mansion mewah keluarganya.    “Baiklah.” jawab Rebecca, hanya bisa menurut atau Luzia akan merengek sepanjang malam padanya. …    Pesta masih berlangsung dengan meriah di kediaman besar keluarga Roulette, para tamu undangan berlalu-lalang di setiap sudut dan para mafioso berjaga ketat di setiap tempat.    Mobil berwarna putih baru saja memasuki parkiran, seorang pria bertubuh tinggi membuka pintu dan mempersilahkan orang di dalam sana untuk keluar.    Gadis berumur dua puluh delapan tahun, wajahnya masih seperti seorang remaja sekolah menengah atas, ia keluar dengan anggun dan tersenyum ramah pada pria tadi.    “Selamat datang, Nona Muda Luzia.” pria itu membungkuk.    “Terima kasih, apa Arth sudah datang?”    “Berhenti menjawab pertanyaannya, Tarizo, kau hanya akan sakit kepala.” Rebecca menatap pria yang kini terkekeh, mereka sering bertemu dan itu juga karena Luzia sering menemui pemimpin keluarga Roulette.    “Tuan Muda Arth sudah tiba, ia sedang bersama-”    “Pasti bersama Mommy Lica.” jawab Luzia cepat. Gadis itu menarik tangan Rebecca dan menjauh pergi, ia meninggalkan Tarizo yang masih menatap bingung.    “Aku akan menemui Mommy, kau bisa berjalan sepuasnya. Carilah pasangan, jangan lupa untuk tersenyum pada mereka dan katakan jika kau Kakakku,” ujar Luzia panjang lebar. Gadis itu tersenyum lebar kala banyak orang menatapnya.    Beberapa saat berlalu, Luzia kini berada di depan pintu besar. Ia menatap Rebecca, dan cukup tahu jika ruangan itu terlarang untuk kakak angkatnya, “Kakak, aku harus menemui Mommy,” ujar Luzia.    “Temui Mama, aku akan menunggumu di taman belakang.”   Setelah mendapat jawaban, Luzia melangkah maju. Dua orang penjaga membukakan pintu untuk Luzia. Ia masuk dan menatap Arth yang sedang duduk berdampingan dengan Felica, di sana juga ada Velone yang merupakan anak angkat Felica dan Xavier.    “Mommy ….” panggil Luzia, nada manja sangat kental dan membuat bising ruangan itu.    “Kemarilah, Luzia.” Felica tersenyum.    Luzia menghampiri Felica, tidak lupa ia tersenyum kepada Velone dan dengan seenaknya mengecup lembut pipi Arth, “Arth. Aku merindukanmu!” rengek Luzia.    Arth tersenyum, entah senyuman apa yang pria tampan itu berikan sebenarnya. Gerakannya begitu elegan sambil merentangkan tangan menyambut kedatangan Luzia, “Ya, aku juga merindukanmu. Di mana kedua Kakakmu?” Tanya Arth.    Luzia tidak langsung menjawab, ia memeluk Felica dan duduk di samping wanita itu, “Kakak Lauye baru saja pulang dari misi, sedangkan Kakak Cancri sedang berusaha memberi cucu untuk Mom and Dad.” jawab Luzia.    “Lalu, kapan kau akan menikah?” tanya Velone.    “Arth belum melamarku.” jawab Luzia seenaknya, ia menatap Arth yang terkekeh.    “Kau masih menyukai Arth?” tanya Felica.    “Tentu saja, Arth lebih hangat dibanding dua Kakakku yang menyebalkan itu.” jawab Luzia.    “Bagaimana denganku?” tanya Velone.    “Aku menyukaimu, sebagai seorang teman dan seorang Kakak.” jawab Luzia lagi.    Arth bedehem, ia tahu jika Velone menyukai Luzia bukan hanya sebagai seorang adik, “Aku akan menikah dengan Lamia.” jawab Arth.   “Kenapa tidak menikahiku? Apa aku terlalu buruk?” tanya Luzia.    “Kami akan menikah, kau harus menjaga jarak denganku sekarang.” Arth duduk dengan tenang, ia hanya ingin bercanda dengan Luzia. Namun, wajah gadis itu berubah menjadi murung, lalu kembali ceria.    “Aku akan menjadi selirmu,” jawab Luzia. Sesungguhnya ada batu besar yang menghantam hatinya, namun ia tetap menutupi dan ceria di depan tiga orang itu.    “Aku belum gila, Cancri dan Lauye akan memburuku sampai ke neraka. Belum lagi, Lamia akan cemburu.” Arth melipat tangannya di d**a, ia menatap Luzia yang kini semakin bermanja pada Felica dan bersandar di bahu pemimpin keluarga Roulette.    “Baiklah, aku akan membunuhmu jika tidak menikahi Kakak Lamia.” jawab Luzia, “Tapi, jangan berlaku dingin padaku. Aku akan sedih.” Luzia menundukan kepalanya. Ia juga sudah tahu jika Arth menyukai bahkan mencintai saudaranya sendiri. Gadis itu mengangkat kepalanya, ia tersenyum.    “Asal kau tahu, Luzia. Aku juga menyayangimu, sebagai seorang saudara.” jawab Arth.    “Benarkah? Jangan lupakan janjimu. Mommy Lica, dan Kakak Velone adalah saksi.”    “Ya, aku berjanji.” jawab Arth.    Luzia menghampiri Arth, ia memeluk pria itu dan merasakan jantungnya berdebar. Ya, dia hanya akan menganggap Arth sebagai saudara kali ini, mungkin akan ada banyak jalan yang ia tempuh. Ia juga sadar, perasaan tidak bisa dipaksakan. Namun, untuk di kemudian hari, ia akan berusaha mendapatkan orang yang dipilih oleh hatinya, ia akan berusaha mendapatkan cinta yang ia inginkan. Terdiam, Luzia merasakan air matanya lolos, tanpa bisa dikendalikan dan tidak bisa dihentikan lagi.    “Kau menangis?” tanya Arth.    “Tidak, aku hanya mengeluarkan air mata saja.”    “Apa bedanya? Dasar manja.” Arth melepaskan pelukannya, ia menghapus air mata Luzia dengan tangannya, “Jangan menangis, apa kau rela aku di buru oleh Cancri dan Lauye?”    Luzia menggeleng, ia juga tahu kedua saudara kembarnya tidak akan mengampuni orang yang membuatnya menangis. Tapi, ia merasa ragu jika kedua saudaranya akan memburu Arth.    “Luzia, kau ingin pergi bersamaku?” tanya Velone.    “Tidak, Kak.” jawab Luzia. Ia kembali duduk di samping Felica dan bermanja pada wanita itu lagi.    Felica mengelus rambut Luzia, memberi kehangatan pada anak gadisnya itu.    “Mom, aku lapar.”    “Baiklah, kau ingin makan apa?” tanya Felica.    “Apa saja, asal Mom yang memasaknya dan menyuapiku.” jawab Luzia.    “Manja!” ujar Arth.    “Aku akan menyuapimu, Luzia.” tawar Velone.    “Mommy Lica juga Mommy-ku, kalian harus bisa menerima jika aku bermanja pada Mommy. Dan, aku hanya ingin disuapi Mommy sekarang.” Luzia menjulurkan lidahnya, ia segera berdiri dan menarik tangan Felica. Keduanya berlalu pergi, dengan tawa yang menggema dan membuat dua orang di ruangan itu tersenyum.    Agak jauh dari ruangan itu, Luzia melepaskan tangan Felica. Gadis itu menangis dan tertunduk, ia bahkan bergetar hebat dan napasnya terasa sesak.    “Luzia ….” Felica menatap Luzia. Ia mengerti bagaimana perasaan gadis itu kali ini, ia juga pernah merasakan patah hati dan kecewa pada orang-orang di sekitarnya.    “Mom ….” Luzia menggantung kalimatnya.    Segera saja, Felica menarik Luzia ke dalam pelukannya. tangis Luzia pecah dan terdengar miris di telinga wanita itu, Luzia bahkan bergetar hebat dan Felica tahu itu begitu sakit.    “Kau ingin bertemu Cancri dan Lauye? Mereka baru saja tiba untuk mencarimu.”    “No ….” jawab Luzia, “No, Mom.” lanjut gadis itu. Ia tak ingin membuat kedua saudara kembarnya menghancurkan segala sesuatu, ia tak ingin kakaknya Cancri bermusuhan dengan Arth.    “Kau ingin pulang?” tanya Felica.    Luzia menggeleng, ia hanya ingin sendiri saat ini.    Dari kejauhan, seorang wanita berlari. Ia menatap Luzia yang kini berada di pelukan Felica, “Mama, ada apa? Kenapa Luzia menangis?” tanya Rebecca.    “Rebecca, sebaiknya, bawa Luzia pulang. Dia dalam keadaan yang tidak baik saat ini,” ujar Felica.    Rebecca mengangguk, ia menarik tangan Luzia lembut dan pelukan Luzia pada Felica terlepas. Gadis itu menunduk, wajahnya memerah dengan air mata yang menetes kasar.    “Mama, kami akan pulang. Dan, rahasiakan ini dari Cancri serta Lauye.”    “Aku mengerti, Rebecca.” jawab Felica.    Setelah mengatakan hal itu, Rebecca pergi, Luzia masih tetap berjalan pelan dengan kepala tertunduk, tangan Rebecca menggenggam erat tangan Luzia dan ia merasakan gadis itu mati-matian menahan dirinya sendiri.    “Kendalikan dirimu, Luzia,” ujar Rebecca. …    Setelah malam itu, Luzia berusaha menahan perasaannya. Ia berusaha melupakan kata cinta yang ada di antara dirinya dan Arth. Luzia hanya bisa tertunduk lesu di sebuah jalanan sepi, ia menatap langit malam lalu melangkah lagi. Mungkin harus mencari tempat baru yang lebih tenang dan bisa membuatnya berpikir dengan jernih.    Malam ini, Luzia kembali kabur. Tanpa pengawasan Rebecca, tanpa arah dan tujuan. Ia terus berpikir tentang perasaannya sendiri. Tidak seharusnya ia mencintai Arth selama ini, seharusnya dia juga bersyukur jika Arth menganggapnya saudara, bahkan tidak ragu untuk memeluk dan mencium keningnya sebagai bentuk kasih sayang.    “Menyebalkan.” Luzia menatap jalanan sepi yang masih begitu panjang. Kanan dan kiri berupa hutan luas, dan ia menyesal kabur dengan berjalan kaki.    Luzia juga tidak menyadari, jika di kejauhan, ada dua orang penembak jitu yang mengawasi gerak geriknya. Gadis itu masih mengeluh tentang kakinya yang sakit, bahkan keringat yang ia dapatkan membuatnya gerah.    “Kyahhhh!” teriak Luzia kesal. Di hentakannya kaki lalu duduk di tengah jalan.    Pelatuk itu ditarik secara bersamaan, dua peluru melesat, suara teredam namun suara lesatan yang berlawan dengan angin terdengar. Luzia reflek, gadis itu menghindar, namun sial ia tidak bisa menyelamatkan bahu kanannya. Dengan cepat, serangan datang, membuat Luzia mau tidak mau mengerahkan kemampuannya bertarung dan melawan dengan kondisi bahu kanan yang tertembak.    Sekitar lima puluh pria berbaju hitam mengepung Luzia, membuat gadis itu mengutuk kebodohannya saat ini. Seharusnya ia mendengarkan nasehat kedua saudaranya, seharusnya ia membawa senjata untuk melawan, atau paling tidak, seharusnya ada beberapa ekor ular yang mengawalnya saat pergi.    Menelan ludah, Luzia membaca gerak gerik lawan. Ia memasang wajah serius, lalu berdiri tegak dan mengabaikan rasa sakit di bahu kanannya. Ingatan itu kembali, ingatan saat dirinya nyaris mati saat berumur enam tahun. Luzia berdiri tanpa rasa takut, tubuhnya yang tadi bergetar kembali normal, sedangkan bibirnya tersenyum lalu menyeringai kejam.    Baru saja orang-orang itu ingin maju dan mengeroyoknya, tapi Luzia berteriak kencang, “KAKAK!!!” teriakan itu menggema di seluruh hutan, begitu nyaring dan membuat bising.    Pria-pria itu terkekeh, mereka tak menyangka jika musuh yang dikatakan berbahaya memiliki tingkah bodoh seperti Luzia.    “Bunuh dia!” titah salah satu dari mereka, bisa jadi pemimpin kelompok itu.    “Menyebalkan,” ujar Luzia. Ia melawan saat orang-orang mengeroyoknya. Luzia menendang tepat di antara s**********n seorang pria lalu bersalto dan menendang kepala pria yang lain.    “Akh ….” Luzia memegang kakinya, ia merasakan timah panas bersarang di sana dan itu membuatnya sadar jika ada banyak orang yang bersembunyi dan membidiknya dengan senjata. Gadis itu menelan kasar ludahnya, lalu mencari jalan pintas untuk melarikan diri.    Matanya menatap jeli, ia mencari celah yang bisa di jadikan jalan keluar. Tidak ada, dia benar-benar dikepung saat ini.    “Habisi dia.” ujar orang yang sama dengan tadi, Luzia mulai ketakutan ia mengingat kebodohannya begitu banyak, kata demi kata yang Lauye dan Cancri ucapkan terus bermain di benaknya.    ‘Senjata adalah nyawamu.’    ‘Senjata adalah Tuhan yang bisa menentukan hidupmu.’    Luzia menelan ludahnya kasar, bagaimana jika ia mati sekarang? Ia akan membuat dua saudaranya murka dan melakukan pembunuhan massal pada orang-orang yang terlibat dalam kematiannya, ibunya akan sedih, dan ayahnya akan melakukan hal kejam lainnya.    “Daddy ….” Luzia menangis sekarang, ia berharap ayahnya segera pulang dan melewati jalan itu. Ia berharap ayahnya menghabisi orang-orang kejam di hadapannya.    “Mommy ….” lagi, Luzia mundur namun di belakangnya juga ada banyak musuh. Ia benar-benar ketakutan sampai luka di tubuhnya tidak terasa.    Sepuluh pisau melesat, pisau itu hampir saja mengenai Luzia. Seorang pria menarik tangan Luzia, ia mengayunkan katana di tangannya dan semua pisau itu terhempas di atas jalanan kasar dengan keadaan hancur. Luzia menatap pria yang menyelamatkan, namun ia pingsan saat pria itu mengecup bibirnya dan membuatnya menelan sebutir pil, “Gadis bodoh,” ujar pria itu dan menggendong Luzia, sambil menghabisi musuh-musuhnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN