Nieve berjalan cepat menuju ruangan pribadi Janira. Dia menutup pintu ruangan dan mendekat ke arah meja besar itu. Nieve mulai mencari sesuatu di sana. Tidak menemukan sesuatu yang dimaksud, Nieve membungkuk dan membuka setiap laci sembari memeriksanya dengan seksama.
Tatapan Nieve langsung terpaku pada sebuah benda berwarna biru. Dia meraih map biru itu dan memasukkannya ke dalam tas. Nieve kembali merapikan laci dan meja itu, membuatnya seperti sedia kala.
"Nieve," panggil Janira. Ibunya tiba-tiba muncul dari balik pintu.
"Ma ... Madre ...." panggil Nieve dengan suara tergagap. Dirinya terkejut melihat ibunya datang. Namun Nieve mencoba bersikap biasa.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Janira bingung dan masuk ruangan dengan nampan berisi makanan serta minuman.
"Ti ... tidak ada, Ma. Hanya melihat-lihat saja," jawab Nieve dan tersenyum. Dia menghampiri ibunya dan duduk di sofa.
"Ini pasta kesukaanmu," ucap Janira sembari memberikan sepiring pasta keju pada Nieve. "Makanlah."
"Ma, maafkan aku. Sepertinya aku melupakan sesuatu. Baru saja manajerku menelepon dan memintaku untuk menyerahkan beberapa berkas yang belum sempat aku selesaikan," bohong Nieve. Dirinya yakin jika ibunya akan percaya karena tidak mengerti apapun mengenai pekerjaan kantor.
"Okay tidak apa-apa Sayang. Pulanglah dan selesaikan tugasmu. Jangan lupa untuk makan dan istirahat."
"Iya Ma," jawab Nieve dan mengecup pipi Janira lalu pamit pulang.
***
"Aku pesan dua wanita. Suruh mereka untuk datang ke hotel Callegari."
Janira tersenyum senang, "Baiklah. Aku akan segera menyuruh mereka untuk datang."
"Berapa yang harus aku bayar?"
"Tiga ratus euro perjam," jawab Janira dan berjalan menuju arah seorang wanita yang sedang meminum Wine.
"Okay. Aku tunggu dalam waktu lima belas menit," ucap pria itu sebelum memutuskan sambungan teleponnya.
Janira menjauhkan ponselnya dari telinga. "Sabrina," panggil Janira pada seorang wanita yang memakai gaun malam berwarna hitam, "Cepat pergi ke hotel Callegari bersama Elisa," perintah Janira.
"Pria itu lagi?" tanya Sabrina mengingat satu minggu yang lalu ada seorang pria memesan jasa pelayanannya di hotel tersebut.
Janira mengangguk, "Kau tenang saja. Aku sudah menaikkan tarif kalian setelah tahu pria itu senang bermain b**m dengan kalian."
"Tapi Madam ... Aku sedang tidak ingin bermain seperti itu," ucap Sabrina mencoba menolak.
"Sudah tidak ada waktu, Sayang. Dia hanya memberikan waktu lima belas menit untuk menunggu kalian. Cepat cepat," balas Janira dan mendorong punggung Sabrina untuk segera bergegas.
Janira tertawa pelan merasa senang karena pada akhirnya Sabrina bersedia. Dia pun mengingat sesuatu, Janira langsung pergi ke ruangannya untuk menyerahkan map itu pada Maria.
Langkah Janira tertuju ke arah ruangannya. Dirinya segera mencari map yang dia simpan di laci nomer dua. Namun keningnya berkerut saat tidak menemukan map tersebut. Bahkan Janira sampai mengeluarkan setiap berkas di laci itu untuk mencarinya.
"Madam."
Janira tertegun mendengar suara Maria. Wanita muda itu memasuki ruangannya dan berhenti tepat di depan meja besar tersebut.
"Kau memanggilku?" tanya Maria.
"Kau melihat map biru di sini?" tanya Janira ragu. Sudah pasti jawabannya tidak karena tidak ada satu orang pun yang berani masuk ke ruangannya tanpa ijin darinya.
"Tidak," jawab Maria dan menggelengkan kepala.
"Mapnya hilang. Aku tidak menemukannya," ucap Janira cemas. Dia kembali memeriksa berkas-berkas di atas meja. "Cepat bantu aku mencari map itu," perintah Janira.
Keduanya pun nampak sibuk mencari benda tersebut. Janira terus memikirkan siapa saja yang masuk ke dalam ruangannya hari ini. Sampai akhirnya sebuah nama muncul dalam otaknya. Dia mematung membuat Maria menjadi bingung.
Janira menggelengkan kepalanya berulang kali seolah mengelak nama itu yang telah mengambil map tersebut. Dia kembali menggelengkan kepalanya sembari bergumam 'tidak' saat mengingat putrinya memperhatikan meja kerjanya. Janira terus bergumam tak percaya sampai tubuhnya hampir terperosot jatuh jika tidak bersandar pada meja.
"Madam, kau kenapa?" tanya Maria bingung melihat Janira terus menggelengkan kepalanya.
***
Nieve membaca dengan seksama setiap kalimat dalam berkas itu. Sepulangnya dari rumah ibunya, Nieve langsung menjatuhkan perhatiannya pada map itu. Seolah map tersebut begitu menarik untuknya.
Perhatian Nieve teralihkan saat mendengar ponselnya berdering. Dia pun meraih ponsel yang diletakkannya di atas meja. Nieve sedikit terkejut saat layar ponsel itu tertuliskan nama 'Madre' yang menghubunginya. Nieve langsung meletakkan berkas-berkas itu di atas meja dan mengangkat telepon dari Janira.
"Halo, Ma," sapa Nieve.
"Sayang, apa kau lihat map biru milik Madre?" tanya Janira cepat.
"Tidak," jawab Nieve pelan sembari menundukkan kepalanya.
"Sayang, itu berkas yang sangat penting. Madre sangat ingat meletakkan berkas itu ke dalam laci dan saat Madre hendak mengambilnya, berkas itu tidak ada. Apa ada orang lain yang masuk ke ruangan saat kau di sini?"
"Aku ... tidak melihatnya, Ma. Waktu Madre pamit ke dapur, aku pergi ke kamar mandi," jelas Nieve. Kali ini dirinya tidak berbohong. Dia memang tidak melihat siapa pun masuk ke dalam ruangan ibunya.
"Ya Tuhan ...." Janira mendesah pelan, "Madre sangat kebingungan mencari berkas itu, Sayang. Tolong hubungi Madre jika kau melihatnya, mengerti?"
"Iya, Ma," jawab Nieve.
"Kau ... Kau serius tidak melihatnya? Jangan bermain-main dengan berkas itu, Sayang. Jika ... Jika kau tidak sengaja mengambilnya, tolong segera kembalikan pada Madre, mengerti?"
"Iya, Ma. Aku tidak mengambilnya," jawab Nieve. Kepalanya tertunduk menatap beberapa lembar kertas.
Nieve mematung saat Janira memutuskan sambungan teleponnya. Dia menggigit bibirnya, merasa kesal pada dirinya sendiri karena telah berpikir untuk mencuri berkas itu.
"Aku melakukannya hanya untuk Madre. Iya, hanya untuk Madre," gumam Nieve mencoba memantapkan tekadnya kembali.
***
Bunyi bel samar-samar terdengar di tengah derasnya hujan. Wanita itu nampak kesusahan melindungi tubuhnya supaya tidak basah, meskipun payung dalam genggamannya sudah berusaha membantu. Sedang tangannya yang lain memeluk tas berisi sesuatu yang penting.
"Maaf Signorina, Anda siapa?"
Nieve sedikit terkejut menyadari keberadaan pria paruh baya di balik gerbang besi itu. "Sa-saya ingin bertemu dengan Mr. Giovinco," jawab Nieve dengan nada suara yang lebih tinggi. Takut jika pria yang tak lagi berusia muda itu tak dapat mendengarnya.
Nieve memperhatikan tatapannya. Dia dapat melihat rasa iba dari bola matanya. Sampai akhirnya Nieve menghela napas lega saat melihatnya membuka pintu gerbang.
"Silakan," ucapnya mempersilakan dan berjalan cepat menuju rumah.
Nieve pun mengikuti. Dia berjalan di belakangnya. Nieve menyadari jika sikap pria paruh baya itu memintanya masuk tak lain adalah merasa kasihan berdiri di depan gerbang di tengah-tengah derasnya air hujan.
"Anda bisa menunggu di sini," ucapnya lagi.
"Tunggu," Nieve mencegah pria itu pergi. "Apa Mr. Giovinco ada di rumah? Saya... ingin bertemu langsung dengannya."
Pria itu hanya diam dan tidak langsung menjawab pertanyaan Nieve. Bahkan tatapannya semakin memperhatikan Nieve yang dalam keadaan setengah basah.
"Mr. Giovinco belum pulang, Signorina."
"Belum pulang?" Nieve mengulangi ucapan Agusto, seorang kepala pelayan di rumah itu. "Lalu, kapan dia akan pulang?"
"Saya tidak tahu tentang itu, Signorina. Namun jika Anda ingin menunggu, Anda bisa menunggunya di sini," jelas Agusto. Dirinya tidak mempersilakan Nieve untuk masuk ke dalam rumah. Tapi, setidaknya berteduh di depan rumah lebih baik dibandingkan berdiri di gerbang menunggu kepulangan tuannya.
"Baiklah, aku akan menunggunya di sini," ucap Nieve ragu.
Agusto menundukkan kepala sejenak sebelum meninggalkan Nieve seorang diri di depan rumah. Bahkan pintu rumahnya kembali di tutup seolah melarang Nieve masuk secara terang-terangan.
Nieve hanya menatap sekilas daun pintu itu, lalu perhatiannya tertuju pada hujan yang semakin lebat. Dirinya meletakkan payung di lantai lalu memeluk tubuhnya yang terasa dingin menggunakan kedua tangan. Tak jarang dirinya terlonjak kaget saat mendengar gemuruh petir.
Mungkin waktu terasa berjalan begitu cepat, namun tidak untuk Nieve. Dirinya sudah merasa kantuk dan kedinginan menunggu hampir dua jam. Bahkan kakinya seperti mati rasa akibat pegal dan hawa dingin yang menusuk hingga tulang-tulang.
Nieve menyipitkan tatapannya melihat sebuah mobil melewati pintu gerbang yang terbuka secara otomatis. Dia menatap jam tangannya saat yakin jika mobil itu adalah pemilik orang yang mengirimkan surat perjanjian. Nieve menggigit bibir, dia merasa sedikit kesal karena harus dibuat menunggu hampir dua jam.
Mobil itu berhenti tepat di hadapannya. Nieve tidak mengalihkan tatapannya sedikit pun dari mobil itu. Dia merasa penasaran dengan sosok Enzo Giovinco.
Nieve menatap intens pada pintu bagian depan yang terbuka, namun perhatiannya langsung tertuju pada pintu belakang yang sedang dibuka oleh pria berjas. Melihat tingkah pria yang membuka pintu, membuat Nieve yakin jika pria itu adalah anak buahnya.
Kedua mata Nieve membelalak melihat pria yang baru saja keluar dari mobil. Pria itu bersikap acuh seolah tak melihatnya. Hingga dirinya berhenti melangkah tepat di depan Nieve. Bola mata hitam pekatnya menatap tajam pada Nieve.
"Siapa kau?" suara berat pria itu membuat Nieve terdiam sejenak.
"Sa-saya..." Nieve tidak bisa melanjutkan ucapannya. Dirinya merasa ragu untuk menjawab. Tangannya pun merogoh tas lalu mengambil berkas map biru dan memberikannya pada pria itu.
Namun bukan dirinya yang menerima berkas tersebut, melainkan pria lain yang terlihat lebih tua yang berdiri di sampingnya. Pria yang tak dikenal Nieve pun membuka map itu lalu menunjukkannya pada tuannya.
"Oh, jadi kau p*****r yang dikirim Jack?" tanya Enzo lalu memperhatikan Nieve mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Nieve hanya menundukkan kepala melihat tatapan Enzo yang seolah menilai tubuhnya.
"Bawa dia masuk," ucap Enzo pada Rery. Nieve menengadahkan kepalanya saat Enzo sudah berlalu meninggalkan dirinya dan Rery.
***
"Ini kamar Anda, Signorina," ucap Rery ketika mereka berdua sudah sampai di kamar.
Nieve memperhatikan sekeliling kamar. Kamar itu terasa menghangatkan tubuhnya. Dengan luas hingga tiga kali lipat dari kamar miliknya di flat house. Bahkan ranjangnya pun berukuran besar.
"Terima kasih," balas Nieve. Namun Rery tidak menjawabnya dan langsung pergi meninggalkan Nieve di kamar.
Langkah kaki Nieve tertuju ke arah sofa. Dia meletakkan tas dan melepas mantel bulu yang setengah basah. Beberapa menit kemudian pintu itu terbuka, menampakkan satu pelayan wanita serta pria paruh baya yang Nieve lihat beberapa menit lalu.
Nieve reflek meraih mantel serta tasnya, merasa tidak enak kepada dua orang asing tersebut.
"Maafkan saya," gumam Nieve pelan namun diabaikan oleh Agusto maupun pelayan wanita itu.
"Ini pakaian ganti Anda, Signorina," ucap Agusto seraya menunjukkan piyama berbahan sutra itu pada Nieve.
Nieve tersenyum sembari mengangguk kaku saat menerima pakaian itu dari pelayan wanita. Dirinya juga menundukkan kepalanya, mengikuti kedua orang itu.
"Nama saya Agusto. Anda bisa memanggil saja jika membutuhkan sesuatu," ucap pria itu memperkenalkan diri.
"Terima kasih," ujar Nieve.
Agusto dan pelayan wanita itupun membalikkan badan meninggalkan Nieve. Sedangkan Nieve mendesah lega saat pintu itu kembali tertutup. Jujur saja, Nieve merasa tidak enak hati pada Agusto dan menahan napasnya saat berbicara dengan pria berwajah tidak ramah itu.