Waktu yang Sangat Berkualitas

2704 Kata
..**..             Selama di perjalanan, Naswa masih terus mendiamkan Rangga. Jikalau Rangga bertanya padanya tentang hal kecil, Naswa akan menjawabnya dengan singkat saja.             Sebagai seorang pria, Rangga mengerti jika Naswa masih kesal dengan kejadian tadi. Tidak hanya Naswa saja, dia bahkan kaget mendapat perlakuan tiba-tiba dari Mika yang selama ini hanya berani berbicaranya dengannya dari jarak jauh.             Berulang kali dia melirik Naswa, namun wajah cantik kekasihnya itu masih terus tertekuk. Dia sendiri bingung bagaimana harus membuka pembicaraan agar wanitanya mau melupakan kejadian beberapa menit yang lalu.             Sedangkan Naswa, dia tidak memahami apa yang ada di hatinya saat ini. Dia memang kesal dengan kejadian saat di rumah Rangga. Tapi dia tahu kalau Rangga tidak bisa berbuat apa-apa. Dia tidak bisa membentak seorang remaja dewasa yang merupakan putri dari keluarga yang pernah mengurus Rangga sejak dia kecil. Lalu bagaimana dengan perasaan kesalnya ? Dia bahkan ingin sekali menjadi arogan dengan menjambak kuat rambut Mika tadi. Namun, dia harus menjaga sikapnya dengan baik. Dia tidak mau membuat kesalah pahaman antara Rangga dengan pengurus rumahnya selama ini. Sekarang, dia hanya perlu menenangkan dirinya sendiri. Dia tahu jika Rangga serba salah dengan sikapnya saat ini. Tapi menurutnya tidak masalah. Sebab Rangga bisa melihat keadaannya, tanpa perlu menebak-nebak. Naswa tahu jika perasaannya terhadap Rangga memanglah tidak main-main. Tapi ada kalanya dia merasa jika dia ingin memiliki Rangga seutuhnya dan tidak rela jika Rangga membagi perhatiannya ke wanita lain. Meskipun hanya membagikan perhatiannya pada seorang remaja dewasa yang sudah dianggap sebagai Adik oleh Rangga. Dia seorang wanita. Tentu saja dia memiliki kecemburuan yang tinggi. Bahkan sampai detik ini saja, walaupun dia merasa jika Rangga menyembunyikan sesuatu darinya. Dia masih menjaga perasaan itu untuk Rangga. Perasaan yang menguatkan Naswa untuk tetap menjaga dirinya disaat Rangga jauh darinya. Atau sampai Rangga menikahinya. Tapi sepertinya prinsip Naswa sudah luntur. Dimana mereka telah melakukan hal yang baru Naswa pelajari. Sebagai seorang Peneliti, tidak asing bagi Naswa melihat siapapun berciuman atau bercintaa.             Namun, untuk melakukan ciuman pertama kali, baginya sangatlah sensitif. Dia ragu untuk melakukannya tadi. Tetapi Rangga, juga dengan sikapnya yang begitu lembut dan menuntunnya, membuat Naswa semakin terlena.             Memikirkan kejadian tadi, membuat perasaannya sedikit membaik. Kini, kedua sudut bibirnya mengembang.             Saat dimana dirinya hanya bisa menjelajahi dan meneliti melalui respondennya selama ini, kini dia merasakannya langsung. Menerima kecupan dari bibir seksi yang selama ini dekat dengannya, namun dia tidak ingin jika bibir itu menyentuh miliknya.             Tubuhnya merasakan sensasi yang berbeda saat Rangga menghisap bibirnya. Bahkan miliknya sudah basah. Dan dia merasakan itu dengan jelas.             Kenikmatan saat pangutan itu terus terkendali olehnya, Naswa tak bisa melupakannya barang sedetik pun. Sangat nikmat, bahkan dia masih merasakan kebas di bibirnya.             Detik ini, ingin rasanya dia menyapu bibirnya sekali lagi. Namun, dia harus menjaga sikap di hadapan Rangga.             Dia tidak mau kalau Rangga tahu jika dirinya menikmati ciuman mereka, bahkan dia seperti ingin mengulanginya sekali lagi. Terutama saat gunung kembarnya terus diremas, rasa sakit itu menghantarkan sensasi yang berbeda.             Naswa terus melamunkan kejadian yang membuat wajahnya sedikit sumringah. Dia tidak tahu jika Rangga terus memperhatikan ekspresi wajahnya sejak tadi.             Rangga hanya diam saja. Entahlah, dia merasa jika Naswa mungkin masih mengingat dan menarik kembali kemanisan yang mereka lakukan saat berada di kamarnya satu jam yang lalu.             Dia paham betul bagaimana daya ingat wanita akan hal yang manis-manis. Setidaknya saat ini perasaan wanitanya sudah sedikit membaik. Dia hanya perlu mendiamkannya sejenak, sembari mobilnya melaju sampai ke tempat tujuan mereka. *** Podomoro City Deli, Medan, Indonesia., Basement Mall., Sore hari.,        Mobil Rangga masuk menuju area basement sebuah kawasan terelit di Kota Medan. Saat mobilnya masuk ke area basement, Naswa meliriknya. Rangga mengetahui hal itu. “Kenapa, Sayang?” tanya Rangga padanya.             Naswa menghela panjang nafasnya. “Kenapa kita kesini?” tanya Naswa sembari melihat area parkiran mobil yang tidak terlalu sempit disana, begitu juga dengan Rangga melakukan hal yang sama. “Katanya mau jalan-jalan,” jawabnya dengan gumaman pelan. “Iya kan jalan-jalan, Bang. Bukan ke Mall,” sahutnya dengan nada sebal.             Rangga melirik Naswa sekilas dengan tetap fokus mengelilingi area basement sembari mencari posisi yang pas. “Iya dari pada jalan-jalan di jalan. Bagus jalan-jalan kesini. Sayang gak mau belanja?” tanya Rangga menawarkannya pada seorang Naswa yang memang hobi belanja.             Naswa melirik Rangga dengan ekspresi malas. “Dih … pakai acara nawari segala. Ya mau lah.” Dia langsung membuang wajahnya ke arah yang lain.             Rangga mengulum senyumnya, melirik Naswa yang sudah senyam-senyum. “Abang temani sampai puas,” ujarnya lagi.             Naswa memberi ekspresi mengejek saat melihat Rangga. “Yakin tahan? Ntar capek?” balasnya dengan nada terdengar menyepelekan.             Rangga fokus mengemudikan mobil, menata mobil agar bisa terparkir dengan sempurna. “Yakin!” jawabnya singkat, tanpa melirik ke arah Naswa.             Setelah Rangga selesai memarkirkan mobil, mereka bersiap-siap untuk keluar dari sana. Saat Naswa hendak keluar dari dalam mobil, ponselnya berdering.             Dia mengambil ponselnya, dan melihat siapa yang menghubunginya saat ini. Bg Pai is calling… ‘Ada apa Abang nelpon lagi?’ bathinnya merasa heran. Sebab sejak tadi siang sebelum dirinya berangkat ke stasiun menjemput Rangga, Pai terus menghubunginya.             Dia pikir, mungkin ada hal penting yang mau disampaikan oleh Pai. Dia langsung menjawab panggilan dari Pai. “Hallo. Ada apa, Bang?”             Rangga melihat Naswa tengah bertelepon. Serelah dia mengunci mobil, dia berjalan mendekati Naswa. “Gak papa. Kamu dimana?”             Naswa memutar malas bola matanya. Dia beralih menatap Rangga yang mulai menggenggam jemari kanannya. “Ayo, Sayang.” Rangga menuntun Naswa untuk berjalan menuju pintu masuk di sebelah sana. “Baru sampai Podomoro ini. Nanti ajalah, Bang. Aku lagi jalan-jalan,” ujarnya dengan nada ketus. “Heleh! Giliran lagi happy-happy aja gak ingat Abang! Coba kalo ada masalah!” “Justru Abang yang ke Medan tanpa aku minta!” sahut Naswa cepat dengan nada jengkel.             Terdengar suara tawa Pai dari seberang telepon. “Yauda, hati-hati disana. Ingat, jangan mau dicium-cium sama laki-laki kecuali sudah sah jadi suami kamu!” “Iya!” “Jangan iya-iya aja, Naswari!” “Iya, Bapak Muhammad Rifai Hasibuan!”             Rangga melirik Naswa sekilas. Ekspresi tampak bahagia sekali. “Oke, mantap!” “Hmm … Dah ya, Bang! Bye!” “Woiii!” Tutt… Tutt… Tutt…             Naswa mengulum senyumannya seraya puas mengerjai pria yang sudah dia anggap sebagai Abangnya sendiri. Dia tahu, pria itu pasti tengah kesepian sehingga menelpon dirinya.             Tapi dia pikir, dia akan menghubunginya kembali setelah kembali ke rumah.             Rangga masih mengamati ekspresi Naswa saat ini. “Dia sering menghubungi kamu, Sayang?” tanya Rangga meminta jawaban pasti.             Naswa sedikit mendongkkan kepalanya, menatap Rangga. “Gak juga sih, Bang. Cuma ya paling tidak, 4 kali dalam seminggu, dia pasti menghubungi Naswa. Ya sekedar ngobrol biasa gitu,” jawabnya jujur.             Rangga menganggukkan kepalanya. Tidak bisa dia halau pikirannya saat ini, mungkin saja Pai masih menyimpan perasaan itu untuk Naswa. Dia yakin itu.             Naswa menatap Rangga, hingga dia tersenyum dan semakin menggenggam erat jemari kanannya. “Mau kemana kita, Sayang? Belanja atau makan dulu?” tanya Rangga sembari menatap lurus ke depan. Dia tidak mau Naswa berpikiran jika dirinya tengah cemburu. “Nelayan aja lah. Pengen makan pangsitnya,” jawab Naswa dan segera diangguki iya oleh Rangga.             Rangga terus menggenggam erat jemari Naswa seakan tidak mau kehilangannya. Dia memastikan Naswa selalu nyaman saat jalan berdua dengannya.             Waktu yang seperti ini, yang sangat diingankan oleh Rangga. Namun profesinya sebagai seorang Dokter Ahli tidak bisa membuatnya bergerak bebas.             Apalagi jika dirinya kembali ke London atau mengerjakan pekerjaannya yang lain. Seperti bisnis keluarga yang sudah diwariskan untuknya. ..**..             Saat ini, mereka tengah makan di sebuah restauran khas masakan khas Asia. Rangga membiarkan Naswa yang memesan menu untuk makan siang mereka.             Dan Naswa, tentu dia sudah hapal apa saja menu yang disukai kekasihnya itu. Dia tidak terlalu menyukai makanan berlemak dan manis-manis.             Berbeda dengan Naswa yang memakan segala macam jenis makanan. Apalagi saat ini dirinya tengah berada dalam kondisi baik, dimana dia ingin memakan makanan apapun disini. … 20 menit kemudian., Nelayan Jala-Jala.,             Rangga tersenyum melihat Naswa yang duduk di sebelahnya, makan dengan lahap. Sebenarnya dia ingin menghentikan Naswa memakan terlalu banyak lemak. Tapi percuma, pikirnya.             Sebab wanitanya sangat tidak suka diatur soal makanan. Sebagai seorang kekasih, Rangga hanya mengingatkan dan memberi beberapa obat jika saja Naswa merasa ada yang aneh di tubuhnya.             Seperti leher yang berat, atau kaki kram dan kesemutan, atau mungkin kepala yang sangat pusing. Dia juga tidak pernah lupa mengontrol alat cek darah instan yang bisa Naswa bawa sehari-hari sebagai teman pengontrol. “Enak, Sayang?” tanya Rangga sembari menyapu sedikit bumbu yang tampak di sudut bibir kanan Naswa.             Naswa meliriknya sekilas, dan mengulum senyumannya saja. “Enak kalau dimakan saat lapar,” jawabnya dan direspon senyuman oleh Rangga.             Sejujurnya, Naswa mengakui bahwa dirinya sangat bahagia sekali bila Rangga mau menyisihkan waktunya seperti ini. Karena selama 2 tahun mereka menjalin hubungan, Rangga sangat jarang sekali mengajaknya jalan berdua. “Abang kenapa lihatinnya begitu?” Kening Naswa sedikit mengerut. “Gak malu dilihatin orang-orang,” sambungnya lagi sembari mengunyah makanan.             Rangga hanya mengulum senyumannya saja. Dan hanya ekspresi seperti itu yang bisa dia ukir di wajahnya saat melihat dan berdekatan dengan Naswa.             Sesaat Rangga mengingat keluarga Naswa. “Papa sama Mama sehat? Miswa gimana kuliahnya?” tanya Rangga menatap lekat Naswa sembari menyisihkan beberapa helai daun yang ada di piring Naswa. Deg!             Jika mengingat sang Ayah, dia menjadi geram. Namun, dia tidak mungkin menunjukkan itu pada Rangga.             Dia juga sangat malas jika harus menjelaskan detail mengenai perbuatan bejaat Ayahnya sendiri. Selain malas, dia juga malu terhadap Rangga. Dia tidak bisa menebak apa yang akan Rangga pikirkan mengenai kelakuan Ayahnya yang seperti binatang.             Atau mungkin Rangga akan berpikir ulang untuk meneruskan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Sebab Naswa sadar, kelakuan Ayahnya adalah aib yang sangat besar.             Entah lah, dia tidak tahu harus melakukan apa kalau seandainya Rangga mendengar berita perselingkuhan Ayahnya dengan wanita yang berprofesi sebagai Kepala Lingkungan.             Naswa melirik Rangga dan tersenyum. “Papa sehat. Mama, alhamdulillah juga sehat kok. Miswa sebentar lagi sidang katanya. Oh ya, tadi pagi rencananya Naswa mau belanja sama Mama sama Miswa, sekalian belanja bulanan. Tapi, karena kita sudah buat janji, jadi mereka pergi berdua saja.” Naswa memberitahunya.             Kedua alis Rangga terangkat ke atas. “Lalu kenapa Sayang tidak pergi sama Mama dan Miswa?”             Niswa melirik Rangga sekilas. “Kita jarang-jarang begini, Bang. Lagi pula, kami sudah sering belanja bertiga. Jadi sudah terbiasa,” jelas Naswa lagi.             Rangga menganggukkan kepalanya saja. Saat dia terus menatap lekat wajah Naswa karena tidak ada kegiatan lain. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Dddrrrttt…             Rangga segera menjangkau ponselnya yang berada di dekat tas Naswa. Kak Reefa is calling… ‘Ada apa?’ bathinnya seraya bertanya-tanya sendiri. Sebab tidak biasanya Kakaknya langsung menghubunginya tanpa mengirim pesan terlebih dahulu.             Naswa melirik ekspresi Rangga yang mulai datar. “Siapa, Bang?” tanya Naswa sembari melihat ke layar ponsel Rangga yang menghadap ke arahnya. “Kak Reefa, Sayang.” Rangga menjawabnya jujur. “Yauda angkatlah. Siapa tahu penting,” ujar Naswa seraya memberi saran.             Rangga langsung menjawab panggilan dari Kakaknya, Shareefa Siregar. “Hallo. Assalamu’alaikum. Ada apa, Kak?” Dia melirik Naswa sembari membelai wajahnya dengan jemari kanannya. “…” Deg!             Rangga terdiam saat sang Kakak terus berbicara panjang lebar dari balik telepon mereka.             Sedangkan Naswa, dia terus melihat ekspresi Rangga yang begitu serius.             Meski dirinya tengah makan saat ini, tapi dia terus memperhatikan bagaimana tampannya seorang Rangga. Dia merasa begitu beruntung bisa memegang komitmen dengan pria ini.             Dia terus menikmati hidangannya, sembari menunggu Rangga yang tengah bertelepon dalam diamnya. Ponselnya berdering. Dddrrrtttt…             Naswa hendak menjangkau ponselnya. Dan Rangga melihat notifikasi pesan masuk di layar ponsel milik Naswa. “Pesan, Sayang.” Rangga memberikan ponsel itu pada Naswa. “Aah … Naswa, Kak.” Dia melirik Naswa dengan senyuman. Rangga tahu, Naswa belum terbiasa jika dirinya memanggil Naswa dengan panggilan sayang.             Tentu saja Naswa heran dengan kalimat Rangga barusan. Bagaimana mungkin Rangga memanggilnya sayang ketika tengah bertelepon dengan Kakaknya. Sebab dirinya yang malu, bukan Rangga.             Naswa membuka pesan masuk di ponselnya. Keningnya berkernyit. ‘Miswa?’ Bathinnya heran. * Kak, kartumu diambil sama Papa! Masa dia marah-marah pas tahu kami pulang bawa belanjaan banyak! Aku kan beli tas sama baju banyak. Sama Mama juga! Tapi kan pakai uangmu Kak! *             d**a Naswa memanas. Nafsu makannya tiba-tiba menghilang begitu saja. Dia segera membalas pesan dari Miswa. Jadi, mana kartuku? * Ya sama Papa lah! * Ambil! Bilang itu punyaku! * Dia gak percaya loh. Dia kira itu punya Mama terus Mama foya-foya! *             Naswa mulai menarik nafasnya dalam-dalam. Bagaimana mungkin Ayahnya mengira jika itu adalah kartu sang Mama. Sedangkan di belakang kartu kredit itu sudah sangat jelas tertera namanya, Naswari Ayudya. Dia berulang kali menghela nafasnya, hingga tak sadar jika Rangga berbicara padanya. “Ada apa, Sayang?” tanya Rangga sekali lagi, dia meliriknya.             Naswa menoleh ke arah kiri. Ternyata Rangga sudah selesai bertelepon. “Eumh gak ada, Bang. Ini Miswa baru sampai di rumah. Dia ngabari aja,” jawab Naswa tanpa berterus terang.             Rangga menganggukkan kepalanya saja. Melihat Naswa belum menghabiskan makanannya, dia menyibukkan diri dengan membaca beberapa pesan yang masuk ke dalam ponselnya.             Sedangkan Naswa, dia kembali melanjutkan pesannya pada Miswa. * Kartunya sama dia sekarang? *             Tidak lama dia mengirim pesan, Miswa langsung membalasnya. * Iya sama Papa, Kak * Yauda biarin aja. Nanti malam aku pulang. * Mama nangis lagi. Tadi Papa marah-marah sama Mama Ini Kakek sama Nenek di rumah nenangi Mama *             Naswa semakin tidak bisa mengontrol emosinya. Dia benar-benar sudah tidak tahan dengan sikap Ayah mereka.             Tapi tidak mungkin dia pulang ke rumah sekarang juga. Sebab dia masih ingin menikmati waktu berdua bersama dengan Rangga.             Kepalanya terasa mau pecah. Buat Naswa, tidak masalah jika Ayahnya melakukan apapun yang dia mau, asal tidak berkata kasar, bermain fisik, dan membuat Mamanya menangis.             Untuk saat ini, dia sedikit tenang sebab sudah ada Kakek dan Nenek di rumahnya. Dia kembali membalas pesan Miswa. * Jangan sampai Mama berdua sama Papa di kamar ya! Jaga Mama sampai aku pulang! * Iya kak *             Naswa menyisakan sedikit makanannya. Dia meminum segelas jus jeruk miliknya sembari melirik Rangga. “Kenapa tidak dihabiskan, Sayang?” tanya Rangga menatapnya lekat. “Sudah kenyang, Bang.” Naswa lalu menyapu bibirnya dengan tissue.             Rangga memperhatikan setiap gerakan-gerakan Naswa yang sangat jarang dia lihat. “Mau Abang bantu bersihkan?” tanya Rangga ambigu.             Naswa mengernyitkan keningnya. Sebab dia memang tidak paham apa maksud Rangga. “Bantu bersihkan apa, Bang?”             Rangga tersenyum, dan menyapu bibir Naswa yang menurutnya sangat kenyal. “Ini,” gumam Rangga dengan senyuman tipis. Deg!             Darah Naswa langsung berdesir. Dia mengedarkan pandangannya ke arah yang lain. Memastikan lebih, jika tidak ada seorang pun yang mendengar kalimat Rangga barusan. “Abang! Kalau ngomong gak pakai di rem!” ketus Naswa dengan gumaman kecilnya.             Rangga hanya tertawa geli melihat ekspresi Naswa saat ini. Dia benar-benar beruntung memiliki wanita cerdas, namun polos seperti Naswa.             Bagaimana mungkin dia bisa melepas Naswa begitu saja, jika Naswa sendiri mampu membuat hatinya sangat nyaman. Bahkan sikap Naswa padanya begitu dewasa, dan tidak membebaninya dalam hal apapun. Itu juga salah satu yang dia kagumi dari sosok Naswa.             Rangga masih sabar menunggu Naswa makan sepuasnya di restauran favoritnya ini. Karena selama di Medan, Rangga memang menyediakan waktu khusus untuk Naswa.             Dia rela merombak semua jadwal hanya untuk berdua saja dengan Naswa. Hanya dengan cara begini dirinya bisa terbebas dari segala panggilan telepon dari pihak Rumah Sakit yang memakai jasanya.             Rangga masih terus menatap lekat Naswa. “Setelah ini kita kemana, Sayang?” tanya Rangga menatap lekat Naswa.             Naswa sedikit berpikir. Namun, setelah dia menimbang jika dia dan Rangga memiliki waktu yang sangat terbatas. “Kita ke Timezone aja ya, Bang? Habis itu belanja,” ujarnya dengan suara sedikit manja.             Rangga mengulum senyumannya sembari mengangguk iya. Tidak peduli dengan banyaknya pengunjung yang ada disana, dia sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan mengecup kilat kening Naswa. “Abang!” ketus Naswa melotot tajam ke arahnya. “Maaf, Sayang.” Rangga menyahutnya dengan mata berkedip berulang kali.             Naswa hanya bisa menghela panjang nafasnya saja. Sebab dia tahu jika Rangga akan tetap bertingkah seperti ini. Tapi di sisi lain, Naswa menyukai sikap Rangga yang tidak sedingin waktu lalu.             Kalimat yang dilontarkan Rangga sudah cukup banyak untuk membuat hatinya kembali membaik. Dia merasa, Rangga menghargainya jauh lebih baik dari sebelumnya. Yah, Naswa pikir begitu. * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN