Melihat orang itu berlari kearahnya, dengan senang hati Rara melebarkan kedua tangannya.
"Sayangnya gue. Tau dari mana kalo gue mau balik?" tanya Rara ketika orang itu sudah di pelukannya.
Chika melepaskan pelukannya dan menatap Rara sengit, "Si anjir emang. Susah ya emang, ngabarin kalo mau balik ke Indo?" sindir Chika. Dirinya tidak habis fikir dengan sahabatnya yang satu ini. Dia tahu Rara akan pulang ke Indo saja dari Aryo. Dan Aryo mengatakan jika bunda Inggit yang akan ke bandara. Kesempatan itu tidak Chika sia-siakan.
Bukannya marah, Rara malah terkekeh mendengar sindiran yang sahabatnya layangkan.
Rara menatap sekitarnya, "Bentar." benar, orang yang dia cari tidak ada, "Dika mana?"
"Dia lagi ngurusin skripsinya."
"Lah kok lu ngga? Kan masuknya barengan?"
"Si oncom, baru aja masuk tiga tahun yang lalu. Si Dika ngambil semester pendek. Jadi dia bakalan sidang duluan. Tadi udah gue ajak, katanya nanti aja nyusul ke rumahnya bunda Inggit."
"Widih, keren tuh anak. Pasti di suruh yaa sama om Gilang?" om Gilang di sini yang di maksud Rara tidak lain dan tidak bukan adalah papah dari Dika.
"Yups, itu juga gue ikut turun tangan njir buat ngerayu doi biar mau ikut semester pendek."
"Emang kenapa?"
"Ya lu tau, Dika orangnya keras. Om Gilang keras, yaudah dah jadi satu. Dan buna Lia yang langsung minta tolong ke gue."
Rara mengangguk-anggukan kepalanya, "Bagus deh. Om Gilang pasti nyuruh begitu ada alesannyakan. Ngga mungkin om Gilang nyuruh Dika ambil semester pendek tanpa adanya alasan."
"Sepertinya Ra. Gue juga belum tanya sih."
"Oh iya, bunda Inggit mana?"
Rara menatap sekelilingnya, ternyata ayah dan masnya sudah pergi meninggalkan dirinya dan juga Chika.
"Tadi ke minimarket itu." Chika menunjuk tempat di mana minimarket itu berada.
Benar saja, di depan mini market bandara, ayahnya, bunda Inggit dan masnya sudah duduk bersantai. Dan anaknya Nalen, sudah berpindah tempat menjadi di pangkuan bunda Inggit.
"Assalamu'alaikum Bunda sayang." salam Rara ketika sudah berdiri di sisi bunda Inggit.
Begitu mendengar suara yang dia rindukan, sontak bunda Inggit menolehkan kepalanya.
"Ya Allah anak Bundaaa." Inggit langsung merangkul bahu Rara dan tangannya yang satu lagi memegangi agar cucunya tidak jatuh.
"Kangen Bundaaa.." Rara memeluk bunda Inggit dari samping dengan kedua tangannya.
"Bunda juga sayang." Inggit mengecup sekilas pucuk kepala putrinya. Walaupun Rara bukan darah dagingnya, tapi dia sudah sangat menyayangi Rara selayaknya anak kandung.
"Mamah Dita ngga bisa ikut sayang, nanti katanya mau ke rumah langsung." ujar Inggit.
Rara duduk disamping Inggit yang kebetulan kosong, "Yaudah Bun gak papa."
Sedih sedikit tidak melihat kehadiran ibu kandungnya di bandara. Tapi Rara tidak mau menunjukkan rasa kesedihannya kepada orang yang dia sayang. Cukup dirinya saja yang merasakan.
"Mau langsung pulang ini?" tanya Aryo selesai menyeruput kopinya.
"Mas, mampir dulu dong." pinta Rara.
"Ke mana?"
"Ke saung yang deket danau itu loh. Yang Mas pernah ajak aku ke sana."
"Saung deket danau Cipondoh?" tebak Zein.
"Yaps."
Aryo melirik jamnya sekilas, "Yaudah yuk sekarang aja." dia bangkit dari duduknya dan diikuti oleh yang lain termasuk Rara.
Tapi tidak lama setelah bangkit dari duduknya, Nalen menangis di gendongan Inggit.
"Utu-utu anak bunda kenapa nangis? Kan lagi di gendong sama Eyang?" bukannya berhenti menangis, Nalen malah semakin mengencangkan suaranya.
"Dia masih asi Ra?" tanya bunda Inggit.
Rara menganggukan kepalanya, "Masih Bun."
"Bentar," Rara mengejar langkah Aryo yang sudah cukup jauh.
"Mas tunggu." teriak Rara berusaha menghentikan langkah Aryo. Benar saja, langkah Aryo terhenti setelah mendengar teriakan adiknya.
"Kenapa?"
"Mau ambil susunya Nalen." Rara langsung mengambil alih tas besarvyang di bawa Aryo.
Setelah mendapatkan apa yang dia cari, Rara menghampiri kembali putranya.
"Mau sama Bunda aja atau sama aku?"
"Sini, biar Bunda aja." Inggit mengambil s**u yang ada di tangan Rara. Dia sama sekali tidak merasa di repotkan.
Berbeda dengan Rara dan Inggit yang sibuk menghentikan tangisan Nalen. Aryo tadi sempat melihat sesosok yang tidak asing dengan penglihatannya. Dia melihat pria itu.
"Pah,"
"Iya Yo." sahut Zein seraya memasukkan koper outrinya ke dalam mobil.
"Aku ngga bisa bareng deh, mau labgsung ke kantor aja."
"Ada panggilan mendadak tah?"
"Iya Yah. Tadi Carin telfon aku, katanya ada client yang mau ketemu langsung sama aku." elak Aryo menjadikan sekertarisnya sebagai alasan. Tidak mungkin dia mengatakan hal yang sejujurnya.
"Oh yaudah. Bilang sana sama bunda."
Aryo menghampiri bundanya dan juga sang adik. Dia berpamitan, Rara kecewa sebenarnya tapi mau bagaimana lagi.
"Mas janji, abis dari kantor kamu Mas ajak keliling Jakarta deh."
"Beneran ya?"
"Iya sayang." sahut Aryo berusaha meyakinkan adiknya.
Setelah mendapatkan anggukan dari bunda dan juga Rara, barulah Aryo meninggalkan mereka semua. Tidak lupa dia juga berpamitan dengan Chika yang dari tadi hanya diam saja disamping Rara. Biarlah nanti saja dia menanyakan ada apa dengan Chika. Yang terpenting sekarang adalah menemukan jejak pria itu. Tidak ada yang tidak mungkin bagi seorang Aryo.
Lihat saja, Aryo akan menemukan keberadaan pria itu.