Entah sudah berapa lama, Ira berjalan mondar-mandir di depan kamar putranya. Begitupun dengan Rani yang lelah melihat mamahnya seperti setrikaan di depan kamar adiknya.
Rani menghela nafasnya sejenak dan menghampiri mamahnya.
"Mah, udah ya. Mungkin Aldo emang lagi butuh waktu sendiri."
Ira menatap putrinya dengan kedua matanya yang berkaca-kaca, "Aldo Ran Aldo." air mata yang dari tadi dia cegah, perlahan turun kembali.
Rani yang tidak sanggup melihat mamahnya menangis, sontak memeluk tubuh Ira yang mulai bergetar.
"Rani yakin, Aldo ngga mungkin kelakuin hal yang aneh-aneh Mah. Aldo udah dewasa, pasti tahu apa yang harus dia lakuin."
Ira masih teringat jelas, kejadian yang baru saja terjadi. Kejadian di mana putranya datang dengan keadaan yang bisa di bilang tidak baik-baik saja. Banyak luka di wajah putranya dan jalannya yang sempoyongan. Entah apa yang sudah terjadi, Ira berharap apapun itu tidak terlalu menyakiti perasaan anaknya.
Berbeda dengan Ira dan Rani yang berpelukan di depan kamar Aldo. Sang empu malah tengah tertunduk seraya memegangi sebuah bingkai di tangannya. Bingkai yang mana ada sebuah foto menunjukkan apa artinya bahagia. Tapi sekarang, Aldo lupa cara untuk mendapatkan kebahagiaan seperti apa yang ada di figura itu.
Foto di mana dirinya bersama dengan wanita yang amat dia cintai hingga detik ini. Kurang lebih empat tahun sudah berlalu, tapi rasa yang dia miliki tetap sama. Tidak berubah sedikit pun. Kebiasaan Aldo sebelum menemukan wanitanya sudah menghilang begitu saja.
"Sampai kapanpun, hati ini tetap milik kamu Ra. Tidak akan ada yang merebut atau menghak milikkan. Hanya kamu, dan tetap kamu Ra." ujar Aldo seraya mengelus kaca foto tepat di wajah wanita tersebut.
Setelah puas memandangi figura tersebut, Aldo langsung memeluknya. Kejadian di mana dia mau mencari tahu keberadaan wanitanya tadi kembali teringat di fikirannya. Dan berakhir dengan wajahnya yang babak belur.
Sebenarnya bisa saja Aldo menggunakan detektif ternama untuk menemukan Rara. Tapi hal itu tidak akan pernah Aldo lakukan. Dia mau menemukan wanitanya benar-benar dengan tangannya sendiri. Tanpa ada bantuan dari siapapun.
Bahkan papahnya juga sering menawarkan bantuan untuk menemukan wanitanya. Tapi secara terang-terangan Aldo langsung menolak tawaran itu.
Merasa ada yang menetes dari wajahnya, Aldo baru sadar jika wajahnya benar-benar hancur dan terluka. Ternyata bukan hanya hatinya saja yang terluka, wajahnya pun demikian.
Pengorbanan untuk mendapatkan kabar tentang wanitanya memang butuh sebuah perjuangan. Tadi Aldo mau mencari tahu tentang data keberangkatan pesawat hari ini. Tapi belum sampai dirinya di bandara, di tengah perjalanan ada yang langsung menghentikan mobilnya. Dan tanpa tendeng aling langsung memukulinya sampai babak belur seperti ini.
Aldo sangat yakin, pasti dalang di balik ini semua tak lain dan tak bukan adalah Aryo Purnomo. Kakak tiri dari wanitanya. Dia baru tahu kenyataan itu setelah dirinya pernah mengatakan perkataan yang jelas-jelas membuat wanitanya sakit hati. Penyesalan itu memang datang di akhir.
Tapi bukan Aldo Frenklin namanya jika menyerah begitu saja sebelum benar-benar memulai perjuangannya. Bagi Aldo, ini baru awal.
Tok.. Tok... Tok...
"Do, Aldo sayang, keluar yuk. Kita makan malem dulu."
Yang tadinya Aldo tidak mau membuka pintu kamar sampai besok, tiba-tiba saja luluh ketika mendengar suara serak seperti habis menangis. Yang tak lain adalah suara mamahnya sendiri.
Ceklek,
Melihat pintu di depannya sudah terbuka, Ira sontak memeluk tubuh putranya.
Tangan Aldo langsung terulur mengelus punggung mamahnya, "Mamah kenapa nangis?"
Ira mengendurkan pelukannya dan mengelap sisa air matanya, "Ngga. Mamah cuman kelilipan. Kamu udah makan siang? Yuk, makan siang dulu. Mamah udah masakin kamu cumi asin loh."
Tanpa menunggu jawaban putranya, Ira langsung menarik tangan Aldo menuju ruang makan.
Ternyata di ruang makan ada banyak orang. Semua orang di ruang makan menatap Aldo dengan tatapan khawatirnya.
"Ya Allah, muka kamu Do." Rani yang melihat wajah adiknya tidak baik-baik saja, sontak menarik tangan Aldo. Dia bukan berniat menghentikan kegiatan makan adiknya, tapi dia mau mengobati luka lebam yang ada di wajah sang adik.
"Sok-sokan sih mau ikut tawuran segala. Liat ini muka kamu. Di kata keren kali berantem gitu, ngga Do. Ngga sama sekali." omel Rani yang hanya ditanggapi tatapan jengah oleh adiknya.
Aldo sendiri memilih untuk diam saja. Baginya percuma menanggapi omelan kakaknya, yang ada bukannya berhenti
malah panjang urusannya.
Walaupun mulutnya tidak berhenti mengomeli sang adik, Rani tetap fokus mengobati luka-luka di wajah Aldo.
"Dah selesai." Rani lantas bangkit dari sofa. Tapi sebelum dia beranjak dari ruang keluarga, ada yang menahan pergelangan tangannya.
"Makasih ya Kak." ujar Aldo seraya menunjukkan senyumannya. Otomatis Rani ikut membalas senyuman itu.
"Kakak tahu kenapa kamu begini. Jangan nyerah kalo emang kamu mau DIA balik." Rani bukan tidak tahu menahu apa yang terjadi dengan kisah percintaan adiknya itu. Walaupun Aldo tidak pernah menceritakan, tapi Rani tahu semua. Papahnya lah yang memberi tahu Rani.
"Doain ya Kak, semoga aku cepet ketemu."
"Aamiin. Yaudah lepasin, Babas belom mau makan kalo Mamahnya masih di sini."
Aldo langsung melepaskan genggamannya. Bukannya beranjak dari ruang keluarga, Aldo lebih memilih untuk menidurkan dirinya di sofa yang sedang dia duduki.
Sangat jelas di fikirannya, terbayang sosok yang amat dia rindukan. Satu hal yang Aldo takutkan, Rara menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Seperti yang dia tahu, ada seseorang yang mengirimkan sebuah surat di meja kerjanya dan menyatakan jika bayi yang ada di kandungan wanitanya sudah di gugurkan.
Hancur? Jangan di tanya. Aldo hancur sehancur-hancurnya. Tapi bukan Aldo namanya jika percaya begitu saja dengan sebuah surat. Hari ke hari Aldo terus mencari tahu kebenaran dari surat itu. Tapi bukan kebenaran yang ada, dirinya malah hancur babak belur seperti ini.
Bukan sekali dua kali Aldo babak belur. Sangat sering. Hanya saja, baru kali ini dirinya ketika babak belur mengunjungi rumah orang tuanya bukan ke apartemennya. Dan berakhir menimbulkan kepanikan satu keluarga.
"Omm.." mendengar suara keponakannya, Aldo sontak membuka matanya dan mengubah posisinya menjadi duduk. Benar saja, sang keponakan tengah berjalan kearahnya.
Dengan sigap, Aldo langsung meraih keponakannya, "Kenapa sayang?"
"Babas kangen sama Om."
Aldo yang memang sangat menyayangi keponakannya ini, langsung menciumi wajah tembam Bastian.
"Keponakan Om udah gede aja ya. Kayaknya kemarin masih lucu deh."
"Sekarang juga lucu kok Om. Kata Mamah, Babas selalu lucu." sahut Bastian dengan raut wajah yang membuat Aldo gemas sendiri.
"Babas kelas berapa sih sekarang?"
Tangan Bastian sontak menghitung, "Satu, dua, tiga, empat, lima." ketika jarinya terangkat lima, Bastian langsung menunjukkannya ke Aldo.
"Lima Om."
Aldo terkekeh, "Waduh, lima? Cepet banget ya. Kata Mamah, bukannya baru mau masuk SD?"
Bukannya menjawab, Bastian malah menunjukkan deretan giginya.
"Mau beli robot ngga?" bukan hal yang baru jika Bastian selalu ditawari hal seperti itu. Bahkan tak jarang, Rani mengomeli adiknya itu yang selalu memanjakan anaknya.
Tidak mungkin anak seumur Bastian menolak jika ada yang menawari mainan kesukaannya. Apalagi omnya ini sangat baik mau menuruti apa saja keinginannya.
"Ngga."
Mendengar suara mamahnya, Bastian sontak menolehkan kepalanya, "Satu aja Mah. Lagi ada robot yang aku mau."
Rani mendaratkan bokongnya di sofa yang berhadapan dengan adiknya dan juga anaknya, "Ngga Babas sayang. Kan kemarin baru beli mainan baru sama ayah? Masa kurang?"
Bastian sontak meminta turun dari pangkuan Aldo dan berjalan menghampiri mamahnya.
"Mah, satu aja ya satuuu." rayu Bastian seraya menunjukkan tangannya dan jangan lupakan tampang andalan yang selalu dia gunakam jika merayu mamahnya.
Aldo yang melihat hal tersebut sontak tertawa. Dan baginya ini menjadi hiburan semata.
"Ngga. Robot kamu tuh di rumah udah banyak. Mainan kamu hampir satu kamar loh Bas, mau kamu kemanain lagi kalo minta dibeliin yang baru sama Om Aldo?"
"Ya kan ada gudang Mah. Ubah aja gudangnya jadi kamar mainan aku lagi." sahut Bastian dengan tampang yang tidak merasa berdosa sama sekali mengatakan hal tersebut.
Sedangkan Aldo sudah tertawa melihat respon yang kakaknya berikan.
Rani langsung mengambil sling bagnya dan mengeluarkan ponsel miliknya, "Mamah telfon ayah nih ya."
Bastian memang paling takut dengan ayahnya, "No Mah no."
Baru sambungan pertama, suaminya langsung mengangkat panggilan darinya, "Yah, anaknya nih minta robot sama Aldo."
Merasa tidak terima dengan apa yang mamahnya katakan, Bastian langsung meletakkan tangannya di kedua sisi pinggangnya, "No Mah, bukan Babas yang minta. Tapi Om Aldo yang nawarin."
"Tuh, kamu denger sendiri kan Mas."
[Anak Ayah mana ini suaranya?]
Aldo memilih untuk meninggalkan ruang keluarga dan berjalan menuju dapur.
Ternyata di dapur masih ada mamah Ira yang sedang mencuci piring.
"Wah, enak ini Mah kayaknya." ujar Aldo ketika membuka tutup saji yang ada di meja makan. Makanan favoritnya yang tadi mamahnya katakan, memang benar-benar ada.
"Enak dong." Ira memilih untuk menyudahi mencuci piringnya dan beranjak ke meja makan.
Ira langsung merebut piring yang ada di tangan putranya, "Biar Mamah aja. Kamu duduk manis ya." Aldo menuruti apa yang mamahnya katakan.
"Segini udah?" tanya Ira seraya menunjukkan piring yang dia isikan nasi putih.
"Lagi dikit Mah."
Setelah menyendok nasi, semua lauk yang ada di meja makan mamah Ira sendokkan di piring Aldo.
"Makan yang banyak ya."
"Makasih Mah." Aldo langsung menyantap nasi beserta lauknya yang mamahnya berikan.
"Kalo udah selesai makan, bisa kita bicara sayang?"
"Bicara apa Mah?"
"Ya ngobrol santai aja."
"Iya bisa."
Ira bangkit dari duduknya, "Mamah tunggu di halaman belakang ya. Kamu kalo mau nambah, nambah aja."
"Siap Mah."
Aldo melanjutkan memakan nasinya. Sepertinya Aldo tahu apa yang mau mamahnya bicarakan. Pasti perihal wanitanya. Mamahnya itu sudah sangat sering melarang Aldo melanjutkan pencariannya. Aldo tahu, mamahnya melarang itu bukan karena tidak menyukai Rara, bukan. Tapi karena adanya penghalang di antara mereka berdua. Siapa lagi jika bukan Aryo Purnomo. Kakak tiri dari Almaira.
Selesai memakan semua nasi beserta lauknya, Aldo meletakkan piring di tempat cucian piring dan berjalan menuju halaman belakang.
Ternyata di halaman belakang bukan hanya ada mamahnya saja, tapi kakaknya juga ada di sana.
"Mau tambah tanaman lagi Mah?"
Ira yang tengah asik menyiram tanamannnya, menghentikan kegiatannya begitu mendengar suara Aldo.
"Boleh."
"Yaudah, lusa kita ke tempat biasa ya." Aldo memang selalu meluangkan waktunya untuk menemani mamahnya membeli tanaman hias atau segala kebutuhannya. Bagi Aldo, meluangkan waktu untuk orang tuanya itu sangatlah penting.
Rani melihat adiknya sudah duduk di kursi panjang yang ada di halaman belakang, ikut menghampiri adiknya itu.
"Kamu tumben Do main ke rumah Mamah?"
"Lagi pengen aja Kak."
Rani paham, sangat paham. Karena setiap kali adiknya itu ada masalah, pasti larinya ke mamahnya. Rani tahu, jika dulu sebelum mengenal wanita itu, Aldo jika mempunyai masalah pasti larinya ke club malam atau bermain dengan one night standnya. Untungnya sang mamah tidak mengetahui kenakalan seorang Aldo Frenklin.
"Babas mana Kak?" tanya Aldo yang tidak melihat batang hidung keponakannya.
"Lagi main sama anaknya bu Dira."
"Do,"
"Hm?"
"Kamu jangan terlalu manjain Babas ya. Kakak ngga suka tahu. Kakak tahu, kamu sayang sama anak Kakak, tapi kalo dia kamu manjain mulu nanti kebiasaan sampe gedenya. Kalo ada keperluan apapun minta, bukan usaha sendiri."
"Ya gak papa. Sampe dia gede, aku ngga keberatan sama sekali Kak, kalo nanti dia bergantung sama aku."
Rani memutar bola matanya, "Iya Kakak yakin kamu ngga akan keberatan. Tapi Kakak di sini yang merasa keberatan."
"Ya tapi kan Kak—"
"Ah udah lah, pokoknya Kakak ngga suka kamu manjain Babas. Titik." Rani lebih memilih bangkit dari duduknya, dan meninggalkan Aldo yang masih diam tak berkutik.
"Kakakmu kenapa Do?" tanya Ira yang baru datang selesai menyirami tanamannnya.
"Aldo juga bingung Mah."
"Emang duduk permasalahannya apa?"
"Kakak ngga suka Aldo terlalu manjain Babas."
Ira tersenyum, wajar saja putranya itu tidak mengerti. Jiwa kebapakannya sudah hilang bersama dengan wanita yang amat dicintai putranya.
"Jujur sama Mamah, muka kamu kenapa sampe babak belur begitu sayang?"
Aldo mengehela nafasnya sejenak, dia sudah bisa menebak pasti mamahnya akan menanyakan hal ini.
"Biasa Mah."
"Rara?" hanya menyebutkan nama saja, Aldo langsung menganggukkan kepalanya.
Sekarang bergantian, Ira yang menghela nafasnya. Dia sudah seringkali menawarkan bantuan, tapi Aldo selalu menolak bantuan dari dirinya dan sang suami.
"Terima ya tawaran papah? Detektif yang mau papah sewa itu, udah sangat profesional Do. Dan kamu tahu, dia temen papah kamu waktu kuliah. Jadi, ngga mungkin ngasih berita yang bohongan."
"Tapi Mah, Aldo mau nyari pakek kemampuan Aldo sendiri. Aldo maunya, Rara liat bagaimana perjuangan Aldo demi dapetin info tentang dia Mah." Aldo langsung menundukkan kepalanya dengan kedua tangan yang dia letakkan di sisi kepalanya.
"Aldo, liat Mamah." tegas Ira.
Aldo sontak mengangkat kepalanya dan menatap manik mata sang mamah.
"Mamah tahu, Mamah paham. Tapi di sini, saingan kamu ngga main-main Do. Asal kamu tahu, tanpa sepengetahuan kamu, papah udah nyari tahu siapa itu Aryo kakak dari Rara."
Aldo langsung menatap mamahnya dengan kernyitan di dahinya, "Mafia?" tebak Aldo.
"Kamu udah tahu?"
"Ngga mungkin kalo dia orang biasa kayak kita, gampang banget buat dapetin nutup akses penerbangan. Dan ngga mungkin kalo dia orang biasa kayak kita, bisa kepung satu bandara, ngawasin biar kalo Aldo ke sana detik itu juga Aldo bakalan habis Mah."
Kedua bahu Ira melemah, "Ya Aryo Purnomo itu kata papah seorang mafia. Mafia yang menjual belikan senjata. Dulu, tempat tinggalnya di Itali, tapi ngga tahu sejak kapan Aryo-aryo itu udah menetap di Jakarta." jelas Ira. Menyampaikan apa yang suaminya sampaikan tanpa ada yang dia tambahkan atau dia kurangi.
"Saingan kamu ngga main-main Do. Terima ya bantuan papah? Dengan kamu menerima bantuan papah, bukan berarti kamu lemah. Kamu itu hebat. Nanti kalo Rara udah balik ke kamu, Mamah yang akan bilang. Kalo kamu, udah berjuang buat dapetin dia dengan kemampuan yang kamu punya."
Aldo menarik nafasnya dalam lalu dia hembuskan perlahan, "Papah di kantor Mah sekarang?"
"Iya, mau Mamah telfonin?"
"Jangan. Biar Aldo aja yang ke kantornya papah."
Senyum Ira langsung mengembang, dia yakin, walaupun belum ada jawabam dari putranya, tapi entah kenapa feelingnya mengatakan jika putranya akan mengatakan langsung dengan sang suami.
"Yaudah, Aldo pamit ke kantornya papah. Abis itu, Aldo ngga ke sini ya Mah. Mau langsung ke apart aja."
"Yaudah iya gak papa sayang."
Aldo langsung menyalimi punggung tangan Ira dan berpamitan, "Aldo kepala mamahnya itu, "Kalo ada apa-apa di rumah, telfon Aldo ya Mah."
"Siap sayang."
Melihat bayangan putranya sudah menghilang di pintu depan, Ira langsung menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi panjang.
"Ya Allah, berilah kemudahan dan kelapangan anak hamba Ya Allah." gumam Ira dengan mata yang dia pejamkan Dia sangat berharap, masalah yang menimpa putranya ini cepat selesai.