Setiap hari yang selalu kuingat hanyalah air mata dari bidadari tak bersayapku. Hari ini aku berdiri untuk membuat air mata tidak tertumpah sia-sia
----------- Bima Sakti Laksono ----------
Pada Usianya yang ke dua puluh tiga tahun, Bima Sakti Laksono diberi pekerjaan sebagai asisten pribadi Bramantyo Laksono, Ayahnya.
Kecepatannya dalam berpikir dan melahap seluruh materi pada pendidikan formal telah membuatnya berhasil wisuda strata dua pada fakultas managemen bisnis.
Segera setelah lulus, Bramantyo mengajaknya berkecimpung langsung dalam bisnis-bisnisnya.
Seperti sudah bakat alami, Bima Sakti belajar cepat bahkan dalam setiap permasalahan yang timbul, dengan cemerlang dia mengajukan solusi-solusi secara tepat sasaran.
Hal itulah yang membuat Bramantyo Laksono yakin akan kemampuan putranya. Hanya butuh waktu dua tahun saja Bramantyo memberinya arahan, pada usia dua puluh lima tahun, Bima Sakti secara resmi telah menjadi CEO untuk perusahaan multi produk yang stagnan. Sulit menembus pasar internasional.
Bima Sakti Laksono.
Hari ini adalah hari pengangkatanku sebagai CEO pada salah satu perusahaan Keluarga Laksono menggantikan posisi papi.
Siap tidak siap, harus siap. Hanya dengan cara inilah aku bisa mengakhiri dendam para tetua di masa lalu, cukup sampai papi dan mami saja yang menderita, Tidak kepada keluarga dan anak-anakku kelak.
Saat bangun pagi-pagi sekali, tubuhku masih penat karena semalam menghadiri undangan ketua-ketua Under Ground sampai larut. Istirahat yang belum cukup, hanya saja ini adalah hari yang sangat penting, hari di mana dimulainya catatan sejarah olehku, Bima Sakti Laksono.
Aku turun untuk melaksanakan tugas yang tidak bisa dibantah, selama masih tinggal di rumah ini, yaitu; sarapan pagi bersama.
"Hai good morning sayang ...," sapaan Mami yang entah kenapa walau ribuan kali terdengar, sapaan itu tidak membuat bosan justru mampu menenangkan hatiku.
"Morning Mami, Papi ... hey, Dim, semalam pulang jam berapa?" tanyaku kesal melihat Dimas yang selalu tampak mengantuk.
"Huuh, kalau bukan mami yang menyeretku dari kasur, aku malas sarapan ketemu kamu, Mas," ucap Dimas, adik tiriku se-Ayah.
"Sudaah ... kalian jangan ribut dulu, eh, Dimas, setelah sarapan cepat-cepat kamu bersiap. Papi tunggu kamu dan mami di kantor pusat." Ayahku yang masih terlihat gagah di usianya menyela keributan kecil kami.
Sementara mami, selalu asyik menyaksikan interaksi kami satu dengan yang lain tanpa mengucapkan apa-apa. Hanya senyum manisnya yang selalu terhidang untuk kami.
"Aku gak harus pake baju robot kaya Mas Bima kan?" celetuk Dimas
Ingin rasanya menjitak kepala Dimas, Baju yang kupakai adalah baju resmi yang sangat elegan, dengan seenaknya dikatakan baju robot. Aku mendelik pada Dimas yang bersikap acuh tak acuh.
"Mami sudah siapkan baju yang pas untuk kamu sayang ...." Mami yang teramat sangat baik hati membujuk Dimas yang kadang tingkahnya sangat menyebalkan.
"Kalau mami yang bilang, aku percaya." Dimas memberikan senyum terbaiknya kepada mami.
"Dasar Rubah licik," geramku dalam hati.
Sambil menikmati sarapan, aku terkenang masa lalu, saat papi pulang dari tugasnya di luar negeri. Mami dan papi terlibat pertengkaran besar yang menurutku hanya terjadi satu kali di sepanjang pernikahan mereka.
Papi hendak membawa Dimas, nama yang kuberikan padanya, ke panti asuhan. Mami menjerit dan bersimpuh seraya memohon agar Dimas dibiarkan bersama mami yang akan merawatnya dengan baik.
Papi yang pada dasarnya adalah b***k cinta mami, istilah yang aku pahami setelah dewasa, mengalah dan memberikan kembali Dimas ke gendongan mami.
Sejak itu, aku mencari tahu sendiri apa yang membuat papi dan mami bertengkar juga siapa Dimas sebenarnya, kenapa papi menolak Dimas sementara mami justru ingin merawat Dimas.
Teringat ketika malam-malam di mana aku tidak bisa tidur karena mimpi buruk, lalu menyelinap ke kamar mami yang sudah tidak sekamar lagi dengan papi, aku sering menyaksikan mami menangis diam-diam.
Tangisan yang belakangan aku pahami sebagai tangisan luka batin yang hebat.
Menyaksikan luka batin bukan hanya di derita oleh mami, tapi papi juga. Terlihat dengan jelas pada sorot mata papi saat menatap mami.
Sejak awal hadirnya Dimas bersama kami, mami dan papi kompak bermurung ria bersama. Hal itu berpengaruh kepada kami, aku dan Mbak Andrea. Kami kehilangan kebebasan bercanda, bermain dan tertawa lepas bersama-sama seperti dulu.
Kami senang mempunyai adik baru, justru kamilah yang sering bermain bersama Dimas, tapi waktunya bermain dengan papi dan mami, dipahami sebagai 'Telah berakhir'.
Mbak Andrea terlanjur sibuk dengan dunia barunya memasuki usia remaja yang seakan mempunyai dunia sendiri. Teman-temannya banyak dan kegiatannya se-abrek. Aku merasa ditinggal pelan-pelan oleh keluargaku. Hanya Dimas yang tersisa.
Saat itu aku tidak mengerti kenapa Dimas selalu mendapatkan perundungan (Bullying) dari keluarga papi setiap kali kami kumpul acara keluarga. Tapi dari keluarga mami, semua menyayangi Dimas seperti mereka menyayangiku.
Aku menyayangi Dimas, tapi sisi lain tidak menyukainya. Semua berawal dari dia, Kebahagiaan kami sebagai keluarga berakhir gara-gara dia.
Sampai akhirnya mami berhasil menguasai diri dan kembali bersikap normal kepada kami bertiga. Hanya saja tidak kepada papi. Kami semakin dekat dengan mami, dan semakin jauh dengan papi.
"Sayang ... makan sambil melamun itu tidak baik, apa kamu lupa kamu harus menikmati makananmu dalam rasa syukur?" Aku merasakan telapak tangan mami di tanganku dan terkejut.
Suara mami yang lembut tapi tegas, membuatku merasa bersalah karena tidak fokus pada kebersamaan kami.
"Maaf mi ...," sahutku pendek.
"Mas Bima kayanya sedang mikirin cewek deh," celetuk Dimas yang membuatku hampir menyemburkan makanan dari mulutku.
Seandainya papi dan mami tidak ada, sudah kusembur kepalanya dengan air.
Dimas, saat ini umurnya dua puluh tahun dan sudah tiga kali keluar masuk kampus yang berbeda, dengan alasan jurusan yang dipilihnya tidak cocok.
Minggu lalu, aku memergoki dia sedang menggombali mami bahwa dia tidak cocok berada di bangku kuliah tapi cocoknya langsung kerja di perusahaan.
Jawaban mami sangat aku setujui, dengan santainya mami berkata, "Boleh sayang, tapi pekerjaan yang bisa kamu dapat yaa ... office boy ... mami bisa masukin, mau?"
Terang saja aku tertawa terbahak-bahak. Merasa puas melihat wajahnya yang memerah ketakutan. Takut benar-benar di gusur mami untuk menjadi Office boy.
Papi telah selesai sarapan, dengan tatapan penuh cinta, ia pamit kepada mami sambil mengucapkan terima kasih.
"Terima kasih sayangku, atas sarapan yang nikmat ini ... aku dan Bima jalan duluan ya ...." Mami hanya tersenyum dan kembali berpaling kepada putra bungsunya.
Aku segera beranjak menghampiri mami dan mencium ubun-ubun mami kemudian mami mengecup pipiku. Tidak lupa menepuk bahu Dimas dengan agak keras agar dia meringis, sambil mengancam,
"Awas aja terlambat datang, Mas kirim kamu ke Asrama," ancamku padanya, merasa senang melihat wajah putih itu memerah.
Aku mengekori papi yang gagah. Papi, lelaki yang bertipe makin ganteng ketika makin menua. Sayang sekali papi menjalani hari-harinya tanpa kebahagiaan yang berarti. Aku sungguh berharap mami menyudahi kekecewaannya terhadap papi.
Pukul delapan pagi, acara diawali dengan meeting para leader boards. Mereka mempersiapkan langkah-langkah setelah aku resmi diangkat sebagai CEO, peresmian dan pengambilan sumpah akan dilaksanakan pukul sembilan pagi.
Gaya kan ya ... ada acara sumpah-sumpahan segala. Ini style a'la Keluarga Laksono, agar yang disumpah tidak seenaknya berbelok-belok sampai lepas kontrol dan lupa tujuan awal.
Aku sih nurut dan manut saja, sebab aku mempunyai rencana sendiri. Rencana yang mungkin akan membuat papi shock, semoga tidak jantungan ya papi ....
Aku dikejutkan mendengar satu nama yang tiba-tiba disebutkan oleh Sekretaris papi yang genit, "Ibu Veronika dari Muntaya telah hadir."
Aku bingung setengah mati kala wanita cantik dari negeri sebelah itu melenggang memasuki kursi undangan. Aku melirik kepada papi yang dibalas anggukan oleh papi.
Tidak bisa menahan diri, aku mendekat kepada papi dan berbisik di telinganya,
"Pi, mami tahukah?" pertanyaanku singkat saja, tapi sangat serius.
Mungkin seandainya jawaban papi tidak tahu, maka dengan nekat aku akan keluar dari ruangan itu dan mencari mami. Sebab kami tidak mengundang orang luar yang tidak ada kaitannya dengan perusahaan Keluarga Laksono.
Papi terlihat bingung, tapi dia menjawab yang melegakan hatiku, "Ya, tahu," jawabnya pendek seraya melempar senyum kepada orang-orang.
Aku berpikir cepat, dalam kondisi tidak tahu apa-apa dan ini tidak bisa dibiarkan. Mami harus menceritakan yang sebenar-benarnya padaku.
Terbersit pertanyaan yang agak mengganggu di hatiku, apakah Dimas tahu bahwa Veronika adalah Ibu kandungnya?
Di Perusahaan mana Veronika terlibat sebagai pemegang saham? Hal ini karena Veronika duduk di kursi yang diperuntukkan bagi pemegang saham.
"Yang terhormat Nyonya Alisha Bramantyo dan Tuan Dimas Laksono telah hadir," suara sekretaris papi terdengar lagi.
Kali ini aku terhentak, dengan refleks berdiri dan cepat-cepat melangkah menghampiri mami. Lalu menggandengnya sambil berbisik, "Mami tahu kalau Veronika pemegang saham dan hadir di sini?"
Mami mengangguk dan melirikku dengan cepat lalu kembali memberikan perhatiannya kepada para undangan yang berdiri menyambutnya.
Kulihat papi juga berdiri dan menatap mami dengan penuh cinta. Tak ayal aku melirik ke arah Veronika, ingin tahu bagaimana reaksinya.
Veronika wajahnya memerah dan tampak kesal. Dia sama sekali tidak mempedulikan Dimas yang menjejeri langkah mami. Suatu keanehan bagiku. Bukankah Dimas anak kandungnya? Kenapa dia tampak tidak peduli?
Aku sampai di kursi yang telah di siapkan untuk kami sekeluarga. Sayangnya, Mbak Andrea membatalkan kehadirannya pada detik-detik terakhir.
Aku melihat papi mengecup pipi mami tanpa sungkan atau malu, lalu melingkarkan tangannya di bahu mami setengah mendekap dengan aura penuh kerinduan.
Kemesraan papi yang di biarkan oleh mami, setidaknya memberikan kesan bahwa hubungan mereka sangat baik. Tanpa sengaja aku melirik kepada Veronika.
Aku menangkap sudut matanya berpaling, jelas dia terlihat jengah menyaksikan kemesraan papi kepada mami. Tapi, lagi-lagi dia tidak mempedulikan Dimas.
Aku merasa geram sendiri. Dimas adalah putra kandungnya, bagaimana bisa dia tidak peduli? Atau jangan-jangan ... ada kesepakatan tertentu antara Veronika, mami dan papi? Sehingga dia bisa masuk ke dalam salah satu perusahaan Keluarga Laksono?