Wanita yang sedang terluka itu, berusaha mengumpulkan keberaniannya. Waktunya tidak banyak, sebentar lagi ia harus membawa Dimas pulang dan mengurusi kedua anak lainnya.
Ia berulang kali menghela napas panjang, mencoba meredakan setiap deburan jantungnya yang tidak sekalipun bersikap tenang. Sambil memejamkan matanya, Alisha terus menerus mengucapkan kalimat, "Ayo Alisha, tenangkan dirimu, bagaimana kamu bisa menolong suamimu yang sedang dijahati orang?"
Alisha mengumpulkan kekuatan batinnya, dan menegakkan duduknya seraya merapikan rambut juga mengeringkan air matanya dengan lembaran tissue.
Setelah merasa agak tenang, dengan perlahan tangannya terulur untuk memencet tombol play pada video yang tadi ia pause.
Tayangan kembali terulang, gerakan lincah dari Veronika yang sedang menyatukan tubuhnya kepada Bramantyo.
"Ayo, turunlah ... jangan bersikap menjijikkan, ingat tujuan awal. Bukan saatnya untuk main-main!" hardik lelaki itu, di tangannya yang telah terbungkus sarung tangan lateks, menggenggam gumpalan kapas beralkohol.
Veronika melepaskan diri dari tubuh di bawahnya dengan berat hati tapi sekaligus merasa malu kepada temannya itu.
"Bersihkan!" perintah sang dokter kepada Veronika dengan tatapan jijik.
Dengan patuh Veronika membersihkannya, ia pun merasa malu dengan sisa cairan yang tampak licin pada batang tersebut.
Lelaki itu telah bersiap, ia akan melakukan sayatan kecil pada buah z*akar Bramantyo untuk mengambil sp*erma. Tekhnik ini dikenal dengan nama TESE, testicular sperm extraction dalam dunia medis. Adalah hal umum yang dilakukan oleh seorang dokter specialist. Terutama untuk membantu kehamilan bagi pasangan suami istri yang suaminya bermasalah.
Ia sudah terbiasa melakukan prosedur operasi, sehingga tidak menemukan kesulitan sedikitpun. Veronika telah mengambil posisi telentang di samping Bramantyo yang masih tidak sadarkan diri.
Setelah sebelumnya mendapatkan terapi agar indung telurnya siap dibuahi.
"Kenapa harus repot melakukan prosedur seperti ini? Bukankah pendekatan alami lebih mudah dilakukan?" tanya lelaki itu mengajak Veronika berbicara.
"Mana bisa didekati sih, lagian cara inilah yang lebih praktis menurut kakekku, bahkan bisa membuat dia stress berat karena tidak merasa bersetubuh dengan siapapun tapi lahir seorang anak. Darah keturunannya sangat penting untuk kelak untuk kami," jawab Veronika santai.
Lelaki itu meletakkan cairan yang telah diambilnya untuk dicuci pada sebuah alat khusus dan menyisakan sp*rm yang sehat juga kuat. Sementara itu dia mengoleskan sesuatu pada bekas sayatan kecil dan membersihkannya dengan seksama, lalu mengeringkan semua dan memakaikan celananya dengan susah payah sampai rapi tanpa bekas.
Ia kembali pada cairan yang telah diambilnya lalu menyedotnya dengan sebuah alat dan bersiap untuk memasukannya kepada rahim Veronika.
"Siap ya," ujar lelaki itu seraya memposisikan Veronika sedemikian rupa agar memudahkannya memasukkan semacam kateter kecil nan lansing yang telah berisi calon sel untuk di semprotkan pada rahim.
Proses berlangsung cepat, kateter telah dikeluarkan dari liang se*nggama dan Veronika harus terus terlentang selama lima belas menit, menunggu agar proses penembusan indung telur berhasil dengan sempurna.
"Bagaimana kalau dia terbangun?" tanya Veronika.
"Masih lama, setelah kita selesai baru bangun. Jangan khawatir tidak akan ada bekasnya, bahkan ia tidak akan sadar kalau kamu menaikinya he he he ...." Lelaki itu terkekeh geli sendiri dengan kelakuan Veronika tadi.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan saat ini berhasil?" tanya dokter tersebut, melirik Veronika yang sedang melihat jemari tangannya.
"Setelah positif akan tinggal di Jepang dan kembali ke Jakarta membawa anaknya, lalu pulang ke Montaya," sahutnya datar seakan hal itu tidak lebih dari sebuah pekerjaan biasa.
Lelaki itu dengan cepat membereskan barang-barangnya dan merapikan segala sesuatu di dalam kamar tersebut, sampai tiba waktunya Veronika diperbolehkan bangun dan mengenakan celana dalam khusus. Saat itu, rekaman berhenti. Selesai.
Alisha termangu, ia sangat memahami kenapa suaminya tidak menjelaskan apapun karena memang ia tidak mengetahui apa yang telah terjadi kepadanya.
Dengan lemas ia menutup note booknya lalu menyimpannya pada sebuah brankas besi. Tubuhnya mendadak lelah, tapi ia harus merapikan diri. Mencuci wajahnya dengan air dingin dan memoleskan bedak serta lipstik juga menyisir rambutnya dengan kesepuluh jemari lentiknya lalu keluar untuk menjemput Dimas pulang.
Alisha menggendong Dimas di dalam mobil, bayi itu sangat anteng. ia tidak menangis, tidak juga rewel. Tatapan mata mereka beradu, saling tatap dengan dalam. Wanita berhati baja tapi lembut itu, perasaannya tidak karuan, ia sangat sedih atas kelakuan orang-orang yang telah sengaja menciptakan bayi tanpa dosa demi sebuah pembalasan dendam.
"Malang sekali kamu, Nak. Jangan khawatir, Mami akan menjagamu, merawatmu dan menyayangimu sepenuh hati ...," batin Alisha seraya mendekap Dimas dengan penuh perasaan.
Hanya satu kata yang terbersit di hati Alisha mengenai Veronika; Biadab!
◇◇◇
Apakah aku ditakdirkan untuk kembali mengulang dari awal? Bagaimana bisa melepaskan diri dari cengkraman kuat Catur Laksono?
--------------- Praja ----------------
Jauh di suatu tempat yang merupakan area bisnis baru yaitu pabrik pengolahan kemasan plastik, sebuah mobil yang ditumpangi Praja, memasuki gerbang. Banyak wajah-wajah baru yang tidak dikenalnya termasuk satpam yang berjaga di depan.
Satpam tersebut mencegat mobil itu, lalu sopir membuka jendela kaca, "Nganter Bos, buka gerbangnya!" seru sang sopir.
Karena ia mengenali sopir tersebut, satpam itu segera membuka pintu pagar tinggidan memberi hormat kepada penumpang yang ia sendiri tidak tahu siapa.
"Kita akan memasuki area paling belakang, Bos. Bos besar telah memindahkannya sebelum memutuskan untuk pensiun. Bangunan pabrik ini baru selesai sekitar enam bulan lalu, tapi bos muda malah belum pernah ke sini," papar sopir tersebut, mejelaskan kepada Praja.
Praja hanya mengangguk, suasana di tempat itu benar-benar telah berubah. Bangunan pabrik modern telah berdiri dengan megah, ini menandakan kalau keuangan keluarga Laksono semakin solid. Tangan dingin Bramantyo telah menghasilkan puluhan juta dolar hanya dalam waktu sepuluh tahun saja.
Mereka sampai di area belakang dengan pengamanan cukup ketat. "Tidak ada satu orang pun yang boleh masuk ke sini, Bos. Kosong atau tidak, tempat ini tetap dijaga ketat.
Terlihat sebuah rumah sederhana bercat putih. Rumah itu cukup besar dan seperti layaknya rumah-rumah di pemukiman penduduk. Praja cukup heran dengan keberadaan rumah tersebut. Tampak sangat manusiawi menyimpan tawanan di rumah seperti ini.
Semua orang bergerak cepat membukakan pintu rumah, berarti Praja pun harus mengimbangi, tidak ada waktu untuk melihat-lihat. Tapi setelah sampai di dalam rumah, ia agak santai dan sempat melihat-lihat.
Masuk dari ruang tamu, ada mini bar di sudut sebelah kiri, lalu ada beberapa kamar, ruang keluarga, ruang makan dan dapur. Praja kebingungan, "lah, Ihsan di mana?" batinnya bertanya-tanya.
"Bos, mau istirahat dulu apa langsung ketemu tahanan?" tanya sopir yang mengantar Praja memasuki rumah.
"Istirahat deh, di mana?" tanya Praja.
"Lewat sini, Bos." sahut sang sopir seraya memimpin jalan. Lalu berhenti depan sebuah pintu. "Ini kamar Bos, kamar ini disiapkan tuan besar khusus untuk Bos." Sopir itu memberikan sebuah kunci kepada Praja.
"Ada berapa kunci semuanya?" tanya Praja setelah melihat kunci di tangan sopir hanya satu.
"Hanya ini, Bos. Tapi Bos bisa mengubahnya kalau mau. Itu juga amanat tuan besar," sahut sopir menjelaskan.
Praja mengangguk, dalam hatinya bertanya-tanya, apa maksud dibalik semua ini?
Ia memutar anak kunci dan pintu terbuka. Tampak ranjang besar dan lemari pakaian yang tingginya mencapai plafon. Praja masuk seraya menoleh kepada sopir. "Tinggal saja, saya harus mempelajari ini semua." Praja menutup pintu di belakangnya.
Ia berjalan berkeliling kamar memeriksa segala sesuatu. Tidak ada apapun yang bisa menunjang pekerjaannya.
Lalu ia duduk di kursi satu set dengan mejanya, masih melihat sekeliling, mempelajari dan mengantisipasi kalau-kalau ada yang tersembunyi di kamar itu. Seketika ia menyadari satu hal. Ruangan itu seakan telah kehilangan space beberapa meter.
Praja berdiri dan mengukur lemari buku serta lemari TV, dan ia menemukan keganjilan itu. Ya, ada ruang lain dibalik lemari TV. Hanya saja ia belum menemukan bagaimana caranya untuk masuk ke ruang tersembunyi itu.
Praja mendengus, ia bagaikan terjebak atau sengaja dijebak untuk tetap mengabdi kepada keluarga Laksono. Rumah ini adalah salah satunya, berupa markas yang disediakan Catur untuknya.
"Welcome back to the jungle, Praja!" serunya kepada diri sendiri seraya merentangkan kedua tangannya ke atas.