Eagle

1828 Kata
Wanita bagiku adalah sebuah kenikmatan. Tidak lebih. --------- Bima Sakti Laksono ----------- (Ayo kita mulai kisahnya setelah 4 bab perkenalan.) Private jet yang membawa Bima menuju Uzbekistan, mendarat di Vietnam, demi efisiensi waktu di udara, karena bisa memangkas sampai sepuluh jam. Bukan hanya itu alasan Bima untuk transit di sana, hal lainnya adalah menjemput teman tapi mesranya, yaitu Phuong Tahn Ha. Gadis eksotis itu hanya akan menemani Bima selama berada di dalam pesawat sekitar delapan jam full sampai tujuan, kemudian, Bima akan mengirimkannya kembali ke Vietnam menggunakan pesawat komersil. Selama transit yang memakan waktu satu jam, Bima disibukkan dengan beberapa pekerjaan bersama asisten pribadinya, Dodo, berusia tiga puluh tahun. Mereka terlibat perdebatan serius dengan seseorang di luar negeri melalui saluran khusus. "Good afternoon Miss Phuong," sapa pramugari menyambut kedatangan Phuong Tahn ha yang digiring oleh pengawal pribadi Bima. Phuong berjalan dengan angkuh, tidak mengindahkan sapaan dari setiap pramugari yang menyapanya. Dagunya terangkat, memakai kaca mata gelap dengan rambut terikat diatas kepalanya. Tubuhnya yang serba besar di wilayah tertentu, dengan pinggang ramping, tampak super sintal, membuat para pria serentak mengkhayalkan bergumul dengannya. Kedatangan Phuong tidak membuat Bima menoleh bahkan meliriknya. Lelaki dingin itu tetap fokus pada pekerjaannya. "Mari, Nona, ikut saya," ajak seorang pramugari mengingatkan Phuong yang terlanjur memasang senyum genit kepada Bima. Sadar Bima tidak meliriknya, perlahan senyum itu menghilang lalu garis bibirnya turun. Ia merasa jengah setiap kali Bima mengacuhkannya. Mau tidak mau, dia mengikuti pramugari memasuki bilik yang di atasnya tertera tulisan 'Ruang Tunggu'. Phuong berhenti, matanya menatap tajam kepada pramugari, "Kenapa saya harus duduk di sini? Saya tamunya bos kamu," protes Phuong. "Bos meminta saya membawa Anda kesini, Nona," sahut pramugari tersenyum. "Tidak mau! Biarkan saya di sini," hardik Phuong seraya bersender pada pintu ruang tunggu. Gadis itu tidak terima diperlakukan seperti orang yang baru kenal dan baru satu atau dua kali bertemu. Dia merasa mempunyai hak lebih karena Bima sudah lebih dari sepuluh kali menghabiskan waktu bersamanya. Tentu saja ia merasa special. Pramugari berwajah manis dengan postur tubuh tinggi dan langsing itu, tetap berdiri di sana, alih-alih menemani Phuong yang juga berdiri karena menolak duduk di ruang tunggu. "Kalian ngapain di sini?" tiba-tiba Bima muncul bertanya kepada dua orang wanita itu, menatapnya bergantian. "Ma'af, Bos. Saya menemani Nona Phuong karena menolak masuk ke ruang tunggu," jawab pramugari sambil setengah membungkuk ke arah Bima. "Kenapa tidak mau masuk? Keberatan menunggu? Kalau keberatan, silakan keluar." Suara dingin Bima begitu menusuk. Phuong terkejut, maksudnya bukan seperti itu, dia rela menunggu Bima berapa lama pun, dia hanya tidak ingin dianggap orang asing oleh Bima. Itu menyakitkan baginya. "Bima, ma'af, bukan tidak mau menunggu, tapi aku sudah duduk terus seharian, aku butuh meluruskan kakiku Bim ...," nada suara Phuong manja merajuk. Pramugari yang mendengar hal itu, terpana sesaat sebelum bisa menguasai dirinya kembali. "Masuk!" seru Bima bernada perintah kepada Phuong. Bima duduk dikursi yang biasa dipakai oleh ayahnya. Phuong tergesa-gesa menyusul Bima dan hendak duduk di sampingnya. Namun, tangan Bima terangkat, menghalangi tubuh Phuong dan menyuruhnya mundur. "Duduk di sana," tunjuk Bima ke kursi di depannya. "Jangan duduk sembarangan di sini, yang aku duduki ini tempat ayahku dan ini kursi ibuku. Pemilik pesawat ini. Kamu saya ijinkan duduk di kursiku, jangan bergeser karena di sebelahmu adalah tempat duduk kakakku, dan sebelahnya untuk adikku. Paham?" papar Bima panjang lebar. Phuong terpaku mendengar semua itu. Sejurus kemudian dia tersenyum, "Ya aku mengerti, terima kasih sudah boleh duduk di kursimu," ujar Phuong merasa linglung. Sebenarnya Phuong sudah terbiasa dengan sikap dingin Bima selama ini, tapi aturan mengenai duduk di dalam pesawat jet ini, ia tidak paham dengan aturan yang katakan oleh Bima tadi. Suara Co-pilot terdengar, memberitahukan bahwa mereka akan segera lepas landas dengan tujuan Uzbekistan, pecahan Rusia yang berlokasi di Asia tengah. Bima memejamkan matanya, seakan tidak mempedulikan apapun di sekelilingnya dengan kedua tangan terlipat di dadanya. Phuong merasa sedih dan kecewa. Lelaki dihadapannya itu seakan tidak punya hati. Terlalu dingin dan terkesan semena-mena. Sementara khayalan Phuong terlanjur tinggi, mengira Bima sangat menyukainya hingga dia berani mengatakan bahwa Bima adalah kekasihnya. Khayalan itu berbanding terbalik dengan kenyataan yang dihadapinya saat ini. Phuong hanya bisa pasrah selama dia merasa tidak ada wanita lain selain dirinya. Ia hanya berpikir, mungkin yang namanya Billioner semua sama saja, dingin, megah, tidak mudah disentuh. Itulah kadang dia merasa beruntung karena telah menjadi wanita yang diinginkan oleh salah satu Billioner dunia. Lamunannya terhenti saat ia merasakan ada yang menyentuhnya. Ternyata Bima telah berdiri di hadapannya. Phuong tengadah untuk melihat wajah tampan yang menjulang itu. "Sudah selesai melamun? Apa kamu tidak ingin membuatku senang?" ujar Bima seraya menatap kedua gundukan yang bulat dan besar dibawahnya. Phuong mengerti maksud dari perkataan Bima, terlebih Bima terus menatap kebagian miliknya. Seketika perasaannya melambung. Selama Bima menginginkannya, dia akan memberikannya dengan suka rela. Melihat kepasrahan di mata gadis itu, Bima berbalik dan berkata, "Ikut," ajaknya. Bima berjalan terus ke arah belakang dan membuka satu pintu lalu memasukinya. Phuong mengekori Bima dan terpana dengan apa yang dilihatnya. Sebuah ruangan cukup besar untuk bilik dalam sebuah pesawat, ruang tidur yang dekorasinya sangat indah dan penuh kemewahan. "Masuk, dan jangan menyentuh apapun. Ini kamar ibuku." Bima memperingatinya. Phuong masih bengong, antara percaya dan tidak bahwa dia berada di sana. Ia hanya berharap bahwa itu bukan mimpi belaka. Bima memberitahukan letak kamar mandi dan menyuruh Phuong bersih-bersih sebelum menyentuhnya. Perasaan Phuong tidak karuan. Baru kali ini dia dibawa ke dalam pesawat pribadi yang sangat mewah. Pernah sekali Bima mengajaknya menumpang jet pribadi, tapi pesawat itu seperti pesawat pada umumnya, bukan yang seperti ini. Sejenak dia berpikir, sekaya apa ibunya Bima yang sangat cantik itu. Pikirannya semakin berkelana, mengharapkan dirinya bisa hidup berbalut kemewahan yang luar biasa, satu-satunya jalan adalah membuat Bima jatuh cinta dan menikahinya. Tersadar dari lamunannya, Phuong sedikit panik, lalu ia cepat-cepat membasuh diri sebersih mungkin dan menyemprotkan body parfum yang lembut pada kulitnya segera setelah tubuhnya kering, Phuong keluar dari kamar mandi tanpa sehelai benangpun yang menempel. Bima telah menunggu, duduk di pinggiran kasur, masih berpakaian lengkap. Terdengar alunan musik romantis dan wewangian aroma therapy yang disemprotkan otomatis secara berkala oleh sebuah alat. Phuong tahu apa yang harus dilakukannya. Ia menghampiri Bima, mulai melucuti satu persatu setiap apa yang menempel pada tubuh Bima secara perlahan dengan gerakan yang dibuat seseksi mungkin. Mata terpejam, Bima menikmati setiap sentuhan lembut yang menghantarkan rasa geli disekujur tubuhnya. Perlahan punggungnya turun hingga rebah di atas kasur empuk yang lembut. Kegilaan seorang Phuong Tahn Ha dalam mengeksplorasi titik-titik kenikmatan dari Bima, membuatnya ingin terus merasakan, tidak boleh berhenti seandainya bisa. Itulah kenapa Bima masih memanggil Phuong untuk melepaskan hasrat dan dahaga, tanpa harus bersusah payah mencumbuinya. Sepanjang permainan yang didominasi oleh Phuong seorang, Bima terus memejamkan matanya. Phuong bekerja keras, Bima tinggal menikmatinya. Pelan tapi pasti, Bima sedang menanjak untuk menggapai surganya langit, seiring dengan makin lincahnya Phuong bergerak, sampai Bima menegang lalu disusul melemas. Permainan telah usai, Phuong tampak kelelahan dengan bulir-bulir keringat memenuhi setiap pori di tubuhnya. Sesaat Phuong termangu sebelum merebahkan diri. "Sedikitpun aku tidak disentuhnya, bahkan dia tidak melihatku. Kenapa selalu seperti ini?" keluh Phuong merasa kecewa. Terdengar dengkuran halus di sampingnya, Phuong menoleh, lelaki tampan yang hanya menerima kepuasan darinya itu, telah tertidur membawa kenikmatan ke dalam mimpinya. Satu jam kemudian, Bima terbangun, ia menoleh pada Phuong yang masih telanjang dengan mata terbuka. Saat sorot mata Bima menyapu tubuh di sampingnya, ia melihat noda kering yang melebar di sela-sela paha gadis itu. "Tidak pakai pembungkus?" tanya Bima dengan santai seraya beranjak hendak menuju kamar mandi. "Hm ... ma'af, lupa ...," jawab Phuong dengan nada ragu. Bima menghentikan langkahnya sambil menoleh dan menatap Phuong lekat, "Bawa tidak?" tanyanya masih dengan santai. "Hm ... itu ... tidak bawa, lupa," jawab Phuong dengan rasa khawatir, ia memang sengaja tidak membawanya. Bima melanjutkan langkahnya masuk ke kamar mandi. Sekitar dua puluh menit, dia keluar dengan handuk melilit di pinggangnya. "Kamu mandi dan bersiap. Lima belas menit kembali ke tempat dudukmu," perintah Bima dengan nada dingin. Phuong segera bangkit menuju kamar mandi. Bima lanjut bersiap, mengenakan pakaian yang tadi dibongkar oleh Phuong, lalu melangkah keluar dari kamar dan duduk kembali di tempat semula. Satu jarinya memencet tombol pada bagian lengan kursi, tidak lama, Dodo menongolkan kepalanya melalui gorden tebal yang berat. Bima memberikan kode kepada Dodo yang dibalas dengan anggukan cepat lalu segera menghilang dari pandangan Bima. Phuong menyusul setelah merapikan diri. Tidak ada pembicaraan apapun di antara mereka sampai salah seorang pramugari memberitahukan bahwa makan malam telah siap. Bima mengajak Phuong makan bersama. Hanya mereka berdua duduk di meja makan yang berbentuk persegi empat untuk ukuran empat orang. Dodo membawakan dua gelas minuman juice jeruk kesukaan Phuong, satu diletakkannya di samping kiri Bima, satu lagi yang telah dicampur dengan obat tanpa rasa dan tanpa bau, diletakkannya disamping kiri Phuong. Selarik rasa bangga tersirat di wajah Phuong, dia bisa bersikap angkuh dan sombong kepada para pramugari yang cantik-cantik, juga kepada Dodo, asisten Bima yang tidak pernah mendapat kesempatan makan satu meja dengan Bima. Bahasa tubuhnya Phuong inilah yang tidak disukai oleh Bima, tapi dia diam saja. Waktu berlalu, tanpa terjadi apa-apa lagi kepada mereka. Bima memberitahukan Phuong bahwa dia sudah mentransfer sejumlah dana ke rekening pribadinya, dana tersebut sekaligus untuk biaya tiket pesawat Phuong kembali ke Vietnam, segera setelah private jet ini mendarat. Phuong hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih yang samar. "Kenapa? Tidak suka?" tanya Bima dengan mimik heran. "Ti ... tidak apa-apa, hanya masih lemas saja," kelit Phuong. Bima mendengus, mengeluarkan suara geli dan meledek. Dia tahu Phuong berbohong, tapi dia sudah dengan tegas memberikan jarak agar Phuong tidak berharap lebih darinya. "Uang itu sangat banyak, cukup untuk membeli sebuah rumah baru di sana. Saya harap, kamu bisa melupakan saya setelah ini," kata Bima seraya menatap tajam ke arah Phuong. Phuong terkejut dan pucat pasi. Tanpa sadar, dia bangun dari kursinya dan duduk bersimpuh di hadapan Bima, "Jangan lakukan ini padaku, Bima. Tolong, ijinkan aku terus melayanimu. Aku tidak meminta lebih, asal aku terus mendapatkan kesempatan untuk bertemu, Bima." Phuong memohon dalam linangan air mata. Bima menghela napas panjang. Dia tidak suka berada dalam situasi seperti itu, saat perempuan yang disuruhnya pergi justru merajuk dan memohon. "Saya adalah ELANG, hanya setia pada satu pasangan, tapi sebelumnya, tidak akan berlama-lama dengan satu wanita yang bukan pasangan. Hentikan memohon seperti itu, jadilah wanita yang punya harga diri," tutur Bima dengan rendah tapi tegas. Phuong ternganga mendengar penuturan Bima. Perlahan dia bangkit dan kembali duduk. Hatinya merasa semakin sakit. Pupus harapannya untuk bisa menhadi wanita special bagi Bima, Phuong hanya berusaha tegar dan menunda semua pemikiran-pemikiran yang timbul saat ini. Khayalannya hancur berkeping-keping seketika. Namun, ia yakin, suatu saat, Bima akan menghubunginya atau mereka akan dipertemukan oleh takdir. Pesawat mendarat mulus di tujuan. Dua orang pengawal Bima menjemput Phuong dari ruangan, membawanya turun dan memastikan Phuong menjadi salah satu penumpang pada pesawat yang menuju Vietnam dari Uzbekistan. Sementara itu, masih di dalam private jet, Bima terduduk lemas setelah menerima sebuah kabar. Wajahnya memerah tanda menahan emosi dan sorot matanya memancarkan kekhawatiran yang luar biasa. "Mbak Andrea ...," lirihnya pilu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN