Bab 11. Layani Aku Malam Ini

1060 Kata
"Memberi Kahfi obat?" tanya Maria pelan. Kepala Sinta mengangguk antusias. "Iya, Bu. Dengan begitu Kahfi dan Atami akan melakukannya." "Tapi, bagaimana caranya?" Sinta tersenyum. "Aku akan menyuruh pembantu menaruh obat ke dalam minuman Kahfi, lalu biarkan Atami yang membawanya ke ruang kerja Kahfi." Maria dan Sinta saling tersenyum satu sama lain. Berbeda dengan Intan yang masih terlihat penasaran karena tidak bisa mendengar apa pun. *** Senja yang bertengger itu, nampak menghias langit. Mata Atami sendiri sempat melihatnya sembari menunggu lift terbuka, melalui kaca besar di lantai ini. Pandangan Atami menemukan Kahfi berjalan mendekat, karena kantor hampir sepi membuatnya enggan untuk menyapa apalagi bersikap sopan. Bahkan sampai Kahfi berdiri di sisinya, masih Atami abaikan. Kepala Kahfi menoleh. "Sore ini kita pulang ke rumah ibu." Mendengarnya, Atami ikut menoleh. "Kita? Bukannya Bapak sendirian?" "Senang, iya? Aku tidak lagi menginap di rumahmu?" Atami langsung memalingkan muka. Apakah saat ini ekspresinya begitu terang-terangan? Menyukai Kahfi yang bisa saja kembali ke rumah Maria dan meninggalkannya. "Ibu meminta kita untuk menginap malam ini." "Kenapa?" tanya Atami sangat heran. "Menantu menginap di rumah mertua, apakah itu hal yang aneh?" "Bukan seperti itu." Kahfi menatapnya yang langsung membisu setelah menyangkal. Sejujurnya Atami tidak nyaman dengan ibu mertuanya, apalagi kakak ipar Kahfi yang sedari dulu ia ketahui begitu licik. Bukannya Atami tidak sanggup menghadapi, hanya saja ia malas saja. Kahfi sendiri tidak senang harus kembali ke rumah itu. Bertemu Intan lagi, dia justru merasa tentram tinggal di rumah yang Atami huni. "Apakah kita akan tidur bersama?" tanya Atami tiba-tiba. Kaki Kahfi melangkah memasuki lift. Kini, tubuh saling berhadapan dengan Atami. "Tentu saja. Apa kamu berharap kita tidur terpisah? Seperti semalam." Atami mulai ikut berjalan masuk. "Maksud saya, apakah kita bertiga akan tidur sekamar?" Dahi Kahfi mengerut sempurna. "Bertiga? Siapa saja yang kamu maksud, Atami?" Jemari Atami mulai ingin menghitung. Namun, Kahfi langsung menurunkan tangannya. "Maksud kamu Intan?" tebak Kahfi cepat. "Iya." Kahfi menunjukkan ekspresi kesal. "Kamu gila, ya? Sekali pun aku sanggup sentuh kalian berdua, tapi tidak dengan satu kamar bertiga." "Bukan itu yang saya maksud, Pak. Hanya tidur, tidak dengan hal lainnya." Kahfi langsung meliriknya. "Kamu kira aku tidak bisa berdiri? Sampai kamu hanya ingin tidur saja?" Atami menatap pintu lift yang sudah tertutup. Kahfi nampak tak terima, istri kedua meremehkan Kahfi tidak bisa melakukan apa pun. "Menginap, ya? Apa yang harus saya bawa ke sana, Pak?" Atami sengaja mengalihkan topik. Kahfi mendengkus kesal. Dia tak menyahut karena Atami kalau tidak menolak ya pasti menghina. *** Seorang pembantu berjalan memasuki ruang kerja tempat Kahfi berada. Minuman yang semula dibawa, mulai diletakkan di atas meja. "Silakan diminum, Pak Kahfi." Pandangan Kahfi terangkat, menatap pada pembantu yang masih berdiri di hadapan mata. "Kenapa? Apa kamu akan mencuci gelasnya, makanya menunggu seperti ini?" Pembantu muda ini nampak tersenyum. Kahfi yang sedang sibuk meninjau salah satu proposal, langsung meneguk habis jus yang disajikan. "Sudah, kan?" "Iya, Pak." Kahfi menatap pembantu yang mulai berjalan pergi, namun tidak membawa gelasnya sama sekali. Dahi Kahfi mengerut dengan sepenuhnya meninggalkan pekerjaan. "Kamu tidak bermaksud menyuruh aku membawakan gelasnya ke dapur, kan?" "Tentu saja tidak, Pak." Kahfi mulai menyipitkan mata, karena tangan pembantu tersebut mengunci pintu ruang kerja. Tubuh kembali mendekat, namun dengan jemari yang melepas kancing baju amat pelan. "Apa yang sedang kamu lakukan?" Terburu Kahfi memalingkan muka. Meski dia tidak pernah melihat tubuh seorang wanita yang dilucuti secara langsung. Tapi, Kahfi tidak merasa penasaran sama sekali. "Memangnya, Bapak tidak merasakan apa pun?" Pandangan Kahfi terangkat, pembantu tersebut sudah berada di hadapan Kahfi. Bahkan pakaian sepenuhnya ditinggalkan di lantai. Hanya memakai tank top saja. Anehnya, Kahfi justru tergoda. Mendadak Kahfi berdiri dari duduk dan mata menatap sengit, setelah menyadari sesuatu yang aneh. "Sial! Apa yang kamu masukkan ke dalam minumanku!" "Bukan saya, tapi ibu Maria yang melakukannya." Tangan Kahfi diraih oleh pembantu ini, namun Kahfi tak berkutik. Seolah dia memang menunggu untuk didekati. Tangan sudah bergelayut manja di pundak Kahfi. "Pak, apa Bapak tidak ingin tubuh saya?" Kahfi memejamkan mata saat pembantu tersebut berbisik di telinga. Melihat Kahfi yang tergoda, wanita tersebut tersenyum manis. Jemari meraba kerah baju Kahfi, siap untuk melepaskan kancing kemeja. "Biarkan malam ini saya memanjakan Anda, Pak." Atami. Nama itu tiba-tiba saja muncul dalam benak Kahfi. Hingga dia tersadar dari rasa ingin mengacaukan tubuh wanita di hadapannya. "Sial!" Pembantu tersebut kaget dengan Kahfi yang gagal tergoda dan malah menyeret pergi, sempat dia meraih baju di lantai dan membuka kunci pintu. "Tunggu sebentar, Pak Kahfi." Kahfi sepenuhnya mengusir pembantu tersebut dari ruang kerja. Kebetulan Atami berjalan mendekat ditemani pembantu lain dengan membawa secangkir teh hangat. "Pak Kahfi, ada apa ini?" tanya pembantu lebih tua dengan kaget. Kahfi menoleh, namun pandangan tersita pada Atami yang sudah dekat. Dia butuh Atami untuk disentuh malam ini. Atami sendiri sedang mencerna situasi. Pembantu muda tersebut merapikan pakaian dengan terburu karena ketahuan olehnya, sementara pembantu yang bersamanya langsung menyingkirkan wanita tersebut dari hadapan Kahfi. "Atami," sebut Kahfi. Mata Atami menemukan Kahfi sudah di hadapannya. Kahfi mengambil alih teh dari tangannya untuk diletakkan di meja hias. Lantas, Kahfi langsung menarik dirinya untuk memasuki ruang kerja. "Teh--" Atami kaget dengan Kahfi yang bukan hanya menyudutkan dirinya di pintu. Tapi, tangan yang mengunci pintu serta Kahfi yang menyapu bibirnya dengan sesapan antusias. "Pak!" Tentu saja Atami panik. Karena kali pertama, Kahfi menciumnya seantusias ini. Kahfi juga mencekal tangan Atami, melarangnya untuk memberontak. "Atami, aku ingin dirimu." Mata Kahfi terlihat butuh pelampiasan, hal itu membuat Atami cemas. "Pak, ada apa dengan Anda?" "Aku diberi obat," sahut Kahfi dengan tangan sempat ingin melepas kancing baju. "Kalau begitu saya akan menyiapkan air untuk Anda mandi." Mendengar Atami yang akan menolak, membuat kegiatan Kahfi terhenti. Kahfi memilih menarik tangan Atami dengan cepat. Sebelum Atami memberontak, Kahfi sudah membawanya ke sofa dan mengurung Atami di sana. "Pak! Jangan seperti ini!" Atami tentu saja berteriak, karena Kahfi sedang menyesap kuat lehernya. Sementara kedua tangan Atami dicekal. Tangan Kahfi yang satunya sibuk melepaskan kancing bajunya. "Pak--" Bibir Atami dikecup sebelum memprotes terlalu jauh. Lidah yang menerobos masuk benar-benar memberi tahu Atami, kalau dirinya tidak punya kesempatan untuk menghindar. Jemari Kahfi merambat, hingga kaitan bra terlepas. Remasan yang Kahfi berikan benar-benar membuat Atami takut. "Pak Kahfi, kendalikan diri Anda!" Ingatan hampir disentuh oleh ayah tiri sendiri, mendadak singgah dan Atami mulai berkeringat dingin. Apalagi Kahfi sedikit memaksa malam ini. Tiap kancing bajunya benar-benar terlepas, Kahfi semakin leluasa pada bagiandada Atami. Kahfi mencium di sana. "Layani aku malam ini, Atami."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN