Bab 3. Pembalasan Dimulai, Atami

1027 Kata
Mata Atami segera melirik ke dalam ruangan. Kolega bisnis Kahfi nampak terkejut, setelah mendengar ajakan dari Kahfi. "Bapak tidak waras, ya?" tanya Atami dengan suara pelan. "Kamu tidak panik?" Atami langsung menarik napas. Tujuan Kahfi ternyata hanya ingin membuatnya panik saja. "Kalau begitu saya akan kembali dengan kopi hangat," ujar Atami sedikit malas. Mendengar tawaran 100 juta dari Intan saja, sudah membuatnya pusing. Sekarang Kahfi malah mencoba mengerjai dirinya. Kahfi menyeringai, kemudian bergumam, "aku berjanji akan membuatmu ketar-ketir, karena membolak-balik hatimu tidaklah sulit, Atami. *** Atami berjalan di lorong rumah sakit dengan langkah santai. Tangannya telah memegang uang sejumlah 5 juta, cukup untuk mencicil hutang perawatan ayahnya yang telah menumpuk. "Sudah lunas?" Telinga Atami mendengar suara yang sangat dikenal. Semakin kaki melangkah, Atami bisa menemukan Dokter Lukman nampak dibuat heran. "Siapa yang bayar?" tanya Lukman masih dengan raut yang sama. Atami mendekat dengan langkah pelan. "Dokter Lukman." Sosok yang dirinya sebut mulai menoleh. Lantas, tubuh berbalik dan menunjukkan raut lebih kompleks dari sebelumnya. "Apa ada masalah dengan kondisi ayah saya?" tebak Atami semakin mendekat. "Tidak Atami, hanya saja ...." Mata Lukman melirik pada perawat yang berjaga. "Katanya seseorang sudah melunasi tagihan rumah sakit ayahmu." Siapa? Otak Atami langsung bertugas mencari. Namun, pemikirannya tertuju pada Intan yang mungkin semakin ingin mendesaknya untuk menerima tawaran itu. "Orang itu baru saja pergi, mungkin belum jauh, Mba Atami," Perawat menjelaskan. "Untuk ciri-cirinya bagaimana?" tanya Atami ingin tahu lebih jelas. "Dia seorang wanita setengah baya, namun penampilannya terlihat dari keluarga kaya." Begitu mendengarnya. Atami langsung berlari pergi, dirinya ingin tahu siapa yang membayar tagihan bulan ini. Dari ciri-ciri yang disebutkan jelas bukanlah Intan. Melihatnya yang berlari Lukman pun langsung mengikutinya. Namun, begitu tiba di lorong Patologi. Kaki Atami perlahan berhenti berlari, terlebih seorang wanita setengah baya sudah menoleh ke arahnya. "Bu Maria," sebutnya dengan hormat, wanita tersebut tak lain adalah ibu dari Kahfi. Maria yang tengah berbincang dengan salah satu dokter, langsung tersenyum saat dipanggil olehnya. Mata Atami menatap wanita setengah baya ini penuh pertimbangan. Apakah ia harus lontarkan sebuah pertanyaan? Bahwa wanita tersebut yang membayar tagihan perawatan ayahnya. "Bisa kita bicara, Atami?" Atami merasa memiliki kesempatan. "Tentu saja, Bu Maria." Ibu Kahfi sempat melirik pada Dokter Lukman yang berdiri di belakang Atami. Kepalanya segera menoleh pada sosok yang ditatap oleh Maria. "Ini Dokter yang menangani ayah saya, Bu." Kepala ibu Kahfi mengangguk. Kemudian berjalan lebih dulu, menuntun Atami untuk ikut melangkah. Saat Lukman ingin mengekor, Maria langsung berdehem. "Kamu kembalilah bekerja!" pinta ibu Kahfi. Mulanya Lukman nampak tidak setuju. Namun, melihat Atami yang menganggukkan kepala, membuat Lukman langsung berhenti melangkah dan terpaksa membiarkan mereka berdua menjauh. "Kata perawat ayahmu butuh perawatan lebih intensif," singgung Maria sembari melangkah. "Jadi, aku menyuruhnya memindahkan ayahmu ke ruangan yang lebih baik dan dijaga ketat oleh perawat." Pandangan Atami terangkat, punggung wanita setengah baya ini dibingkai oleh matanya. Dugaan Atami tidaklah salah, Maria yang membayar lunas tagihan perawatan ayahnya. "Jadi, Ibu Maria yang membayarnya?" tanya Atami. Maria berhenti melangkah. Tubuh berbalik dengan mata memandang Atami serius. "Aku dengar Kahfi menginginkan kamu sebagai istri keduanya." Tangan Atami langsung meremas tasnya. Pembahasan perihal pernikahan ini bagai kaset rusak yang terus diputar. Telinga Atami dipaksa untuk tetap mendengarkan. "Menikahlah dengan Kahfi! Aku juga tidak masalah jika kamu orangnya." "Kenapa, Bu? Pak Kahfi sudah memiliki ibu Intan." Maria langsung menarik napas. "Dia hanya wanita yang bisa dihitung masa hidupnya. Buat apa? Hamil tidak bisa, hanya merepotkan saja." "Menikahlah! Supaya ada yang menanggung biaya ayahmu. Kamu juga bisa keluar dari rumah itu, Atami." Pandangan Atami bertemu dengan Maria. Ayahnya berteman baik sedari dulu dengan wanita di hadapannya ini. Karena status itu, membuat Atami kenal Maria dengan baik. Ibu Kahfi ini tidak akan mengajak bicara jika itu hal yang tidak ada untungnya sama sekali. "Kahfi adalah satu-satunya batu loncatan untukmu, Atami. Supaya hidup kamu lebih baik." "Apakah satu anak cukup?" tanya Atami dengan ekspresi serius. Maria diam dengan mata menatap Atami serius. "Pikirkan saja dulu, menikah dengan Kahfi artinya belenggu di hidupmu perlahan terlepas." Atami jelas bisa menduga kalau dirinya tidak mungkin hanya cukup melahirkan satu anak saja. Mengingat Intan tidak bisa hamil, sementara keluarga Kahfi butuh keturunan. "Tapi, ingat Atami. Kamu tidak bisa jadi istri Kahfi, status kamu hanya sekretaris di mata umum." Melihat Atami yang hanya diam saja, membuat ibu dari Kahfi mulai berjalan menjauh. "Jika sudah kamu pertimbangkan, kabari saja apa jawabanmu." *** "Selamat pagi, Pak Kahfi," sapa Atami dari kubik kerjanya. Kahfi yang ingin masuk ke ruang kerja, sampai berhenti dan berbalik. Mata menatap Atami dengan lekat, perlahan dia melangkah untuk mendekati Atami. "Tumben kamu menyapa." Atami menatap. "Setiap hari saya menyapa, Bapak saja yang tidak mendengar." Kahfi meletakkan salah satu tangan pada meja kerjanya yang tinggi. "Aku tidak pikun, Atami." "Selain mata yang mendelik, tidak ada lagi yang kamu lakukan saat melihatku." Atami memandang Kahfi serius. "Mengenai tawaran kemarin." "Bicaralah!" "Apakah masih berlaku, Pak?" Kahfi tahu betul apa yang Atami maksud. Namun, dia berpura tidak mengerti dan menunjukkan dahi yang mengerut. "Perihal apa? Kamu kalau bicara yang jelas sedikit." "Pernikahan," sahut Atami sangat pelan. Kahfi mendekatkan wajah. "Bicaralah lebih lantang!" Mata Kahfi sudah melirik pada bibirnya. Terutama gigi di dalamnya yang dengan lancang telah menggigit lidah Kahfi. Mulut Atami langsung bisu begitu menyadari tatapan Kahfi ke mana. Tangannya meremas bolpoin di atas meja. Takut kejadian kemarin terulang kembali. "Tidak apa, Pak. Lupakan saja!" Kahfi mengangguk mengerti. Kemudian, mulai berjalan menuju ruangan kerja. Tangan Kahfi mengendurkan dasi, dia merasa sudah tidak waras sampai ingin menghukum bibir Atami. "Saya mau jadi istri kedua Bapak." Kepala Kahfi menoleh. "Apa?" "Ya, saya juga mau punya anak dari Bapak." Kahfi menunjukkan tangan, meminta Atami untuk berhenti bicara. "Tunggu sebentar!" Kapan dia serius mengajak Atami menikah? Kahfi hanya kesal dengan tamparan dari Atami saat dicium. Bahkan diejek oleh teman tongkrongan karena kelakuan dari Atami. "Kemarin saya bertemu dengan ibu Maria." Mata Kahfi melotot lebih lebar. "Ibuku menemui kamu? Kenapa?" "Ya, untuk membahas masalah pernikahan dan anak." Kahfi membisu. Dengan tangan melepaskan dasi amat kasar, ibunya malah ikut campur padahal Kahfi hanya bercanda saja. Namun, Kahfi melirik pada Atami yang sedang menatap. Dia harus membalas tamparan dan penolakan Atami, perlahan Kahfi mendekati sang sekretaris lagi. "Anak, ya? Memangnya kamu sanggup meladeni aku di ranjang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN