EPISODE 17 : Pengampunan

4462 Kata
Aku melihat Fera yang begitu kesakitan akibat racun. Tubuhnya mulai membiru, dari tangan mulai menjalar keseluruh tubuhnya. Seluruh peluh keringat mengalir diseluruh tubuhnya. Biasanya ia cukup kuat menghadapi rasa sakit, tapi kali ini ia sungguh kesakitan. Selagi kesakitan, ia membuka matanya sedikit dan menatap wajahku. Kemudian, ia tersenyum seolah-olah mendapat kebahagiaan yang mampu mengalahkan rasa sakitnya itu. "Sesedih apapun kamu, semarah apapun kamu, dan sedendam apapun kamu, pastilah selalu ada orang-orang yang mencintai kamu dengan tulus. Dan aku, walaupun suatu saat nanti kamu udah nggak sayang sama aku, aku akan selalu cinta sama kamu, apapun itu yang terjadi." Kata Fera. "Tetaplah hidup sayang. Jaga diri kamu." Kata Fera. Tiba-tiba, aku teringat saat Diana terjatuh di tebing itu, membentur bebatuan di pinggir lautan, dan tubuhnya terantuk dan ditelan oleh lautan yang berombak deras. "Tunggu! Fera, jangan pergi! Aku cinta kamu, Fer!" Kataku. Fera pun mulai menutup matanya sambil tetap mempertahankan senyumannya yang murni itu. Tubuhnya pun mulai melemas. "FERAAA!" Kataku dengan kencang. Tiba-tiba, pandanganku berubah. Aku melihat sebuah cahaya yang sangat terang didepan mataku. Ah, aku baru sadar bahwa aku bermimpi buruk. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Aku bertarung habis-habisan dengan Rayna. Terakhir, dia menusuk perutku, atau lebih tepatnya aku sengaja masuk ke dalam jangkauan serangannya. Kemudian, dengan mata pedang nodachi-ku yang berhasil dipatahkan olehnya, aku menusuk lehernya. Setelah itu, kesadaranku mulai pudar. Sebelum kesadaranku betul-betul hilang sepenuhnya, aku mendengar ada orang memasuki ruangan tempatku dan Rayna bertarung. Aku langsung siaga dan bangun. KLAANG... Aku mendengar suara seperti logam yang terjatuh ke lantai. Setelah aku melihat sumber suara itu, ternyata pedang nodachi-ku yang sudah patah. Pedang nodachi ini merupakan pedang kesayanganku. Aku cukup sedih kehilangan pedang ini. Hmmm, aku berada di suatu ruangan yang berbentuk persegi dengan luas kira-kira empat meter persegi. Ruangan ini tidak ada apa-apa, hanya ada lampu di langit-langit. Interior ruangan ini sangat mirip dengan... apa ya? Akhirnya, aku ingat. Mirip dengan lorong dari area luar menuju ruangan tempatku dan Rayna bertarung. Aku melihat bekas lukaku sudah sembuh semua. Di beberapa tempat di tubuhku masih terdapat bercak-bercak darah akibat pertarunganku dengan Rayna. Hmmm, kesadaran dan penglihatanku pun sepertinya cukup normal. Dengan kata lain, persediaan darah dalam tubuhku yang banyak terbuang selama pertarunganku tadi dengan Rayna sudah tercukupi. Siapa yang merawatku sampai sembuh begini ya? Didepanku ada sebuah pintu. Aku langsung melangkah dan membuka pintu itu. Tidak lupa, aku membawa pedang nodachi-ku itu. Walaupun sudah tidak bisa dipakai, paling tidak bisa untuk kenang-kenangan. Diluar ruangan tempatku terbangun tadi adalah sebuah lorong dengan interior yang mirip dengan ruangan tadi. Aku harus menemukan jalan keluar dari bangunan ini. Akan tetapi, aku buta arah. Aku tidak tahu harus berjalan kemana. Untung-untungan saja deh. Aku mengambil arah kekiriku, dan terus berjalan menyusuri lorong. Setelah kira-kira berjalan sejauh dua ratus meter menyusuri lorong, tiba-tiba aku mendengar kegaduhan. Bunyinya seperti langkah kaki yang sangat berat. Ini langkah kaki lebih dari satu orang. Tidak, bahkan lebih dari sepuluh orang. Aku berusaha pergi menuju asal suara langkah-langkah kaki itu. Setelah terus menyusuri lorong menuju asal suara langkah-langkah kaki itu, aku yakin bahwa aku dan asal suara langkah-langkah kaki itu tinggal berbeda satu lorong saja. Maka, aku bersembunyi di salah satu tikungan lorong, dan mengintip ada apa di lorong tempat suara banyak langkah kaki itu. Rupanya para prajurit yang tidak terhitung banyaknya sedang berlari menuju suatu tempat. Aku tidak yakin apakah mereka prajurit atau robot, karena mereka tidak berbicara sama sekali, dan seluruh wajahnya tertutup oleh helm hitam. Setelah beberapa puluh detik lamanya, akhirnya para prajurit itu habis sudah. Aku bergegas menuju lorong tempat tadinya para prajurit itu berlari. Aku tiba di pertigaan lorong. Para prajurit tadi berlari kearah kiri. Arah asal datangnya para prajurit tadi dari arah kanan. Mana yang harus kuambil? Cih, untung-untungan saja deh. Aku mengambil jalur ke kanan, tempat para prajurit tadi datang. Kali, ini kembali lagi aku sampai pada pertigaan. Aku asal ambil saja jalur lurus. Dan akhirnya aku sampai pada suatu pintu. Aku membuka pintu itu, dan aku telah sampai pada ruangan tempat aku dan Rayna sebelumnya bertarung. Tunggu, benarkah ini ruangan yang sama? Tidak salah lagi. Aku menemukan darah yang tercecer diberbagai tempat di lantai ruangan ini. Aku juga menemukan pisau-pisau dan pecahan gagang kecil pisau Rayna. Oke, kalau dari ruangan ini, kalau ingatanku tidak salah, aku tinggal menyusuri lorong demi lorong berkebalikan dengan arahku waktu dari luar ke ruangan ini. Jika aku menyusuri lorong demi lorong sesuai dengan ingatanku, seharusnya aku kembali keluar bangungan. Aku segera keluar dari ruangan ini, dan menyusuri lorong demi lorong berkebalikan dengan arahku sewaktu dari luar gedung menuju ruangan ini. Satu hal yang terlintas dibenakku adalah, apakah aku berhasil membunuh Rayna? Di ruangan tempat aku bertarung dengan dia, aku tidak melihat dia sama sekali. Apakah Myth sudah mengevakuasi mayatnya, ataukah aku gagal membunuhnya dan dia berhasil kabur? Lalu, siapa yang mengobati luka-lukaku? Sampai sekarang, aku masih tidak percaya kalau aku masih hidup dalam keadaan sehat-walafiat. Aku berlari, berlari, dan terus berlari. Aku sudah tidak sabar ingin bertemu dengan yang lainnya. Aku khawatir terjadi apa-apa pada mereka, semoga saja mereka baik-baik saja. Semoga mimpi burukku tadi tidak menjadi kenyataan. Semoga Fera selamat dan baik-baik saja. Aku tidak sabar ingin memeluk Yuna dan Fera. Tapi bagaimana cara memeluk mereka berdua secara langsung ya? Semoga Abby baik-baik saja, walaupun aku yakin ia akan baik-baik saja. Erna... Yah meskipun apa yang sudah terjadi, aku berharap aku masih bisa berbaikan dengannya, demi kami masing-masing dan demi masa depan kami. BRUAAKK... Tiba-tiba aku menabrak sesuatu, dan sesuatu itu terjatuh. Ah sial, rupanya aku menabrak seorang prajurit. Untungnya dia langsung pingsan, jadinya ia tidak sempat memberitahu teman-temannya. Pada saat aku kembali mengarahkan pandanganku ke depan, aku melihat ada sekitar enam prajurit berdiri didepanku. Sepertinya mereka cukup kaget melihatku, dan saking kagetnya, mereka jadi bereaksi agak lamban. Saat mereka masih belum sepenuhnya sadar akan apa yang terjadi, inilah kesempatanku untuk menumbangkan mereka sekaligus. Aku langsung maju dengan cepat, dan mengayunkan tinjuku telak mengenai d**a prajurit yang berdiri tepat didepanku. Tindakanku itu cukup untuk membuat prajurit-prajurit lainnya menjadi siaga atas diriku. Mereka pun segera mengambil posisi untuk... menembak. Sial, sekuat apapun diriku, tapi kalau peluru-peluru itu mengenai tubuhku, bisa repot aku. Ah, pedang nodachi-ku sudah patah. Jika hanya memakai ujungnya saja, bisa-bisa aku juga ikut terluka. Satu-satunya senjataku adalah kedua tangan dan kakiku. Baiklah. Aku melancarkan sliding ke prajurit yang ada dikiriku guna menyerang sambil menghindari tembakan-tembakan para prajurit itu. Sliding-ku berhasil membuat prajurit itu kehilangan keseimbangan. Begitu ia jatuh, langsung kutinju ulu hatinya untuk melumpuhkannya. Begitu aku posisi dibawah, aku langsung melancarkan sapuan kaki, dan berhasil melumpuhkan tiga prajurit, yang langsung jadi mangsa tinjuku sehingga ketiga-tiganya langsung lumpuh. Oke, tinggal satu prajurit lagi. Sial, prajurit itu berjarak cukup jauh dariku. Jangkauan kakiku tidak mampu meraihnya. Belum lagi, ia sudah mengarahkan senapan berondongnya kearahku. Aku langsung melompat kebelakang bertepatan dengan prajurit itu menembak senapan berondongnya. Untungnya, prajurit ini hanya manusia biasa, sehingga ia memancarkan aura. Aku berlari kedepan sambil berkonsentrasi memusatkan pikiranku untuk membaca gerakannya melalui aura yang dipancarkannya. Saat jarakku sudah cukup dekat, ia mulai menembakkan senapan berondongnya. Aku melompat kesamping sambil menumpukkan kaki kananku ke tembok. Dengan tumpuan kaki kanan itu, aku memutar tubuhku, dan langsung melancarkan tendangan berputar dengan kaki kiriku kearah tubuhnya. Diana, aku pinjam jurusmu ya. Tendangan berputarku berhasil melumpuhkannya. Akhirnya, semua prajurit sudah lumpuh. Aku tiba-tiba teringat dengan Diana. Andai saja, Diana juga ada disini. "Sesedih apapun kamu, semarah apapun kamu, dan sedendam apapun kamu, pastilah selalu ada orang-orang yang mencintai kamu dengan tulus. Dan aku, walaupun suatu saat nanti kamu udah nggak sayang sama aku, aku akan selalu cinta sama kamu, apapun itu yang terjadi. Tetaplah hidup sayang. Jaga diri kamu" Suara Diana terngiang-ngiang dalam ingatanku. Ya Diana. Sampai kapanpun, aku tidak akan melupakanmu. Aku juga akan selalu mencintaimu, walaupun kamu sudah tidak ada. Dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk tetap hidup. Setelah bertekad seperti itu, aku terus berjalan menyusuri lorong menuju pintu keluar. Tidak lama kemudian, aku sudah sampai diluar gedung fasilitas utama. Aku segera berlari ke hangar pesawat untuk menyusul mereka. Aku harap Yuna, Fera, dan Abby sudah sampai di pesawat dengan selamat. Dalam sekejap, aku sudah sampai di hangar tempat pesawat milik Phoenix diparkir. Aku segera memasuki pesawat itu dan naik ke pesawat itu. Ketika masuk pesawat itu, aku melihat Fera sudah berdiri dengan kedua kakinya. Dari raut wajahnya, aku tahu bahwa ia belum betul-betul sehat. Aku langsung menghampirinya dan memeluk dirinya dengan erat. "Syukurlah kamu ga apa-apa, Fera sayangku." Kataku. "Iya, pak. Syukurlah bapak juga nggak apa-apa. Aku sangat khawatir." Kata Fera. Tidak lama kemudian, aku melihat Yuna keluar dari kokpit menuju tempatku berada. Saking leganya, aku langsung menariknya dan memeluknya dengan erat, sambil tetap memeluk Fera. "Kamu ga apa-apa, sayang?" Tanyaku. "Nggak ada lecet sama sekali, sayang." Kata Yuna. Aku sangat bahagia sekali. Tidak kusangka impianku untuk memeluk Fera dan Yuna secara bersamaan bisa terwujud dalam waktu dekat begini. Aku melllihat Fera menitikkan sedikit air mata. "Kenapa, sayang?" Tanyaku sambil membelai rambutnya. "Nggak kok, nggak apa-apa. Aku cuma seneng bapak bisa kembali kesini. Aku seneng bisa ngeliat bapak lagi." Kata Fera. "Heh, kamu pikir aku segampang itu mati?" Tanyaku. "Kita semua khawatir, sayang." Kata Yuna. "Yah, kekhawatiran itu udah ga perlu berlanjut sekarang. Sekarang yang penting adalah, bagaimana cara kita keluar dari sini, dari negeri ini, dan kembali ke negeri tercinta kita, Indonesia." Kataku sambil melepaskan pelukanku kepada Yuna dan Fera. Yuna dan Fera mengangguk. "Kalau urusan nyetir pesawat, serahin semua sama aku. Aku tadi bareng Abby udah mempelajarin sistem navigasi pesawat ini. Kurang lebih, sistem navigasi dan kendalinya mirip dengan Airbus, hanya saja yang ini sedikit lebih canggih." Kata Yuna. "Gimana caranya kamu mempelajari sistem navigasi dan kendalinya? Kamu nerbangin pesawat ini tadi?" Tanyaku. "Abby pak yang ngehack sistem navigasi dan kendali pesawat ini. Dia berhasil mempelajari seluk-beluk infrastruktur sistem yang terintegrasi dengan pesawat ini. Dibuat menggunakan bahasa pemrograman ADA, sepertinya cukup handal." Kata Yuna. Aih, seperti yang kuharapkan dari seorang Abby. Dia adalah orang terpintar dalam hal IT dan Engineering yang pernah kutemui. Bahkan para maniak kutu buku dari MIT pun belum tentu bisa mengalahkan keahliannya, aku rasa sih ya. "Aku juga udah ngumpulin persedian air untuk kita, sayang. Cuma aku nggak berhasil mendapatkan persediaan makanan ditempat ini." Kata Fera. "Kapan kamu ngumpulinnya? Bukannya kamu baru aja sadar?" Tanyaku. "Kira-kira setengah jam lalu. Aku sadar kira-kira sejam yang lalu." Kata Fera. "Tapi untunglah kamu bisa selamat. Soalnya kayanya racun yang nyerang kamu waktu itu cukup parah." Kataku. "Neurotoxin. Aku harus ekstra hati-hati waktu menyedot racunnya. Setelah kusedot racunnya, aku membersihkan darahnya menggunakan tenaga ki punyaku. Tapi nggak bisa sampai bersih bener. Sesampainya balik ke Jakarta, dia harus ke rumah sakit." Kata Yuna. "Iya bener. Bersihin neurotoxin dari badan itu emang susah. Oke, kita ga boleh buang-buang waktu. Segera siapkan perjalanan." Kataku. Buat yang tidak tahu, neurotoxin itu adalah racun berbahaya yang menyerang saraf. Biasanya ditemukan pada bisa ular kobra. "Iya." Kata Yuna dan Fera bersamaan. "Fer, tolong kamu tutup pintu pesawat." Kataku. "Iya, sayang." Kata Fera sambil menuju pintu pesawat dan menutupnya. "Yuna, kamu ke kokpit dan siap-siap mengendarai pesawat untuk lepas landas. Aku juga akan ke kokpit untuk nanyain overall status ke Abby." Kataku sambil menuju kokpit bersama Yuna. Sesampainya di kokpit, aku menemukan Abby yang masih sibuk dengan laptopnya. Aku cukup kaget laptop itu selamat setelah semua kejadian ini dari terjun payung, survival hutan, menghajar beberapa prajurit, dan kembali ke pesawat ini. "Gimana By?" Tanyaku. "Oh, lo udah balik bos? Kok selamat?" Tanya Abby. Aku hanya diam saja. Yuna langsung menghajar punggungnya dengan kuat. Abby pun langsung kesakitan bukan main. "Oh maap. Sekarang si bos udah punya dua bodyguard cewe cantik. Gua udah ga bisa macem-macem nih." Kata Abby. "Gini bos. Ada dua hal yang bisa dihack disini. Yang pertama, sistem kendali dan navigasi pesawat. Yuna udah tau seluk-beluknya sistem navigasi dan kendali pesawat ini. Avtur dan mesin aman-aman saja untuk menempuh jarak sampai ke Jakarta. Kita sangat aman untuk take-off. Tapi yang jadi masalah adalah, sistem kendali gedung fasilitas utama ini." Kata Abby. "Kenapa By?" Kataku. "Fasilitas utama ini dilengkapin dengan pertahanan militer otomatis. Bahkan bisa dibilang, seluruh spot dari fasilitas utama ini adalah pertahanan militer. Ada banyak banget senjata mulai dari meriam mortar sampai dengan meriam laser dibawah tanah fasilitas utama ini. Setiap pesawat yang lepas landas dari fasilitas utama ini, harus memberikan semacam kode otentikasi. Jika kode otentikasi kaga diberikan, atau salah kode otentikasi, seluruh sistem pertahanan yang ada di fasilitas utama ini bakal aktif dan menjadikan pesawat itu target." Kata Abby. "Bisa dihack? Mungkin pake kode otentikasi yang diinput di histori?" Tanyaku. "Udah gua coba, bos. Tapi gile. Kode otentikasi itu dienkripsi dengan menggunakan gabungan dari SHA-1, MD5, dan algoritma lain yang belum pernah gua liat. Private dan public key nya pun berubah-ubah tiap jam. Untuk ngedapetin kode otentikasi melalui hacking, rasanya hampir ga mungkin." Kata Abby. Sekedar pengetahuan. Enkripsi itu adalah proses untuk menyandikan suatu pesan yang dikirim melalui internet. Pesan disandikan menggunakan proses yang sangat rumit. Proses-proses yang cukup terkenal adalah SHA-1 dan MD5. Private dan public key adalah suatu kunci yang digunakan untuk memecahkan sandi dari suatu pesan yang disandikan kembali menjadi pesan aslinya sehingga bisa dibaca. Private key dipegang oleh sistem utama, sedangkan public key disebarkan kepada para pengguna. "Lo tau spesifikasi tiap senjata yang ada di pangkalan ini?" Tanyaku. "Tau." Kata Abby. "Yuna, kira-kira pede ga kamu kalo ngendaliin pesawat sambil menghindarin tembakan-tembakan?" Tanyaku. "Pede atau nggak pede, kayanya itu bukan option pak." Kata Yuna sambil tersenyum. Heh, aku suka gayanya. "Oke, siap-siap untuk lepas landas. Yuna, tolong kamu pegang kendali. Abby, tolong pantrengin terus aktivitas fasilitas utama ini. Langsung beritahu Yuna jika ada senjata yang aktif dengan detail." Kataku. "Gak perlu, bos." Kata Abby sambil mengetik-ngetik sesuatu, dan menekan tombol enter di keyboard dengan kencang. Tiba-tiba saja, monitor layar radar pilot pesawat itu berubah mode. Kini di layar radar itu tampil juga senjata-senjata yang ada di fasilitas utama ini. Terlihat pula spesifikasi senjata-senjata itu, dari status senjata itu apakah aktif atau tidak. Sampai jumlah energi yang ditembakan oleh senjata itu dalam satu siklus tembakan itu pun bisa diketahui. Cih, bagaimana caranya dia mengintegrasikan kode program yang dia buat? Mengerikan sekali kemampuannya. Aku berharap suatu saat dia tidak menjadi musuhku. "Ada rencana cadangan?" Tanyaku. "Gua tadi udah bikin dua bom nuklir kecil. Rencananya akan kita jatuhin dari udara. Semoga sih bisa ngelumpuhin beberapa pertahanan militer di fasilitas utama ini." Kata Abby. "Dua aja cukup ya By?" Tanyaku. "Gua ga yakin sih. Tapi mao gimana bos? Tangan gua cuma dua, waktu dan bahan terbatas." Kata Abby. Betul apa yang dikatakan Abby. Bisa membuat dua bom nuklir kecil dalam waktu yang singkat aja menurutku sudah suatu pencapaian yang luar biasa. "Gila lo By. Berbakat jadi teroris kayanya lo By." Kataku. "Gak lah, muka lo lebih cocok bos." Kata Abby sambil tertawa terkekeh-kekeh. Sialan. "Oke. Siap untuk lepas landas?" Tanyaku kepada Yuna. Yuna yang sudah memasang headset di telinganya mengangguk dengan yakin. Abby kembali berbuat sesuatu di laptopnya. Dan tidak lama kemudian, pintu hangar tempat pesawat ini parkir sudah terbuka. Yuna pun mulai menjalankan pesawat ini. Aku bingung, kenapa Myth tidak merekrut Abby saja ya? Kalau betul apa yang dikatakan Bu Novi bahwa Myth ingin merekrutku karena ingin membuat suatu agen virtual besar yang dapat mengendalikan semua manusia, kurasa Abby lebih berpotensi dibandingkan diriku. Betul juga, pertanyaan ini baru muncul di pikiranku sekarang. Mungkinkah ada sesuatu yang lain yang diinginkan oleh Myth disamping mengimplementasikan agen virtual itu? Pintu kokpit tiba-tiba terbuka, dan Fera masuk. "Gawat." Kata Fera. "Kenapa?" Tanya Abby. "By. Bom nuklir yang lu kasih ke gua tadi, itu lu tau nggak gua taro dimana?" Tanya Fera dengan muka pucat. "Lah. Bukannya tadi gua kasih lo, terus lo bawa ke tempat lo?" Tanya Abby dengan heran. "Nah itu dia. Tiba-tiba nggak ada itu dua bom. Tapi tadi lu bener udah kasih ke gua ya?" Tanya Fera yang mukanya semakin pucat. "Fer, tenang aja. Dua bom nuklir itu cuma rencana pendukung aja. Kamu udah terbiasa bertarung jarak jauh kan? Bantu aku disini untuk menghindar dari tembakan-tembakan pertahanan militer tempat ini, gimana?" Tanya Yuna. "Iya deh. Sorry ya semuanya." Kata Fera. Hmmm, dua bom nuklirnya tiba-tiba hilang? Aku tiba-tiba jadi teringat oleh Rayna, yang mampu menyembunyikan hawa keberadaannya sampai hampir tidak terdeteksi. Jangan-jangan ini perbuatan dia. Tidak... tidak... Waktu itu aku sudah membunuhnya. Yah, itulah yang ingin kupikirkan, walaupun aku tidak yakin seratus persen bahwa dia sudah mati. Di kabin penumpang kan hanya ada Fera dan Erna. Mungkin Erna tahu? Eh, Erna? Aku tidak melihat dia daritadi. Dimana dia? Aku kembali ke kabin penumpang untuk mencari seluruh sisi kabin penumpang, tapi tidak menemukan dia. Fera pun menyusulku ke kabin penumpang. "Ada apa?" Tanya Fera. "Erna dimana ya?" Tanyaku. Fera pun tampak bingung, dan mulai mencari-cari ke seluruh pelosok kabin penumpang ini. "Tadi ada kok. Waktu aku sadar, dia ada. Terus aku sempet ketiduran sebentar. Habis bangun, aku ga perhatiin lagi." Kata Fera. Aku segera kembali ke kokpit. "By. Bisa mendeteksi ga kemana Erna pergi?" Tanyaku. "Ada kan di kabin penumpang?" Tanya Abby dengan heran. Aku hanya menggeleng. "Yuna, berhenti sebentar. Aku kepingin turun dan nyari dia. Mungkin dia kesasar pas mao ambil air ato cari makanan buat kita." Kataku. Yuna hanya diam saja, dengan tetap menjalankan pesawat. Abby dan Fera pun melihat kearah Yuna dengan penuh kebingungan. "Yun." Kata Abby. Yuna pun tetap tidak menjawab, dan terus menjalankan pesawat. "Kamu gak apa-apa, sayang?" Tanyaku. Akhirnya, ada reaksi dari Yuna. Ia menundukkan kepalanya sejenak, kemudian menegakkannya kembali. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya, yang ternyata adalah smartphone miliknya. Ia melihat layar smartphone miliknya, dan kemudian menyerahkannya kepadaku. "Masih tersambung." Kata Yuna. Aku segera mengambil smartphone itu dari tangan Yuna dan melihat apa yang tertera di layar smartphone miliknya. Ada jaringan line telpon yang masih tersambung, dan saat kulihat nomor line itu, kulihat nomor yang biasa digunakan oleh Erna ketika ia bepergian keluar negeri. "Erna, dimana kamu?" Tanyaku. Aku mendengar suara Erna sangat kaget ketika mendengarku berbicara. "Eh, s... sayang. Kamu sudah keluar dengan selamat dari tempat ini?" Tanya Erna. "Belum, kami masih ada di landasan. Kamu dimana? Biar aku jemput." Kataku. "Nggak usah, sayang. Disini terlalu banyak prajurit. Kakiku juga kena tembak, malah lama nanti." Kata Erna. Mustahil. Jadi para prajurit yang ramai tadi itu pada saat aku hendak menuju ke hangar pesawat ini, adalah karena mereka sedang mengejar Erna? "Kamu ngapain disitu? Bukannya diam aja di pesawat, ngapain nyelonong keluar-keluar segala?" Tanyaku. "Sayang. Aku menguping pembicaraan Abby dan Yuna tentang kondisi kita sekarang ini. Jika kita jalan terus dengan rencana sekarang ini, kita nggak bakalan selamat." Kata Erna. "Mungkin kita ga selamat. Tapi dengan kamu keluar kesana, mengubah apa?" Tanyaku. "Ada jalan yang bisa membuat peluang kabur kita menjadi bertambah dengan sangat signifikan. Yaitu meledakkan sentral pertahanan militer fasilitas ini, jadinya semua senjata nggak aktif lagi." Kata Erna. "Saat Fera lengah tadi, aku ngambil dua bom nuklir yang dibuat sama Abby." Kata Erna. "Kenapa kamu ga runding dulu? Kalo udah begini kan susah jadinya." Kataku. "Nggak. Nggak susah sama sekali, sayang. Ini aku udah di sentral pertahanan militer fasilitas ini. Dua bom nya sudah kupasang, kurang dari tiga menit lagi meledak." Kata Erna. "Yaudah, kamu lari buruan sekarang. Aku tungguin kamu di gerbang gedung fasilitas utama." Kataku sambil bersiap-siap untuk bergegas lari. Tetapi, belum sempat aku keluar dari kokpit, Yuna langsung menarik pergelangan tanganku. "Nggak usah. Dari awal aku mengambil keputusan ini, aku sudah tau gambaran besarnya kalo aku nggak bakal selamat." Kata Erna. "Kamu mao bunuh diri??!" Tanyaku dengan nada tinggi. "Cuma aku yang bisa melakukan ini. Abby tidak mungkin melakukannya karena banyak yang ia harus lakukan. Yuna juga tidak mungkin, begitu juga dengan Fera." Kata Erna. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Aku tidak ingin melihat kamu dalam kondisi terpuruk lagi, seperti waktu kamu kehilangan Diana di depan mata kamu." Kata Erna. "..." Tidak ada kata-kata yang bisa terucap dari mulutku. "Selama masa pernikahan kita, kamu sudah membuka lembaran yang begitu baik bagiku. Ada juga yang sedikit pahit. Tetapi, aku... sudah membuka lembaran yang begitu sakit dan pahit bagimu. Kumohon, sayang. Kali ini, biarkanlah aku menjadi suatu awal dari lembaran kehidupan baru bagimu yang bahagia." Kata Erna. "Apa maksudmu?" Tanyaku. "Aku sudah mempercayakan dirimu dengan Yuna. Aku sudah bicara dua kali dengannya. Pada saat waktu masih di hotel, dan sebelum aku pergi dari pesawat ini." Kata Erna. "Waktuku udah nggak banyak lagi. Tinggal kurang dari satu menit. Aku punya beberapa pesan terakhir untuk kamu. Pertama, kumohon jangan sia-siakan pengorbananku. Pulanglah dengan selamat. Kedua, jagalah Yuna baik-baik. Aku sangat bahagia jika kalian berdua menikah. Aku yakin Yuna itu berbeda denganku. Dia mencintai kamu dengan sepenuh hatinya. Kurasa begitu juga dengan diri kamu. Ketiga, lupakanlah aku. Jangan jadikan perbuatanku di masa lalu menjadi suatu trauma untukmu di masa depan. Kamu dan Yuna berhak mendapatkan sesuatu yang lebih dari ini. Keempat, sekalipun kamu sudah melupakan diriku, sudah tidak mencintaiku, percayalah bahwa aku akan selalu mencintaimu. Walaupun nanti aku masuk neraka, aku akan selalu menantikan saat-saat dimana aku bisa melihatmu masuk Surga." Kata Erna. Kata-kata Erna betul-betul membuatku tersentuh. Disini aku yakin seratus persen bahwa ia sudah bertobat, ia sudah bukan Erna yang mencari nafsu birahi sejati lagi. Dan aku menyadari, sudah tidak ada yang bisa kuperbuat lagi. Aku menyadari bahwa aku akan kehilangan seseorang yang sudah mengkhianatiku, tapi sudah kembali menjadi dirinya seperti dulu lagi dimana aku mencintainya dengan sepenuh hatiku. Kembali aku berada pada situasi dimana aku tidak bisa menolong orang yang kucintai. Dan tidak hanya itu, aku harus tetap maju agar pengorbanannya tidak sia-sia. Aku teringat awal aku bertemu dengan Erna. Pada saat aku mengambil gelar S1 di Indonesia, aku memberanikan diri menyapanya di lorong menuju ruang kelas kami, walaupun pada saat itu kami belum saling kenal. Aku sudah jatuh cinta padanya waktu itu. Lama-kelamaan, kami menjadi dekat dan akhirnya berpacaran. Dia adalah wanita yang tegas, namun baik hati. Dia selalu mengangkatku dari jurang ketika aku terpuruk. Waktu aku mengambil gelar S2 dan S3 diluar negeri pun, dia begitu setia menungguku. Sewaktu pulang kembali ke Indonesia, dialah wajah orang yang kukenal yang pertama kali kulihat menungguku di bandara. Aku begitu bahagia saat itu. Aku begitu yakin dengan kehidupan berkeluarga bersamanya. Akhirnya, kami pun menikah. Malam pertama kami begitu menyenangkan. Dia betul-betul cantik saat itu, saat ia tidak mengenakan busana apapun. Tubuhnya begitu indah, tubuh paling indah yang pernah kulihat. Dia begitu telaten dalam memanjakanku. Aku makin mencintainya setelah malam pertama kami. Lama-kelamaan, kehidupan perkawinan kami pun mulai berubah. Erna mulai menjadi pemarah, dan selalu menyalahkanku atas apa yang terjadi. Sampai akhirnya, bahkan ia pun berselingkuh. Awalnya, aku kesal sekali dengan apa yang diperbuat olehnya. Tetapi, lama-kelamaan aku mulai bisa menerima. Aku beranggapan bahwa takdir memang sengaja menempatkanku di jalur yang seperti ini, agar aku bisa bertemu dengan orang-orang yang sebetulnya sangat kucintai seperti Yuna, Fera, dan Diana. Aku mulai bisa memaafkan perlakuan selingkuhnya itu, meskipun perselingkuhannya itu betul-betul kelewatan. Rasa benciku dikalahkan oleh rasa cintaku kepada mereka bertiga, dan rasa cinta mereka bertiga kepadaku. "Katakan satu hal Erna. Apa yang membuatmu bertobat sampai seperti itu?" Tanyaku. "Cinta." Kata Erna. "Kalau cinta, tidak mungkin dari awal kamu mengkhianati aku." Kataku. "Bukan cintaku. Tapi cinta mereka, orang-orang yang ada didekatmu dan begitu mencintaimu dengan sepenuh hati mereka. Sayang, aku pernah mencintaimu dengan sepenuh hatiku. Aku mengerti apa yang mereka rasakan. Ya, sebagai sesama wanita yang mencintaimu, aku sangat mengerti mereka. Cinta mereka yang begitu dalam lah yang mengingatkanku akan betapa besar cintaku untukmu, dan membantu mengangatku dari jurang dosa yang telah membuatmu sengsara. Mungkin, sampai kapanpun kamu nggak akan pernah memaafkan aku. Paling tidak, semoga dengan pengorbananku ini, kamu bisa melupakan aku. Bukan untuk diriku sendiri, melainkan untuk dirimu." Kata Erna. Akhirnya, pesawat ini berjalan semakin lama semakin cepat, tanda bahwa pesawat yang dikemudikan Yuna ini akan lepas landas. Jika aku tidak salah menghitung, waktu yang tersisa sebelum bom yang dibawa oleh Erna kurang dari sepuluh detik. "Erna, sampai kapanpun, aku tidak akan melupakanmu. Untukku, kamu akan selalu jadi istriku yang pertama. Aku mengatakan ini tanpa kepalsuan sedikitpun, toh bicara bohong sekarang pun takkan mengubah apa-apa. Aku mencintaimu." Kataku. "... Terima kasih, sayang. Sampai jum..." Kata Erna. Belum selesai ia berbicara, bom yang dibawa oleh Erna pun meledak. BUUUMM... Sempat terdengar suara itu di telpon, sebelum akhirnya telponnya putus. Bersamaan dengan itu, tanah tempat kami berpijak bergetar dengan cukup hebat. Pesawat kami pun berhasil lepas landas. Tidak lama setelah itu, ledakan dari bom nuklir yang dibawa oleh Erna mengudara. Yuna terlihat berusaha keras untuk menambah laju pesawat agar tidak terjebak dalam ledakan. Sementara itu, aku kembali ke kabin pesawat. Disitu, untuk pertama kalinya setelah Erna selingkuh, aku menangis untuknya. Bukan tangisan palsu, melainkan murni tangisan karena kehilangan dirinya. Aku betul-betul merasa kehilangan seseorang yang sangat berharga. Seseorang yang tadinya mengkhianatiku, tapi kini sudah kembali lagi seperti dirinya yang dulu, atau bahkan lebih baik dari dirinya yang dulu. Tiba-tiba, dari belakang aku bisa merasakan seseorang tengah memeluk tubuhku. Rupanya Fera. Ia pun ikut menangis. "Sekalipun kamu memilih Yuna daripada aku, aku nggak akan pernah berhenti mencintai kamu dan menunggumu, sayang. Dan, aku juga selalu akan berada disisimu, meskipun kamu tidak membutuhkanku." Kata Fera. "Makasih, Fera. Aku sayang kamu." Kataku. Setelah itu, kami saling berciuman. -- Dua menit sebelum bom yang dibawa Erna meledak – "See? They're strong, aren't they? (Betul kan? Mereka kuat kan?)" Kata Phoenix di hutan pulau fasilitas utama. "Well, yes. If not because of you, I would be dead. (Yah, iya. Jika bukan karenamu, aku sudah mati.)" Kata Rayna. "Padfoot can be dead? Come on, what would England said about that? (Padfoot bisa mati? Ayolah, apa kata Inggris nanti?)" Kata Phoenix. "Anyway, from what I saw earlier, the companion of that guy that we like carried two bombs. From the shapes of the bombs, it is hand-made, and not a regular one. The worst case is a nuclear bomb. Should we make a run from here? (Ngomong-ngomong, dari apa yang kulihat tadi, teman dari orang yang kita sukai itu membawa dua buah bom. Dari bentuk bom nya, sepertinya itu buatan tangan, dan bukan bom biasa. Skenario paling parahnya adalah bom nuklir. Apakah sebaiknya kita cabut dari sini?)" Kata Rayna a.k.a. Padfoot. "Yeah. Let's. (Ya. Ayo.)" Kata Phoenix. "Drop me at home, okay? (Turunkan aku dirumah, oke?)" Kata Padfoot. "No. Your home is quite a troublesome place. I'll drop you on the sea, swim all the way back to your home. (Tidak. Rumahmu itu tempat yang merepotkan. Aku turunkan kamu diatas laut, terus kamu berenang saja sampai rumah.)" Kata Phoenix. "That will do. (Baiklah.)" Kata Padfoot. "Don't forget that "Mother" invites all of Legend for a gathering. The place is "under the heaven, near the hell". A year from now. (Jangan lupa bahwa "Ibu" mengundang semua anggota Legend untuk berkumpul. Tempatnya adalah "dibawah Surga, dekat neraka". Tepat setahun dari sekarang.)" Kata Phoenix. "Yeah, yeah. I guess it will be a rubbish talking. (Ya, ya. Kutebak palingan cuma untuk membicarakan hal yang tidak berguna.)" Kata Padfoot.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN