EPISODE 10 : Erna

3172 Kata
Sudah dua hari sejak kejadian itu. Sekarang, kami berenam menginap di hotel JW Mariott Shanghai. Kembali ke hotel kami sebelum kami ditangkap oleh Myth dua hari lalu. Kami menyewa lima kamar. Abby otomatis sendiri, karena laki-lakinya hanya aku dan dia. Yuna, Diana, dan Fera tidak ada yang mau sekamar dengan Erna. Katanya takut ketularan jadi tukang selingkuh. Yah kasihan juga si Erna, tapi memang aku sebetulnya masih kesal dengannya. Diana dan Fera sekamar, sedangkan Yuna sekamar sendiri. Tadinya Yuna mau sekamar denganku, karena katanya lebih mudah melindungiku jika satu kamar. Tapi aku katakan aku benar-benar lagi ingin sendiri, dan aku yakinkan bahwa aku tidak akan tertangkap siapapun, yah aku sih pede-pede saja karena aku sudah berhasil mendapatkan pedang samuraiku kembali. Kejadian dua hari lalu dianggap sebagai kecelakaan. Entahlah aku juga tidak mengerti bagaimana caranya. Tiba-tiba ditemukan mobil polisi yang tadinya dikemudikan Satyr untuk membawaku ke pelabuhan, dalam kondisi terbakar. Di dalamnya terdapat 5 mayat. Dua mayat cocok dengan dua polisi yang dibunuh oleh Satyr. Mayat pertama merupakan salah satu anggota kepolisian Shanghai, sedangkan dua mayat lagi sangat cocok spesifikasinya dengan aku dan Yuna, meskipun polisi Shanghai belum bisa mengidentifikasikannya. Semua ini berkat Abby, yang mampu meretas ke dalam database kepolisian Shanghai. Betul-betul menyeramkan si Abby itu, sampai bisa meretas ke jaringan kepolisian Shanghai. Kembali ke permasalahan tadi. Kejadian tadi dianggap sebagai kecelakaan... Ada lima mayat didalam mobil polisi itu, dimana dua dari lima mayat itu memiliki spesifikasi yang cocok dengan aku dan Yuna... Seolah politik yang ditutup-tutupi dengan sangat rapi... Semua tidak mungkin dicover tanpa bantuan pihak kepolisian... Hmmm. Tidak lama kemudian, aku mendapatkan jawabannya. Begitu ya? Jadi anggota Myth pasti ada didalam kepolisian. Pasti dia juga yang mengatur sehingga aku dan Yuna terbebas dari tuduhan pembunuhan terhadap Profesor Wang, karena bisa bahaya jika aku memberikan kesaksian yang bisa menyulitkan mereka, walaupun hanya sedikit sih karena tidak akan ada yang percaya akan adanya eksistensi organisasi rahasia dan berbahaya seperti itu. Saat aku sedang sibuk berpikir, tiba-tiba telpon kamarku berbunyi. "Ni hao. (Halo : dalam bahasa Mandarin)" Kataku. "Ni hao. (wong cang cing cung ceng cong...)" Kata seorang perempuan di telpon. "Apa artinya itu, Yuna?" Tanyaku. "Hehehe, ketahuan ya? Mau kubuatin teh, pak?" Tanya Yuna. Memang, si Yuna ini seperti embun yang menyejukkan ditengah panas. Aku ingat rasa teh buatannya sangat enak. "Boleh Yun. Lemon tea hangat dengan gula yang pas ya." Kataku. "Baik pak, mohon ditunggu sekitar dua sampai tiga menit." Kata Yuna sambil menirukan pelayan restoran. Tidak sampai tiga menit, Yuna sudah mengetuk pintuku dan membawakan teh. Aku mengambilnya dan langsung menyeruputnya. "Masuk, Yun." Tanyaku. Yuna mengangguk dan kemudian ia masuk. Hari ini ia mengenakan baju kaos putih dan celana pendek selutut berwarna coklat. Baju putihnya cukup ketat, sehingga bentuk buah dadanya yang indah terlihat mencuat. Ah sudahlah, aku mengajaknya masuk bukan untuk memelototi buah dadanya. Setelah ia masuk, aku menutup pintu kamar, ia hanya berdiri saja didalam. "Kaku amat sih kamu. Duduk kenapa?" Kataku. "Sorry pak, kebiasaan hehehe." Kata Yuna sambil kemudian duduk di ranjang. "Aku mao bahas tentang apa yang kita alami Yun." Kataku. "Iya pak, aku tidak menyangka kita akan terlibat dengan mereka." Kata Yuna. "Persis seperti apa yang aku pengen denger Yun. Darimana kamu pertama kali mendengar organisasi itu?" Tanyaku. "Hahaha. Kayaknya disembunyiin pun percuma ya pak. Aku cuma pernah denger desas-desusnya aja sih pak. Waktu aku dapet kursus dulu. Sepertinya kepala desa yang ngasih aku kursus itu, berhubungan sama Myth, pak." Kata Yuna. "Siapa nama kepala desa kamu?" Tanyaku. Aku tidak menyangka Yuna ini orang desa, karena sama sekali tidak terlihat. "Kita tidak tahu nama aslinya. Yang pasti, kita memanggilnya dengan sebutan Cockatrice." Kata Yuna. Hmmm, sudah kuduga. Bukannya berhubungan, tapi ternyata kepala desa itu adalah anggota Myth itu sendiri. Cockatrice adalah hewan mitologi setengah ayam dan setengah ular, yang bisa membunuh orang lain hanya dengan tatapan matanya. "Yuna, apa kamu masih berhubungan dengan desa yang memberikan kursus kepadamu?" Tanyaku. "Sudah tidak, pak. Ketika kami selesai kursus, secara otomatis kami menjadi pengembara, tidak terkait lagi dengan desa tempat kami lahir. Walaupun nanti ternyata kita ends up menjadi lawan dari teman seperjuangan kami, atau malah kepala desa sendiri, then so be it." Kata Yuna. "Oke deh Yun. Itu aja kok yang mao aku bahas. Kamu boleh balik, yah kalo kamu mao." Kataku. Yuna mengangguk sambil tersenyum, dan mulai berdiri untuk meninggalkan kamarku. Tetapi, saat dia berjalan menuju pintu keluar, aku langsung memeluknya dari belakang. Yuna pun menghentikan langkahnya, dan memeluk tanganku yang sedang memeluknya. "Yun, makasih ya Yun. Kalo ga ada kamu, ga jelas deh nasibku kaya apa." Kataku. "Ah, bapak terlalu mengdiskreditkan diri bapak. Aku yakin kalopun nggak ada aku, bapak tetep selamat." Kata Yuna. "Yah, tetap saja deh, makasih banyak." Kataku sambil mengecup bibirnya, yang juga dibalas dengan kecupan bibirnya. Setelah itu aku melepaskan pelukannya. Yuna melihat kearahku dan tersenyum, kemudian keluar dari kamarku. Setelah itu, aku merebahkan diriku di ranjang. Sampai akhirnya beberapa menit kemudian, bel kamarku berbunyi. Aku segera menuju ke pintu kamar, dan melihat siapa yang membunyikan bel. Hmmm, ternyata Erna. Yah, kubukakan pintu saja deh. "Kenapa?" Tanyaku. "Gpp. Ada yang mau kubicarakan." Kata Erna. Aku mengajaknya masuk tanpa membalas kata-katanya, dan mempersilakan duduk. "Apa? Make it fast. (Jangan bertele-tele.)" Kataku. "Sayang, aku tahu kamu saat ini pasti kesal sekali sama aku." Kata Erna. "Yah, aku udah kesel dari hari pertama kamu selingkuh dengan si Adi b*****t itu. Justru sekarang aku cenderung lebih tidak kesal." Kataku. "Oh begitu, kenapa bisa gitu?" Tanyaku. "Yah, disaat kamu pergi, untungnya ternyata banyak yang menemaniku. Aku yang memiliki banyak kekurangan begini, ternyata ada yang begitu setia padaku, begitu mencintaiku dengan sepenuh hatinya. Yah paling tidak, tidak seperti kamu, yang baru saja menghadapi problem seperti itu, tidak diskusi dulu langsung main serong saja. Apa ada kata-kataku yang salah?" Tanyaku. Erna hanya menggelengkan kepalanya, perlahan-lahan air mata pun mulai mengucur dari kedua matanya. "Sayang, sebetulnya apa yang terjadi diantara kita?" Tanya Erna. "Sepele sebetulnya. Hanya saja kamu selalu menolak untuk mendengarkanku, selalu menganggap dirimu sendiri yang paling benar sehingga selalu mengacuhkan aku setiap kali ada masalah. Yah wanita memang begitu sih, wanita itu tidak pernah salah. Jika wanita bersalah, lihat pernyataan sebelumnya. Begitulah dirimu, iya kan?" Tanyaku. "Maafkan aku. Ya, aku memang selalu berpendapat demikian. Aku sering mengatai kamu bahwa kamu itu paling nggak pernah minta maaf, padahal kamu selalu meminta maaf jika kamu bersalah." Kata Erna. "Tambahkan, walau itu kesalahanmu, aku juga meminta maaf agar masalahnya cepat selesai." Kataku. Erna mulai menangis, dan menganggukkan kepalanya. "Padahal, aku sendiri yang tidak pernah meminta maaf. Dan aku ingat, tiap kali kita ada masalah yang cukup panjang, sebelum tidur malam kamu selalu mendatangiku dan ingin membicarakan sesuatu, tapi tidak pernah kuacuhkan. Aku bersikap angkuh seolah-olah kamu nggak ada, dan yang mau kamu bicarakan itu tidak penting. Dan akhirnya, perkataan yang mau kamu ucapin itu tidak terucapkan, bahkan sampai sekarang." Isak Erna. "Sayang, aku denger dari atasan kamu, bahwa malam itu kamu dan dia sama-sama saling menikmati. Apakah itu betul?" Tanya Erna. "Iya, kami saling menikmati satu sama lain, seperti layaknya kamu dan si Adi b*****t itu." Kataku sambil menganggukan kepalaku. "Kalau aku boleh tanya, kenapa jika bersamaku, aku nggak pernah betul-betul menikmati? Apa kamu sudah nggak cinta sama aku?" Tanya Erna. "Kalau disini, mungkin ini salahku. Aku paling tidak suka jika kamu sudah ngomel-ngomel. Aku ini orangnya mau cepat beres, aku tidak suka memanjang-manjangkan masalah, jika masalah itu sebetulnya bisa selesai cepat. Dan aku melihatmu itu, kamu suka memanjang-manjangkan masalah, makanya membuat mood-ku itu sangat turun sehingga pada saat kita mau berhubungan, aku sudah kehilangan lebih dari separuh gairahku, sehingga maunya cepat selesai saja. Ini memang salahku, seharusnya aku lebih sabar menghadapi kamu. Hal ini jadinya kamu mencari kepuasan di tempat lain. Maafin aku, kalau saja aku lebih peduli." Kataku. "Nggak sayang. Harusnya aku yang lebih terbuka, dan lebih melihat diriku sendiri. Aku sudah mempunyai masalah denganmu ini sejak lama, tapi aku tidak membicarakannya denganmu. Setiap kali aku menyadari bahwa aku bersalah dalam suatu masalah, aku selalu melemparkannya kepadamu karena aku terlalu takut disalahkan dan juga nggak mau mengakuinya." Kata Erna. "Erna, aku selalu bilang dari awal kita sebelom menikah dulu. Kalau ada masalah, diselesaikan dulu, jangan main salah-salahan. Kalo main salah-salahan dulu, bawaannya itu udah males nyelesain masalah juga. Bukannya aku udah pernah bilang gitu dulu, dan kamu setuju?" Kataku. "Iya. Betul. Maafin aku ya sayang." Kata Erna. Erna pun mulai mengusap air matanya, dan memandangku. "Apakah kamu akan menceraikan aku?" Tanya Erna. Haah, pertanyaan yang sebetulnya malas sekali kujawab. "Katakanlah apa yang dikatakan pemuka agama kita sewaktu kita selesai mengucapkan janji nikah." Kataku. "Apa yang dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia." Kata Erna. "Kalau sudah mengerti, ga usah tanya lagi." Kataku. Mendengar hal itu, Erna langsung menangis, dan memeluk aku. Yah, sejujurnya sih aku juga ikut terharu. Baru kali ini Erna mau mengakui kesalahannya begini. Erna yang dulu sih, pasti berkata "Ini semua salah kamu. Kamu sih kurang sabar bla bla bla...". Tapi Erna sekarang sudah berubah, sudah menjadi manusia yang baru. Tugaskulah sebagai seorang suami untuk menerimanya kembali, dan menuntunnya untuk kembali ke jalan yang benar. Tapi, untuk sekarang ini, aku belum bisa memaafkannya. Aku memang masih kesal sekali dengan apa yang diperbuatnya. "Apa kamu mau maafin aku sayang?" Tanya Erna. "Sekarang ini aku belum bisa. Aku masih kesal dan betul-betul kesal. Apa yang sudah kamu lakukan dengan si Adi b*****t itu, juga bagaimana kamu menceritakan kekuranganku kepadanya, dan bahkan juga meninggikan dia dan sekaligus merendahkan aku. Aku masih belum percaya, bahkan sampai sekarang pun, bahwa kata-kata itu keluar dari mulut seorang istri." Kataku. "Iya, sampai sekarang pun, aku juga tidak percaya sudah melakukan hal itu." Kata Erna. "Bukannya ga percaya, Erna. Tapi kamu terlalu dibutakan oleh nafsu." Kataku. "Iya. Percayalah, kali ini aku tidak akan main serong lagi. Aku akan buktiin ke kamu kalo yang aku cintai itu hanya kamu saja, tidak ada orang lain." Kata Erna. Hmm, tentu saja tidak ada orang lain, wong selingkuhannya sudah mati. Jujur saja, rasanya aku belum puas jika belum membalasnya. Tapi yang kurasakan, rasa kesal yang kurasakan tidak sedalam seperti waktu pertama kali aku memergoki mereka selingkuh. Ya, sejak itu aku mulai membuka mataku. Sejak setelah Erna selingkuh, aku baru pertama kali menyadari bahwa aku sebetulnya mempunyai teman yang begitu banyak. Aku bahkan mempunyai atasan yang notabene nya adalah wanita paling outstanding di kantor, dan aku sudah pernah bersetubuh dengannya. Sekarang, aku memiliki sekretaris elit... tidak, aku sudah menganggap Yuna sebagai sahabatku yang paling setia, dan sekretaris elitku yang sangat kuandalkan. Aku memiliki Diana, Fera, dan Abby yang begitu setia denganku walaupun mereka mungkin diiming-imingi dengan sesuatu yang menggiurkan sebelumnya. Mungkin aku yang sebelumnya terlalu family-oriented... tidak, wife-oriented tepatnya... tidak pernah memperhatikan hal itu. Inilah yang dimaksud dengan Pak James dari pertanyaan bahwa sekalipun aku berada didalam kebencian dan kesedihan yang paling dalam, didekatku pasti ada kebahagiaan. "Sayang, apa kamu suka sama Bu Novi?" Tanya Erna. "Suka dalam hal apa nih?" Tanyaku. "Cinta, cinta kepada perempuan." Kata Erna. "Kalau itu tidak." Kataku. "Bagaimana kalau sama sekretaris kamu itu?" Tanya Erna. Aku jadi teringat kembali oleh perkataan Yuna yang diucapkan hanya melalui bibir saja tanpa suara. "Are you still dying to know why right now? Well, in that case, I'll answer it right now. It's because I love you. (Apakah bapak masih sebegitu ingin tahu? Baiklah, kalau begitu akan kujawab sekarang. Karena saya mencintai bapak.)" Jujur saja, kalau ditanya begitu sama Erna, aku sangat bingung akan jawabannya. Yuna baru bersamaku sekitar beberapa hari, belum ada sepuluh hari. Tapi dalam beberapa hari itu, kami sudah menjadi sangat dekat, saling mempercayai satu sama lain, bahkan saling bersetubuh bareng. Akhirnya, sekarang aku ingat nama gelora itu, ya... gelora yang kurasakan saat sedang bersetubuh dengan Yuna. Nama gelora itu adalah cinta, tidak salah lagi. Dengan mantap, kujawab pertanyaan Erna tadi. "Iya. Aku mencintainya." Kataku. "Begitukah?" Kata Erna. Ekspresi wajahnya menunjukkan keputusasaan. "Tapi hanya sebatas itu saja. Dia berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik dari aku." Kataku. "Bagaimana jika yang terbaik dimatanya itu adalah kamu?" Tanya Erna. Daritadi, pertanyaannya sulit terus sih. Tapi, yang ini betul-betul yang paling sulit. Aku sendiri betul-betul bingung apa jawaban yang paling pas. "Sayang, seandainya bukan karena agama kita, akankah kamu menceraikan aku?" Tanya Erna. "Menurutmu?" Tanyaku balik. "Tidak, kamu tetap tidak akan menceraikan aku. Aku tahu seperti apa dirimu, dan sedewasa apa dirimu." Kata Erna. "Kalau sudah tahu, tidak usah tanya." Kataku. "Apakah kamu akan membalas dendam?" Tanya Erna. "Entahlah. Jujur saja, sebetulnya aku ingin sekali membalas dendam padamu. Tapi entahlah, seolah-olah ada yang menghalangiku untuk berbuat demikian, aku juga tidak tahu." Kataku. "Begitu ya." Kata Erna. "Gantian aku yang tanya." Kataku. Erna langsung terkesiap, seolah-olah sudah siap dengan pertanyaan yang sangat sulit dariku. "Jika si Adi b*****t itu tidak mati, apakah kamu akan mengatakan semua itu sekarang?" Tanyaku. Mendengar pertanyaanku, Erna langsung berpikir dan memejamkan matanya, cukup lama. "Tahukah kamu sayang, apa yang membuatku sekarang jadi begini? Bukan karena Adi itu dihajar habis-habisan oleh atasanmu itu." Kata Erna. "Dihajar habis-habisan? Bukankah katanya ditembak sampai mati saja?" Tanyaku. "Nggak, sayang. Waktu aku dan Adi sedang melakukan perbuatan yang tidak terhormat itu, tiba-tiba pintu kamar hotel yang sudah terkunci itu langsung terbuka dengan kerasnya. Saat kami lihat, ternyata Bu Novi. Mukanya sangat marah, lebih seram dari apapun yang pernah kulihat. Saat itulah Adi mendekat kearahnya." Kata Erna. "Ada apa? Mau ikutan?" Kata Erna, memperagakan Adi. "Saat itu, aku merasa betul-betul dipermalukan. Masak si Adi itu mengajak aku threesome begitu, aku paling tidak suka." Kata Erna. "Aku datang untuk membereskanmu, dan juga membawa wanita rendah itu ke hadapan suaminya." Kata Erna, memperagakan Bu Novi. "Saat itu, Adi hanya tertawa kecil saja. Kemudian, ia mengangkat tangannya, sepertinya hendak memegang pipinya Bu Novi. Tapi dengan cepat, Bu Novi langsung menangkap tangannya, dan memelintir tangan Adi dan memutar tubuhnya. Dalam sekejap saja, kedua tangan Adi itu sudah patah. Aku ingat sekali bagaimana bunyi menyeramkan dari tulang kedua tangan Adi yang patah. Adi hanya bisa mengerang kesakitan. Sebelum ia sempat minta tolong, Bu Novi langsung melukai tenggorokannya sehingga ia kesulitan berbicara. Sempat terdengar kata 'ampun' keluar dari mulut Adi yang sudah sangat sulit berbicara itu. Tetapi, seolah tidak mempedulikannya, Bu Novi menendang kepala Adi sehingga Adi langsung terpental beberapa puluh sentimeter kebelakang dan terjerembab ke lantai hotel. Saat itulah, baru ia mengeluarkan pistolnya, memasukkan moncongnya ke dalam mulut Adi." Kata Erna. "Kamu tahu, suami dari wanita rendah ini bisa lho mengatasi serangan seperti ini. Serangan yang kulancarkan itu adalah serangan-serangan yang menurutku masih sangat dasar dan mudah dihindari. Dan kamu, orang yang daritadi dan dari pertama selalu membandingkan betapa besarnya dirimu dengan suami wanita rendah ini, tidak bisa mengatasi serangan seperti ini? Kalau suaminya ada di posisimu, paling tidak aku yakin ia bisa membuatku kerepotan, dan mengulur waktu hingga istrinya kabur. Ya sekarang kita tahu siapa yang lebih rendah. Jika kamu masih bingung siapa yang lebih rendah, coba jawab pertanyaanku, siapa yang lebih hebat diantara orang yang mampu mempertahankan keluarganya dan orang yang mampu mempertahankan EREKSI-nya terhadap w************n? Bagaimana?" Kata Erna, memperagakan Bu Novi. "Adi hanya bisa megap-megap. Air matanya pun mulai keluar. Aku benar-benar tidak menyangka Adi yang badannya begitu besar, tidak berdaya melawan Bu Novi sama sekali. Bahkan Bu Novi mampu membuat Adi sampai begitu ketakutan hingga menangis." Kata Erna. Aku hanya diam saja. Aku sama sekali tidak terkejut mendengar hal itu. "Nggak lama kemudian, lantai tempat kepala Adi bersandar sudah dibasahi oleh semprotan darah akibat Bu Novi menarik pelatuk pistolnya. Seketika itu juga, Adi berhenti bergerak. Aku tahu, nyawanya sudah pergi dari tubuhnya." Kata Erna. "Aku betul-betul melihat pemandangan paling menyeramkan selama hidupku. Seumur-umur aku belum pernah melihat orang membunuh di depan mataku." Kata Erna. "Kemudian setelah itu, Bu Novi langsung menatap mataku dengan sangat tajam. Dirinya sangat marah, aku tahu hal itu." Kata Erna. "Sekarang, berjanjilah. Kamu tidak akan pernah main serong lagi. Meskipun suamimu main serong sana-sini, meskipun suamimu berubah 180 derajat menjadi tidak benar, meskipun suamimu berubah menjadi momok yang sangat menakutkan, kamu harus tetap berjanji bahwa kamu akan tetap setia padanya. Kalau tidak mau, kuhabisi dirimu disini." Kata Erna, memperagakan Bu Novi. "Jadi karena kamu ketakutan, makanya kamu berubah 180 derajat sekarang?" Tanyaku dengan sinis. Erna hanya menundukkan kepalanya. Tapi aku tahu, bukan rasa malu yang nampak, tapi rasa sedih. "Aku sudah siap mati saat itu. Jika aku saat itu mati, aku sudah menerimanya sebagai pembalasan akibat aku berselingkuh darimu. Tapi yang membuatku menjadi seperti ini adalah... karena Bu Novi." Kata Erna. "Apa hubungannya?" Tanyaku. "Sebagai sesama wanita, apalagi sebagai seseorang yang menjadi bagian besar dalam hidupmu, aku bisa mengerti bahwa Bu Novi sangat menyayangimu sayang." Kata Erna. "Tahu darimana kamu?" Tanyaku dengan heran. "Memang dia tidak mengatakannya secara langsung. Tapi dengan melihat tatapan matanya, aku tahu bahwa dia sangat marah akibat perbuatanku ini. Kenapa dia sangat marah adalah karena dia begitu menyayangimu, bukan sebagai pria, tapi lebih tepatnya sebagai seorang sahabat, sahabat yang bahkan rela mati." Kata Erna. "Kemudian dia menyuruhku pakai baju, dan memakaikan tali dileherku, kemudian membawaku kesini." Kata Erna. Eeeww, wanita memang kalau marah itu menyeramkan ya. Hmmm, akhirnya aku mengerti mengapa Bu Novi semudah itu tertembak oleh Fera. Meskipun dia sedang akan menembak Yuna pada waktu itu, dimana betul kata Fera bahwa saat makhluk hidup paling lengah adalah saat ia sedang menerkam buruannya, aku merasa bahwa harusnya Bu Novi bisa mengantisipasi hal itu. Aku sempat bingung mengapa itu terjadi. Berarti, apakah ini artinya Erna tidak berbohong? "Oke. Ada lagi yang mau dibicarain?" Tanyaku. "Oh... Nggak kok. Ya sudah, sepertinya kamu belum mau maafin aku." Kata Erna. "Memang belum bisa." Kataku. "Yaudah, aku balik dulu ya. Kalo ada apa-apa, dateng aja." Kata Erna, sambil memalingkan wajahnya. Sepertinya ia menangis lagi. Setelah Erna keluar, beberapa menit kemudian ada yang menelpon kamarku. "Ni hao. (Halo)" Kataku. "(wong chang ching shang shing...)" Kata suara yang sangat berat. Tapi aku langsung tahu. "Percuma disembunyiin kaya apapun juga. Ada apaan?" Kataku. "Kok ketahuan terus sih. Yaudah pak, aku cuma mao ngabarin bahwa katanya besok kita akan diantar oleh kepolisian Shanghai kembali menuju Jakarta. Katanya atas permintaan maaf mereka karena sudah menuduh kita sebagai pelaku pembunuhan." Kata Yuna. "Baiklah, aku terima tawarannya." Kataku. "Yakin pak? Mungkin saja ini ulah anggota mereka lagi." Kata Yuna. "Aku yakin ini memang pasti ulah mereka. Tapi, tak ada cara yang lebih cepat untuk meringkus mereka selain masuk dalam perangkap mereka dan mempersempit jarak antara kita dan mereka. Karena itu, Yuna, aku percayakan Erna, Diana, Fera, dan Abby sama kamu. Tolong jaga mereka baik-baik." Kataku. Yuna tidak menjawab. Tapi dari napasnya, aku tahu bahwa ia sedang tersenyum. "Erna sepertinya tidak ada masalah. Diana cenderung tidak memperhatikan sekitar tanpa diberitahu, tolong kamu jadi mata yang baik bagi dia. Fera sangat baik dan setia kawan, tetapi ia terlalu polos, tolong jadi pikiran yang baik bagi dia. Abby terlalu asik dengan komputer dan gadgetnya, tapi percayalah bahwa apa yang dia lakukan itu adalah untuk menyelamatkan dunia, jadi tolong jadilah kepekaan yang baik untuknya." Kataku. "Baik pak. Serahin semuanya sama aku." Kata Yuna. "Jangan sampai ada yang tahu. Aku mohon, rahasiakan semua ini dari mereka. Bilang saja bahwa aku akan menyusul mereka." Kataku. "Oke pak." Kata Yuna. Kemudian, telpon ditutup. Huah, besok akan jadi hari yang panjang sepertinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN