Bab 2.

1775 Kata
“Berapa taruhannya?” tanya seorang pria dengan rambut grondrong keriting. “Satu penthouse.” Seorang pria dengan rambut pirang dan bola mata biru menjawab dengan nada menantang. Pria itu melirik sosok yang saat ini sedang menjadi bahan bibir di kalangan pembalap liar. Pria yang belum lama muncul, namun selalu menang balapan. Itu yang dia dengar dari beberapa teman. Dia sendiri terlalu sibuk berlibur hingga baru hari ini akhirnya bisa bertemu dengan pria yang dijuluki si pembalap gila. “Bagaimana? Kamu mau terima tantangannya, tidak?” Pria dengan rambut gondrong keriting itu bertanya pada pria lain dengan ekspresi wajah dingin, sepasang mata setajam elang yang mampu membuat orang yang melihat mengkerut seketika. Belum pernah selama dia mengenal pria bernama Rion itu, pria itu tersenyum. Rion—pria yang sedang ditatap oleh dua orang lainnya itu mengerutkan sepasang bibir. Tarikan napas dalam pria itu lakukan sebelum meneleng, lalu menjawab. “Deal. Pastikan kamu tidak akan menangis karena harus kehilangan penthouse.” Satu alis pria itu terangkat. “Pastikan saja kamu bisa membayar, atau aku akan menjual ginjal dan jantungmu,” balas pria berambut pirang. “Jadi sudah deal?” Pria berambut keriting panjang itu kemudian membawa ibu jari dan jari telunjuk ke ujung mulut, lalu tak lama terdengar suara serupa peluit keluar dari celah bibir pria tersebut. Beberapa pria dan wanita berusia awal 20 an langsung menoleh. “Kali ini taruhannya besar. Satu penthouse. Siapa yang mau gabung?” “Apa? Penthouse? Gila. Aku tidak ikut! Papaku bisa membunuhku kalau sampai aku kalah.” “Aku juga tidak ikut. Mommy ku bisa benar-benar mencoret namaku dari daftar ahli waris.” “Iya … aku juga tidak ikut. Kakekku bisa langsung kena serangan jantung kalau aku kalah. Sudah … biar mereka berdua saja. Dasar sama-sama Gila.” “Tampang kalian saja yang seperti anak orang kaya, tapi, taruhan kecil saja kalian tidak berani,” ejek pria dengan rambut pirang. “Sudah … sudah … biarkan saja. Kita lihat saja. Kalau sampai Rico kalah, gantian kita yang akan mengejeknya.” Seorang pria menahan tubuh sang teman yang terlihat emosi dan siap untuk menerjang Rico. “Tutup mulutmu itu, Ric. Kamu belum pernah balapan melawan Rion. Siap-siap saja kehilangan penthouse.” “Gembel seperti dia tidak akan bisa menang dariku. Lihat saja. Setelah satu putaran, dia akan kehilangan ginjal dan jantungnya.” Rico tertawa keras hingga sepasang matanya mengecil. Pria itu menoleh ke samping, lalu meninju lengan Rion. “Berani-beraninya kamu mengejekku.” Lalu Rico menyapukan pandangan mata dari puncak kepala Rion hingga sampai ke kaki. Pria itu mendengkus. “Melihat dari pakaianmu saja aku tahu kamu tidak akan bisa membayar taruhan kita. Masih berani melawanku, hah? Sudah siap kehilangan jantung dan ginjalmu?” Rico mengejek Rion “Kamu takut melawanku?” tanya balik Rion. Rico tertawa keras. “Satu penthouse tidak akan membuat orang tuaku bankrut. Kamu tahu siapa orang tuaku? Daddy ku pemilik perusahaan besar di kota ini. Mommy ku, tanpa bekerja pun dia sudah kaya. Warisan orang tuanya tidak akan habis untuk enam turunan sekalipun. Pikirkan sekali lagi sebelum kamu menyesal, dan akui kekalahanmu.” Rico menatap meremehkan pria yang dia pikir adalah seorang gembel. Pria itu berdecak. “Katakan padaku, siapa orang tuamu. Kalau mereka keluarga terpandang di kota ini, aku pasti mengenalnya.” Rion terdiam. Pria muda itu menarik pelan oksigen masuk ke dalam paru-paru. Siapa orang tuanya? Sepasang rahang Rion saling menekan-nekan kuat. Tarikan dan hembusan napas Rion bertambah cepat ketika ingatan itu kembali. Satu bulan lalu ketika dia mengetahui kenyataan pahit itu. Saat dia merasa dihancurkan oleh orang yang paling dia hormati di keluarga Jaquine. Papanya. Papa kandungnya sendiri. Geraldo Theodor Jaquine. “Kenapa? Atau jangan-jangan kamu tidak punya orang tua? Dibuang oleh orang tuamu sendiri?” ejek Rico yang detik berikutnya langsung tertawa keras. Kalimat terakhir yang Rico ucapkan membuat Rion tidak bisa menahan diri. Rion langsung mendorong keras d*da Rico yang masih tertawa, hingga Rico nyaris terjungkal ke belakang. Beruntung Rico bisa segera mendapatkan keseimbangan tubuhnya kembali. “Apa-apaan kamu, hah? Kurang ajar!” Rico naik pitam. Rico langsung mengangkat kepalan tangan kanan. Berniat untuk menghantam wajah sang lawan. “Hey … berhenti! Berhenti.” Pria dengan rambut panjang keriting itu bergegas menghalangi keduanya yang sudah siap untuk berkelahi. “Apa-apaan kalian?” marah pria itu menatap keduanya bergantian. “Dia yang apa-apaan, Tom. Dia yang mulai.” Rico tidak terima. Pria dengan kulit putih yang sudah berubah warna kemeraaan karena amarah tersebut menunjuk wajah Rion. Beberapa pria yang sebelumnya menolak bergabung dalam balap liar tersebut langsung berlari kemudian membantu memisahkan dua orang yang sudah sama-sama mengangkat kepalan tangan. Suasana berubah gaduh. “Sialan! b******k! Dia yang mulai. Dasar anak haram! Orang tuanya pasti tidak menginginkannya!” Rion menghentak dua tangan yang dicekal orang beberapa orang. Wajah pria muda itu terlihat mengerikan. Kemarahan yang begitu besar tergambar jelas. Seperti layaknya seekor harimau yang siap untuk menerkam kemudian mencabik-cabik mangsanya. Pria itu mendorong tubuh beberapa orang yang masih berusaha menghalanginya. “Jaga mulutmu itu, atau aku akan merobeknya,” ancam Rion dengan ekspresi wajah mengerikan. “Hei … sudah … sudah, Rion. Sudah, hentikan. Bukankah tujuan kalian berdua adalah balapan?” Pria berambut panjang keriting itu merentangan kedua tangan di antara Rion dan Rico yang dudah dihadang beberapa pria lain. “Dan kamu Rico, berhenti menghinanya. Kalau kamu takut kalah, tidak sudah menantangnya.” “Kalau kalian tidak berhenti bertengkar, ya sudah bubar saja. Tidak ada balapan,” ujar pria berambut panjang keriting itu putus asa. Keduanya, baik Rion maupun Rico tidak mau melepaskan lawan masing-masing. “Aku tahu balapan ini tidak akan terjadi. Dia tidak akan bisa membayarku.” “Tutup mulutmu, Sialan. Bilang saja kamu takut kehilangan penthouse yang dibeli oleh orang tuamu.” “Siapa bilang?” “Sialan kalian berdua. Cukupp!!” Pria yang sudah amat sangat kesal itu menunjuk Rico dan Rion bergantian. “Lanjutkan kalau kalian ingin berkelahi. Aku tidak akan peduli. Aku cabut!” pria itu berjalan meninggalkan keduanya. Rion menatap marah Rico. “Lepaskan,” ujarnya sambil melirik dua orang yang masih menahan tubuhnya. Pria itu kemudian mengusap-usap jaket kulitnya seolah tidak ingin ada kotoran yang menempel dari tangan orang-orang itu. “Apa?” tantang Rico. Rion menatap tajam Rico sebelum memutar tubuh lalu melangkah menuju motor balap berwarna hitam kombinasi putih yang sudah menemaninya selama satu tahun terakhir. “Hei, jangan melarikan diri. Ayo kita bertanding, Sialan!” “Rion! Jangan melarikan diri.” Rion memutar tubuh dengan kesal. “Kalau kamu memang tidak takut kalah, ayo. Dan berhenti membuka mulutmu yang seperti rombengan itu.” Rion menghentak keras napasnya. Meninggalkan tatapan setajam belati sebelum kembali berbalik lalau berjalan dengan langkah lebar menghampiri motornya. Setibanya di samping motor besar itu, Rion menoleh ke arah Rico. Rion mendengkus melihat Rico berlari ke arah motornya sambil masih terus mengumpat. “Dasar anak mama,” gumam pelan Rion sebelum kemudian naik ke atas motor lalu memakai helm yang menutup seluruh kepalanya. Tak lama kemudian suara deru motor balap terdengar. Rion menjalankan motor itu pelan menuju tempat balapan akan dimulai. Bola mata dibalik kaca helm berwarna hitam tersebut bergerak ke kanan kiri. Pria berambut panjang keritinya yang beberapa saat lalu sudah menyerah dengan dua orang yang bertikai itu menoleh. Dengan kening mengernyit pria itu menatap pergerakan dua motor yang dia tahu siapa pemiliknya. Pria yang semula duduk di atas motornya itu kemudian turun. “Apa mereka jadi bertanding?” “Sepertinya begitu.” “Jadi mereka sudah baikan dan sekarang akan beradu kecepatan? Masih dengan taruhan satu penthouse, atau jantung dan ginjal?” Beberapa orang yang sedang berkumpul sambil menghisap rokok itu tertawa. Melihat pria berambut keriting gondrong melangkah pergi, satu per satu kemudian mengikuti. Salah satu di antara mereka memanggil para gadis yang terlihat sedang berbincang. “Ayo, kita lihat!” Rion dan Rico sudah berada di garis start balapan dengan mesin motor menyala. Suara derum motor terdengar semakin keras ketika kedua orang itu menarik-narik putaran gas, menumbulkan suara yang memekakkan telinga. Pria beramput panjang keritingberdiri di antara kedua pemilik motor yang sudah berada di atas motornya masing-masing. Pria itu mengedik kepala, meminta baik Rion maupun Rico membuka kaca helm mereka. “Peraturannya seperti biasa. 10 kali putaran. Siapa yang sampai dulu, akan mendapatkan satu penthouse. Begitu kan, taruhannya?” “Tapi dia—” “Diamlah, Rico. Kalau kamu tidak bisa menutup mulutmu, bisa-bisa balapan ini tidak jadi lagi.” Pria dengan rambut panjang keriting itu mendelik ke arah Rico. Membuat Rico mengumpat, meskipun akhirnya tidak lagi menyahut. Rico menutup kembali kaca helmnya. “Baiklah. Kita akan segera mulai.” Suara decit ban mobil terdengar cukup keras hingga membuat semua orang yang sudah berkumpul itu menoleh ke arah yang sama. Sebuah mobil sedan warna merah menyala berhenti tak jauh dari tempat semua orang berada. “Astaga, itu pasti Sandra.” “Sandra?” “Iya. Temanku. Dia mau ikut balapan.” “Perempuan?” “Iya lah perempuan.” Frida menunjuk ke arah seorang perempuan memakai kaos oblong warna putih yang dilapisi kemeja flanel, serta celana denim sepanjang setengah paha, berjalan ke arah mereka. “Aku tidak mau balapan dengan perempuan,” ucap Rion sambil melirik ke arah seorang wanita yang beberapa saat kemudian berdiri di depannya. “Maaf, Cantik. Kali ini tidak ada peserta perempuan. Silahkan bergabung dengan lain. Kamu bisa ikut taruhan kalau mau.” “Kenapa? Apa mereka takut kalah dariku?” “Kita mulai saja. Aku tidak punya banyak waktu meladeni perempuan.” Rion menoleh ke samping. “Kamu sudah siap?” “Tentu saja. Aku siap kapanpun kamu siap.” Rico menjawab. “Ya sudah, ayo minggir semuanya. Kalian bisa mulai taruhannya. Rion atau Rico?” “Hey, bukankah akan lebih menyenangkan kalau mereka membawa partner?” Semua mata kini tertuju pada sosok perempuan bernama Sandra. Wanita itu menatap kedua peserta balapan bergantian sebelum beralih pada pria berambut gondrong yang mengatur jalannya balapan. “Kurasa tidak ada salahnya. Pelukan hangat perempuan bisa menambah semangat.” Rico terkekeh setelah menyelesaikan kalimatnya. “Ayo, naiklah.” Rico menoleh ke arah Sandra. Pria yang sudah membuka helm full face nya tersebut mengedik kepala ke belakang. Meminta Sandra untuk naik ke boncengannya. Sandra tersenyum. Wanita itu melangkah menuju motor dengan Rico di atasnya. “Okelah. Ayo, siapa yang mau sukarela memberikan kehangatan pada Rion?” “Aku tidak butuh,” tolak Rion. Sandra berhenti melangkah. Gadis itu menoleh ke arah pria yang baru saja menyuarakan penolakan untuk yang kedua kalinya. Sandra menatap wajah yang sayangnya tidak terlihat karena tertutup kaca hitam helm. Berdecih, Sandra membuka mulutnya. “Aku akan ikut dengannya. Aku ingin lihat sehebat apa si sombong ini.” Lalu Sandra dengan cepat menghampiri motor Rion, kemudian naik ke boncengan motor tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN