Rion menggeram. “Turun, Sialan.” Rion sungguh kesal ketika Sandra tiba-tiba saja naik ke boncengannya, lalu dengan santai memeluknya.
“Bersiap!”
“s**t!” umpat Rion yang dengan terpaksa meluruskan pandangan mata. Melihat pria berambut gondrong dan seorang perempuan dengan pakaian mini yang hampir memperlihatkan seluruh pahanya, kini sudah memegang kain berwarna merah. Melirik ke samping, Rico terlihat sudah siap. Rion menghentak keras karbondioksida keluar dari mulutnya.
“Mulai!”
Rion langsung menarik gas cukup dalam hingga membuat Sandra tersentak. Gadis 19 tahun itu buru-buru mengeratkan lingkaran kedua tangan di tubuh Rion.
Rion menarik lebih dalam gas. Bola mata pria itu bergerak ke samping. Rico melakukan hal yang sama. Dua motor itu melaju cepat nyaris beriringan. Terus bergerak berusaha untuk saling mendahului satu sama lain.
Meluruskan pandangan matanya, Rion mencoba melesatkan tunggangannya lebih cepat lagi. Pria itu bahkan tidak mengurangi kecepatan saat melalui tikungan, hingga membuat seseorang yang berada di belakangnya memekik.
Sandra membuka mulut. Gadis itu menoleh dengan sepasang mata membesar. Dia merasakan tubuhnya nyaris terpelanting. Beruntung pegangan tangannya tidak terlepas. Jika dia lengah sedikit saja, tubuhnya pasti sudah akan terlempar ke jalanan. Gila. Pria ini benar-benar gila.
Sandra menarik dalam-dalam napasnya. Motor lawan Rion kini sudah mulai tertinggal. Sandra menggelengkan kepala sebelum mengeratkan lagi kaitan tangan di tubuh Rion. D*danya menempel ke punggung yang terasa begitu kokoh.
Sementara itu, Rion melirik spion. Pria itu mendengkus. Jujur saja, dia sempat berharap perempuan di belakangnya ini terjatuh. Bagaimana kalau perempuan itu mati? tanya satu sisi otaknya. ‘Itu bukan urusanku. Aku sudah memintanya turun, tapi, dia sendiri yang tidak mau,’ jawab Rion dalam hati.
Sorak sorai terdengar memecah kesunyian malam itu, ketika motor yang Rion kendarai menyelesaikan satu putaran.
“Yes … Rion! Rion!” Tawa keras beberapa orang yang bertaruh untuk kemenangan Rion terdengar. Mereka terlihat begitu senang melihat Rion memimpin jalannya balapan.
Rion memacu motornya lebih cepat lagi. Sesekali memperhatikan kondisi di belakang melalui spion, atau sengaja langsung menoleh meskipun tidak lebih dari dua detik.
“Apa yang akan kamu dapat kalau kamu menang?”
Bola mata Rion bergerak. Sepasang bibir di balik helm itu tertutup rapat. Motor bergerak miring saat melalui tikungan yang cukup tajam dengan kecepatan tinggi.
"Huuuuhhh," pekik Sandra saat merasakan desiran di dadanya.
“Woah … sekarang aku sudah mulai terbiasa. Baiklah. Ayo, lebih lepat lagi!” ucap keras Sandra yang sudah mulai menikmati balapan. “Arghhhhhh!” Sandra berteriak keras lalu tertawa. Ternyata pilihannya tidak salah. Balapan bisa membuat adrenalinnya terpacu. Membuatnya lupa akan sakit hati pada kedua orangtuanya.
Sandra kembali berteriak, lalu tertawa keras menikmati setiap liukan motor saat melewati tikungan. Perasaannya campur aduk. Ada rasa takut jika jatuh, namun ada rasa lain yang membuat d*danya lega.
Di depan Sandra, Rion mengernyit. Dia ingin perempuan di belakangnya ketakutan, bukan malah tertawa kesenangan seperti orang gila. Rion menarik gas semakin dalam sambil mengeratkan katupan sepasang rahangnya. Dia ingin melemparkan wanita di belakangnya ke jalanan. Ah, sialan—umpat Rion ketika menyadari jika tubuh di belakangnya menempel di punggungnya seperti ulat pohon.
Melewati sekelompok orang yang langsung bersorak-sorai, menandakan jika satu putaran lagi sudah berhasil Rion lalui. Delapan putaran lagi.
“Ayo, lebih cepat lagi. Mereka sudah mulai menyusul.” Sandra memberitahu Rion. Gadis itu menoleh ke belakang—memperhatikan motor berwarna merah yang sedang berusaha untuk mengejar.
Sementara di belakang Rion. Rico tak henti-hentinya mengumpat. “Dia benar-benar gila,” ujar kesal Rico ketika melihat motor di depannya berbelok tikungan yang cukup tajam tanpa mengurangi kecepatan sedikit pun. Dia yang melihat saja ngeri. Motor itu benar-benar miring. Sedikit saja kesalahan, dia yakin badan motor itu akan menghantam jalanan dan kedua penumpangnya akan terjatuh bersama motornya, atau bahkan terlempar dari motor.
“Kamu terlalu lama berlibur, Rico. Apa kamu tidak tahu julukan Rion? Si pembalap gila.” Wanita di belakang Rico memberitahu. “Dari pertama dia muncul, semua orang menyebutnya begitu.”
“s**t! Aku tidak mau kehilangan penthouse.” Rico kemudian menarik gas lebih dalam lagi. Dia tidak mau kalah dan kehilangan penthouse kesayangannya.
“Sisa tujuh putaran!” Sandra berteriak senang setelah melewati kerumunan beberapa orang. “Kita pasti akan menang.” Wanita itu tersenyum hingga sepasang matanya mengecil.
Motor yang Rion kendarai melaju kencang. Udara dingin malam itu sama sekali tidak menjadi penghalang sang pembalap untuk melaju semakin kencang. Rion mengedarkan pandangan mata. Melirik ke arah spion dan merasa heran ketika tidak melihat motor Rico di belakangnya. Apa terjadi sesuatu pada pria itu?
Rion refleks mengurangi kecepatan lalu menoleh ke belakang. Membuat Sandra ikut memutar kepala ke belakang.
“Lawanmu sepertinya sudah menyerah,” tebak Sandra seraya menarik tubuh ke belakang. Laju motor sudah tidak secepat sebelumnya. Dia sudah tidak khawatir tubuhnya akan terbawa angin karena laju motor yang begitu kencang.
“Selamat. Apa yang kalian pertaruhkan tadi?” tanya Sandra. Wanita itu mendesah saat masih tidak mendengar suara pria di depannya. Sandra mengerjap ketika merasakan laju motor kini benar-benar berhenti. “Ada apa?” tanya bingung Sandra melihat Rion masih menoleh ke belakang.
Rion diam tanpa mengalihkan perhatian dari jalanan gelap di belakangnya. Satu menit, dua menit. Cahaya lampu menyorot dari kejauhan mulai terlihat.
“Apa itu mereka?” tanya Sandra dengan kening mengernyit. “Kenapa sorot lampunya banyak?”
“Pegangan,” perintah Rion, sebelum pria itu kembali melajukan kencang motornya. Membuat tubuh Sandra nyaris terlempar ke belakang karena belum siap. Sandra segera memeluk tubuh di depannya. Wanita itu kembali menoleh ke belakang.
“Siapa mereka? Kenapa kita harus lari?”
“Polisi.”
“A-a-apa? Siapa?” Sepasang mata Sandra membesar. Mobil. Yang sekarang ada di belakang mereka, melaju cepat seolah ingin segera menyusul adalah kendaraan roda empat. Bukan Rico—lawan tanding Rion. Dan tidak hanya satu mobil, melainkan ... tiga mobil.
“Mereka … mereka … polisi?” Sandra merasakan jantungnya berdegup semakin kencang. Polisi. Dia sekarang sedang dikejar polisi.
Lalu satu pemikiran terbersit. Apakah jika dirinya masuk penjara, kedua orang tuanya akan langsung pulang dan meninggalkan semua urusan mereka? Sepasang alis Sandra bergerak—mengerut. Jika dengan masuk penjara bisa membuat dua orang yang membuatnya menghirup udara itu pulang, maka dia tidak akan keberatan. Kalau begitu ….
“Rion … berhenti!”
Rion hanya melirik perempuan di belakangnya melalui spion, namun sama sekali tidak mengurangi kecepatan. Gila saja jika dia berhenti. Itu sama saja seperti mendatangi kandang serigala yang sedang kelaparan.
“Rion, aku bilang berhenti.” Nada suara Sandra semakin meninggi.
“Lompat saja kalau kamu ingin mereka menangkapmu,” sahut kesal Rion.
“Apa? Kamu—” Sandra mendelik.
‘DOR! DOR!’
Sandra belum menyelesaikan kalimatnya, ketika suara tembakan terdengar. Sepasang mata gadis itu bertambah membesar seketika.
“Masih ingin berhenti, sekarang?” tanya Rion sambil menambah kecepatan laju motor. Sepasang mata pria muda tersebut melirik spion--memperhatikan situasi di belakangnya.
“Tidak.” Sandra mendekap kuat tubuh Rion, sementara Rion meliukkan tunggangannya diiringi suara tembakan dari belakang.
“DOR! DOR! DOR!”