“Sudah kukatakan yang kalian cari tidak ada di sini. Pergi, jangan mengganggu kesenangan pelangganku.”
Rion melirik sementara bibir pria itu masih bergerak, menyusuri setiap inci bibir lawannya.
“Kurang ajar. Kemana mereka bersembunyi? Ayo, kita cari lagi.”
Lalu suara pintu dibanting terdengar keras.
Rion melepas bibirnya, lalu mendorong tubuh di depannya. Pria itu menatap sepasang mata Sandra yang masih terengah dengan napas memburu. Rion mengusap bibir dengan lengan nya.
Sementara Sandra masih berusaha mengatur masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida. Apa yang baru saja terjadi? Sialan. Begitu sadar, Sandra membuang muka. Baru saja dia dimanfaatkan untuk mengelabui para polisi itu. “Dasar sialan,” umpat pelan Sandra. Gadis itu menghentak keras napasnya.
Rion menarik punggung ke belakang hingga menyandar. Rion meneguk isi dalam gelasnya. “Tunggu Margaret, baru kamu bisa pulang.”
Sandra melirik sebelum akhirnya menoleh. “Begitu?”
Rion melepas tepi gelas dari sela bibirnya. Pria itu mengangguk santai.
“Aku tidak mau pulang.”
Rion mengernyit. Menatap Sandra dengan sepasang mata mengecil sebelum kembali meneguk sisa cairan dalam gelasnya. Rion menarik punggung. Tangannya terulur, meletakkan gelas yang sudah kosong ke atas meja.
“Kamu tidak mendengarku?” tanya Sandra kala tidak mendapati respon dari Rion. “Aku bilang, aku tidak mau pulang.”
“Itu bukan urusanku. Terserah saja kalau kamu ingin berada di sini sampai pagi,” jawab Rion yang kini sudah kembali menyandarkan punggung.
Sandra mendengkus. Gadis itu menatap kesal Rion sebelum satu ide terbersit. “Baiklah.” Sandra menggerakkan kepala turun naik. “Terserah aku, bukan?” Sandra tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku akan ikut denganmu.”
Rion menoleh. Dua alis tebal pria muda tersebut bergerak. “Apa maksudmu?”
“Kamu harus bertanggung jawab, Rion. Jangan lepas tanggung jawab, setelah melecehkanku.”
Lipatan di kening Rion bertambah setelah mendengar kalimat terakhir Sandra. Lalu, sepasang mata Rion mengecil melihat senyum licik Sandra. “Apa yang ada di dalam otak kecilmu itu? Siapa yang melecehkan siapa?”
“Kamu. Kamu melecehkanku. Kamu menciumku tanpa permisi.”
Rion berdecak. “Itu bukan ciuman. Itu hanya permainan bibir. Jangan bilang kamu belum pernah melakukannya. Aku tidak akan percaya.”
Sandra melipat kedua tangan di depan d**a. Gadis itu menatap lekat Rion. Beberapa saat yang Sandra lakukan hanya menatap lekat-lekat Rion, sementara lipatan halus mulai muncul di kening yang tertutup beberapa helai rambut yang terlepas dari ikatannya.
“Kenapa kamu suka balapan?" tanya Sandra yang sudah tidak lagi membahas percakapan sebelumnya. “Ayolah, jawab saja. Aku punya penawaran bagus untukmu.”
Rion terdiam beberapa saat sebelum akhirnya membuka mulut. “Untuk mendapatkan uang,” ujarnya jujur. Dia tidak mau menggunakan uang dari keluarganya. Rion sudah memutuskan untuk tidak terhubung dengan keluarga Jaquine. Tidak sedikit pun.
Rion mengernyit melihat senyum mencurigakan gadis di sebelahnya. Kepala pria muda tersebut meneleng. “Apa yang sedang kamu pikirkan?”
Sandra tidak langsung menjawab. Gadis itu meneliti penampilan Rion. Menyisir penampilan pria tersebut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Membuat yang ditatap merasa jengah. Namun, Sandra tidak peduli. Dia punya ide yang sangat brilian.
“Jangan menatapku seperti itu. Kamu akan jatuh cinta dan berakhir kecewa karena aku tidak tertarik padamu.”
Sandra refleks berdecih. “Aku juga tidak tertarik padamu. Di luar sana banyak pria yang mengejarku. Untuk apa aku tertarik pada orang sepertimu? Tidak punya empati pada perempuan. Hanya perempuan bodoh yang tertarik pada pria sepertimu.” Sandra mencebik. “Jadi, jangan besar kepala. Aku hanya sedang memastikan tidak salah memilih.”
Rion menggelengkan kepala. Pemuda itu mengangkat tangan kanan, menunduk memperhatikan benda yang melingkari pergelangannya. “Kurasa sekarang sudah aman,” ujarnya pelan. Pria itu kemudian menoleh ke arah pintu yang masih tertutup. “Kemana Margaret?” tanya Rion pada dirinya sendiri. Seharusnya Margaret menemuinya lagi setelah orang-orang itu pergi.
“Rion … aku sedang bicara denganmu,” kesal Sandra lantaran Rion terkesan tidak menanggapi omongannya. “Aku serius. Aku punya penawaran menarik untukmu.”
“Aku tidak tertarik. Cari saja orang lain.”
“Mana bisa? Orang lain yang kukenal tidak ada yang se menyebalkan kamu. Se songong kamu. Se gila kamu,” jawab Sandra dengan menggebu-gebu. Gadis itu menghentak keras karbondioksida keluar dari celah bibir yang masih terbuka.
Rion tidak bisa tidak menoleh mendengar penggambaran Sandra tentang dirinya. Siapa gadis itu bisa menjudge dirinya? Sebanyak apa Sandra mengenalnya? Rion mendengkus.
“Cuma kamu yang cocok. Aku pastikan kamu tidak akan rugi, Rion.”
Lipatan muncul di kening Rion seiring kedua alis yang bergerak. “Bagaimana bisa kamu tahu aku akan cocok untuk apapun ide yang pastinya gila, yang ada di dalam kepalamu itu?”
Sandra tersenyum. Kepala gadis itu bergerak turun naik. Sandra tidak langsung memuaskan rasa penasaran Rion. Gadis itu justru mengalihkan perhatian ke atas meja.
Sandra mengambil botol minuman, kemudian mengisi dua gelas kosong di atas meja.
Meletakkan kembali botol minuman, Sandra mengambil dua gelas yang kini sudah terisi setengah. Sandra memberikan satu gelas kepada Rion. Senyum terukir menghias wajah gadis tersebut.
Meskipun terlihat bingung, Rion tetap menerima gelas yang terulur padanya. Kening pria tersebut mengernyit. Rion tidak langsung menikmati minumannya. Pria itu justru memperhatikan Sandra yang meneguk pelan isi di gelasnya.
Sepasang bibir Rion mengerut. Menunggu Sandra yang kembali meneguk minumannya.
Sandra melepas tepi gelas dari sela bibirnya. Gadis itu mendesah nikmat. Terlihat begitu puas setelah menghabiskan setengah gelas cairan memabukkan itu.
“Aku … benci orang tuaku,” buka Sandra sambil menatap gelas di tangan yang diputar-putar. Ekspresi wajah gadis itu seketika berubah begitu membicarakan tentang orang tuanya.
Rion tertarik mendengar apa yang Sandra ucapkan. Pria itu meneguk isi gelas hingga tandas. Menunggu Sandra melanjutkan ceritanya.
“Mereka tidak pernah memikirkanku.” Sandra mengangkat wajah. Menggulir bola mata hingga bertemu tatap dengan netra pria yang juga sedang menatapnya. “Aku ingin mereka merasakan sakit yang kurasakan.”
“Apa hubungannya denganku?” tanya Rion setelah mendengar beberapa kalimat Sandra. Dua orang yang duduk menyerong di satu sofa panjang tersebut saling menatap.
Sandra menarik dalam oksigen masuk ke dalam paru-paru, sebelum menghembus keluar karbondioksida setelah membuka sepasang bibirnya.
“Menikahlah denganku, dan bantu aku balas dendam pada orang tuaku,” ucap Sandra sambil menatap sepasang manik hitam sepekat malam tanpa bintang.
Hening beberapa saat. Dua orang yang duduk bersebelahan tersebut saling menatap semakin dalam, seolah sedang mencari sesuatu di dalam kedalaman mata masing-masing. Hingga nyaris dua menit, akhirnya suara Rion terdengar--memecah hening yang merajai ruangan VIP sebuah club malam tersebut.
“Apa yang aku dapat dari membantumu?” tanya Rion masih tanpa melepas pautan mata mereka.
Sesaat Sandra terdiam seraya menghembus pelan napasnya.
“Diriku … dan harta orang tuaku.”