Bab 8.

1110 Kata
Rion terbangun sambil meringis. Kepalanya masih pusing. Rion membuka mata yang terasa masih lengket. Dia masih ingin tidur, namun kandung kemih yang terasa penuh memaksanya untuk bangun. Tidak mungkin dia buang air kencing di celana. Rion mendesah kala mengingat sang mama. Kenangan masa kecilnya saat awal bertemu dengan Lethicia kembali berputar di dalam kepalanya. Mencoba mengangkat tubuh kala panggilan alam itu semakin tidak tertahan, sepasang mata yang belum benar-benar terbuka itu mengerjap beberapa kali. Dengan cepat pandangan matanya turun, lalu seketika kelopak mata pria muda itu terbuka lebar. “s**t,” umpatnya sebelum memutar kepala ke samping. “Sial.” Rion menatap seseorang yang masih berbaring miring dengan sepasang kelopak mata terpejam. Satu tangan perempuan itu berada di atas perutnya. Rion menatap kesal Sandra. Apa yang terjadi sampai wanita itu bisa tidur di kamarnya? Ah, sial. Rion menurunkan tangan Sandra dari perutnya, kemudian segera menggeser tubuh ke tepi. Rion menurunkan kedua kakinya. Menyibak selimut dan pria berusia 23 tahun tersebut harus menahan teriakan saat menyadari tubuhnya dalam keadaan … polos. Rion menahan amarah. Tidak mungkin menumpahkan amarahnya sekarang, pria itu memungut boxer yang tergeletak mengenaskan di lantai, lalu berlari menuju ke arah kamar mandinya berada. Oh … Rion berhenti berlari. Pria itu mengedarkan pandangan mata dan baru menyadari sesuatu. Dia tidak sedang berada di dalam kamarnya. Double sial, umpat Rion yang kemudian berderap mencari toilet sambil menahan sesuatu yang sudah nyaris tak tertahan. Begitu menemukan kamar mandi, Rion segera masuk sambil membanting pintu hingga kembali tertutup. Setidaknya dia perlu melampiaskan emosinya. Sementara itu, Sandra melenguh. Suara keras yang terdengar membuat Sandra merasa terganggu. Masih dengan sepasang mata tertutup. Sandra menggerakkan tangan—meraba sebelahnya. Tidak mendapatkan apapun di sebelahnya, selain guling—Sandra kembali melenguh. Seingat Sandra, semalam dia bermimpi. Oh … sepasang mata yang masih tertutup itu terbuka dengan cepat ketika ingatannya mulai datang. Tidak! Dia tidak bermimpi. Yang semalam terjadi itu nyata. Balapan. Dikejar polisi, bahkan sampai dihujani peluru, kemudian berakhir di club malam, sebelum …. Sandra menendang selimut yang masih menutup setengah tubuhnya, lalu dengan cepat mengangkat tubuhnya. Sandra mengedarkan pandangan matanya. Kosong. Wanita itu menggaruk kepala sebelum kemudian buru-buru merapikan rambut yang mungkin sudah seperti rambut singa, kala suara pintu terbuka terdengar. Berdehem, Sandra menarik tubuh ke belakang hingga menyandar kepala ranjang. Sandra membersihkan wajah dengan tangannya. Sekitaran mulut, lalu mata. Gadis itu berdehem begitu mendengar suara langkah kaki mendekat. Sandra mengerjap melihat Rion berjalan hanya dengan memakai boxer berwarna hitam. Gadis itu mengikuti pergerakan Rion hingga pria itu berhenti di samping ranjang, kemudian memunguti pakaiannya satu per satu. Memakai kemeja, kemudian memakai celana denim belelnya. Sandra hanya diam memperhatikan. Sandra menahan tawa melihat lirikan setajam pisau bedah yang dilayangkan Rion padanya. “Apa yang sudah kamu lakukan?” tanya Rion sambil mengancing celananya. Wajah pria itu terlihat tegang. Sementara yang ditanya hanya mengedip cepat. Rion berdecak kesal. Pria itu memungut jaketnya lalu segera memakainya. “Apa kamu belum mengingatnya?” “Mengingat apa?” kesal Rion ketika Sandra justru bertanya balik. “Aku lebih dulu bertanya padamu.” Sandra berdecak. Gadis 19 tahun tersebut turun dari ranjang. Kedua tangannya berada di pinggang. “Temani aku malam ini,” kata Sandra sambil melotot ke arah Rion yang langsung menghentikan gerakan tangan yang sedang menarik zipper jaket. Kening pria itu mengernyit. Sepasang matanya mengedip. “Temani aku malam ini.” Sandra mengulang. “Apa sekarang kamu sudah mengingatnya? Masih bertanya apa yang kulakukan?” Alis gadis itu terangkat seiring dengan kelopak mata yang kembali terbuka lebar. “Kalau kamu masih bertanya, maka jawabannya adalah aku melakukan apa yang kamu inginkan.” Lalu Sandra mengangkat ringan kedua bahunya. “Bukankah aku baik?” Sandra berdehem lalu merapatkan sepasang bibirnya begitu melihat tatapan membunuh Rion. Meskipun tidak lagi mengeluarkan suara, namun dagu gadis itu terangkat. Menunjukkan jika tidak ada ketakutan dalam dirinya ditatap setajam itu oleh Rion. “Kamu ….” Rion menggeram melihat keberanian Sandra melawannya. Rion melompat ke atas ranjang, lalu bergerak cepat ke arah Sandra berdiri di sisi lain ranjang. Menyadari kemarahan Rion, Sandra bergerak tak kalah cepat—berlari menjauh dari Rion yang sedang dalam mode banteng mengamuk. Kulit wajah putih pria tampan itu kini memerah karena amarah. Antara ingin tertawa, tapi, nyali Sandra juga sedikit mengerut melihat segarang apa wajah Rion saat ini. Gadis itu terus berlari menjauh. Rion menggeram menahan luapan emosi yang sudah akan meledak. “Tidak seharusnya kamu marah padaku, Rion. Kamu sendiri yang memintaku menemani.” “Sialan kamu, Sandra. Dasar otak mini. Kamu tidak tahu arti kata menemani? Sialan. Kenapa malah kamu … meniduriku?” “Apa?!” Ayunan cepat kaki Sandra seketika langsung berhenti. Gadis itu memutar langkah. Baru akan melotot, tubuhnya terasa melayang. “Hei … turunkan aku. Apa kamu gila? Siapa yang meniduri siapa?” Sandra memukuli Rion. “Turunkan ak … aduh!” Sandra meringis ketika merasakan tubuhnya terjatuh. Ya, meskipun ia jatuh di atas ranjang, tapi, tetap saja cukup sakit. Rion seenaknya saja melempar tubuhnya ke atas ranjang. Apa rion pikir tubuhnya ini terbuat dari balon yang akan memantul tanpa merasa sakit? Sambil meringis, Sandra mengangkat tubuhnya. Bibir gadis itu cemberut. Sandra menatap kesal Rion yang berdiri menjulang di samping ranjang. “Aku tidak menidurimu. Ah, sialan. Kenapa harus menggunakan pilihan kata itu? Dasar bodoh. Aku tidak tidur denganmu.” Melihat sepasang mata Rion memicing, Sandra menggelengkan kepala. “Maksudku, ya kita memang tidur satu ranjang. Tapi, tidak terjadi apapun.” “Tidak terjadi apapun kamu bilang? Apa kamu pikir aku bisa kamu bodohi begitu saja? Aku punya otak dan otakku berfungsi dengan baik, Sandra. Tidak seperti otak kecilmu itu yang tidak bisa berfungsi.” Rion menghentak keras karbondioksida keluar dari celah mulutnya. “Pakaianku berserakan di lantai. Aku tidur tanpa selembar benangpun, dan kamu ingin aku berpikir tidak ada yang terjadi semalam?” “Pagi, Rion. Kita tiba di sini sudah pagi.” Rion melotot mendengar argumen Sandra. Apa pentingnya pagi atau malam. Intinya bukan itu. Intinya itu ada kejadian yang sudah terjadi ketika mereka tidur di atas ranjang yang sama. “Astaga. Memang tidak ada calon yang cocok selain kamu. Ya sudah, karena aku sudah menidurimu, makanya aku akan bertanggung jawab. Besok kita menikah, bagaimana?” “Sinting.” “Hei, aku benar-benar ingin bertanggung jawab, Rion. Aku khawatir kamu akan hamil.” Lalu Sandra berguling ke sisi yang lain saat Rion mencoba menubruknya. Sandra tertawa keras, senang karena berhasil mempermainkan Rion. Sandra semakin yakin tidak akan merubah keputusannya. Apapun yang terjadi, dia akan menjadikan Rion suaminya. Dia bisa membayangkan muka merah padam orang tuanya—terutama mamanya, saat bertemu dengan Rion nantinya. "Sialan kamu, Sandra. Berhenti!" "Tidak. Kita belum sampai di pelaminan, Calon Suamiku." Sandra tertawa keras sambil menjauh dari Rion.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN