Di bangsal perawatan darurat rumah sakit militer, Ralin berhenti. Dia turun dari kudanya, menuntunnya masuk melewati pintu depan dengan penjagaan ketat setelah menunjukan bukti identitasnya. Tak semegah benteng istana yang dibangun setebal satu meter dengan tinggi fantastis lebih dari lima meter, penjagaan rumah sakit militer ini terbilang sederhana dari segi fasilitas. Gapura biasa, dengan pintu pagar besi setinggi dua meter. Empat prajurit ditempatkan di sana untuk menjaga keamanan sekaligus mengontrol siapa saja yang keluar masuk. Rumah sakit seluas dua hektar itu dikelilingi pagar besi setinggi dua meter. Pagarnya berbentuk jeruji, tebal dan berjarak sempit antar jerujinya. Ujung-ujung atasnya diruncingkan. Sementara bagian bawah sebelah dalam pagar diberi lagi gulungan kawat berduri.
Ralin menyerahkan kudanya pada petugas khusus yang menjaga kuda-kuda pengunjung. Lalu seorang prajurit menghampirinya. Dia anak buah Ralin yang ikut terlibat saat penangkapan Naviza hingga membawanya ke rumah sakit ini.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Ralin dengan panik. Dia berjalan cepat masuk ke loby rumah sakit lalu mengikuti arahan prajuritnya untuk menemui kamar rawat Naviza.
“Buruk, Jenderal.”
Ralin menyusuri koridor panjang rumah sakit itu. Jalan selebar dua meter itu berlantai marmer putih gading dengan kedua sisinya dibiarkan kosong ditumbuhi rumput semi liar. Mereka kemudian masuk lagi ke bangunan yang lebih besar di sisi utara loby. Mereka terus berjalan cepat hingga lama kelamaan Ralin memilih berlari. Dia sangat tidak tenang setelah mendapat laporan perempuan itu kritis kondisinya.
Mereka sampai di bangsal perawatan khusus pasien non militer. Seorang dokter menyambut Ralin tepat setelah ia keluar dari kamar rawat Naviza.
Napas Ralin terengah. Jantungnya berdegup kencang sekali dan bibirnya makin pucat.
“Sebaiknya Anda istirahat, jenderal,” ucap sang dokter.
“Kau pikir aku bisa memejamkan mata dalam situasi ini? Tidak mungkin,” sarkas Ralin.
Dokter itu tersenyum masam. Namun itu singkat. Dia membuka meja dadanya yang berisi lembaran catatan medis Naviza hingga pemeriksaannya yang terakhir.
“Bagaimana kondisinya?” tanya Ralin mendesak.
“Dia kehilangan banyak sekali darah. Tusukan benda tajam yang menyerang satu lokasi yang sama sebanyak dua kali, merobek tendon otot bahunya cukup parah. Tapi syukurlah tidak sampai merobek jaringan pelindung organ.”
Ada napas panjang yang meluncur begitu deras membuang sebagian besar kecemasan Ralin.
“Dia akan selamat? Bagaimana dengan potensi kelumpuhan sistem gerak?” tanya Ralin lagi.
Sang dokter diam sebentar. Dia tampak terbebani dengan pertanyaan ini.
“Dokter?” panggil Ralin masih putus asa. Namun seberkas harapan kini bisa terbit dari titik terdalam penglihatannya.
“Kemungkinannya tetap besar. Kita tunggu dia sadar pasca operasi.”
Pandangan Ralin spontan kosong. Apakah ini artinya tidak ada kepastian untuknya? Kondisi apa lagi yang dapat membahasakan status tidak pasti itu? Menggantung tanpa jawaban dan hanya bisa berserah pada jalannya takdir dan setiap hukum sebab akibat yang digariskan sang kuasa. Dia ingin mencerca dokter itu dengan kata-kata tajam, hinaan yang tak berujung dan sebuah tekanan untuk benar-benar menjamin Naviza dapat pulih lagi. Mereka tak tahu konsekuensi apa yang sedang menantinya. Dia ingin membuat mereka merasakan tekanan yang sama dengannya. Tapi, dia tak bisa lakukan itu. Sebagai manusia, dia harus menemukan jalur sebab akibat yang masih bisa ia perjuangkan. Naviza harus mendapatkan perawatan terbaik dari dokter terbaik untuk memperbesar peluang kesembuhannya. Dengan begitu, peluang keberhasilan Ralin semakin besar. Dia sedikit pun tidak meragukan kompetensi para dokter rumah sakit militer ini, justru pada bagaimana tekad Naviza untuk bertahan hidup. Bukankah itu juga menjadi faktor penting pada banyak kasus pasien kritis?
“Jenderal,” panggil Butoo setengah berbisik. Dia berdiri di belakang Ralin entah sejak kapan.
Ralin hanya menoleh dengan wajah terganggu.
“Kenapa Anda mencemaskan seorang penjahat? Bukankah lebih baik dia mati daripada hidup dan berbuat jahat lagi? Anda bilang dia seorang kaki tangan,” komentar Butoo dengan percaya diri.
Ralin tetap membelakanginya, dia fokus mengamati Naviza dari balik kaca ruang perawatan. Wajahnya serius, dengan tatapan marah, jengkel namun diliputi kecemasan dan juga harapan wanita yang ia sobek tendon bahunya itu segera sadar.
“Jika bisa pun, sudah kubunuh dia,” jawab Ralin ketus dan dingin.
Ralin pergi. Dia berjalan cepat meninggalkan Butoo dan ruang perawatan Naviza tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Butoo tak punya waktu untuk kaget dengan jawaban Ralin yang di luar dugaannya. Dia segera mengekor kepergiaan jenderalnya dengan panik.
“Kenapa tidak Anda lakukan, Jenderal? Bukankah sekarang waktu yang tepat? Dia sedang tak sadar, kita tak perlu beradu fisik untuk membunuhnya,” bantah Butoo tak ingin kalah. Dia berusaha mensejajari langkah Ralin yang melesat dengan dongkol.
“Tak bisakah kau diam, Butoo?” bentak Ralin.
Mereka berhenti sejenak. Sebuah persimpangan empat koridor rumah sakit. Ralin memejamkan matanya sementara tangannya mengepal kuat-kuat.
“Ini janggal untukku, Jenderal,” ucap Butoo dengan nada rendah dan tatapan serius. Dia tak seperti biasanya yang lebih sering tunduk patuh pada perintah Ralin dan sedikit pun tak mempertanyakan keputusan atasannya. Namun kali ini, dia bersuara. Seakan dia tak peka pada reaksi Ralin yang sangat terganggu dengan pertanyaannya, namun sebenarnya, Butoo sangat pengertian pada atasannya. “Anda bereaksi berbeda. Seolah ini kasus yang khusus dan Anda begitu tertekan,” lanjutnya.
Ralin terdiam. Wajah tegangnya berangsur surut. “Ya,” jawab Ralin singkat. Kepalanya mengangguk samar dan sorot matanya sedikit sayu.
“Apa yang Anda khawatirkan?” tanya Butoo setelah diam beberapa saat.
Ralin mendekat ke dinding koridor lalu menyandarkan punggung dan kepalanya di sana. Dia pejamkan matanya agar bisa memfokuskan pikirannya pada satu masalah saja. Sebab masalah yang ia lihat masih seperti buntalan benang yang semrawut hingga sebesar bola. Ralin perlu mencari ujung benangnya untuk kemudian menarik mereka keluar satu per satu. Sebetulnya dia sudah bisa melihat di mana posisi ujung benangnya, hanya saja, letaknya terlalu jauh terkubur di tengah hingga terasa begitu mustahil mendapatkannya.
“Apa sebenarnya ujung kerumitan sesuatu yang sederhana ini?” batin Ralin lalu membuka matanya. Dia melihat Butoo yang menunggu jawabannya dengan penuh harap.
“Malam ini aku harus memberi jawaban pada raja. Kepastian bahwa perempuan itu dan temannya, adalah benar kaki tangan Angkasa. Dengan kata lain, raja meragukanku,” jawab Ralin dengan putus asa.
“Lalu apa hubungannya dengan mencemaskan keselamatan dia?” tanya Butoo lagi.
“Akan jadi masalah besar jika aku mencederai seseorang yang tidak bersalah. Dia murid sekolah tinggi ilmu pedang. Mereka datang dari keluarga pada pejabat tinggi. Di sana masalahnya,” jawab Ralin makin membenci situasi ini. Tampak kegerangan, kecewa yang bercampur sesal tak termaafkan. Dia membenci keadaannya yang tak bisa berbuat apapun setiap kali menyangkut kekuasaan para pejabat negeri.
“Kalau begitu tunggu apa lagi? Kenapa Anda membuang waktu dengan membenci situasi? Kita tinggal membuktikan mereka benar-benar kaki tangan!” seru Butoo memberi semangat.
Ralin justru melirik sinis dan menghela napas bersamaan. “Kau mengajariku?” sergahnya. Dia meninggalkan Butoo yang masih kaget dengan responnya. “Bercerita padamu hanya memperburuk kesehatan mentalku!” serunya sambil berlalu.
Butoo segera berlarian kecil menyusul atasannya. Dia mengekor lalu mensejajari kecepatan langkah Ralin tanpa mengatakan apa-apa lagi. Ultimatum sudah dikibarkan, dia tak boleh berucap sekata pun jika tak ingin dicoret sebagai wakilnya.
-------------------
Di Markas intelijen….
Eztyo kedatangan tamu penting di ruangannya. Seorang pria bertubuh jangkung yang berisi dengan otot-otot idealnya yang kekar. Berahang tegas dengan mata yang teduh. Berhidung mancung dengan bibir tipisnya yang ramah. Namun pertemuan kali ini, tak ada senyum sedikit pun yang menghiasi wajah tegangnya.
“Danu Askara,” sapa Eztyo ramah, namun serius. Suaranya dalam dan rendah. Dia tersenyum tipis, berusaha menunjukkan kehangatan dan keseganan yang bersamaan.
Tamu penting itu adalah Danu Askara. Seorang mantan jenderal yang sempat tersandung kasus hingga harus melepaskan karirnya.
“Ada yang ingin kau sampaikan padaku?” tanya Danu dengan suara rendah yang penuh penekanan. Dia berdiri tepat di hadapan meja Eztyo dengan bertumpu pada pedangnya. Dia tak benar-benar sedang bertanya.
Eztyo menghela napas dalam diam. Dia tatap wajah Danu yang diliputi kecemasan sekaligus amarah yang bercampur padu.
“Apa yang ingin kau dengar dariku?” balas Eztyo dengan tenang. Dia bangkit dari kursinya, menatap sejajar dengan Danu. Tatapannya sama seriusnya.
Rahang Danu mengeras, giginya saling bergemeretak. Ia mendekat ke meja Eztyo, menepis jarak di antara mereka. Tubuhnya condong ke depan sementara tangannya mencengkram erat pinggiran meja ketua intelijen Zakaffa itu. “Perlukah kuperjelas apa yang seharusnya tidak terjadi?” tegas Danu menahan emosinya.
“Kami sedang berusaha menyelamatkan Naviza,” jawab Eztyo dengan suara rendah dan tenang. “Tapi prosesnya tidak akan mudah. Ralin menangkapnya sebagai kaki tangan Benang Merah.”
Danu kembali menegakkan tubuhnya. Secara tak sadar, kakinya melangkah mundur dengan lemas. “Dia bukan kaki tangan Benang Merah,” bantah pelan Danu.
“Aku tahu,” jawab Eztyo tegas.
“Angkasa juga bawahanmu. Kenapa dia harus melibatkan adikku dalam kekacauan yang dia buat?” sergah Danu bernada tinggi.
Danu makin mundur. Dia butuh sofa untuk menenangkan kalutnya pikiran. Tidak bolehkah dia pergi menghadap panglima bahkan raja juga tak masalah, untuk membebaskan adik semata wayangnya? Keinginan itu membuatnya hampir gila. Perjalanan tanpa henti yang ia tempuh demi memastikan adiknya baik-baik saja, tak menghasilkan apapun. Kehadirannya sama sekali tak mempengaruhi pembebasan Naviza. Dia yakin ini semua kesalah pahaman. Ralin hanya butuh kambing hitam untuk disalahkan. Pikiran itu yang terus ia pelihara setelah mendapat simpulan atas semua data yang ia kumpulkan secara singkat begitu tiba di tempat ini. Tapi, bukankah tidak bisa berbuat apa-apa begini lebih menyedihkan untuk seseorang seperti dia?
“Siapa yang memegang kewenangan memutuskan?” tanya Danu tiba-tiba setelah mereka sempat hening sebentar.
“Kau akan pergi menemui orang itu jika kuberitahu?” tantang Eztyo.
Danu tak mengangguk, tapi juga tidak menyangkal. Tatapannya terpaku pada Eztyo seolah ia ingin menyampaikan begitu banyak hal tapi tak bisa.
Eztyo keluar dari kursinya, lalu duduk di hadapan Danu dengan mode serius. “Bagaimana jika dia raja?”
Mereka saling beradu tatapan. Saling bungkam dan membiarkan keheningan menguasai ruangan.
“Guldora menemukan petunjuk soal keberadaan klan Vocksar,” cetus Danu sambil memutus kontak mata mereka.
Roman Eztyo berubah. Sorot matanya menajam, kelopaknya sesaat terbuka penuh lalu dia menegakkan punggungnya. Informasi itu sangat menarik antusiasme Eztyo. Dia mengirim Danu jauh ke luar Zakaffa untuk mengumpulkan informasi dari kerajaan rival Zakaffa, Guldora. Dan apa yang dicetuskan Danu baru saja, adalah sesuatu yang sangat ia butuhkan. Dia tak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya yang meningkat drastis begitu kata Vocksar diucapkan.
Sudah berbulan-bulan jika tak bisa terhitung tahun, intelijen menyelidiki soal Vocksar. Dan selama itu pula, tak satupun petunjuk ditemukan. Hampir tahunan Eztyo menugaskan Danu ke luar Zakaffa. Dan ini informasi pertama yang ia dapatkan soal mereka. Kenapa Danu menyebutkan Guldora sebagai subjek penemu petunjuk? Apakah dia serius menemukan sesuatu tentang mereka?
Namun, Eztyo tak segera menanyakan kelanjutan. Pembicaraan yang tiba-tiba berbelok ini tidak terjadi tanpa alasan apalagi ketidaksengajaan. Danu bukan laki-laki seceroboh itu yang mendadak melenceng dari topik.
“Tidak seharusnya kau melakukan kesepakatan denganku untuk hal-hal seperti ini,” ucap Eztyo.
Danu menarik dirinya untuk bersandar ke punggung sofa. “Aku harus melakukannya untuk adikku,” jawab Danu dengan tenang. “Kau sudah berjanji padaku untuk menjaganya selama aku pergi, Eztyo!”
Eztyo menghela napas panjang sekali. Napasnya meluncur sangat pelan dan panjang. Jemarinya menjambak rambutnya sendiri lalu menyisirnya ke belakang sambil menenangkan emosinya sebelum berbicara lagi.
“Aku dengar kondisinya kritis sekarang. Ralin menikam bahunya dan dia terancam tak bisa lagi memakai tangannya. Apa masih terlalu mahal untuk menukar informasi strategis itu dengan keselamatan adikku?” tanya Danu lagi. Dia berusaha memohon tanpa merendahkan dirinya.
Eztyo masih bergeming. Tatapannya fokus melihat lantai sementara akalnya masih bekerja keras menimbang beberapa kemungkinan dan resiko.
“Eztyo?” panggil Danu dengan tekanan. Tak sekalipun ia pernah memanggil Eztyo dengan gelar jabatan meski posisinya lebih tinggi dan usianya jauh di atas Danu. Barangkali karena harga dirinya yang tinggi dan pengalamannya yang pernah menjabat sebagai jenderal muda yang hampir menjadi panglima. Danu tetap menghormati Eztyo dan mendukung semua keputusannya. Tapi ia tak pernah menganggap Eztyo berada di posisi yang berbeda dengan dirinya.
Danu berdiri dengan mata yang tak lepas memandangi Eztyo. “Apa sesulit itu untuk memilih menyelamatkan satu nyawa? Aku tak peduli pada Talana, aku hanya butuh Naviza bebas,” tekan Danu sekali lagi. Dia melangkah keluar dari set sofa ke arah pintu balkon.
“Sebanyak apa informasi yang kau tahu soal Guldora dan Vocksar?” tanya Eztyo.
Danu berhenti di ambang pintu. “Bukan perkara berapa banyak, tapi seberapa tinggi kualitas informasi ini. Aku mendengarnya langsung dari raja mereka,” jawab Danu, jual mahal.
Eztyo beranjak dari sofanya, tapi tetap berdiri di tempat. “Sudah kewajiban seorang mata-mata melaporkan apapun hasil temuannya. Kau tidak bisa seperti ini, Danu,” seru Eztyo berusaha menguasai keadaan.
“Kalau begitu biarkan aku sendiri yang pergi menyelamatkan Naviza. Kesalahpahaman yang kalian buat sangat tidak lucu,” seru Danu.
“Bagaimana caranya?” tantang Eztyo bernada lebih tinggi.
Tatapan Danu semakin marah. Rahangnya mengeras dan gigi gerahamnya bergemeretak. Tanpa menjawab Eztyo, dia melompat turun dari balkon dengan pendaratan sempurna. Eztyo tak mengejarnya. Dia mengawasi kepergian Danu dari atas balkonnya. Pria itu berlari menuju gerbang belakang markas tanpa kuda.
Eztyo segera bergegas keluar dari kantornya, lewat pintu normal. Dia kunci ruangannya dengan gembok bersandi lalu berlarian kecil menuruni tangga dan menyusuri koridor hingga akhirnya sampai di halaman belakang markas, titik yang sama dengan pendaratan Danu. Eztyo tetap berlari, diselingi jalan langkah cepat menuju kandang kuda markas intelijen. Dia buru-buru membebaskan satu kuda lalu melompat ke atas dan memacunya pergi.
Mata Danu sudah bertekad penuh, apapun caranya, pasti akan dia lakukan. Eztyo melihat alarm bahaya dari kebulatan tekad yang menakutkan itu. Seharusnya ia mengingat itu, salah satu kelemahan terbesar Danu yang menganga lebar adalah adik perempuannya, Naviza. Pria itu selalu emosional jika terjadi sesuatu yang menimpa adiknya. Lalu kini sesuatu itu terjadi lagi dengan sangat buruk. Eztyo baru menyadari ini semua setelah melihat sorot Danu yang berubah drastis, tatapan mata yang sama seperti beberapa bulan lalu. Danu seperti seorang pria yang sedang jatuh cinta, namun di mata Eztyo, cinta itu sangat besar hingga membuat pria itu rela berkorban apapun untuk sang adik.
Eztyo sampai di luar lingkaran markas setelah melewati beberapa garis penjagaan bayangan. Mungkin ada tiga pos penjagaan bayangan yang selalu siap di luar garis pagar markas yang selalu mengawasi dan menjaga kerahasiaan lokasi pihak luar. Hingga sejauh ini Eztyo belum menemukan bayangan Danu, meski pria itu keluar tanda seekor kuda.
“Tidak membawa kuda bukan berati tidak menunggang kuda,” bantah Eztyo pada pikirannya sendiri. “Tak berkuda justru membuat dia lebih sulit ditemukan,” gerutu Eztyo.
Tanpa mengurangi kecepatannya, Eztyo terus melebarkan jarak pandangnya ke segala arah yang bisa ia jamah. Lokasi markas yang berbatasan langsung dengan bibir hutan di luar Ibu kota membuat pencarian ini makin sulit. Jika Danu keluar dari pintu depan yang mengarah langsung ke pemukiman, jalan menuju istana lebih dekat dan mudah, tidak memutar dan langsung mengarah ke gerbang luar. Tapi dia memilih pintu belakang yang menghadap langsung ke hutan perbatasan ibu kota. “Dia tahu aku akan mengejarnya,” ucap Eztyo.
------------------------------