Jajaran Tinggi Benang Merah

2174 Kata
Rheno terpental menabrak dinding setelah tendangan Buros mendarat di dadanya. Dia mengerang dalam bisu. Matanya mengerjap dengan bibir tergigit ke dalam. Punggung tangannya menyapu bekas darah di ujung bibirnya sambil menumpu pada telapak tangannya untuk bangkit berdiri lagi. Tubuhnya bergetar, seperti orang setengah menggigil. Berjalan tertatih untuk tetap melangkah maju kembali ke posisi awal dia berdiri. Rheno kembali menghadap Buros, atasan tertingginya di markas Benang Merah. Pria paruh baya itu adalah sang pendiri organisasi bawah tanah yang memimpin pemberontakan pada Zakaffa. Bersama dengan dua jenderal lainnya, Rheno menguatkan tubuhnya untuk tetap berdiri sekalipun rasa nyeri tengah menguasai tulang rusuknya, sekalipun kejengkelan karena omelan pria itu berkali-kali melukai perasaannya. Hati-hati, ia melirik ke dua jenderal yang berdiri dengan kepala tertunduk di samping kanannya. Apakah mereka sedang mempersiapkan diri menerima tendangan seperti dirinya? Apakah mereka sedang menguatkan mental menerima ceramah panjang yang nyelekit di telinga dan menyayat hatinya? Barangkali semua dugaannya itu tengah menyatu dalam wajah-wajah penuh sesal mereka. Termasuk pun dirinya. Dia tak lepas dari semua hukuman ini. Buros masih membelakangi mereka. Bersandar ke kursi yang menghadap ke dinding berbatu kasar tanpa polesan. Sebelah lututnya menindih lutut yang lain. Sementara dua tangannya menyandar ke lengan kursi. Para jenderal itu tak bisa melihat bagaimana raut muka atasan mereka itu saat ini, tapi ada satu emosi yang jelas, kecewa.             “Jadi Angkasa tertangkap?” tanya Buros lagi. Suaranya rendah, sangat bulat dan tegas.             “Ya,” jawab Rheno ragu-ragu. Ruangan itu bernuansa gelap. Dindingnya dibiarkan tanpa lapisan, masih alami oleh batu-batuan yang disusun tempel. Permukaannya masih tidak rata, timbul tenggelam dengan sisi-sisi yang tajam dan tumpul. Lantainya adalah susunan ubin hitam berbentuk kotak yang sama sekali tidak mengkilap, cenderung kasar dan namun rata. Lampu gantung dengan sumber cahaya dari nyala api tersusun dalam satu garis lurus di sumbu tengah ruangan. Jumlahnya tak kurang dari lima buah dengan jarak masing-masingnya satu setengah meter. Tak ada furnitur selain meja kerja Buros dan kursi kebesarannya di ruangan itu. Ya, ruangan itu benar-benar kosong dan terasa sangat luas. Buros memutar sandaran kursinya. Ketiga jenderal itu terkesiap. Tubuh mereka menegak seketika dengan pandangan lurus ke depan. Sementara Buros menatap mereka satu per satu.             “Berapa kerugian kita?” tanya Buros lagi.             “Tiga ratus prajurit kita mati dalam ledakan itu, lima ratus terluka, sisanya berhasil menjauh dengan selamat.” Rheno menegakkan punggungnya dan menatap netra kemarahan Buros yang sudah reda. Ditangkapnya Angkasa adalah sesuatu yang lain dan bisa dianggap setara olehnya dengan kehilangan ratusan prajurit. Tidak, bahkan nilai Angkasa lebih dari ratusan prajurit yang ia miliki. Rona kesedihan yang bercampur kekalutan itu jelas terpancar dalam wajah maupun sorot mata Buros, sekalipun berusaha ia sembunyikan.             “Kami akan membawa Angkasa keluar dari tahanan,” seru jenderal berkepala plontos di samping Rheno.             “Kenapa kalian harus?” tanya Buros.             “Dia adalah aset berharga Benang Merah.” Buros berdiri dengan tatapan serius. Ia tumpukan dua telapak tangannya pada pinggiran meja sambil mencondongkan tubuhnya pada para jenderalnya. Lalu dia tersenyum masam, singkat sekali. “Di mataku, kalian semua sama berharganya,” ucap Buros tenang. “Kita adalah keluarga dengan satu visi. Apalagi yang bisa kita lakukan selain saling menjaga dan menguatkan? Aku pun akan melakukan hal yang sama jika itu adalah kalian bertiga.” Rheno meliriknya setengah hati. Luar biasa. “Cih,” umpatnya tanpa suara. Buros kembali duduk, menekuk tangannya untuk menopang dagunya dengan kesepuluh jemari membentuk sebuah piramida. Matanya memejam, ekspresinya penuh pikir. Dia berusaha menenangkan napasnya seperti orang diambang batas kemarahan namun sedang mati-matian meredamnya. Penangkapan Angkasa barangkali adalah pemicu terkuat semua tumpukan emosi yang kemudian meledak. Bukan hanya kekalahan telak karena senjata tak terprediksi dari musuh, mereka juga mengambil orang terbaiknya.             “Kalian sudah menemukan keberadaan Angkasa?” tanya Buros pelan tanpa membuka matanya ataupun berganti posisi.             “Seorang mata-mata baru saja membawa kabar, dia masih ditahan di barak militer. Pagi ini akan dipindahkan ke istana,” jawab Rheno datar.             “Kalian bilang namanya Ralin? Jenderal yang bertanggung jawab atas semua pasukan Zakaffa di pertempuran ini?” tanya Buros.             “Ya,” jawab Rheno singkat.             “Ceritakan soal wanita itu,” pinta Buros dingin.             “Dia jenderal termuda di barisan elit militer Zakaffa, satu-satunya wanita yang mampu menembus batas dan deskriminasi gender di sana. Angkasa pernah mendekatinya untuk mengorek informasi,” jelas Rheno. Buros meletakkan kedua tangannya, meluruskannya sebentar di atas meja kemudian bangkit dari kursinya. Ia hirup napas panjang sekali dan menghembuskannya sekaligus. “Jadi mereka pernah terlibat asmara? Apa ini balas dendam pribadi Ralin? Hahahaha, konyol sekali!” seru Buros dengan tatapan kosong ke lampu gantung di atas ruangannya. Ruangan gelap itu hening lagi. Kali ini hening semakin tidak nyaman. Ketiga jenderal itu saling melirik satu sama lain dengan tatapan penuh tanya. Guratan cemas di wajah mereka tak bisa lagi menipu apa yang sedang dirasakan saat ini. Sebab satu orang menghilang saja, pimpinan mereka bisa semurka dan segila ini.             “Selesaikan hari ini!” perintah Buros tegas.  Rheno dan dua jenderal itu menegakkan punggungnya dan mengangguk serempak. -------------------- Pagi menjelma dalam balutan kehangatan, mengantarkan keceriaan beserta energi positif ke rumah bergaya ketimuran di pinggiran ibu kota. Atap-atap tingginya ditopang tiang-tiang kayu besar berukiran rumit setinggi empat meter. Bingkai-bingkai pintu yang kompak bersama jendelanya dari kayu jati tanpa ukiran yang dicat coklat tua lengkap dengan daun pintu setinggi dua setengah meter. Dinding-dindingnya putih bersih dibiarkan tanpa variasi atau hiasan apapun. Teras selebar dua meter sepanjang lebar rumah dengan dua undakan tangga itu dibiarkan kosong tanpa ada perkakas apapun. Lantainya berlapis pualam putih gading yang begitu bersih berkilau hampir seperti cermin raksasa.             “Nav! Sudah berangkat?” seru seseorang dari luar pagar. Deretan papan kayu yang dirangkai menjadi dinding mengelilingi batas-batas tanah pekarangan itu memiliki dua pintu. Satu di depan, satu lagi di sisi samping. Naviza membuka pintu depan, mengintip sebentar lalu menutupnya lagi. “Sebentar!” serunya. Suara kerasnya berangsur menghilang bersama tapak kakinya yang semakin keras dan intens. Laki-laki itu memutar tubuhnya, menyandar pada dinding kayu. Tas kain yang berbentuk ransel menggantung di sebelah pundaknya, sementara lengan kirinya menenteng lipatan bebas jubah bepergian. Pakaiannya rapi, khas seragam mahasiswa sekolah tinggi pedang. Mungkin bukan seragam sekolah namanya, tapi semacam kesepakatan umum gaya berbusana sekolah itu. Celana kain panjang ukuran standart dengan potongan lurus, bersama atasan katun halus yang mengkilap seperti sutra. Atasan tanpa lengan, dengan bukaan penuh di bagian depan yang beresleting. Entah sepanjang apa atasan yang dia pakai, karena atasan itu ia masukkan dalam celana. Rambutnya basah, mengkilap, dibiarkan acak-acakan.             “Nav! Masih lama?” teriaknya lagi sambil menggedor pintu kayu. Detik itu juga, Naviza muncul dari dalam rumah dengan tergesa-gesa. Rambut panjangnya masih terurai, jubat bepergian mengalung di sebelah pundak kirinya lalu ditimpuk dengan ransel hitam dari kulit sintetis. Pakaiannya masih berantakan, atasannya belum masuk dalam celana dan sebelah celananya masih tergulung setinggi mata kaki. Naviza membanting pintu lalu buru-buru menguncinya. Dia masukkan kuncinya ke dalam ransel dan segera berlari menghampiri laki-laki yang menunggunya.             “Seharusnya tidak usah menjemput. Kau membuat pagiku panik, Lan!” sergah Naviza tak ramah. Talana, laki-laki itu memandang Naviza dengan sebelah alis terangkat dan bibir manyun. Dia lipat kedua tangannya di depan d**a lalu menegakkan tubuhnya mendekati Naviza.             “Kau tidak akan berangkat kalau aku tidak datang,” tegas Lana. Lana meletakkan ranselnya di tanah, lalu memakai jubahnya, baru kemudian merapikan rambutnya dan memakai kembali tas punggungnya. Dia bergegas menyusul Naviza yang sudah pergi meninggalkan dirinya.             “Tidak bisa lebih pelan sedikit?” seru Lana agak emosi. Dia berlari dengan langkah lebar-lebar untuk menyamai kecepatan Naviza.             “Kalau pelan pasti terlambat,” bantah Naviza. Dalam langkah cepat itu, Naviza mencangklong tasnya, mengikat jubahnya ke pinggang sementara kedua tangannya sibuk menggulung rambutnya.             “Berapa jam kau latihan semalam?” tanya Talana berusaha memecah keheningan.             “Baru selesai tadi subuh.” Setelah selesai menggulung rambutnya ke atas, Naviza melemparkan ranselnya ke Talana agar ia bisa mengenakan jubah sekolahnya dengan benar. “Bagaimana denganmu?” tanya balik Naviza. Talana memberikan tas Naviza. “Tidak selama dirimu. Aku selesai tengah malam.” Suasana pembicaraan mereka berangsur jadi serius namun tetap santai.             “Danu sedang bertugas, jadi aku tidak bisa mengandalkan dia melatihku selama persiapan turnamen,” jawab Naviza dengan nada cepat. Napasnya ikut menderu seiring dengan langkah-langkahnya yang lebar dan cepat.             “Kemana Kak Danu pergi?” timpal Talana seadanya. Naviza mengangkat kedua bahunya cepat. “Kau tahu dia tak pernah berpamitan, kan? Tapi aku mencuri baca surat tugas resminya. Tentu saja itu pasti rahasia yang hanya dia yang boleh tahu.” Talana menjadi antusias seketika begitu mendengar surat tugas rahasia. Spontan saja, laki-laki itu mencondongkan wajahnya memohon agar Naviza menceritakan padanya. Segala sesuatu yang berjudul ‘rahasia’ pasti mengasyikkan. Naviza masih belum menjawab. Tatapannya fokus menghadap ke tanah, seperti seseorang yang sedang menghitung setiap langkah kakinya. Kedua alisnya tertarik ke pusat dahi dengan tangan yang menggenggam erat tali ranselnya.             “Nav!” seru Talana menggertak.             “Ada yang aneh,” cetus Naviza bermuka serius. Seolah dia baru saja menemukan kejanggalan atas sesuatu. Talana menyimak dengan antusias.             “Di sana tertulis kak Danu ditugaskan ke wilayah selatan di luar perbatasan. Bukankah seharusnya dia pergi ke utara, ke lokasi pemberontakan Benang Merah? Dia seorang wakil jenderal! Kenapa justru pergi ke selatan?” ungkap Naviza dengan wajah bingung dan mata fokus berpikir. Talana memelankan langkah kakinya seiring dengan Naviza yang juga melakukan hal sama.             “Bukankah selatan adalah markas Benang Merah?” cetus Naviza. Dia menghentikan langkahnya dan menatap Talana serius. Talana menarik napas panjang sekali lalu menghembuskannya seketika sambil menggeleng-geleng pelan. “Kau tidak punya data, Nav. Berhenti berasumsi,” tegas Talana. Naviza mendelik tak terima, tapi Talana sudah pergi mendahuluinya. Talana berjalan dengan langkah lebar yang cepat, yang semakin lama seperti berlari-lari kecil. Tak sempat Naviza mengomel marah tak terima pada laki-laki yang telah menjadi sahabat sekaligus rivalnya itu. Naviza terus berlari mengejarnya sementara Talana malah mempercepat langkahnya. Mereka terus berlari saling mengejar hingga tiba-tiba Naviza menabrak punggung Talana yang berhenti mendadak. Naviza tak berteriak, tak marah-marah mengomel seperti sebelumnya. Dia reflek menutup mulutnya dan pelan-pelan mengintip apa yang terjadi di hadapan mereka. Naviza melangkah pelan ke samping kanan Talana sementara tangan pria itu berusaha meraih lengannya. Talana menegang. Berdiri membeku tak beranjak kemana pun. Di depan Talana, hanya berjarak dua meter dari dia berdiri, seorang pria bersimbah darah berdiri dengan mata terbelalak dan mulut menganga dengan darah mengucur dari sana. Wajahnya berlumur darah, dan sebuah mata pedang menancap di lehernya. Pedangnya dicabut dari belakang dengan cepat hingga membuat pria itu terpental ke depan lalu roboh. Naviza terkesiap. Napasnya ikut tercekat bersamaan dengan debar jantung yang berangsur naik seketika. Matanya terbelalak, mematung dalam posisi tegak tak berkutik. Kejutan apa ini? Perlahan tangannya meraba Talana yang berada tepat di depannya. Ia meremas tangan itu, pelan, seperti seorang anak yang berpegang pada tangan ayahnya dengan ketakutan. Seluruh tubuhnya menegang, bulu kuduknya berdiri dan tiba-tiba saja seluruh suara menghening. Angkasa berdiri dengan pedang yang baru ia cabut dari leher pria yang roboh. Cipratan darah memenuhi separuh wajahdan lehernya. Poninya basah, berantakan menutup dahinya. Tiga orang itu sama-sama membeku beberapa detik. Sampai akhirnya Talana bertindak. Dia cabut belati pendek yang tersembunyi di pinggangnya lalu mengacungkannya pada Angkasa dengan berani. Talana berusaha kuat memberanikan dirinya. Dia tetap tegas menghunus belati yang terlalu kecil untuk melawan pedang Angkasa itu meski lengan dan genggamannya gemetar. Inikah situasi nyata bahaya yang mendadak datang? Talana tak bisa mengekspresikan bagaimana tegangnya dia, bagaimana seluruh adrenalin terpompa begitu cepat mengalir ke seluruh tubuhnya namun ada rasa takut yang masih menutup gerbang keberaniannya? Kedua kakinya telah berpijak kokoh membentuk kuda-kuda yang mantap, namun gemetar masih juga tak bisa disembunyikan dari sana. Padahal telah ratusan kali ia melatih seni bela dirinya selama empat tahun di sekolah, namun kenapa rasanya ini seperti kali pertama memegang senjata secara sungguh-sungguh? Jika bisa, barangkali ia lebih memilih lari, namun ada seorang wanita yang sedang berlindung di balik punggungnya. Talana tak bisa mundur. Bukan tak bisa, tapi tak boleh.             “Nav, tetap di belakangku,” bisik Talana meyakinkan. Sebelah tangannya tetap menggenggam tangan Naviza.              “Sebaiknya kita lari saja sekarang! Dia pembunuh, Lan!” bisik Naviza waspada.             “Dia tetap akan membunuh kita sekalipun lari. Lebih terhormat kalau kita melawannya,” tolak Talana. Angkasa terkekeh tanpa suara. Dia sarungkan lagi pedang berdarahnya sambil melangkah mendekati Talana dan Naviza yang bersiaga. “Pergi sebelum yang lain datang,” pinta Angkasa serius. Sebentar dia menatap Talana dan Naviza bergantian, sebentar lagi dia menoleh ke kanan, kiri dan belakang dengan waspada. Naviza memperhatikan setiap pergerakan Angkasa baik-baik, dari ujung kepala sampai ujung kaki, dari setiap ayunan tangan, gerak jemari hingga ke sudut mana netranya bergerak mengawasi. Dia mencoba membaca apa yang saat ini sedang dipikirkan pria itu. Apakah dia sedang dikejar? Kenapa sangat waspada? Bahkan dia tak fokus pada Talana maupun dirinya. Perhatiannya justru tertuju pada semua arah lainnya. Seolah dia sedang bersembunyi, berlari atau mengejar? Siapa pria yang terlihat begitu berantakan namun juga gagah dan beraura kuat yang kini berdiri di hadapannya? Dia baru saja menusuk leher seorang prajurit kerajaan semudah itu! Bukankah itu berati jelas-jelas pria ini seorang musuh?             “Tapi…,” gumam pelan Naviza melanjutkan pikirnya. Kenapa dia terasa seperti bukan musuh?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN