Bab 20

1569 Kata
Arseno menghentikan mobil yang dikendarainya tepat di depan gedung apartemen tempat Zevanya tinggal. Disampingnya saat ini duduk keponakannya Alviano yang sedang membuka sabuk pengaman dan bersiap turun dari mobil. “Alviano,” panggil Arseno. Mendengar namanya dipanggil, pria tersebut segera menghentikan pergerakannya dan menatap Omnya untuk menunggu kelanjutan perkataannya. “Biar bagaimanapun dia adalah putri dari musuh kamu, akan sangat sulit kedepannya jika kamu punya perasaan lebih pada wanita itu,” ujar Arseno memberi sebuah nasehat pada keponakannya itu. “Aku rasa Om sendiri sudah mengenal dengan baik bagaimana sifatku Om, kesulitan apapun bukan hal yang menakutkan untuk aku,” jawab Alviano dengan nada santai. Ia kemudian segera membuka pintu mobil, namun sebelum benar-benar keluar dari mobil ia kembali menatap Omnya itu. “Biasakan diri om untuk memanggilku Daniel. Takutnya jika sedang ada Endiwarma ataupun keluarganya, Om tanpa sengaja malah memanggil nama depanku,” ujarnya memperingatkan. Arseno mendengus sambil tertawa kecil kemudian memberikan anggukan. “Baiklah DANIEL,” ujarnya menekankan kata Daniel pada kalimatnya itu. Puas dengan panggilan Omnya membuat Alviano atau yang lebih dikenal oleh Zevanya saat ini sebagai Daniel segera keluar dari mobil dan berjalan masuk ke dalam gedung apartemen. Ia tentu saja langsung menuju lift, masuk ke dalam sana dan tidak lupa menekan tombol lantai tempat unit apartemen Zevanya berasa. Tidak butuh waktu lama hingga lift sampai dan pintunya terbuka di lantai tujuan Daniel. Ia segera keluar dari lift dan berjalan menuju pintu apartemen Zevanya. Begitu masuk ke dalam apartemen, suasana nampak lumayan gelap karena lampu yang sama sekali tidak menyala satupun. Satu-satunya cahaya yang menyinari apartemen saat ini hanyalah cahaya bulan yang masuk karena area pintu balkon yang terbuka. Daniel melangkah sepelan mungkin ke arah balkon dan menyadari bahwa saat ini Zevanya sedang berdiri di pinggiran balkon. Saat ini di balkon, Zevanya sedang menikmati pemandangan malam kota Jakarta sambil merasakan hembusan angin malam. Tangannya saat ini memegang sebuah ponsel yang ditempelkan di telinganya, menandakan bahwa ia tengah menelpon seseorang saat ini. “Ma, aku beneran baik-baik aja kok. Mama nggak usah dengerin perkataan tante Natalia, dia cuma melebih-lebihkan cerita aja,” ujar Zevanya yang sedang menjelaskan kondisinya pada wanita yang melahirkannya itu. Ia tentu saja tengah berbohong saat ini agar Mamanya tidak larut dalam kekhawatiran. “…….” “Iya Ma, Papa emang marah besar karena kerugian yang dialami hotel, tapi beneran dia sama sekali nggak mukul aku kok kaya biasanya. Kali ini Papa nggak mukul aku dengan syarat aku harus segera mencari solusi untuk masalah krisis hotel sehingga tahun depan hotel bisa beroperasi tanpa hambatan dan tidak kekurangan dana operasional,” jelas Zevanya. “…….” “Beneran ma, Zevanya nggak bohong kok,” ujarnya sekali lagi. “Udah dulu ya Ma, aku masih banyak kerjaan yang ahrus diurus. Kalau aku udah nggak sibuk aku bakal ke rumah buat nemuin Mama ya,’ janji Zevanya. Setelah mengatakan hal itu Zevanya segera menjauhkan ponselnya dari telinga dan segera memutuskan sambungan telepon tersebut. Ia kemudian menghembuskan nafas berat. “Maafin aku Ma karena udah bohong,” gumam Zevanya yang merasa bersalah. Daniel yang berdiri beberapa meter dari pintu balkon memperhatikan Zevanya yang masih belum menyadari kedatangannya. Zevanya saat ini mengenakan piyama berbahan satin dengan tali spagethi. Piyama tersebut memiliki tipe kain yang lembut dan bentuknya sedikit longgar dari tubuh Zevanya sehingga tidak menyakiti luka yang ada di punggung wanita itu saat ini. Pandangan Daniel tertuju pada punggung Zevanya yang penuh dengan luka dan bekas luka lamanya. Selama ini dirinya berpikir bahwa ia satu-satunya yang menderita karena ulah dari Endiwarma Gadi yang sudah melenyapkan kedua orangtuanya, ternyata masih ada orang yang juga menderita karena ulah pria tersebut. Lucunya adalah orang itu adalah putrinya kandungnya sendiri. Daniel melangkah menuju area balkon dengan langkah sepelan mungkin sehingga tidak disadari oleh Zevanya. Ia kemudian melihat ke arah bangku yang ada di balkon tersebut dimana di sana tergeletak sebuah kimono satin yang sepertinya satu set dengan piyama yang dikenakan oleh Zevanya saat ini. Daniel segera meraih kimono satin tersebut. Zevanya yang sedang melamun tentu saja terkejut saat merasakan sebuah kain yang membalut punggungnya. Untungnya kain yang membalut punggungnya itu berbahan satin tipis dan lembut, sehingga tidak terlalu menyakiti punggungnya yang terluka. “Udara malam terlalu dingin Nona Agatha. Bagaimana bisa anda keluar dengan mengenakan pakaian setipis ini?” ujar Daniel yang kemudian berdiri di samping Zevanya. “Saya kira kamu nggak akan muncul lagi,” sindir Zevanya. Seharian ini Zevanya memang hanya sendirian di apartemennya karena Daniel yang sudah pergi dari pagi entah kemana. “Saya ada urusan sebentar, makanya baru pulang jam segini,” ujar Daniel menjelaskan. “Lebih bagus lagi kalau nggak muncul lagi sekalian,” gumam Zevanya. Daniel hanya tertawa tipis mendengar perkataan sinis wanita di sampingnya ini. Namun, di tengah tatapan Daniel yang memandang Zevanya saat ini, ia malah tidak sengaja fokus pada sesuatu di tubuh Zevanya. Menyadari tatapan Daniel yang tiba-tiba tertuju ke arah dadanya, Zevanya langsung menunduk dan terkejut saat menyadari bagian puncak dadanya saat ini tercetak jelas karena piyamanya yang tipis karena dirinya tidak mengenakan bra saat ini. Dengan buru-buru Zevanya menarik kimono yang membalut tubuhnya untuk menutupi bagian dadanya, yang mana hal itu membuatnya sedikit meringis karena kain kimono yang bergesekan dengan punggungnya yang terluka. “Kontrol mata kamu, kalau nggak saya colok nanti,” ancam Zevanya dengan nada marah. Daniel hanya tertawa mendengar perkataan Zevanya kemudian mengalihkan pandangannya ke arah pemandangan kota Jakarta. “Bukan salah saya dong jika anda sendiri yang menunjukkannya. Selain itu saya sudah pernah melihatnya langsung tanpa ditutupi apapun, jadi anda tidak perlu malu,” jawab Daniel dengan nada santai. “KAM….” Zevanya sampai tidak bisa melanjutkan perkataannya dan hanya bisa menatap penuh amarah pada pria yang berdiri di sampingnya ini. “Dasar cowok brengse*k,” gumam Zevanya kesal. Daniel tentu saja tidak terpengaruh dengan umpatan Zevanya. Ia malah segera membalikkan badannya dan berjalan masuk ke dalam apartemen. “Apa anda sudah makan malam Nona Agatha? Kalau belum saya mau masak untuk makan malam,” “Terserah,” jawab Zevanya dengan nada ketus kemudian berjalan masuk ke dalam apartemen dengan langkah cepat melewati Daniel. ***** Daniel tersenyum puas menatap hasil masakannya yang sudah tertata rapi di atas meja. Merasa semuanya sudah siap, ia segera berjalan ke arah kamar zevanya untuk memanggil wanita itu agar makan malam bersama dirinya. Sampai di depan pintu kamar Zevanya, ternyata wanita itu tidak menutup rapat pintu kamarnya sehingga orang yang berdiri di depan pintu tetap bisa melihat ke dalam kamar. Terlihat di dalam kamar Zevanya sedang duduk di atas ranjang dan nampak kesusahan mengolesi obat pada luka-luka yang ada di punggungnya saat ini. “Biar saya bantu,” ujar Daniel yang sudah masuk ke dalam kamar Zevanya. “Ngapain kamu masuk ke dalam kamar saya?” teriak Zevanya dengan nada marah sambil memeluk bagian depan tubuhnya karena ia saat ini tidak mengenakan set kimono piyamanya. “Nona Agatha, anda jelas-jelas sedang kesulitan mengolesi obat di punggung anda saat ini. Saya benar-benar tidak punya maksud lain dan hanya berniat menolong anda," jelas Daniel. Zevanya memberikan gelengan keras. “Nggak perlu. Saya bisa sendiri,” tolaknya. “Kenapa anda selalu menuruti gengsi anda Nona Zevanya Agatha Gadi?” Tanya Daniel dengan nada kesal. “Pikirkan sendiri resikonya kalau anda tidak mengobati luka anda malam ini. Luka anda akan semakin lama sembuh, yang berarti semakin lama juga anda bisa kembali masuk ke kantor. Bukannya Tuan Endiwarma menyuruh anda untuk segera mencari solusi?” Zevanya terdiam memikirkan perkataan Daniel. Akhirnya ia hanya bisa menghela nafas pasrah karena menyadari dirinya memang membutuhkan bantuan pria itu saat ini. “Ya udah, CEPETAN,” ujar Zevanya masih dengan nada ketus. Mengabaikan nada bicara wanita itu, Daniel segera berjalan mendekati Zevanya dan duduk di ranjang dengan wanita itu yang membelakangi dirinya. Ia segera mengambil obat yang ada di tangan Zevanya, lalu dengan perlahan mengoleskan obat ke luka yang ada di punggung Zevanya. Di tengah kegiatan Daniel yang mengolesi obat di punggung Zevanya, ia menarik selimut yang ada di atas ranjang dan diserahkan pada wanita di depannya itu. “Buat apa ini?” tanya Zevanya kebingungan. “Tutupi bagian depan tubuh anda dengan selimut, Piyama ini harus diturunkan, karena ada beberapa luka yang terhalang kain,” ujar Daniel. Zevanya sejujurnya ingin memprotes. Namun, ia akhirnya memilih diam karena menyadari bahwa pria itu sedang mengobati dirinya saat ini dan tidak berniat baik. Dengan terpaksa ia akhirnya mengambil selimut yang disodorkan Daniel kemudian segera menutup bagian depan tubuhnya. Tangan Daniel perlahan bergerak ke arah bahu Zevanya dan menurunkan tali piyama wanita itu. Piyama yang dikenakan Zevanya akhirnya meluncur turun hingga ke bagian pinggang wanita itu sehingga mengekspose punggung telanjangnya di hadapan Daniel. Daniel kembali mengolesi obat ke semua luka yang ada di punggung Zevanya. “Bisa pelan-pelan nggak?” Tanya Zevanya sambil meringis kesakitan. Beberapa kali ia bahkan bergerak menghindari tangan Daniel karena rasa perih. “Saya sudah bergerak sepelan mungkin Nona Agatha, hanya saja luka ini masih belum sembuh. Jadi wajar jika masih terasa sakit saat diolesi obat,” ujar Daniel menjelaskan. “Selain itu, berhenti bergerak secara tiba-tiba. Itu akan lebih menyakiti anda,” lanjutnya. Karena Zevanya yang terus bergerak tiba-tiba akibat rasa perih saat diolesi obat. Salah satu tangan Daniel yang bebas bergerak memegang pinggang Zevanya untuk menahan tubuh wanita itu. Merasakan telapak tangan besar daniel yang memegang area kulit pinggangnya tentu sjaa membuat zevanya terkejut. Ia sampai menahan nafas merasakan hangat tangan Daniel yang bergerak mencegkram lembut pinggangnya saat ini, yang tentu saja memberikan sensasi yang tidak bisa ia jelaskan.

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN